Terlalu Muda untuk Pidana: Kapan usia yang lebih tepat mulai menerima pertanggungjawaban atas pelanggaran pidana (Bagian II)

Terlalu Muda untuk Pidana: Kapan usia yang lebih tepat mulai menerima pertanggungjawaban atas pelanggaran pidana (Bagian II)

Oleh: Margaretha

Dosen dan Peneliti Psikologi Forensik, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Masukan dari Psikologi Perkembangan: Apa yang dimaksud dengan kematangan mental?

Ahli psikologi perkembangan remaja dari American Psychological Association (APA), Laurence Steinberg, dalam amicus brief-nya di hadapan pengadilan di Amerika Serikat, mengatakan bahwa kapasitas pertanggungjawaban atas tindakan kriminal remaja sangatlah berbeda dengan orang dewasa. Remaja jauh lebih impulsif dan lemah dalam mengantisipasi konsekuensi tindakannya (Tisdale dkk. 2019). Belum sempurnanya perkembangan otak, kematangan psikologis dan sosial membuat anak-remaja lebih rentan membuat perilaku salah. 

Peradilan anak di Amerika Serikat telah menggunakan hasil riset neurosains dan psikologi dalam membuat pertimbangan putusan pidana anak. Putusan pidana anak tidak boleh disamakan dengan proses putusan pidana bagi dewasa, misalkan: peradilan akan sangat berhati-hati dan menghindari dalam membuat putusan pidana seumur hidup bagi anak.

Baca lebih lanjut

Menangkap Psikopat (2) Proses koreksi dan rehabilitasi bagi Psikopat

Menangkap Psikopat (2)

Proses koreksi dan rehabilitasi bagi Psikopat

Oleh: Margaretha

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

ScreenShot20160427at30530PMPsychopaths.

Such men are born criminals by nature, and are only distinguished from ordinary criminals by the great extent of their moral incapacity, by their having wills completely unaffected by the restraining experiences of life, and by their being fundamentally incorrigible…There is, therefore, as a rule, no other course to be taken, for their own sake, and for the sake of those around them, than to isolate them as being unfit for society, and as far as possible to find them occupation.

  • Emil Kraeplin (1904/1968, Lecture Clinical Psychiatry, p. 289)

Psikopat.

Manusia yang lahir untuk menjadi kriminal, dapat dibedakan dari pelaku kriminal biasa karena psikopat tidak memiliki kapasitas moral (tidak mampu membedakan benar dan salah), memiliki keinginan untuk mencapai tujuannya tanpa terbatasi apapun dari pengalaman hidupnya, dan sifat dasarnya yang sangat sulit dirubah… Maka, hanya ada satu cara, tidak ada lain, demi kebaikan mereka sendiri, dan juga demi orang-orang di sekitarnya, psikopat perlu diisolasi karena tidak akan bisa menyesuaikan diri, dan memastikan agar mereka bekerja jauh dari masyarakat.

Baca lebih lanjut

Pelaku Kejahatan Seksual: Mengapa Perlu Identifikasi dan Rehabilitasi?

Pelaku Kejahatan Seksual: Mengapa Perlu Identifikasi dan Rehabilitasi?

STATIC-99R sebagai upaya aktuarial dalam rangka identifikasi dan intervensi pelaku kejahatan seksual (Bagian I)

Oleh: Margaretha

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

images

Dalam pembicaraan tentang pelaku kejahatan seksual, topik yang sering muncul adalah pidana atau hukuman. “Pelaku ya dipenjara saja, titik. Kalau perlu dapat pidana yang paling berat supaya tidak melakukan lagi.” Pada kenyataannya, sebagian pelaku kejahatan seksual bisa ditemukan telah melakukan pelecehan dan kekerasan seksual sebelumnya, atau memiliki riwayat kriminal. Pelaku kejahatan seksual juga banyak ditemukan melakukan kembali kekerasan seksual setelah menyelesaikan pidana penjara. Artinya, pidana saja belum tentu dapat mengkoreksi perilaku kejahatan seksual.

Maka perlu disadari bahwa penanganan koreksi pelaku kejahatan seksual harus diperkuat dengan pencegahan resiko kejahatan seksual atau mencegah atau menurunkan resiko residivisme kelak. Hal ini dilakukan dengan tahap awal, identifikasi dan pengukuran kejahatan seksual. Dengan data kejahatan seksual, bisa dilakukan prediksi resiko pengulangan kejahatan dalam rangka pencegahan kejahatan. Selain itu, upaya pencegahan juga perlu diiring dengan upaya rehabilitasi. Rehabilitasi mental yang berhasil adalah yang mampu memperbaiki akar persoalan kejahatan seksual dan menurunkan tingkat resiko melakukan kejahatan seksual kelak. Jika kita bisa melakukan pencegahan dan rehabilitasi maka usaha perlindungan korban, korban potensial dan masyarakat menjadi lebih kuat.

Baca lebih lanjut

Mendampingi anak dengan trauma di Sekolah

Mendampingi anak dengan trauma di Sekolah

Oleh: Margaretha

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya

trauma schools1

Anak yang mengalami krisis atau tekanan besar dalam hidupnya dapat mengalami trauma. Anak dengan trauma dapat mengalami problem, seperti: sulit tidur, mimpi buruk, menjadi sangat bergantung pada orang lain, atau menjadi menjauh/menarik diri dari orang lain, sulit makan, berperilaku agresif, dan frustasi. Di sekolah, juga bisa muncul masalah perilaku seperti: sulit konsentrasi, dan kesulitan mengikuti instruksi di kelas dan bekerja/belajar dalam kelompok. Sayangnya, problem perilaku ini dapat membuat orang dewasa di sekitar anak salah paham bahwa anak mengalami kesulitan belajar, kesulitan konsentrasi atau gangguan kecemasan biasa. Akibatnya, Guru tidak bisa memahami masalah anak dan kurang dapat memberikan bantuan yang sesuai dengan kebutuhan anak.

Trauma dapat mempengaruhi proses belajar, perilaku anak dan juga interaksi anak dengan orang-orang di sekelilingnya. Oleh karena itu, Guru perlu memahami apa trauma dan bagaimana mendampingi anak dengan trauma di sekolah. Guru juga perlu membekali diri untuk mampu membantu anak didiknya yang mengalami trauma agar bisa belajar walaupun sedang berada dalam situasi krisis. Tulisan ini menguraikan mengenai apa trauma pada anak usia sekolah dan strategi yang dapat dilakukan Guru di sekolah untuk mendampingi anak dengan trauma. Baca lebih lanjut