Psikologi Moralitas: Mengapa menjadi benar dan salah bisa berujung pada kejahatan (Bagian I)
Oleh: Margaretha
Pengajar Psikologi Forensik
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Gambar 1. Gambar ini adalah lukisan oleh seniman asal Kolombia, Isabel Castano, yang menggambarkan kemampuan setiap manusia untuk melakukan hal baik dan buruk, tergantung pada topeng apa yang hendak dipakainya *
Akhir-akhir ini saya sering tercekat melihat fenomena dimana orang tega menyakiti orang lain dengan alasan nilai moral dan keyakinan yang dianutnya. “Dalam keyakinan saya, mereka harus dihukum karena telah salah melanggar aturan, kebenaran harus ditegakkan!” dengan lantang berteriak. Pihak yang “dihukum” juga berteriak “Apa salah kami? Mengapa kalian kalian jahat pada kami?” Di antara mereka, banyak orang memilih menjadi penonton bingung dan pasif, “Apakah yang benar yang harus saya lakukan? Manakah yang benar?”. Masyarakat kita terpecah-pecah dalam mencari moralitas. Ini adalah tantangan besar yang sedang dihadapi bangsa Indonesia. Hal ini membuat saya bertanya, dari mana asal moralitas sehingga kita tahu mana benar dan salah? Apakah ada hubungan antara moralitas dan kejahatan? Tulisan ini akan menguraikan beberapa pandangan saya terkait moralitas dan apa yang bisa dilakukan untuk mengelola kebaikan serta mencegah kejahatan.
Apakah moralitas?
Secara umum, moralitas diartikan sebagai prinsip yang memandu manusia dalam membedakan benar dan salah, atau perilaku baik dan jahat. Moralitas dari Bahasa Latin “moralitas” yang berarti karakter, sikap dan perilaku yang benar. Moralitas dibedakan dari imoral (immorality) yang berarti perilaku menentang moralitas secara aktif; dan juga berbeda dari amoral (amorality) yang berarti ketidaktahuan atau penolakan terhadap suatu nilai/standar moralitas. Baik imoral dan amoral bisa menjadi dasar munculnya kejahatan.
Dalam kajian psikologi, filsafat dan etika, banyak muncul perdebatan tentang arti moralitas, sehingga sulit menemukan konsensus definisi moralitas (lihat tabel 1 untuk berbagai definisi moralitas). Menurut Jonathan Haidt, moralitas adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penekanan keinginan diri dalam rangka memunculkan kerjasama.
Tabel 1. Definisi moralitas dari berbagai perspektif
Perspektif | Definisi |
Etika (filsafat) | Moralitas adalah seperangkat nilai yang terkait dengan tradisi, kelompok atau individu. |
Psikologi | Moralitas adalah suatu komponen mental yang berubah sepanjang masa perkembangan, dari tahap awal belajar melalui konvensi nilai benar-salah hingga ke tahap membentuk nilai universal yang akan mengatur perilaku moral manusia. |
Evolusi | Moralitas adalah hasil proses evolusi yang berlaku pada tingkat individu dan tingkat kelompok melalui seleksi kelompok. Perilaku yang membentuk moralitas bertahan karena telah meningkatkan kemungkinan bertahan hidup atau manfaat reproduksi (yaitu peningkatan keberhasilan evolusi), contohnya: perilaku pro-sosial, empati atau rasa bersalah. |
Perbandingan budaya | Beberapa keutamaan moralitas ditemukan di berbagai budaya (sifatnya universal):i kebijaksanaan / pengetahuan; keberanian; kemanusiaan; keadilan; kesederhanaan; dan transendensi. |
Deskriptif/ normatif | Moralitas adalah nilai-nilai pribadi atau budaya, kode etik atau adat istiadat sosial dari masyarakat yang menyediakan kode etik ini di mana ia berlaku dan diterima oleh individu. |
Agama | Moralitas dan agama memiliki hubungan yang kuat. Dimana nilai-nilai yang memandu moralitas dikembangkan dari ajaran/nilai agama yang dianut. |
Neurosains | Moralitas adalah suatu fungsi mental yang dikendalikan oleh bagian-bagian otak tertentu. Beberapa di antaranya: kendali penalaran moral banyak dikendalikan oleh bagian medial prefrontal cortex (lihat Damasio, 1994; Baron-Cohen, 2011), sedangkan kendali reaksi moral ketika berhadapan dengan situasi moral implisit (sering disebut sebagai theory of mind) dikendalikan oleh bagian temporo-parietaldi belahan otak kanan (lihat Saxe, 2003). |
Penalaran moral: Etika normatif berdasarkan konsekuensi dan batasan perilaku
Dalam melakukan perilaku moral, manusia biasanya menggunakan berpikir atau menalar tindakannya. Secara umum, ada dua cara penalaran moral dalam perspektif etika normatif: berpikir tentang konsekuensi dan berpikir tentang batasan perilaku.
Penalaran etika normatif pertama adalah kita berbuat baik karena akan menghasilkan kebaikan dan manfaat pada orang yang lebih luas (pendekatan konsekuensiatau utilitarian). Salah satu tokohnya Jeremy Bentham. Maka sebelum membuat perilaku moral, manusia harus mempertimbangkan apa dampak tindakan pada orang lain, bukan hanya pada diri sendiri. Proses pertimbangan ini lebih dipandu oleh intuisi atau apa yang “dirasa” benar atau baik oleh seseorang bukan berdasarkan kontrol penalaran. Misalkan: ketika akan membeli jam tangan mewah, orang perlu bertanya moralitas tindakannya. Apakah uang yang digunakan untuk membeli jam lebih memberikan kebaikan pada orang banyak? Ataukah harusnya ia memberikan uang tersebut untuk donasi ke orang miskin. Seorang moralis konsekuensi akan memilih memberikan uangnya untuk donasi karena akan memberikan kebaikan pada orang yang lebih banyak. Pemikiran moralis konsekuensi ini bisa jadi unggul untuk memberikan dampak positif pada masyarakat luas, namun juga bisa muncul permaslahan ketika prinsip moral hilang karena selalu mempertimbangkan dampak pada orang kebanyakan. Misalkan: pemerkosaan adalah salah, baik bagi korban karena dirugikan dan juga pelaku karena telah melanggar peraturan. Namun, prinsip moral bisa bengkok jika kebanyakan masyarakat berpikir bahwa pemerkosaan bukanlah masalah jika korban pemerkosaan justru berperilaku mengundang pemerkosaan (ie. pakai baju yang tidak menutup semua tubuh dan keluar malam tanpa pendampingan laki-laki) dan aksi pemerkosaan yang dilakukan oleh pelaku hanyalah perilaku seks untuk mendapatkan kepuasan.
Pendekatan etika normatif kedua adalah deontologi, yang menyatakan semua tindakan memiliki batasan moral. Deontologi berseberangan dengan konsekuensialis, perilaku moral diletakkan dalam keharusan melakukan kewajiban untuk menegakkan kebenaran demi kewajiban itu sendiri; bukan demi untung-rugi, diterima atau ditolak oleh masyarakat, dan juga bukan untuk mendapatkan kesenangan atau kesusahan. Tindakan moral dibatasi oleh serangkaian peraturan yang lahir dari proses berpikir rasional dan intelek manusia, yaitu: rasionalitas (akal sehat digunakan untuk membuat argumen moral), dan mempromosikan nilai-nilai kebenaran universal (misalkan: kemanusiaan, hormat pada manusia). Salah satu tokoh moralis deontology adalah Imanuel Kant. Dalam pendekatan ini, perilaku moral perlu lahir dari proses berpikir mengenai apa motif serta dampak universal suatu perilaku. Misalkan: apakah saya perlu berbohong? Jika moralis konsekuensi akan mempertimbangkan dampak berbohong (akan berbohong jika akan menyelamatkan orang lain atau membuat keadaan tidak menjadi lebih buruk), sedangkan moralis deontologi akan berpikir secara intelek apakah berbohong memiliki keterbatasan moral. Deontologis akan bertanya bagaimana jika semua orang di dunia berbohong? maka akan terjadi kekacauan dan masalah. Oleh karena itu semua orang seharusnya jangan berbohong walaupun akibat bercerita yang sebenarnya bisa menyakitkan atau merugikan. Moralis deontologi akan berargumen bahwa pertimbangan moralitas seharusnya bukan diletakkan pada konsekuensi tindakan, tapi pada motif tindakan itu sendiri. Perilaku moral harus berdasarkan rasional yang benar. Namun, deontologi bisa memiliki kelemahan, kadang peraturan yang dipilih untuk membatasi perilaku manusia tidak melulu hasil kreasi rasionalitas, tapi bisa juga produk emosi subyektif seseorang yang telah dirasionalisasi. Dalam hal ini bisa terjadi adu argumen dan rasionalisasi.
Kedua pendekatan moral normatif dalam kapasitas kognitif ini cukup sering kita gunakan. Keduanya masuk akal. Namun perlu disadari proses penalaran moral apa yang tengah kita lakukan. Ada kemungkinan perbedaan cara penalaran moral antara satu orang dengan yang lainnya, sehingga menghasilkan perbedaan konsepsi benar dan salah, dan pada akhirnya berbeda perilaku moral. Hal ini wajar dan alamiah. Berikutnya, yang menjadi tantangan adalah bagaimana masing-masing orang berusaha memahami bagaimana orang lain bisa melakukan proses penalaran yang berbeda sehingga muncul pemahaman posisi masing-masing. Lalu, berangkat dari pemahaman tersebut berdiskusi untuk mencapai suatu “keselarasan” yang tepat pada konteksnya. Tentu saja, diskusi harus disertai dengan argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan dan upaya obyektifitas. Karena menjadi benar saja tidak cukup, atau hanya menyalahkan orang lain tidak layak, tanpa sungguh memahami apa dasar penalaran moral kita dan mempertimbangkan penalaran moral orang lain yang berbeda.

Gambar 2. Penalaran moral
Peran emosi moral dalam pembentukan keputusan moral
Sering saya mendengar bahwa dalam membuat keputusan moral sebaiknya menggunakan akal berpikir sehat dan tidak menggunakan emosi. Keputusan berdasarkan emosi diangap lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil rasional. Seakan-akan keduanya adalah komponen terpisah dalam mental manusia. Apakah mungkin kita hanya menggunakan penalaran moral?
Kenyataannya orang bisa melakukan berbohong, melakukan agresi, korupsi dan berbagai tindakan jahat, walaupun telah mengetahui bahwa perilaku itu salah. Mengapa? Sepertinya jawabannya perlu digali bukan dari penalaran saja, tapi juga dari bagaimana perasaan/emosi atau intuisinya bekerja dalam membuat keputusan melakukan suatu tindakan moral/imoral.

Gambar 3. Ragam emosi
Emosi, atau perasaan dan intuisi, memainkan peran utama dalam sebagian besar proses pengambilan keputusan moral manusia. Kebanyakan orang tidak menyadari betapa emosi mereka mengarahkan pilihan moral mereka. Perasaan yang ditimbulkan oleh penderitaan, seperti simpati dan empati, sering menuntun orang untuk bertindak moral terhadap orang lain. Intuisi manusia dituntun oleh emosi dalam menentukan benar dan salah, sangat rentan dipengaruhi oleh emosi yang dirasakan manusia. Sebagai contohnya: jika anda membaca berita dan melihat foto-foto tentang pembantaian suku bangsa atau genosida, apa intuisi moral yang muncul? Biasanya orang akan menyatakan tindakan genosida adalah salah, tanpa banyak penalaran; dan kita bisa merasakan emosi yang terbangun di tubuh kita serta terbentuknya intusi moral negatif terhadap genosida. David Hume mengatakan bahwa kebanyakan pemahaman dan keputusan moral manusia bukan didasari oleh penalaran, melainkan hasrat manusia. Akibatnya, tindakan moral manusia tidak akan pernah murni hasil penalaran, tapi adalah suatu hasil keputusan yang dinalar setelah ditentukan oleh intuisi dan emosi (Haidt, 2008).
Untuk memahami keputusan moral secara utuh, maka kita juga perlu memahami emosi moral. Emosi moral (moral emotions) adalah elemen penting tetapi sering diabaikan dari proses moral manusia. Emosi moral sangat penting dalam memahami kepatuhan/ketidakpatuhan atau moral/imoralnya perilaku manusia terhadap standar moral yang dihadapinya. Haidt mendefinisikan emosi moral sebagai emosi yang terkait dengan kepentingan atau kesejahteraan masyarakat secara umum atau setidaknya orang selain si pembuat perilaku moral. Emosi moral bisa menjadi penuntun moral yang bisa diandalkan karena memotivasi dan memberikan kekuatan untuk berbuat baik dan menghindari berbuat jahat.
Emosi moral lahir dari proses evaluasi /refleksi diri. Ketika diri merefleksikan tindakan pribadinya, maka emosi moral yang muncul adalah barometer moral sesuai dengan nilai yang kita anut. Emosi yang muncul dapat berlaku sebagai sanksi/hukuman atau reward/penguatan perilaku. Ketika refleksi diri menyatakan tindakannya salah atau melampaui batas, maka emosi moral yang muncul adalah malu dan rasa bersalah. Ketika kita melakukan hal yang benar, maka perasaan positif seperti bangga muncul.

Gambar 4. Emosi Moral
Emosi, moralitas dan kejahatan
Apakah semua emosi moral bermakna sama? Penelitian eksperimental psikologi mengkaji berbagai bentuk emosi dan dampaknya pada moral manusia. Temuannya menyatakan berbagai bentuk emosi akan berdampak berbeda atas perilaku moral. Namun, tulisan ini akan fokus pada 4 jenis emosi yang menurut penulis sangat penting untuk memahami munculnya perilaku kejahatan: malu (shame), rasa bersalah (guilt), marah (angry) dan jijik (disgust). Keempat emosi ini tergolong valensi negatif, namun dengan fokus berbeda, dimana malu dan rasa bersalah berfokus pada diri (self), sedangkan marah dan jijik fokusnya pada orang lain (others).
Malu dan rasa bersalah
Baik rasa bersalah dan malu banyak ditemukan berkaitan dengan perilaku moral. Orang yang peka terhadap malu dan rasa bersalah akan berusaha menghindari kesalahan dan berusaha menampilkan perilaku yang sesuai dengan aturan moral budayanya. Malu dan rasa bersalah fokus pada perasaan yang muncul dari dalam diri. Namun, rasa malu akan lebih berorientasi pada melihat dampak evaluasi orang lain atas perilaku dirinya (rasa malu ini akan menghasilan evaluasi negatif terhadap diri secara global), sedangkan rasa bersalah akan lebih memperhatikan pada dampak perilaku salah dirinya terhadap orang lain (rasa bersalah memunculkan evaluasi negatif atas perilaku spesifik).
Di budaya Indonesia, biasanya malu yang lebih banyak dipakai dari pada rasa bersalah, misalkan: sejak kecil, anak diajari malu jika melakukan kesalahan. “Ih malu tidak pakai baju dilihat orang, ayo pakai baju dulu habis mandi!”. Menerbitkan perasaan malu dijadikan pembelajaran untuk memunculkan perilaku moral yang diinginkan. Tampaknya efektif. Namun penelitian psikologi menemukan ternyata dampak malu tidak melulu akan membuahkan perilaku moral.
Tangney dan kolega (2007) menemukan bahwa malu dapat menimbulkan perilaku “bersembunyi” atau menghindari situasi yang dianggap memalukan. Malu bisa memunculkan konsep diri negatif. Sebagai akibat, rasa malu akan mendorong sikap defensif, pemisahan antarpribadi, dan jarak. Sedangkan rasa bersalah lebih mungkin memunculkan upaya yang konstruktif dan proaktif untuk memperbaiki perilaku yang salah.
Rasa malu yang cenderung fokus pada evaluasi diri buruk ditemukan juga kurang efektif menumbuhkan empati. Individu dalam pergolakan rasa malunya cenderung akan berpaling ke dalam diri, dan kurang mampu memusatkan pikiran dan perasaannya untuk memahami kondisi orang yang dirugikannya. Sebaliknya, orang yang mengalami rasa bersalah secara khusus berfokus pada perilaku buruk yang telah dilakukannya secara spesifik, akan lebih mampu melihat konsekuensi negatif yang dialami orang lain karena dampak perilaku buruknya, sehingga lebih bisa memunculkan respon empati dan memotivasi orang untuk memperbaiki perilakunya yang salah. Malu juga ditemukan lebih bisa memunculkan perasaan marah, dan bisa berujung pada munculnya perilaku antisosial dan agresi (fisik, verbal, simbolik dan agresi tidak langsung) daripada rasa bersalah.
Relevansi:
Rasa bersalah lebih efektif dalam memotivasi orang untuk memilih perilaku moral dalam kehidupan. Kapasitas rasa bersalah lebih tepat untuk menumbuhkan pola perilaku moral daripada rasa malu. Rasa bersalah lebih bisa memotivasi individu untuk menerima tanggung jawab dan mengambil tindakan reparatif di tengah kegagalan atau pelanggaran yang telah terjadi. Sebaliknya, rasa malu justru beresiko memunculkan persoalan perilaku moral. Jadi, ketika mempertimbangkan pendidikan moral, baik ada level individu, hubungan inter-personal, atau masyarakat, lebih penting untuk mendidik perasaan bersalah sebagai barometer emosi moral.
(Bersambung)
Referensi:
Baron-Cohen, S. (2011). The science of evil. Basic books: New York.
Damasio, A. Descartes’ error. Putnam, New York, 1994.
David, B.O., & Olatunji, B.O. (2011). The effect of disgust conditioning and disgust sensitivity on appraisals of moral transgressions. Personality and Individual Differences. 50, 1142-1146.
Eisenberg, N., & Morris, A. S. (2001). The origins and social significance of empathy-related responding. A review of empathy and moral development: implications for caring and justice by ML Hoffman. Social Justice Research, 14, 95-120.
Haidt, J. (2008). The Moral Roots of Liberals and Conservatives TED Talk.
Olatunji, B.O., David, B., & Ciesielski, B.G. (2012). Who am I to judge? Self-disgust predicts less punishment of severe transgressions. Emotion, 12, 169-73.
Sandel, M.J. (2010). Justice What’s the Right Thing. Farrar, Straus and Giroux: New York.
Saxe, R., & Kanwisher, N. (2003). People thinking about thinking people: The role of the temporo-parietal junction in “theory of mind.” Neuroimage, 19, 1835-1842.
Stanger, N., Kavussanu, M., McIntyre, D., & Ring, C. (2016). Empathy inhibits aggression in competition: The role of provocation, emotion, and gender. Journal of sport and exercise psychology, 38, 4-14.
Tangney, J.P., Stuewig, J., & Mashek, D.J. (2007). Moral emotions and moral behavior. Annual Review of Psychology, 58, 345-372.
Vartanian, L.R. Trewartha, T., & Vanman, E.J. (2016). Disgust predicts prejudice and discrimination toward individuals with obesity. Journal of Applied Social Psychology, 46, 369-375.
*Isabel Caetano’s painting source: https://britlitsurvey2.wordpress.com/2014/03/21/the-serpent-the-philosopher-and-the-lover-moral-ambiguity-in-lamia-2/