Psikopatologi: Autisme

Autisme: Gangguan perkembangan pada anak

Oleh: Margaretha

Dosen Psikologi Abnormal, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya

Di Indonesia, pada tahun 2013 diperkirakan terdapat lebih dari 112.000 anak yang menderita autisme dalam usia 5-19 tahun; sedangkan prevalensi penyandang autisme di seluruh dunia menurut data UNESCO pada tahun 2011 adalah 6 di antara 1000 orang mengidap autisme (Republika Online). Namun hingga kini belum banyak yang kita ketahui tentang Autisme, selain gejalanya. Apakah Autisme yang bisa masih terus kita pelajari? Dengan pemahaman tersebut apa yang bisa kita lakukan dalam menghadapi anak dengan Autisme? Berikut adalah uraian sederhana mengenai dunia yang dihadapi oleh anak dengan Autisme.autisme child

Apakah autisme

Autisme adalah sekelompok gangguan perkembangan yang berpengaruh hingga sepanjang hidup yang memiliki dasar penyebab gangguan perkembangan di otak (neurodevelopmental). Gangguan yang terjadi pada otak anak menyebabkannya tersebut tidak dapat berfungsi selayaknya otak normal dan hal ini termanifestasi pada perilaku penyandang autisme secara menonjol pada 3 bidang, yaitu: gangguan sosial, komunikasi, dan perilaku dengan minat terbatas dan berulang.

1. Gangguan perkembangan interaksi sosial

Anak dengan autisme memiliki kesulitan membaca dan memahami pikiran dan perasaan orang lain di sekitarnya; dan sebaliknya mereka juga tidak dapat memahami kemampuan diri sendiri untuk mempengaruhi atau merubah lingkungannya. Sehingga, anak dengan autisme terlihat serti tidak memiliki minat melakukan interaksi sosial. Namun beberapa anak memiliki keinginan sosial tapi tidak mampu menjalin interaksi sosial tanpa dibantu orang lain.

2. Gangguan komunikasi

Anak dengan autisme memiliki kemampuan komunikasi yang berbeda dimana mereka kesulitan memahami fungsi sosial komunikasi verbal. Mereka memahami bahasa secara literal dan kesulitan memahami konteks bahasa yang digunakan. Oleh karena itu, anak dengan autisme biasanya memiliki kemampuan ekspresif dari pada reseptif. Pada beberapa anak juga ditemukan keterlambatan perkembangan bahasa.

3. Gangguan minat terbatas dan perilaku berulang/repetitif

Anak dengan autisme memiliki minat yang terbatas serta keterpakuan pada rutinitas, seperti: menyukai membuat barisan mainan. Ada juga perilaku berulang yang ditunjukkan seperti obsesi terhadap suatu obyek, misalkan: sangat tertarik pada jadwal atau benda tertentu. Rutin dan ritual menjadi suatu yang sangat penting dalam aktivitas anak dengan autisme, seperti melakukan hal-hal dalam urutan tertentu, menggunakan baju tertentu, makan makanan tertentu. Rutinitas membuat anak dengan autisme mampu memprediksi dan mengelola dunianya, maka ia akan sangat merasa tertekan jika ritual dan rutinitasnya terganggu.

Ketiga gangguan ini sering disebut sebagai Tiga Gangguan Autisme (triad of impairment). Namun selain ketiga hal tersebut, anak dengan Autisme memiliki kekhususan perkembangan yaitu pada perkembangan pola kognitif (cognitive style) dan kemampuan sensorisnya (sensory characteristics).

Karakteristik kognitif

Secara khusus kemampuan kognitifnya mengalami keunikan pada 3 area: 1) fungsi eksekutif (executive function) atau kemampuan merencanakan, memulai, mengelola dan mempertahankan perilaku dalam rangka mencapai tujuannya, 2) theory of mind (ToM) atau kemampuan memahami perasaan dan pikiran orang lain, dan 3) pemusatan pemahaman dengan cara mengintegrasikan berbagai informasi detail menjadi suatu keseatuan yang lebih bermakna (central coherence).

Dalam hal fungsi eksekutif, anak dengan autisme biasanya sulit memahami tahapan-tahapan perilaku untuk mencapai suatu tujuan, kecenderungan fokus pada detail tertentu membuat mereka tidak bisa menempatkan detail satu tahapan dalam konteks urutan perilaku yang lebih besar. Oleh karena itu anak dengan autisme masih perlu dibimbing untuk mengurai perilaku menjadi langkah-langkah yang saling berhubungan dan dilakukan secara berurutan. Terkait dengan hal ini, anak dengan autisme juga sering dilihat sebagai anak yang kurang fleksibel, tidak bisa menyesuaikan diri dengan perubahan, serta tidak bisa spontan dan refleks.

Dalam hal ToM, anak dengan autisme kurang dapat memahami berbagai emosi dan perspektif orang lain. Sehingga mereka tampak seperti kurang peka dan tidak paham berbagai peristiwa interaksi sosial. Seringpula mereka akan memberikan respon yang tidak tepat pada suatu situasi sosioemosional, contohnya: tertawa ketika ada yang marah; hal ini terjadi karena mereka tidak memahami apa dan bagaimana respon emosi yang perlu difokuskan pada suatu situasi sosial dan bagaimana meresponnya. Hambatan sosial memang paling terkait dengan kelemagan ToM. Namun perlu digaris-bawahi bahwa kesulitan sosial dan komunikasi pada anak dengan autisme bukan berarti bahwa mereka tidak menginginkan atau tidak memiliki minat interaksi sosial, namun mereka membutuhkan bantuan untuk dapat memahami situasi sosial dan bagaimana cara meresponnya secara tepat.

Begitupula dengan kemampuan pemusatan pemahaman, kesulitan yang biasa dihadapi anak dengan autisme adalah mereka memahami bahasa dan kata secara langsung tanpa memasukkan pemahaman kontekstual sehingga pemahamannya yang keluar menjadi kurang tepat, contohnya: “buang pikiran jauh-jauh” sebenarnya artinya jangan dipikirkan, tapi anak dengan autisme tidak dapat memahami bagaimana membuang pikiran dari kepala seperti membuang sampah keluar rumah.

Karakteristik sensoris

Dalam hal kemampuan sensoris, anak dengan autisme juga memiliki keunikan pemrosesan dan interpretasi informasi sensoris. Beberapa anak ditemukan mengalami tingkat sensitivitas yang tinggi (hipersensitif) namun ada pula yang sensitivitasnya rendah (hiposensitif), akibatnya mereka dapat memiliki ambang batas inderawi yang berbeda-beda. Informasi sensoris bukan hanya yang diterima oleh panca inderawi (penglihatan, pendengaran, perasa, penciuman dan kulit), namun keunikan dalam hal keseimbangan, gerak tubuh atau kinestetik juga perlu diperhatikan baik-baik pada anak dengan autisme. Gejala yang dapat muncul terkait dengan sensitivitas sensoris adalah: mudah terganggu dengan rangsang yang biasanya tidak mengganggu seperti suara mobil, suara kipas angin; sulit memproses atau memberikan respon pada rangsang tertentu. Ada anak yang mudah merasa terganggu karena silaunya lampu dan cahaya, namun ada pula yang terlihat kurang peka terhadap rangsang dengar sehingga harus diajak berbicara cukup keras. Penting untuk mengukur karakteristik sensoris anak dengan autisme secara individual agar diketahui profil kemampuan sensorisnya dan diintegrasikan dalam penanganan pembelajarannya. Misalkan, jika anak sensitif pada cahaya, maka ruang belajar anak dibuat tidak terlalu terlampau terang.

Dengan memahami berbagai keunikan dan juga 3 gejala gangguannya, maka kita bisa mengetahui bagaimana pengaruhnya pada perkembangan kemampuan anak. Dari pemahaman dasar inilah kita dapat lebih memahami bagaimana ia memahami dunianya, dengan begitulah kita juga akan tahu bagaimana cara membantunya.

Keunikan-keunikan

Selain kelemahan-kelemahan tersebut, kita juga perlu memahami bahwa anak dengan autisme juga memiliki kemampuan unik yang unggul. Keunikan utama anak dengan autisme adalah fokus terhadap detail. Kemampuan ini dapat membantunya untuk mengerjakan tugas-tugas yang membutuhkan fokus pada detail, seperti kecermatan dan menghapal. Kemampuan memahami detail anak dengan autisme secara umum dianggap lebih kuat daripada anak yang berkembang secara normal.

Karakteristik unik lain dari anak dengan autisme biasanya dapat mengembangkan kekuatan belajar yang lebih fokus pada informasi visual; hal ini membuat mereka lebih mudah fokus pada pemrosesan informasi visual yang akan memudahkan mereka untuk memahami informasi dari lingkungan. Jika kemampuan ini bisa dikembangkan, kemampuan memahami detail visual dapat membuat mereka dapat diandalkan melakukan tugas-tugas yang memerlukan kecermatan dan ketekunan visual, seperti menggambar, mengingat informasi visual dan sebagainya. Anak dengan autisme yang memiliki kemampuan unggul dalam suatu bidang disebut sebagai anak Autisme Savant.

Dari informasi ini, maka masyarakat perlu memahami bahwa label anak dengan autisme adalah anak sakit yang tidak berguna di masyarakat adalah salah. Stigma autisme sebagai penyakit mental sudah selayaknya diganti dengan cara pandang yang lebih positif, yaitu anak dengan autisme adalah individu yang akan berkembang melalui tahap dan jalan perkembangan yang berbeda dari individu lain. Sama sepertinya semua manusia, anak dengan autisme juga memiliki keunikan perkembangan.

Autisme dalam perawatan

Sering sekali orang memandang Autisme sebagai gangguan kejiwaan atau kegilaan, sehingga anak mengalami label dan stigma sepanjang hidupnya. Hal ini dipengaruhi oleh cara berpikir klinis medis yang menganggap anak dengan Autisme memiliki gangguan penyakit. Dan sebagai akibatnya anak dengan autisme segara diberikan pengobatan; karena dianggap  sebagai satu-satunya cara untuk membuatnya mau melakukan fokus pada interaksi sosial dan komunikasi.

Namun sejak beberapa dekade terakhir ini, autisme dipandang sebagai masalah perkembangan yang perlu segera diidentifikasi dan diberikan intervensi serta stimulasi dini. Hal ini juga menjadi suatu kesepakatan internasional, dimana tenaga kesehatan mental seluruh dunia telah di telah membuat kesepakatan untuk memahami Autisme dalam konteks perkembangan anak.

Gejala autisme muncul pada awal masa perkembangan anak, dan gejala tersebut dapat bertahan sepanjang hidup anak.  Oleh karena itu pendekatan perawatannya haruslah membantu perkembangan pada kemampuan-kemampuan anak dalam berbagai dimensi perkembangannya (misal: bahasa, sosial, motoris, dan sebagainya). Stimulasi dini menjadi jawaban untuk membantu anak dengan autisme agar anak dengan autisme dapat mengoptimalisas perkembangan serta kemampuan belajarnya. Anak dengan autisme perlu dibantu untuk melakukan kontak sosial, belajar berbahasa dan mengatur perilakunya.

Proses membantu anak dengan autisme juga perlu dilakukan secara komprehensif dibantu profesional dari berbagai bidang ilmu, seperti:

  1. Terapis wicara: untuk membantu merangsang dan meningkatkan kemampuan berbicara dan berbahasa
  2. Terapis okupasi: untuk membantu merangsang dan meningkatkan kemampuan motoris kasar dan halus, terutama dalam membantu kemampuan belajar (menulis) dan merawat diri (mandi, berpakaian)
  3. Terapis psikologi dan perilaku: untuk membantu mengembangkan pengelolaan perilaku, mempersiapkan kesiapan belajar dan penyesuaian diri anak di lingkungannya (rumah, sekolah), juga membantu orang tua mempersiapkan anak menghadapi berbagai perubahan
  4. Pendekatan pendidikan: membantu mempersiapkan sarana dan prasarana, juga strategi belajar yang mendukung anak untuk belajar

Setelah memahami betapa berbedanya gejala dan karakteristik Autisme pada masing-masing anak, maka penting digaris-bawahi bahwa bantuan pada anak dengan autisme harus diberikan secara individual. Masing-masing anak perlu dipahami kelebihan dan kesulitannya, barulah akan didesain bantuan pada masing-masing anak secara individual. Tidak ada satu program yang bisa dibuat untuk banyak anak dengan autisme. Berbagai disiplin ilmu dapat bekerjasama dalam memberikan layanan dan membentuk suatu program perawatan dan pendidikan anak dengan autisme. Oleh karena itu, berbagai pihak termasuk orang tua, tenaga kesehatan, sekolah serta masyarakat perlu bersama-sama bekerjasama untuk mendukung usaha perawatan dan mendukung perkembangan anak dengan autisme.

Penulis sedang mengikuti Workshop Identifikasi dan Intervensi dini Anak dengan Autisme di Autism Association of Western Australia, Perth

Referensi

112.000 Anak Indonesia Diperkirakan Menyandang Autisme, Republika Online. Diakses pada 2 Juli 2013.

Hands-out Workshop on Autism August 2013. Autism Association of Western Australia.

Perilaku komunikasi anak dengan autisme

Oleh: Margaretha

Dosen Psikologi Abnormal, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya

Salah satu karakteristik perkembangan anak dengan autisme adalah hambatan perkembangan komunikasi. Dan pada kenyataannya, keluhan yang sering dimunculkan ketika orang tua membawa anak dengan autisme ke terapis adalah hambatan komunikasi. Hambatan komunikasi membuat anak menjadi sulit belajar dan perilakunya pun terlihat tidak dapat dikendalikan. Apakah perilaku komunikasi dan bagaimana kemampuan komunikasi anak dengan Autisme? Berikut adalah uraian sederhana mengenai kemampuan komunikasi anak dengan Autisme. see speak hear autism

Apakah berbicara dan berbahasa?

Sebelum kita berbicara, tentang problem komunikasi, penting kita pahami berbagai komponen komunikasi, yaitu: bicara, bahasa dan komunikasi.

1. Bicara (speech): satuan suara yang diproduksi dan dikombinasikan untuk membentuk kata.

2. Bahasa (language): penggunaan kata-kata dalam aturan tertentu untuk menyampaikan ide (expressive) ataupun memahami ide (receptive)

3. Komunikasi (communication): usaha menyampaikan informasi dari diri kepada orang lain. Dalam melakukan komunikasi penting untuk memahami “kapan”, “bagaimana”, dan “apakah tujuan” proses penyampaian informasi.

Jadi komunikasi adalah proses menyampaikan informasi dari seseorang kepada yang lain dengan menggunakan media verbal maupun non-verbal; dan proses komunikasi bisa terjadi baik satu arah ataupun dua arah. Ada beberapa cara berkomunikasi, seperti: menulis, kontak mata, berbicara, gerak tubuh, mimik wajah, menunjuk benda. Seorang ayah marah dengan kata-kata dan lirikan mata melotot, sudah berkomunikasi menyampaikan pesan marah dan cukup dapat dipahami oleh anak yang mendengar dan melihatnya. Atau seorang anak dapat menyampaikan protesnya dengan menangis meraung-raung walaupun tanpa kata-kata. Berkomunikasi bukan sekedar berbicara atau berkata-kata, namun adalah keseluruhan proses penyampaian dan penerimaan informasi.

Perkembangan komunikasi anak

Dalam perkembangan komunikasi, usaha awal memahami informasi dari lingkungan dimulai dengan informasi sensoris (rasa, sentuh, bau, lihat, dengar). Dalam tahapan awal komunikasi anak belajar mengembangkan keahlian awal komunikasi (precursor skills), yaitu: fokus dan atensi, pemusatan perhatian bersama (joint attention), menunjuk dan penggunaan gerak tubuh (gestural).

  1. Atensi: kemampuan fokus pada detail tertentu dan mengabaikan bagian lainnya, contohnya: anak akan fokus pada wajah ibunya di antara wajah-wajah orang lain dalam suatu kerumunan.
  2. Pemusatan perhatian bersama: fokus bersama-sama dengan orang lain atas suatu obyek atau aktivitas. Hal ini dilakukan dengan mengamati gerak tatapan mata orang lain yang mengikuti suatu obyek. Contohnya: ketika anak bermain kucing peliharaan bersama orang tuanya, mata keduanya akan bergerak bersama mengikuti gerak kucing tersebut. Dari kemampuan pemusatan perhatian bersama inilah anak dapat mengembangkan kemampuan belajar mengamati orang lain.
  3. Gerak tubuh: gerak tubuh banyak digunakan manusia untuk mengkomunikasikan pikiran dan perasaannya. Contohnya: anak akan menunjuk mainan yang diinginkannya yang berasa di atas lemari dan tidak dapat dijangkaunya, hal ini dilakukan agar orang tua mau mengambilkannya.

Ketiga hal ini menjadi bagian dasar penyusun kemampuan komunikasi, karena dari ketiga proses ini anak mulai memahami informasi dari dunianya, serta juga memahami bahwa perspektif orang lain dapat berbeda dari apa yang mereka miliki. Selanjutnya, anak akan mengembangkan kemampuan komunikasi yang lebih kompleks seperti: meminta bantuan, negosiasi, memberikan komentar, serta komunikasi sosial.

Pada anak yang mengalami perkembangan pada umumnya (typically developing children), biasanya terjadi beberapa tahapan perkembangan komunikasi:

1. Usia 0-6 bulan: melihat dan memperhatikan sumber suara; melihat wajah yang mengajak bicara, memahami jika namanya dipanggil; bertukarpandang singkat dengan padangan kontak sosialnya

2. Usia 6-12 bulan: meminta perhatian; muncul pemusatan perhatian bersama dengan orang lain lawan kontak sosialnya atau disebut sebagai joint attention; menaruh minat pada suaragak dan vokalisasi bunyi; mengenali suara familiar; bisa meminta, menolak dan memberi komentar; menggunakan komunikasi gestural sederhana seperti menunjuk, protes, memberikan obyek

3. Usia 12-24 bulan: berkomunikasi untuk menyapa, menyatakan pemahamannya mengenai keberadaan orang lain di sekitarnya; menggunakan intonasi, memahami penggunaan dan fungsi kata; mampu berkomunikasi untuk meminta informasi, bertanya dan memberi perintah; melakukan diadik dalam pembicaraan

4. Usia 24-36 bulan: mampu berkomunikasi tentang obyek yang tidak ada saat ini, menjawab pertanyaan; mengekspresikan emosi dan menyatakan empati; memproduksi naratif yang berisi label dan penjelasan; memberikan informasi baru dalam topik pembicaraan; penggunaan bahasa lebih meningkat dalam bermain

5. Usia 36-48 bulan: mengembangkan perilaku meminta secara fleksibel, misalkan: bisakah, maukah….; mampu menjaga atau mempertahankan topik pembicaraan; mengembangkan kemampuan saling dalam bertukar bicara, atau bergantian berbicara dan mendengarkan dalam percakapan; kemampuan berpikir, prediksi, dan imaginasi mulai berkembang dalam pembicaraan.

6. Usia 48-60 bulan: mampu membuat percakapan sederhana; mengembangkan permainan kooperatif; mampu menghentikan atau menutup percakapan; dapat mengajak orang lain ikut dalam kelompok; membuat naratif yang berisi dengan tema utama pembicaraan, penekanan fokus, serta resolusi terhadap suatu konflik dalam cerita.

Tahapan perkembangan komunikasi ini adalah gambaran perkembangan secara umum, bukanlah suatu panduan saklek yang diharapkan terjadi sama pada semua anak. Perkembangan manusia adalah dinamis dan non linear, bisa saja terjadi berbeda-beda pada satu dengan yang lain.

Pada anak dengan autisme, kekhasan perkembangan yang biasanya muncul adalah terlambatnya atau munculnya persoalan dalam perkembangan komunikasi. Hal ini terjadi karena lemahnya proses belajar imitasi atau meniru dari orang lain. Bahasa pada umumnya dipelajari anak dari meniru orang dewasa di sekitarnya. Karena sulit atau tidak bisa meniru maka perkembangan bahasa dan bicaranya menjadi kurang optimal.

Anak dengan autisme juga akan menunjukkan kesulitan untuk mengembangkan percakapan interaktif. Hal ini terjadi karena gejala autisme membuat mereka kesulitan memahami dan memprediksi pikiran dan perasaan orang lain. Mereka menganggap suatu usaha diadik (dyadic) atau proses berganti mendengarkan dan menjelaskan adalah sangat sulit dilakukan. Mereka tidak tahu mana yang harus fokus didengarkan dan bagaimana cara merespon balik pembicaraan rekan bicaranya.

Komponen komunikasi

Selain tahapan perkembangan, penting juga kita memahami apa saja yang membentuk suatu kemampuan manusia. Ada empat komponen pembentuk komunikasi dasar, yaitu: kemampuan  komunikasi pendahuluan, kemampuan ekspresi, kemampuan reseptif, dan kemampuan pragmatis.

1. kemampuan komunikasi pendahuluan (precursor skills), adalah dasar-dasar komunikasi non verbal yang biasanya digunakan untuk menyampaikan informasi sebelum munculnya kemampuan berbicara. Banyak digunakan dan berkembang pada saat bayi, seperti: menunjuk, pemusatan perhatian bersama, kontak mata, imitasi.

2. kemampuan ekspresi (expressive communication), adalah usaha dan perilaku menyampaikan informasi pada orang lain, misalkan: memproduksi suara, menggunakan kata dan kalimat, meminta, bertanya, echolalia (mengulang kata-kata yang telah didengar).

3. kemampuan reseptif (receptive communication), adalah usaha dan perilaku menerima dan memahami informasi pada orang lain, seperti: menyahut ketika nama dipanggil, mengikuti perintah sederhana, menjawab pertanyaan, mampu memecahkan masalah.

4. kemampuan pragmatis, adalah usaha menggunakan keseluruh kemampuan komunikasi pendahuluan, ekspresif dan reseptif dalam suatu konteks interaksi sosial, misalkan: memberikan salam ketika bertemu orang lain, menggunakan gesture ketika berbicara, memahami jarak personal yang perlu dibuat agar orang lain nyaman berinteraksi sosial dengan kita.

Pada anak dengan autisme, mereka akan mengalami kesulitan untuk mengembangkan komponen-komponen komunikasi ini. Autisme pada masing-masing anak juga dapat berbeda tingkat atau derajat keberatan gejalanya (level of severity). Jika gejala berat maka masing-masing komponen komunikasi akan lebih sulit berkembang. Anak dengan autisme berat akan mengalami kesulitan mengembangkan bahkan pada kemampuan komunikasi pendahuluan, contohnya: anak dengan autisme sulit membuat kontak mata dengan orang untuk mengajak kontak sosial. Sedangkan anak dengan gejala ringan, kemungkinan besar hal yang sulit dilakukannya adalah spontanitas penggunaan komunikasi reseptif dan komunikasi ekspresif, serta tantangan penggunaan komunikasi pragmatis agar mereka lebih mampu menyampaikan informasi pada orang-orang di sekitarnya.

Karakteristik kemampuan komunikasi anak dengan autisme

Anak dengan autisme memiliki beberapa corak perkembangan komunikasi, yaitu:

1. Kesulitan melakukan pemusatan perhatian bersama, mereka bisa beraktivitas bersama namun tidak ada sapa pandang dan melakukan kontak mata bersama dengan rekannya

2. Kesulitan memulai komunikasi

3. Keterbatasan fungsi komunikasi, berkisar antara meminta hal yang ia inginkan saja. Sering orang lain hanya digunakan sebagai alat untuk mencapai kebutuhannya saja

4. Kesulitan meminta atau menyatakan kebutuhan untuk dibantu

5. Muncul echolalia, atau mengulang kata yang telah didengarnya,

6. Kesulitan menggeneralisir makna dan fungsi kata yang telah dipelajarinya

7. Sulit memahami instruksi atau konsep yang abstrak dan kompleks

8. Kesulitan memfokuskan perhatian dalam percakapan

9. Kesulitan untuk mengetahui bagaimana memaknai dan merespon mimik atau simbol sosial dari orang lain yang menjadi lawan bicara

10. Kesulitan menggunakan gerak tubuh dalam proses komunikasi, terlihat kaku

11. Terbatasnya cara berkomunikasi dapat menimbulkan frustasi ketika tidak mampu menyampaikan idenya.

Secara umum, perkembangan komunikasi ekspresif mereka juga lebih cepat daripada komunikasi reseptif; akibatnya meeka lebih suka menyampaikan ide mereka daripada mendengarkan ide orang lain. Dalam perilaku sehari-hari, anak dengan autisme tampak seperti anak yang sulit diatur, hal ini bukan terjadi karena mereka sengaja tidak patuh, namun lebih karena tidak paham apa perilaku yang diharapkan oleh orang lain dari mereka.

Memahami konsep abstrak dan bahasa metaforik adalah kesulitan besar bagi anak dengan autisme. Mereka akan memahami pembicaraan orang lain secara konkret, dan sulit memahami makna tersirat atau makna kontekstual suatu kalimat, misalkan: mereka sulit memahami kalimat sarkasme. Keunikan ini merupakan bagian perkembangan anak dengan autisme yang dapat berlanjut hingga dewasa, bahkan pada anak yang memiliki intelegensi tinggi.

Karakteristik lain yang sering dijumpai pada anak dengan autisme adalah mereka membutuhkan waktu lebih lama untuk memproses informasi dalam komunikasi reseptif. Mereka butuh beberapa waktu untuk memahami apa yang baru saja didengarnya. Oleh karena itu, kita perlu memberikan beberapa waktu sebelum berharap anak dengan autisme memberikan respon terhadap apa yang baru saja didengarnya; dan tidak terus-menerus memberikan informasi atau instruksi karena akan membuat mereka semakin bingung memproses informasi yang diterimanya. Misalkan, ketika memberikan instruksi dalam satu kalimat berikan waktu 5-10 detik untuk anak memahami informasi dan memberikan respon, jika tidak ada respon baru ulangi lagi kalimat instruksinya.

Simpulan

Anak dengan autisme memiliki gangguan melakukan proses komunikasi. Hambatan komunikasi juga membuat anak dengan autisme mengalami kesulitan dalam belajar dari mengamati orang lain di sekitarnya. Sebaiknya juga bahasa yang digunakan berkomunikasi dengan mereka dibuat sederhana dan konkret, untuk meminimalisir kesalahan interpretasi makna tersirat. Mereka juga lebih mudah memahami apa yang mereka lihat daripada apa yang mereka dengar. Oleh karena itu, memberikan informasi visual akan membantu mereka jauh lebih baik untuk memahami proses komunikasi.

Referensi

Hands-out Workshop on Autism August 2013. Autism Association of Western Australia.

Perkembangan Kemampuan Komunikasi pada Anak dengan Autisme

Margaretha,

Dosen Psikologi Abnormal Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

communicate with child with autism

Apakah anda pernah merasa marah atau sedih karena merasa tidak dipahami oleh lingkungan anda? Walaupun anda telah berusaha menjelaskan maksud anda dengan cara anda, namun bahkan orang tua anda tidak memahami maksud anda. Belum lagi ditambah dengan perasaan anda sendiri tidak tahu harus menyampaikan dan dengan cara apa. Frustasi, adalah perasaan anak dengan autisme ketika tidak dapat menyampaikan maksudnya pada orang-orang di sekitarnya. Perilaku problematik mungkin yang akan kita lihat di permukaan, namun di dalamnya, ada anak yang butuh bantuan untuk dapat menjelaskan dirinya dalam suatu proses komunikasi.

Dengan kesulitan komunikasi yang dimilikinya, anak dengan autisme dalam perilaku sehari-hari tampak seperti anak nakal yang sulit diatur. Hal ini bukan terjadi karena mereka sengaja tidak patuh, namun lebih karena tidak paham apa perilaku yang diharapkan oleh orang lain atas diri mereka dan bagaimana merespon permintaan sosial dari orang-orang di sekitarnya. Mereka juga lebih memahami bahasa secara konkret, dan sulit memahami makna tersirat. Oleh karena itu, mereka perlu dibantu untuk mampu memahami proses komunikasi dengan lingkungannya. Berikut adalah beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mendukung perkembangan kemampuan komunikasi anak dengan autisme.

Bantuan peraga visual

Karena anak dengan autisme memiliki kesulitan dalam memahami makna tersirat, maka semua proses komunikasi dengan anak autisme diupayakan sekonkret mungkin. Penggunaan bantuan visual (visual supports) juga akan membantu proses komunikasi ekspresif dan reseptif.

Bantuan visual adalah alat-alat yang kita gunakan untuk menunjukkan apa yang kita harapkan pada anak bukan mengatakannya. Contohnya: ketika mengatakan makanan, daripada hanya mengatakannya maka anak dengan autisme diberikan suatu gambar makanan, sehingga ia bisa segera memahami bahwa sedang membicarakan makanan (lihat gambar 1). Bantuan visual dapat berupa gambar, foto, obyek benda, daftar, tulisan (kalimat instruksi) atau apapun yang membuat kita dapat menampilkan informasi secara visual.

Perlu dipastikan bahwa visual atau gambar yang digunakan menunjukkan bentuk yang dilihat sehari-hari nyata oleh si anak, jadi bukan gambar asing. Jika menggunakan gambar asing maka anak akan kesulitan memahami dan menghubungkan makna gambar dan ide yang ingin disampaikan. Misalkan, jika anak memiliki piyama hijau, maka buat gambar tentang piyama hijau bukan warna lain, atau anak akan kesulitan memahami piyama warna lain karena mereka tidak pernah melihatnya. Baru setelah anak mengembangkan kemampuan generalisasi piyama dalam berbagai warna (tahapan berikutnya) kita bisa menggunakan gambar piyama dengan berbagai warna.

Gambar 1. Bantuan visual untuk mengenalkan berbagai benda

 visuals1

Ada banyak teknik penggunaan bantuan visual dalam mengembangkan kemampuan komunikasi anak dengan autisme, beberapa diantaranya adalah: Picture Exchange Communication System (PECS), Pragmatic Organization Dynamic Display (PODD), Aided Language Stimulation (ALS), dan Augmentative and Alternative Communication (ACC).

Membuat jadwal

Jika dunia sulit dipahami dan terus berubah, maka kita akan terus membutuhkan bantuan orang lain untuk menjelaskan apa yang harus kita lakukan. Kita bisa menjadi cemas karena terus mengantisipasi perubahan, takut jika ada sesuatu berjalan salah dan menimbulkan hal yang menyakitkan atau tidak enak. Anak dapat menolak melakukan berbagai hal karena tidak dapat memprediksi apa konsekuensinya atau kelanjutannya.

Maka perlu dipelajari suatu pola atau keteraturan yang terjadi di dalam pengalaman sehari-harinya. Kita dapat membantu antisipasi pemahaman anak dengan membuat jadwal. Dengan jadwal, anak dengan autisme menjadi mampu memprediksi apa yang akan terjadi karena telah mempelajari apa yang akan terjadi. Hal ini juga dapat memotivasi anak untuk berperilaku dan mengelola dirinya secara lebih yakin.

Namun perubahan dapat terjadi sewaktu-waktu, dan manusia harus berjuang menghadapinya. Hal inilah yang bisa menjadi menjadi persoalan bagi anak dengan autisme. Yang sering menjadi persoalan adalah ketika orang dewasa di sekitarnya memberikan tuntutan agar anak dengan autisme bisa bersikap fleksibel terhadap perubahan. Kita tidak akan meminta orang buta untuk mampu melihat; maka perlu dipahami bahwa meminta anak dengan autisme untuk bersikap fleksibel juga adalah suatu hal yang sangat menyulitkan bagi mereka. Jika anak belum mengantisipasi perubahan maka ia akan menunjukkan perilaku sulit, seperti: menolak, menangis atau marah. Sebenarnya banyak perilaku sulit anak dengan autisme bisa dihindari dengan memberikan jadwal atau perubahan jadwal sebelum terjadinya peristiwa; dengan demikan mereka tetap mampu melakukan antisipasi. Contohnya: jika akan ada tamu datang ke rumah dan menginap; maka anak perlu dibuat paham akan ada perubahan jadwal di rumah karena akan menjamu tamu dengan cara tertentu; serta perlu dijelaskan pula bahwa anak diharapkan untuk menyapa tamu dengan sederhana.  Dengan jadwal dan penjelasan perubahan jadwal maka anak menjadi mampu menyiapkan dirinya di menghadapi perubahan, sehingga tidak perlu menampilkan perilaku sulit.

Menjaga bantuan dan dukungan

Mengenalkan proses komunikasi pada anak dengan autisme membutuhkan usaha dan waktu. Seperti belajar bahasa baru, perlu banyak mengenal kata-kata baru, berlatih membuat kalimat dan berlatih berulang-ulang hingga mahir; seperti itulah juga proses membantu anak dengan autisme untuk berkomunikasi.

Sebenarnya kita, manusia pada umumnya juga menggunakan bantuan visual untuk memudahkan pemahaman, seperti: kalender, diari, daftar, resep masakan dengan foto, dan sebagainya. Sebagian dari kita, terutama yang memiliki corak berpikir visual, akan sangat kesulitan memahami informasi jika tidak dibantu dengan bantuan visual. Bantuan visual membuat kita mudah memahami informasi sehingga pada akhirnya membuat kita merasa yakin dan memiliki kontrol atas perilaku kita. Begitupula dengan anak, jika mereka mampu memahami informasi maka mereka juga lebih mampu mengelola perilaku mereka dan lebih yakin dalam melakukan komunikasi sosial.

Kesulitannya bagi orang-orang di sekeliling anak adalah kurang sabar atau kurang konsisten menggunakan bantuan visual. Jika anak dilatih menggunakan bantuan visual di tempat terapi maka sebaiknya di rumah dan di sekolah anak juga perlu dibantu komunikasinya dengan visual. Jika tidak maka anak akan mengalami kesulitan memahami proses komunikasi, karena di satu tempat dia dibantu berkomunikasi dengan bantuan visual namun di tempat lain dia diharapkan mampu paham hanya dengan instruksi kalimat saja. Kesulitan ini akan membuat anak terlihat berulah, tidak patuh atau “nakal”. Sebenarnya banyak perilaku “nakal”anak dengan autisme bisa dihadapi dengan mendukung belajar komunikasinya secara kontinyu. Anak menjadi mampu mengkomunikasikan dirinya di berbagai tempat dan berbagai orang, sehingga tidak perlu menampilkan perilaku bermasalah.

Simpulan

Terkait dengan keterbatasan komunikasi anak dengan autisme maka ada beberapa alat dan aktivitas yang dapat digunakan untuk melatih kemampuan komunikasi dengan mereka:

  1. Menggunakan alat bantu visual untuk berkomunikasi dengan mereka, agar konsep menjadi lebih konkret.
  2. Menyusun rutinitas aktivitas sosial sehingga mereka dapat melakukan antisipasi, hal ini penting agar mereka tahu bagaimana apa yang diharapkan dari mereka serta bagaimana cara mencapainya
  3. Menyusun jadwal kegiatan, hal ini untuk membantu mereka merencanakan dan mengetahui cara mencapai tujuannya secara berurutan

Keseluruhan aktivitas pembangunan kemampuan komunikasi anak dengan autisme juga perlu dikombinasikan dengan usaha perkembangan perilakunya. Penting dipahami proses yang akan dilakukan untuk membantu komunikasi perlu dilakukan secara intensif dan dalam jangka waktu yang cukup hingga bisa dilihat perubahannya.

Referensi

Hands-out Workshop on Autism August 2013. Autism Association of Western Australia.

Memahami Perilaku Anak dengan Autisme

Oleh: Margaretha

Dosen Psikologi Abnormal, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya

restricted interest and repetitive behavior 1

Minat terbatas dan perilaku berulang adalah gejala klinis yang sering dilaporkan menjadi persoalan bagi orang-orang di sekitar anak dengan autisme. Anak menjadi sangat kaku dengan jadwal dan rutin, serta sulit berpikir luwes. Sering, orang tua langsung berusaha menghentikan perilaku berulang anak karena dianggap mengganggu. Namun apa yang terjadi kemudian adalah anak malah menunjukkan perilaku sulit, seperti marah dan frustasi ketika menghadapi perubahan. Tidak jarang, perilaku mereka ini membuat keluarga, guru merasa kewalahan dan putus asa.

Apakah sebenarnya perilaku minat terbatas dan perilaku berulang? Tulisan ini akan menjelaskan apa makna perilaku minat terbatas dan perilaku berulang bagi anak dengan autisme serta apa cara yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk menghadapi perilaku anak.

Profil Perilaku Anak dengan Autisme

Anak dengan autisme memiliki minat yang terbatas serta keterpakuan pada obyek atau aktivitas tertentu, seperti: menyukai mainan tentara, maka selalu bermain dengan mainan tentara. Rutin dan ritual menjadi suatu yang sangat penting dalam aktivitas anak dengan autisme, contohnya: melakukan hal-hal dalam urutan tertentu, menggunakan baju tertentu, makan makanan tertentu. Melakukan kegiatan dalam urutan membuat anak mampu memprediksi lingkungannya dan mengembangkan kepercayaan dirinya untuk menghadapi dunianya.

Selain itu perilaku berulang atau perilaku repetitif juga sering dilakukan oleh anak dengan autisme. Perilaku berulang adalah bentuk perilaku, aktivitas motoris atau postur tubuh yang dilakukan secara berulang-ulang oleh anak dengan autisme sebagai bagian dari rutinnya. Dalam hal bentuk perilaku berulang motoris anak dengan autisme dapat memunculkan perilaku seperti mengetuk-ngetuk jari (tapping) atau mengepak-kepakan lengannya atau tangannya (flapping). Mengapa perilaku ini muncul? Bagi kita mungkin perilaku berulang tidak bermakna namun bagi anak dengan autisme melakukan perilaku berulang tersebut memberikan efek yang positif. Beberapa anak menikmati kegiatan tersebut karena perilaku berulang merupakan hal yang menyenangkan, misalkan: flapping dilakukan karena anak menikmati tekanan otot tangan yang bergerak-gerak; namun pada beberapa anak perilaku tersebut juga berperan dalam mengendalikan emosinya, misalkan: ketika ia bersemangat ia akan melakukan flapping.

Ada juga perilaku berulang yang ditunjukkan dalam bentuk perilaku kompulsif karena didasari obsesi terhadap suatu obyek, misalkan: sangat tertarik pada balok mainan (lego), lalu melakukan bermain dengan menyusun balok mainan secara terus menerus.

Berikut adalah beberapa bentuk karakteristik perilaku anak dengan autisme:

  1. Ingin melakukan aktivitas dengan urutan tertentu, misalkan: kerjakan A lalu kerjakan B, dan seterusnya
  2. Sulit melakukan berpikir luwes atau fleksibel, misalkan: A harus menggunakan B, jika tidak maka akan salah
  3. Minat yang sangat kuat pada data
  4. Bentuk perilaku motoris yang berulang
  5. Bermain dalam pola repetitif dan stereotipik serta tanpa interaksi sosial dengan teman sebayanya
  6. Memiliki kelekatan terhadap benda; yang tidak mau dilepas atau dibawa ke mana-mana bersama
  7. Memiliki minat dan obsesi pada benta atau aktivitas tertentu

Ketika anak dengan autisme dihambat untuk melakukan perilaku minat terbatas dan perilaku berulang, biasanya mereka akan sangat marah dan sedih. Rutinitas membuat anak dengan autisme mampu memprediksi dan mengelola dunianya, jika ini rusak maka ia sulit memahami dunianya. Akibatnya, anak akan merasa tertekan jika ritual dan rutinitasnya terganggu.

Dengan mengetahui bahwa perilaku minat terbatas dan perilaku berulang sangat berarti bagi anak dengan autisme, maka kita sebagai orang tua dan guru atau terapis perlu mempelajari dan memaknai perilaku anak. Perilaku anak dengan autisme adalah komunikasi. Perilaku mereka ingin menyampaikan sesuatu mengenai apa yang mereka inginkan dan butuhkan. Selayaknya kita tidak hanya serta merta menghilangkan perilaku minat terbatas dan perilaku repetitifnya, namun berusaha memahami perilaku tersebut.

Menghadapi perilaku anak dengan autisme

Jika kita tiba-tiba menghentikan minat terbatas dan perilaku berulang anak, biasanya anak akan marah dan memunculkan perilaku sulit (frustasi).

Pada beberapa kesempatan belajar, sebenarnya minat anak dan perilaku berulangnya dapat kita gunakan sebagai motivator atau hadiah yang diberikan setelah anak belajar perilaku baru. Contohnya: jika anak sangat suka kereta dan sangat sering bermain kereta-keretaan, maka orang tua bisa menggunakan kereta mainan sebagai motivator belajar. Anak diberikan pemahaman secara konkret dan visual (menggunakan alat bantu visual – lihat gambar 1) bahwa setelah menghabiskan makan siang baru dia akan dapat bermain dengan keretanya. Dengan pendekatan ini, kita tidak serta merta menghilangkan perilaku berulang dan minat terbatas anak namun menggunakannya sebagai pendukung belajar perilaku barunya.

Pada kesempatan lain, kita juga mungkin perlu melakukan intervensi atas perilaku minat terbatas dan perilaku berulang anak. Intervensi dalam hal ini berarti:

  1. Menurunkan jumlah atau menghilangkan perilaku, misalkan: mengurangi perilaku tapping agar lebih mau melakukan kontak mata
  2. mengganti perilaku atau aktivitas dengan sesuatu perilaku yang lebih adaptif, misalkan: mengganti perilaku menggigit atau menggeretakkan gigi dengan perilaku menggigit mainan
  3. mengajari agar melakukan perilaku tersebut hanya pada konteks yang tepat/yang disetujui, misalkan: hanya main kereta di rumah tapi tidak di sekolah atau di restoran

Biasanya perilaku yang diintervensi dipilih karena perilaku tersebut memberikan efek yang negatif atau menghambat perkembangan anak dengan autisme. Ada beberapa pertimbangan untuk memilih prioritas intervensi perilaku pada anak dengan autisme:

  1. perilaku menyebabkan luka atau merusak
  2. perilaku menghambat belajar
  3. perilaku menghambat atau membatasi keterlibatan anak dalam aktivitas belajar dan relasi sosial dengan teman/orang lain

Sebaiknya, kita tidak merubah perilaku hanya karena perilaku tersebut menyebalkan atau dianggap orang lain tidak elok. Namun kita perlu mempertimbangkan bagaimana perilaku tersebut bermakna bagi anak. Dengan begitu kita dapat bijak memberikan intervensi yang terbaik bagi anak dan juga lingkungannya.

 

Referensi

Hands-out Workshop on Autism August 2013. Autism Association of Western Australia.

Karakteristik sosial anak dengan autisme

Oleh: Margaretha

Dosen Psikologi Abnormal, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya

social behavior

Ketika anak mulai berkembang, proses interaksi sosialnya bukan lagi hanya dengan orang tua, saudara kandung namun juga dengan keluarga besar, tetangga, masyarakat di sekitarnya. Sosialisasi menjadi lebih luas. Bukan hanya dalam keluarga, namun juga berteman dan bermasyarakat. Sosialisasi adalah proses interaksi dengan orang-orang di sekitar  dan menyesuaikan perilaku dengan harapan sosial atau nilai serta norma berperilaku sosial di dalam suatu kelompok. Dalam proses sosialisasi akan terjadi proses belajar, pembentukan sikap serta pemahaman nilai sosial. Salah satu bagian sosialisasi adalah berteman. Dalam perkembangan anak, berteman dengan teman sebaya adalah salah satu tugas perkembangan yang penting dilakukan sejak usia 3 tahun.

Anak dengan spektrum autisme (ASD), sering mengalami kesulitan dalam berteman. Mereka mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, bermain, berinteraksi dengan teman sebaya; dimana hal-hal ini dapat menyulitkan mereka untuk masuk dalam suatu kelompok sosial dan sulit membentuk persabahatan.

Persahabatan

Melalui persahabatan, manusia mampu mengembangkan hubungan erat antar manusia dan menjadi bagian dari lingkungannya. Manusia mencari pendampingan dari orang di sekitarnya, afeksi dan keintiman melalui persabahatan. Sebagai suatu tugas perkembangan, persabahatan memiliki peran besar dalam perkembangan manusia, beberapa di antaranya adalah:

1. Berteman dapat menjadi sarana belajar peran dalam konteks relasi sosial, dimana anak dapat belajar bagaimana berperan secara sosial bagi orang lain di luar hubungan keluarga (misal: membantu, kompetisi, dll.)

2. Dalam hubungan persahabatan berisi dengan proses menerima dan memberi, hal ini memberikan pengalaman proses belajar “saling” (reciprocal) dan dinamika kelompok

3. Dalam persabahatan, anak dapat belajar memahami dan menjelaskan perilaku orang lain

4. Persahabatan memberikan perasaan terikat dan aman karena membuat seseorang merasa diterima dalam suatu kelompok,

Kesulitan mengembangkan persahabatan pada anak dengan ASD

Anak dengan autisme tidak memahami persahabatan sama seperti anak pada umumnya. Mereka mungkin hapal nama-nama temannya, namun mereka tidak merasakan kedekatan dalam persahabatan seperti anak pada umumnya.

Lebih lanjut terdapat beberapa hambatan untuk mengembangkan persahabatan. Hal ini disebabkan karena:

1. Problem komunikasi: hal ini turut menghambat kemampuan anak dengan autisme untuk dapat memahami komunikasi bahasa dan non bahasa. Mereka juga akan kesulitan memahami aturan sosial dalam suatu hubungan sosial. Karena itu, mereka lebih memilih untuk menjadi pengamat  daripada berpartisipasi dalam suatu interaksi sosial.

2. Problem sensoris: gangguan sensoris sering menghambat mereka untuk terlibat dalam kegiatan sosial, karena biasanya situasi sosial bersifat tidak dapat diprediksi.

3. Problem dengan minat terbatas: karena hal ini mereka kesulitan untuk mengalihkan minat mereka dari benda menuju ke minat pada manusia lain. Kelemahan pada pemusatan perhatian bersama (joint attention) akan sangat tampak pada anak yang masih muda

4. Kelemahan dalam pengelolaan relasi antar manusia: hal in menyebabkan mereka kesulitan mengelola konflik yang dapat muncul dalam suatu relasi sosial. Mereka juga akan kesulitan untuk memulai dan mempertahankan relasi sosial.

Karena kelemahan-kelemahan di atas, anak dengan autisme sering dilihat sebagai anak yang tidak mau menjalin persabahatan karena tidak memiliki minat bersosialisasi. Padahal sebenarnya, anak dengan autisme dapat memiliki keinginan untuk bersahabat namun kesulitan karena memiliki gejala autisme. Akhirnya mereka sering mengalami kesepian (Bauminger & Kasari, 2000). Yang menarik, anak dengan autisme memahami kesepian berbeda dengan anak pada umumnya; jika anak pada umumnya memahami kesepian sebagai keberadaan tanpa teman dan munculnya perasaan sedih, tapi anak dengan autisme hanya akan melaporkan keadaan tanpa teman tanpa disertai dengan atribut emosi negatif dari suatu keadaan sepi. Hal ini menunjukkan bahwa anak dengan autisme memiliki minat dan keinginan melakukan interaksi sosial, namun mereka tidak mampu mengembangkannya secara alamiah. Mereka membutuhkan bantuan untuk dapat memahami dan berinteraksi dengan orang lain.

Strategi mengembangkan persahabatan dengan anak dengan autisme

Anak dengan autisme perlu dibantu untuk melakukan interaksi sosial dan mengembangkan hubungan persahabatan. Berikut adalah beberapa hal yang dapat dilakukan oleh orang tua dan guru:

  1. Ajari anak apa arti teman dan apa artinya bukan teman. Jelaskan dengan konkret apakah yang dimaksud dengan teman dan bagaimana menjalin hubungan persahabatan, siapa sahabat dan sebagainya.
  2. Kenalkan anak dengan hal-hal positif dari persahabatan. Berikan contoh konkret mengenai apa saja hal-hal positif yang dapat dialami anak jika memiliki sahabat, agar anak paham mengapa bersahabat penting dan menarik.
  3. Kembangan pemahaman sosial anak tentang aturan sosial dalam bersahabat dalam berbagai situasi sosial. Misalkan apa saja yang dapat dilakukan bersama dengan teman dan yang tidak dilakukan dengan teman.
  4. Ajari anak kemampuan sosial. Gunakan cerita sosial bergambar yang menunjukkan tentang apa yang dilakukan seorang anak dengan temannya, serta jelaskan mengapa kemampuan sosial penting baginya. Misalkan: ajari dan latihan dengan anak tentang bagaimana berkenalan dengan teman baru.
  5. Ajari pula tentang apa yang harus dilakukan anak jika terjadi persoalan dalam pertemanan. Misalkan: jika teman marah, apa yang harus dilakukannya.
  6. Berikan catatan pengingat baik dalam bentuk cerita maupun gambar agar anak dapat mengingat kembali apa yang harus dia lakukan dalam suatu interaksi sosial.
  7. Berikan feedback dan reward ketika anak melakukan interaksi sosial dan mampu menjalin persahabatan.

Bersahabat adalah hal yang penting bagi anak dengan autisme; namun juga sangat penting agar anak juga tidak merasa stress atau tertekan ketika berada dalam suatu situasi sekolah. Misalkan, sedapat mungkin orang tua dan guru membantu anak untuk dapat menurunkan tingkat stress anak dengan autisme ketika melakukan interaksi sosial di sekolah, dengan memperhatikan gangguan sensoris, atau emosi anak.

Perlu dipahami bahwa bagi anak dengan autisme, berinteraksi sosial adalah suatu proses yang cukup menyita pikiran dan energi. Setelah interaksi sosial anak dengan autisme perlu diberikan kesempatan untuk menjadi mereka sendiri. Ada beberapa anak yang membutuhkan beberapa waktu untuk diam atau menarik diri dari interaksi sosial di kelasnya (misalkan duduk diam tidak berbicara), namun ada juga anak yang perlu diberikan waktu sendiri di ruang tertentu, sebagai waktu mereka untuk relaks dan waktu untuk menurunkan kelelahan mereka.

Simpulan

Dalam rentang spektrum autisme, sebagian anak menginginkan interaksi sosial, sedangkan yang lain terlihat tidak membutuhkan teman secara khusus. Ada anak dengan autisme yang mampu menjalin persahabatan dan melakukan interaksi sosial dengan teman-temannya. Namun tetap penting kita memperhatikan kemampuan dan kebutuhan anak dengan autisme.

Referensi:

Bauminger, N. & Kasari, C. (2000). Loneliness and friendship in high-functioning children with autism. Child Development, 71, 447-456.

Hands-out Workshop on Autism August 2013. Autism Association of Western Australia.

Profil Inderawi Anak dengan Autisme

Margaretha,
Dosen Psikologi Universitas Airlangga

sensory overload

Persoalan pada salah satu atau beberapa kemampuan pemrosesan inderawi sering ditemukan pada anak dengan autisme. Walaupun tidak masuk dalam gejala klinis yang mendasari diagnosa klinis autisme, namun gangguan pada sistem inderawi sering muncul secara khas. Tulisan ini akan menggambarkan sedikit infromasi mengenai profil karakteristik inderawi anak dengan autisme.

Proses inderawi

Proses inderawi adalah terkait dengan informasi dari lingkungan yang diterima oleh organ inderawi manusia. Secara umum ada 5 organ inderawi yang telah dikenal, yaitu: penglihatan, pendengaran, pembauan, perasa, dan peraba. Namun selain itu ada juga sistem penginderaan yang sering digunakan manusia, yaitu vestibular dan proprioseptif. Vestibular adalah sistem inderawi yang mampu mendeteksi keseimbangan dan gerak, dengan reseptor organ vestibular di dalam telinga. Proprioseptif adalah sistem yang memproses informasi dari otot dan sendi tubuh manusia sehingga individu paham dimana letak tubuh dan gerak tubuhnya, seperti ketika berjalan.

Pemrosesan inderawi pada anak dengan autisme

Informasi yang diterima oleh organ inderawi akan diteruskan untuk diproses di otak dan menentukan respon perilaku seseorang, hal ini disebut sebagai pemrosesan inderawi. Anak dengan autisme biasanya memiliki persoalan dalam pemrosesan inderawi, terutama dalam beberapa hal, yaitu:

  1. Kesadaran sensoris,
  2. Atensi sensoris,
  3. Interpretasi,
  4. Reaksi

Gangguan inderawi ini dapat membuat anak dengan autisme mengalami kesulitan untuk berkomunikasi, berinteraksi sosial dan belajar. Misalkan, anak dengan autisme sering terlihat sangat peka terhadap cahaya atau suara keras (problem dengan sistem visual dan auditoris), maka mereka jadi sering marah dan tidak mau belajar atau melihat orang lain jika mendengar suara keras atau melihat cahaya dari lampu neon. Oleh karena itu, ahli anak dengan autisme perlu membuat profil sistem inderawi anak dengan kebutuhan khusus agar dapat memahami anak dan berguna pula untuk dapat menentukan cara-cara untuk dapat membantu anak secara optimal.

Mengapa persoalan pemrosesan inderawi ini dapat terjadi pada anak dengan autisme? Ada 2 hal yang biasanya menjadi penyebab: 1) gangguan pemrosesan informasi dan asosiasi inderawi di otak, dan 2) terjadi pengalaman emosional negatif yang membuat anak belajar mengasosiasikan pengalaman sensoris tertentu dengan respon negatif. Misalnya, pengalaman makan makanan renyah pernah diasosiasikan dengan rasa sakit di mulut sewaktu sedang makan dulu, sehingga sekarang anak menjadi tidak menyukai makanan renyah.

Kepekaan rangsang inderawi pada anak dengan autisme

Secara umum, gangguan kepekaan rangsang inderawi dibagi dalam 2 kutub: sangat peka (over-sensitive dan over-responsive) dan kurang peka (under-sensitive dan under-responsive). Anak yang sangat peka, ketika menghadapi stimulus sedikit saja sudah merasa sepertinya jumlahnya terlalu banyak, akibatnya mereka akan mencoba menghindari stimulus (avoiding). Sedangkan bagi anak yang kurang peka, sepertinya harus mendapatkan jumlah stimulus yang lebih banyak sebelum akhirnya merasa perlu merespon, akibatnya mereka cenderung dilihat sebagai anak yang mencari rangsang inderawi (seeking).

Jika anak kurang peka dihadapkan dalam situasi kurang rangsangan maka ia akan tidak fokus atau terlihat tidak termotivasi dan kurang termotivasi. Dan sebaliknya jika anak yang peka dihadapkan dengan stimulus berlebih maka ia akan menjadi sangat reaktif dan stress. Penting kita ketahui bagaimana anak memproses kepekaan mereka agar kita ketahui tingkat pemrosesan optimal mereka, yaitu jumlah rangsang yang pas atau tepat, yang tidak membuat mereka cemas atau malas. Selain itu, ada juga anak yang memiliki profil campuran, dimana dalam satu ranah inderawi mereka bisa menjadi peka tapi juga kurang peka. Contohnya: sangat tidak suka mendengar suara keras yang tiba-tiba, namun sering menyetel televisi keras-keras.

Profil inderawi anak dengan autisme

Berikut adalah beberapa gambaran gangguan pemrosesan inderawi pada anak dengan autisme.

1. Visual

Kepekaan terhadap rangsang cahaya sering muncul pada anak dengan autisme. Baik mencari rangsang cahaya atau menghindarinya. Ada anak menyukai bermain dengan cahaya dari balik obyek dan melihat kombinasi cahaya dan bayangan jatuh di permukaan tanah. Anak dengan autisme yang sangat peka sering ditemukan kurang bisa beraktivitas dengan lampu neon, karena penjaran cahayanya dilihat sebagai kedip-kedip cahaya yang menggunggu. Biasanya ketika menghindari mereka akan menutup mata, berkedip atau mengalihkan penglihatannya ke tempat lain.

2. Auditoris

Kepekaan suara juga sering ditemukan. Ada yang akan stress ketika mendengar suara keras atau suara tuba-tiba, namun ada pula yang mencari suara keras atau berteriak keras. Anak yang menyukai suara keras akan menyukai mainan yang menghasilkan suara keras, bernyangi keras-keras. Anak yang menghindari suara akan menutup telinga, bereaksi marah dan mulai menunjukkan kecemasannya.

3. Perabaan

Beberapa anak menunjukkan kepekaan perabaan dengan kesulitan berganti jenis kain pakaiannya, misalkan tidak bisa pakai wol atau tidak suka label baju karena seperti mengganggu kulitnya. Sedangkan anak yang menyukai informasi taktil sering terlihat menyentuh berbagai tekstur, obyek ataupun orang lain.

4. Pembauan

Anak yang peka akan menjauhi jenis bau-bau tertentu ataupun jika bau terlalu kuat. Sedangkan anak yang mencari stimulus pembauan bisa tampak mencari atau membaui berbagai obyek dan menyukai parfum.

5. Perasa

Anak dengan autisme dapat menjadi anak yang sangat memilih makanannya, misalkan hanya mau makan jenis makanan tertentu saja, atau makanan pada suhu tertentu. Hal ini juga terkait dengan perilaku minat terbatasnya, yang hanya mau makan dalam rutinitas tertentut ada dengan cara-cara tertentu. Contohnya: anak mau makan wortel mentah tapi tidak suka makan wortel yang dimasak, dan cara penyajiannya harus dipotong panjang-panjang.

6. Vestibular

Anak bisa tampak bergerak terus dan tidak bisa diam, hingga anak yang sangat menghindari gerak bahkan tampak stress jika diminta ikut dalam permainan gerak. Kekurangan kemampuan vestibular juga membuat anak dapat tampak seperti kurang mampu menjaga keseimbangan.

7. Proprioseptif

Anak dengan autisme lebih banyak menunjukkan kebutuhan proprioseptif yang tinggidan jarang ditemukan yang sebaliknya. Maka anak akan terlihat seperti selalu mencari tekanan otot dan sendi, sehingga sering melompat, memanjat dan menabrakan diri ke obyek lain agar mengalami benturan yang membuat otot tubuh mereka berkontraksi.

Menghadapi kebutuhan inderawi anak dengan autisme

Untuk menangani kebutuhan inderawi anak dengan autisme yang khas ini, orang tua dan guru dapat melakukan beberapa hal, yaitu:

  1. Memberikan peringatan sebelum anak mengalami peristiwa inderawi yang mereka peka, misalkan: anak yang peka terhadap suara keras, harus diperingati sebelumnya bahwa akan ada suara keras. Hal ini dilakukan agar anak bisa mengantisipasi pengalaman sensorisnya sehingga stressnya tidak terlalu tinggi.
  2. Jangan memaksakan mereka untuk menghadapi pengalaman inderawi yang mereka tidak suka, hal ini hanya akan memberikan dampak emosi negatif pada anak
  3. Perkenalkan atau tunjukkan secara perlahan dan bertahap pengalaman inderawi kepekaan mereka. Misalkan, perlahan-lahan perdengarkan suara musik yang awalnya kecil lalu semakin lama semakin keras suaranya.
  4. Berikan anak kemampuan kontrol atas rangsang kepekaannya; hal ini penting untuk membuat mereka merasa punya kontrol diri. Misalnya, ajarkan mereka mengendalikan tombol suara di radio sehingga mereka tahu bagaimana mengendalikan kekerasan suara.

Semua informasi ini menjelaskan bahwa profil inderawi anak dengan autisme akan berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Sama seperti kita pada umumnya, memiliki minat dan tingka kepekaan atas rangsangan inderawi yang mampu kita terima. Sedapatnya hal in digunakan untuk memahami dan membantu anak dengan autisme. Misalkan, membantu dalam menantukan diet makanan, pola pengelolaan stres, mengenali kelelahan, serta gangguan sakit serta medikasinya.

Referensi

Hands-out Workshop on Autism August 2013. Autism Association of Western Australia.

Mendeteksi Anak dengan Autisme

Margaretha,
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

autism

Di sebuah Panti Asuhan, ada anak M yang hampir berusia 2 tahun. Kira-kira setiap 10 kali pengasuh berusaha memanggil namanya, hanya 1 kali saja dia mau melirik orang yang memanggil. Tadinya ditakutkan hal ini karena pendengarannya, namun Dokter menyatakan pendengarannya normal. Belum ada 1 katapun yang bisa diucapkannya. Dia sangat sulit untuk diajak bermain bersama. Jarang sekali melakukan kontak mata dengan pengasuhnya; atau bahkan hampir tidak pernah terlihat tertawa ketika bermain dengan pengasuh. Jika bermain M bisa cukup lama melihat tangannya yang diangkat ke atas , hanya melihat jemari tangannya bisa asik sendiri sampai beberapa lama. Hingga saat ini ia belum pernah terlihat bermain bersama atau berinteraksi dengan anak-anak seumurannya. Pengasuhnya mulai cemas, apakah ini Autisme?

Sebelum ditegakkannya diagnosa, anak dengan gejala-gejala seperti M sering mendapatkan diagnosa keterlambatan perkembangan, seperti: terlambat perkembangan kemampuan bicara atau motorik. Hal ini dilakukan karena menunggu perkembangan anak yang memang bisa terjadi berbeda-beda. Secara umum, pada usia 2-3 tahun, gejala autisme pada anak sudah dapat diidentifikasi secara dini.

Identifikasi dini Autisme

Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders V (DSM V, 2013) dijelaskan bahwa gejala autisme memiliki 2 gejala utama: 1) komunikasi sosial, serta 2) minat terbatas dan perilaku berulang. Hal ini berbeda dengan uraian gejala di dalam DSM IV TR (DSM IV TR, 2000) yang masih menggunakan Triad of Impairment, yaitu: 1) gangguan komunikasi, 2) gangguan sosial, dan 3) gangguan perilaku dengan minat terbatas dan perilaku berulang. Namun secara umum, panduan-panduan ini menyiratkan bahwa diagnosa Autisme diberikan ketika anak menunjukkan kesulitan untuk melakukan komunikasi dan penyesuaian sosial disebabkan oleh keunikan perilakunya. Keunikan perilaku ini disebabkan minatnya yang terbatas pada beberapa obyek atau aktivitas; namun keunikan ini juga disebabkan oleh pola kognitif dan kebutuhan sensorisnya yang berbeda dari anak pada umumnya. Hal-hal ini dapat dijadikan panduan untuk mengidentifikasi anak dengan gejala autisme secara dini.

Walaupun tidak ada anak dengan autisme yang menunjukkan gejala yang persis sama, namun secara umum mereka akan menampilkan gejala perilaku sosial, komunikasi, perilaku berulang dan minat terbatas, juga disertai dengan munculnya keunikan pola kognitif dan kemampuan sensorisnya.

Masalah komunikasi dan interaksi sosial

Dalam komunikasi dan interaksi sosial, anak dengan autisme mengalami hambatan dalam:

  1. Sulit berteman atau berinteraksi dengan teman sebaya
  2. Tidak atau kurang memahami antri dan bermain peran
  3. Kurang memhaami ruang pribadi orang lain (other’s personal space)
  4. Kurang menghargai apa yang orang lain sampaikan
  5. Kesulitan memprediksi niat dan perilaku orang lain
  6. Kesulitan memahami informasi abstrak
  7. Kesulitan menjalin komunikasi dan percakapan social
  8. Sulit memahami perasan dan pikiran orang lain
  9. Sulit memahami norma-norma dalam interaksi sosial dan konteks social
  10. Sulit bermain imaginatif

Kesulitan-kesulitan ini membuat anak dengan autisme sering dianggap bermasalah atau nakal di lingkungannya.

Masalah sensoris

Banyak anak dengan autism merespon secara berbeda atas suatu stimulus sensoris. Suara yang dianggap biasa orang anak pada umumnya, dapat terdengar sangat keras dan menyakitkan bagi sebagian anak dengan autisme. Sinar yang terang, bau, rasa, tekstur yang berbeda dapat mengganggu oleh karena itu lingkungan dimana anak dengan autisme belajar perlu  dikondisikan agar memberikan stimulus sensoris yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan sensoris mereka.  Atau mereka membutuhkan rangsang gerak yang cukup intens agar mereka dapat menenangkan diri, contohnya: anak membutuhkan gerakan aktif sebelum bisa mulai belajar fokus. Maka adalah sangat penting untuk dapat mengidentifikasi kebutuhan sensoris anak dengan autisme, agar dapat membantu mereka untuk melakukan aktivitas sehari-hari dengan optimal dan minimal gangguan sensoris. Hal ini disebut sebagai kebutuhan sensoris yang khas pada anak dengan autisme.

Profil kognitif

Anak dengan autisme memiliki kesulitan mentransfer pemahaman yang telah mereka pelajari pada berbagai konteks baru. Hal ini terjadi karena proses berpikir konkret membuat mereka fokus pada detail dan sulit melihat konteks secara umum. Contohnya: jika mereka belajar meminta tolong pada orang tua, mereka kesulitan untuk menerapkan perilaku minta tolong pada temannya, karena mereka tidak memahami bagaimana perilaku tersebut ditransfer pada konteks baru atau orang lain. Biasanya profil kemampuan kognitifnya juga berisi ketidaksetaraan antara kemampuan-kemampuan diri, ada satu yang sangat baik namun di lain kemampuan sangat rendah. Contohnya: si anak bisa saja sangat baik menghapal namun angka tapi sangat sulit memahami informasi bahasa abstrak.

Beberapa tanda gejala autisme

Berikut ini adalah beberapa gejala yang dapat menjadi perhatian orang tua atau guru untuk mengenali autisme.

Area Gejala yang perlu dipelajari
Komunikasi sosial
  • Tidak menyahut atau tidak merespon secara konsisten  ketika dipanggil namanya
  • Tidak senyum pada pengasuh
  • Tidak menggunakan komunikasi gerak tubuh secara mandiri ketika berbicara, contoh: tanpa disuruh tidak paham untuk mengayunkan tangan untuk  menyatakan selamat tinggal
  • Tidak menunjukkan minat bermain dengan anak lain
  • Tidak menunjukkan minat bermain cilukba atau bermain peran (misal: berperan sebagai Dokter atau Ibu)
Komunikasi dan pemahaman
  • Tidak melakukan kontak mata untuk mendapatkan perhatian atau berkomunikasi
  • Tidak menunjuk untuk menarik perhatian orang lain untuk melihat hal yang sedang menarik perhatiannya (atensi bersama)
  • Tidak memahami kalimat instruksi sederhana satu langkah, seperti: tunjukkan mana anjingnya
Perilaku
  • Memiliki minat berlebih pada sutau obyek dan menjadi terpaku pada obyek tersebut
  • Fokus berlebih pada suatu aktivitas atau obyek dan bisa menghabiskan waktu yang cukup lama
  • Mudah frustasi jika ada perubahan rutinitas sehari-harinya, misalkan: tidur harus dengan tata cara yang sama setiap malamnya
  • Mengulang beberapa gerak tubuh atau memiliki pola gerak tubuh yang tidak biasa, seperti: mengayunkan tangan, berjalan berjinjit
Sensoris
  • Sangat sensitif pada rangsang sensasi tertentu, misalkan mudah terganggu jika ada suara keras atau hanya mau makan yang keras saja
  • Mencari rangsang sensasi tertentu, seperti: menyukai gerakan tubuh cepat, menjetikkan jari, menekan tubuh, mengedip-kedipkan mata untuk mengurangi cahaya masuk ke mata

Perlu digarisbawahi, panduan di atas adalah untuk memudahkan orang untuk mengenali berbagai gejala yang terkait dengan sindroma Autisme, namun bukan untuk melakukan diagnosa klinis. Apalagi bukan untuk melabel anak dengan autisme. Jika kita mengamati anak yang memunculkan gejala-gejala tersebut, maka penting membawa anak tersebut ke profesional. Barulah disana akan dilakukan serangkaian pemeriksaan psikologis untuk menentukan apakah gejala yang dimunculkan anak dapat diberikan diagnosa sebagai gangguan autisme.

Bagaimana autisme didiagnosa?

Autisme sebaiknya didiagnosa oleh tim ahli dari berbagai disiplin ilmu. Tim bisa terdiri dari Ahli perkembangan anak, Dokter, Ahli wicara, dan Psikolog. Biasanya anak dengan autisme dibawa ke ahli medis terlebih dulu, lalu dokter akan membawa kasus temuannya untuk didiskusikan dengan berbagai ahli klinis kesehatan anak. Idealnya semua ahli harus sepakat untuk menentukan suatu diagnosa.

Perlu dipahami bahwa gejala autisme tidak sama dengan keterlambatan perkembangan. Karena secara khas gangguan komunikasi, interaksi sosial, perilaku serta keunikan kognitif dan sensoris akan muncul pada anak yang mengalami autisme. Sedangkan pada keterlambatan perkembangan akan lebih spesifik pada hambatan perkembangan kemampuan tertentu pada anak. Lebih lanjut, gejala autisme juga harus ditunjukkan secara kontinyu selama masa perkembangan anak; atau bukan sekedar respon atas suatu stimulus atau kondisi medis sementara (misalkan gejala hanya muncul karena sakit dan setelah minum obat).

Tidak ada satu cara atau satu tes untuk menentukan Autisme. Diagnosa juga perlu mempertimbangkan hasil pembicaraan dengan orang tua, untuk mengetahui riwayat anak, dan mengobservasi bagaimana perilaku dan gejala anak. Ketika anak sudah mendapatkan diagnosa, maka anak dapat memulai treatmentnya secara intensif untuk mengoptimalisasi perkembangannya.

Referensi

Hands-out Workshop on Autism August 2013. Autism Association of Western Australia.

Mitos mengenai Autisme

Margaretha,
Dosen Psikologi Abnormal Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
rumah autisme
Ada banyak mitos mengenai Autisme Spektrum Disorder (ASD), berikut adalah beberapa mitos yang mungkin sering atau pernah anda dengar. Dalam tulisan ini akan memberikan sedikit penjelasan yang menunjukkan bahwa mitos-mitos ini salah.
1. ASD adalah gangguan perilaku, emosional atau gangguan mental
ASD adalah gangguan perkembangan yang disebabkan pekembangan otak anak tidak berjalan dengan optimal. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai persoalan perkembangan pada pada individu dengan ASD.
2. Adanya epidemi ASD
Walaupun banyak anak yang terdiagnosa ASD tapi bukan berarti ini adalah epidemi atau ASD didapat melalui penularan. Hal ini terjadi salah satunya adalah karena perubahan dalam sistem pendiagnosaan ASD sehingga deteksi lebih mudah dilakukan. Lebih lanjut, kesadaran masyarakat mengenai ASd juga meningkat sehingga lebih mungkin mendiagnosa ASD lebih dini.
3. Vaksinasi anak menyebabkan ASD
Ada yang menyatakan bahwa ASD disebabkan oleh vaksinasi Rubella (MMR), atau yang lain menyatakan karena efek penggunaan merkuri (thiomersal) yang dulunya pernah digunakan dalam vaksinasi. Namun, tidak ada juga dukungan ilmiah mengenai mitos ini. Penelitian menemukan tidak ada korelasi antara vaksinasi dan ASD.
4. Banyak anak dengan ASD memiliki kemampuan ‘savant’ yang luar biasa
Savant adalah kemampuan dan keahlian spesifik yang luar biasa di atas orang-orang pada umumnya, misalkan: menghapal angka, atau mengkatalogkan obyek. Walau sebagian individu dengan ASD memiliki savant, namun sebagian besar tidak memilikinya.
5. Semua orang dengan ASD adalah sama
Setiap individu dengan ASD bisanya memiliki hambatan dalam melakukan komunikasi, interaksi sosial dan perilaku minat terbatas serta berulang, namun tingkatan dan jenisnya berbeda-beda satu dengan yang lain.
6. Orang dengan ASD tidak merasakan emosi
Anak dengan ASD sangat mampu merasakan emosi, namun mereka mengalami kesulitan untuk menunjukkan atau mengekspresikan emosinya serta mengkomunikasikan emosinya. Namun mereka dapat belajar bagaimana mengenali dan merespon emosi orang lain. Mereka dapat menunjukkan afeksinya namun dengan cara mereka.
7. Orang dengan ASD tidak dapat membangun relasi intim dan mendalam
Kesulitan sosial membuat mereka membangun relasi intim dan mendalam secara berbeda dari orang-orang pada umumnya. Namun, penelitian membuktikan bahwa individu dengan ASD mampu menjalin relasi dekat dengan keluarganya, dapat menjalin persahabatan melalui pengembangan aktivitas dengan minat yang sama.
8. Orang dengan ASD tidak bisa belajar
Anak dengan ASd dapat belajar. Namun orang tua, guru dan orang-orang di sekitarnya perlu memahami gaya dan kemampuan belajar anak. Orang-orang di sekelilingnyalah yang harus membantu menyesuaikan metode belajar dan pengajaran agar sesuai dengan kekuatan berpikir dan belajar anak dengan ASD.
9. Orang dengan ASD tidak mungkin memiliki gangguan lain dalam hidupnya
Individu dengan ASD dapat mengalami persoalan psikologis atau fisik lainnya, misalkan hambatan perkembangan intelektual, epilepsi, atau sindrom kerentanan X (fragile x syndrome). Lebih lanjut, selama masa perkembangannya mereka juga dapat mengalami frustasi dan persoalan emosi lainnya, seperti: stress dan depresi. Sama seperti orang-orang pada umumnya.
10. ASD disebabkan Ibu yang ‘dingin’
Tahun 1967, pernah disebutkan bahwa ASD muncul karena anak diasuh oleh Ibu yang dingin, pengabaian, tidak hangat, tidak memberikan rangsang emosional dan ketidaklayakan pengasuhan. Namun perlu diketahui, ASD juga ditemukan pada relasi orang tua yang mau memberikan kehangatan pada anaknya. Jadi tidak ada bukti yang bisa mendukung mitos ini.
11. ASD dapat disembuhkan atau akan menghilang dengan sendirinya seiring perkembangan hidup
ASD tidak hilang seiring perkembangan dan pertambahan usia manusia. Namun anak dengan ASD akan sangat terbantu dalam mengelola gejala gangguannya, jika mendapatkan intervensi dini. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak dengan ASD yang mendapatkan intervensi dini akan mengalami perkembangan yang lebih optimal.
Sumber:
Raising Children Network (2013). Myths about ASD. Dibaca dari www.raisingchildren.net.au

Perubahan Diagnosa Klinis Autisme dalam DSM V

Margaretha,
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.
 autism-diagnosis
Di bulan Mei 2013 ini, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders V (DSM V; American Psychiatry Association) telah terbit. Dan didalamnya berisi perubahan mengenai proses pembuatan diagnosa klinis Autisme. Perubahan memahami Autisme yang dilakukan oleh APA dinyatakan telah didasarkan pada riset dalam bidang Autisme. Tulisan ini akan menggambarkan perubahan diagnosa Autisme di dalam DSM V.

Diagnosa Autisme

Profesional dalam bidang kesehatan mental, seperti: Dokter Anak, Psikiater dan Psikolog biasa menggunakan DSM dalam menyusun diagnosa Autisme. DSM memberikan panduan dan penjelasan mengenai berbagai gejala dan tanda-tanda yang terkait dengan autisme. DSM juga memberikan kriteria mengenai berapa jumlah gejala yang harus tampak untuk dapat menegakkan diagnosa klinis autisme.

Perubahan diagnosa di DSM V

Ada beberapa perubahan diagnosa dalam DSM V yang perlu dipahami oleh profesional dalam bidang kesehatan mental.

1. Satu diagnosa gangguan Autisme Spektrum (Autism Spectrum Disorder).

Diagnosa ASD menggantikan berbagai diagnosa klinis terdahulu seperti Gangguan Autistik, Asperger, dan Ganggan Pervasive yang tidak spesifik.

2. Kriteria derajat keberatan gejala.

Dalam diagnosa ASD diperkenalkan juga kontinuum derajat keberatan autisme, dari level 1, 2, 3. Tingkatan ini didasarkan pada sejauhmana anak membutuhkan dukungan orang lain dalam melakukan tugas perkembangannya. Tingkatan ini menunjukkan bahwa ada anak dengan tingkat ASD ringan dan ada pula yang tingkat gangguan lebih berat.

4. Diagnosa ASD dari Triadic menjadi Dyadic

Sebelumnya diagnosa autisme ditegakkan jika muncul gangguan pada 3 ranah, yaitu: komunikasi dan bahasa, interaksi sosial dan perilaku minat terbatas dan berulang (DSM IV TR, 2000). Namun dalam DSM V, diagnosanya menjadi 2 ranah, yaitu: hambatan komunikasi sosial (deficits in social communication) dan minat yang terfiksasi dan perilaku berulang (fixated interest and repetitive behavior).

5. Profil sensoris autisme

Sebelumnya problem sensoris atau inderawi autisme tidak disebutkan dalam DSM IV. Dalam DSM V, profil sensoris anak dengan ASD dimasukkan dalam gejala minat yang terfiksasi dan perilaku berulang. Misalkan: tidak menyukai makanan tertentu yang memiliki warna atau tekstur tertentu.

6. Gejala yang telah muncul sejak masa kanak

Menurut DSM V, diagnosa ASD bisa ditegakkan jika anak telah menunjukkan gejala sejak masa kanak. Walaupun gangguan ASD baru diketahui setelah masa kanak, namun penting untuk melihat dyadic tersebut yang menunjukkan bahwa anak memiliki persoalan dalam hal sosial dan perilaku dibandingkan anak-anak seusianya.

7. Diagnosa comorbid

Dalam DSM V, dijelaskan bahwa jika anak menampilkan gejala dari beberapa gangguan, maka ia bisa mendapatkan diagnosa komorbid. Diagnosa komorbid adalah jika anak  mendapatkan 2 diagnosa gangguan atau lebih. Misalkan, anak dengan ASD dan ADHD.

8. Perbedaan diagnosa Gangguan komunikasi sosial dan ASD

Perbedaannya adalah Gangguan komunikasi sosial (Social Communication Behavior) tidak mencakup problem perilaku minat terbatas dan berulang. Karena ini adalah kriteria yang baru, ahli klinis perlu lebih mempelajarinya agar lebih terbiasa menggunakannya.

Perubahan ini akan mempengaruhi proses pembuatan diagnosa di seluruh dunia. Di Australia, mulai saat ini proses diagnosa ASD telah mulai menggunakan DSM V. Namun di Indonesia proses diagnosa ASD belum dilakukan dengan panduan DSM V.

Sumber:

Raising Children Network (2013). DSM V: Diagnosis of ASD. Dibaca dari www.raisingchildren.net.au

Ten Things Every Child with Autism Wishes You Knew

by Ellen Notbohm

Some days it seems the only predictable thing about it is the unpredictability. The only consistent attribute—the inconsistency. Autism can be baffling, even to those who spend their lives around it. The child who lives with autism may look “normal” but his behavior can be perplexing and downright difficult.

Autism was once labeled an “incurable disorder,” but that notion has crumbled in the face knowledge and understanding that increase even as you read this. Every day, individuals with autism show us that they can overcome, compensate for and otherwise manage many of autism’s most challenging characteristics. Equipping those around our children with simple understanding of autism’s basic elements has a tremendous impact on their ability to journey towards productive, independent adulthood.

Autism is a complex disorder but for purposes of this article, we can distill its myriad characteristics into four fundamental areas: sensory processing challenges, speech/language delays and impairments, the elusive social interaction skills and whole child/self-esteem issues. And though these four elements may be common to many children, keep front-of-mind the fact that autism is a spectrum disorder: no two (or ten or twenty) children with autism will be completely alike. Every child will be at a different point on the spectrum. And, just as importantly, every parent, teacher and caregiver will be at a different point on the spectrum. Child or adult, each will have a unique set of needs.

Here are ten things every child with autism wishes you knew:

1. I am a child.

My autism is part of who I am, not all of who I am. Are you just one thing, or are you a person with thoughts, feelings, preferences, ideas, talents, and dreams? Are you fat (overweight), myopic (wear glasses) or klutzy (uncoordinated)? Those may be things that I see first when I meet you, but you’re more than just that, aren’t you?

As an adult, you have control over how you define yourself. If you want to single out one characteristic, you can make that known. As a child, I am still unfolding. Neither you nor I yet know what I may be capable of. If you think of me as just one thing, you run the danger of setting up an expectation that may be too low. And if I get a sense that you don’t think I “can do it,” my natural response will be, why try?

2.  My senses are out of sync.

This means that ordinary sights, sounds, smells, tastes, and touches that you may not even notice can be downright painful for me. My environment often feels hostile. I may appear withdrawn or belliger­ent or mean to you, but I’m just trying to defend myself. Here’s why a simple trip to the grocery store may be agonizing for me.

My hearing may be hyperacute. Dozens of people jabber at once. The loudspeaker booms today’s special. Music blares from the sound system. Registers beep and cough, a coffee grinder chugs. The meat cutter screeches, babies wail, carts creak, the fluorescent lighting hums. My brain can’t filter all the input and I’m in overload!

My sense of smell may be highly sensitive. The fish at the meat counter isn’t quite fresh, the guy standing next to us hasn’t showered today, the deli is handing out sausage samples, the baby in line ahead of us has a poopy diaper, they’re mopping up pickles on aisle three with ammonia. I feel like throwing up.

And there’s so much hitting my eyes! The fluorescent light is not only too bright, it flickers. The space seems to be moving; the pulsating light bounces off everything and distorts what I am seeing. There are too many items for me to be able to focus (my brain may compensate with tunnel vision), swirling fans on the ceiling, so many bodies in constant motion. All this affects how I feel just standing there, and now I can’t even tell where my body is in space.

3.  Distinguish between won’t (I choose not to) and can’t (I am not able to).

It isn’t that I don’t listen to instructions. It’s that I can’t understand you. When you call to me from across the room, I hear “*&^%$#@, Jordan. #$%^*&^%$&*.” Instead, come over to me, get my attention, and speak in plain words: “Jordan, put your book in your desk. It’s time to go to lunch.” This tells me what you want me to do and what is going to happen next. Now it’s much easier for me to comply.20 21

4.  I’m a concrete thinker. I interpret language literally.

You confuse me by saying, “Hold your horses, cowboy!” when what you mean is, “Stop running.” Don’t tell me something is “a piece of cake” when there’s no dessert in sight and what you mean is, “This will be easy for you to do.” When you say, “It’s pouring cats and dogs,” I see pets coming out of a pitcher. Tell me, “It’s raining hard.”

Idioms, puns, nuances, inferences, metaphors, allusions, and sarcasm are lost on me.

5.  Listen to all the ways I’m trying to communicate.

It’s hard for me to tell you what I need when I don’t have a way to describe my feelings. I may be hungry, frustrated, frightened, or confused but right now I can’t find those words. Be alert for body language, withdrawal, agitation or other signs that tell you something is wrong. They’re there.

Or, you may hear me compensate for not having all the words I need by sounding like a little professor or movie star, rattling off words or whole scripts well beyond my developmental age. I’ve memorized these messages from the world around me because I know I am expected to speak when spoken to. They may come from books, television, or the speech of other people. Grown-ups call it echolalia. I may not under­stand the context or the terminology I’m using. I just know that it gets me off the hook for coming up with a reply.

6.  Picture this! I’m visually oriented.

Show me how to do something rather than just telling me. And be prepared to show me many times. Lots of patient practice helps me learn.

Visual supports help me move through my day. They relieve me of the stress of having to remember what comes next, make for smooth transition between activities, and help me manage my time and meet your expectations.

I need to see something to learn it, because spoken words are like steam to me; they evaporate in an instant, before I have a chance to make sense of them. I don’t have instant-processing skills. Instructions and informa­tion presented to me visually can stay in front of me for as long as I need, and will be just the same when I come back to them later. Without this, I live the constant frustration of knowing that I’m missing big blocks of information and expectations, and am helpless to do anything about it.

7.  Focus and build on what I can do rather than what I can’t do.

Like any person, I can’t learn in an environment where I’m con­stantly made to feel that I’m not good enough and that I need fixing. I avoid trying anything new when I’m sure all I’ll get is criticism, no matter how “constructive” you think you’re being. Look for my strengths and you will find them. There is more than one right way to do most things.

8.  Help me with social interactions.

It may look like I don’t want to play with the other kids on the playground, but it may be that I simply do not know how to start a conversation or join their play. Teach me how to play with others. Encourage other children to invite me to play along. I might be delighted to be included.

I do best in structured play activities that have a clear beginning and end. I don’t know how to read facial expressions, body language, or the emotions of others. Coach me. If I laugh when Emily falls off the slide, it’s not that I think it’s funny. It’s that I don’t know what to say. Talk to me about Emily’s feelings and teach me to ask, “Are you okay?”

9.  Identify what triggers my meltdowns.

Meltdowns and blow-ups are more horrid for me than they are for you. They occur because one or more of my senses has gone into overload, or because I’ve been pushed past the limit of my social abilities. If you can figure out why my meltdowns occur, they can be prevented. Keep a log noting times, settings, people, and activities. A pattern may emerge.

Remember that everything I do is a form of communication. It tells you, when my words cannot, how I’m reacting to what is happening around me.

My behavior may have a physical cause. Food allergies and sensi­tivities sleep problems and gastrointestinal problems can all affect my behavior. Look for signs, because I may not be able to tell you about these things.

10.  Love me unconditionally.

Throw away thoughts like, “If you would just—” and “Why can’t you—?” You didn’t fulfill every expectation your parents had for you and you wouldn’t like being constantly reminded of it. I didn’t choose to have autism. Remember that it’s happening to me, not you. Without your support, my chances of growing up to be successful and independent are slim. With your support and guidance, the possibilities are broader than you might think.

Three words we both need to live by: Patience. Patience. Patience.

View my autism as a different ability rather than a disability. Look past what you may see as limitations and see my strengths. I may not be good at eye contact or conversation, but have you noticed that I don’t lie, cheat at games, or pass judgment on other people?

I rely on you. All that I might become won’t happen without you as my foundation. Be my advocate, be my guide, love me for who I am, and we’ll see how far I can go.

from the book Ten Things Every Child with Autism Wishes You Knew, updated and expanded edition (2012, Future Horizons, Inc.)

Tinggalkan komentar