Menangkap Psikopat (2)
Proses koreksi dan rehabilitasi bagi Psikopat
Oleh: Margaretha
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Psychopaths.
Such men are born criminals by nature, and are only distinguished from ordinary criminals by the great extent of their moral incapacity, by their having wills completely unaffected by the restraining experiences of life, and by their being fundamentally incorrigible…There is, therefore, as a rule, no other course to be taken, for their own sake, and for the sake of those around them, than to isolate them as being unfit for society, and as far as possible to find them occupation.
- Emil Kraeplin (1904/1968, Lecture Clinical Psychiatry, p. 289)
Psikopat.
Manusia yang lahir untuk menjadi kriminal, dapat dibedakan dari pelaku kriminal biasa karena psikopat tidak memiliki kapasitas moral (tidak mampu membedakan benar dan salah), memiliki keinginan untuk mencapai tujuannya tanpa terbatasi apapun dari pengalaman hidupnya, dan sifat dasarnya yang sangat sulit dirubah… Maka, hanya ada satu cara, tidak ada lain, demi kebaikan mereka sendiri, dan juga demi orang-orang di sekitarnya, psikopat perlu diisolasi karena tidak akan bisa menyesuaikan diri, dan memastikan agar mereka bekerja jauh dari masyarakat.
— Kraeplin (1904/1968, Kumpulan Kuliah Psikiatri Klinis, hal.289)
Penggalan tulisan di atas menyiratkan pesimisme upaya penanganan orang dengan gangguan psikopat. Dalam praktek di lapangan, banyak profesional melaporkan kesulitan dan kegagalan memberikan intervensi pada psikopat. Beberapa penelitian bahkan menyatakan bahwa psikoterapi justru memperburuk kondisi psikopat, menjadi lebih manipulatif dan tidak menurunkan perilaku kejahatannya (Seto & Barbaree, 1999). Tulisan ini akan menguraikan mengenai pendekatan perbaikan perilaku psikopat dan juga tahapan rehabilitasi psikologis orang dengan gangguan psikopati.
Siapa psikopat?
Psikopati atau antisosial, atau disebut juga sosiopati adalah gangguan kepribadian yang merupakan gangguan mental pada manusia. Gangguan kepribadian adalah serangkaian pola pikir, merasa dan berperilaku yang secara khas kaku sehingga membuat individu kurang/tidak bisa menyesuaikan diri dalam relasi personal dan dengan lingkungan/komunitasnya (maladaptive adaptation), serta akan menghasilkan perasaan tertekan (distress) bagi yang mengalami atau bisa merugikan orang-orang di sekelilingnya. Orang yang mengalami biasa disebut sebagai psikopat atau sosiopat.
Mengapa perlu menarget psikopat?
American Psychiatry Association (APA, 2015) menyatakan bahwa secara umum, 1-4% populasi manusia memiliki karakter psikopati. Psikopati adalah karakter yang dianggap maladaptif dan merugikan karena membuat orang mau melakukan apapun, termasuk melanggar peraturan, dan menyakiti orang lain demi mencapai tujuan pribadinya, dan semua itu dilakukannya tanpa atau kurangnya perasaan bersalah. Karakter psikopati ditemukan cukup banyak dimiliki oleh pelaku kejahatan atau kriminal, sekitar 24-35% populasi narapidana dalam perawatan mental forensik di Belanda adalah psikopat; dan sekitar 13-47% pelaku kejahatan di negera-negara di Eropa dan Amerika Utara ditemukan memiliki gangguan kepribadian psikopati (Patrick, 2006). Gangguan kepribadian psikopat pada pelaku kejahatan membuat mereka lebih sulit berubah, sehingga tinggi kemungkinannya melakukan kekerasan dan kejahatan ulang atau residivisme (Leistico, Salekin, DeCoster, & Rogers, 2008).
Di Indonesia, belum banyak yang diketahui mengenai prevalensi psikopat baik di populasi umum atau di populasi kriminal. Namun, menyadari bahwa psikopat dapat melakukan kerugian bagi orang-orang di sekitarnya, serta psikopat tinggi kemungkinannya menjadi kriminal dan residivis, maka perlu dipahami bagaimana proses koreksi dan rehabilitasi psikopat. Namun sayangnya, belum banyak kajian yang dilakukan untuk memahami dan mengintervensi psikopat secara tepat. Jika penanganan psikopat tidak dilakukan secara benar, maka kerugian yang dapat dimbulkan psikopat bagi masyarakat bisa menjadi lebih besar. Kajian psikopat membutuhkan ide baru dan layanan yang lebih ampuh dalam pengananan psikopat.
Apa jenis psikopat?
Psikopati bukan gangguan bentuk tunggal. Karpman (1955 dalam Mokros dkk., 2015) secara umum membedakan 2 tipe psikopati: primer dan sekunder. Tipe primer ditandai dengan kekurang-tanggapan emosi, rendahnya kecemasan, namun tinggi di karakter narsisistik; tipe ini memiliki dasar genetik yang kuat sehingga trauma atau kekerasan masa kecil bukan faktor yang memunculkan gangguan ini. Tipe sekunder adalah individu yang reaktif, ditunjukkan dengan ketidakmampuan mengelola emosi sehingga meledak-ledak, dan pencemas. Kajian penelitian menemukan bahwa tipe sekunder terkait dengan pola asuh orang tua atau pengaruh lingkungan yang salah, dan mengalami trauma kekerasan pada masa kecil (Hicks dkk., 2012). Dasar etiologi psikopat primer adalah genetik dan kepribadian, dimana perilaku manipulatif dan merusak orang lain dimiliki sejak lahir. Lebih lanjut, Psikologi Evolusi menjelaskan bahwa psikopat adalah produk evolusi dimana manusia bisa bertahan hidup dengan cara menyusun strategi manipulasi dan merusak secara sosial dalam rangka menghadapi tekanan hidup dalam sejarah manusia (Mealey, 1995).
Arieti (1963 dalam Mokros dkk., 2015) juga menemukan 2 jenis psikopat, yaitu: sederhana dan kompleks. Tipe psikopat sederhana ditunjukkan dengan perilaku agresif dan maladaptif dalam relasi interpersonal, berbeda dengan tipe sederhana, tipe kompleks disertai dengan sikap Machiavellian, yang menambahkan orientasi melepaskan tanggungjawab atas kejahatan yang dilakukannya. Arieti (1963 dalam Mokros dkk., 2015) juga membedakan Psikopat dengan Dissosial, atau orang yang bisa melakukan perilaku maladaptif pada masyarakat secara umum, namun mereka bisa loyal dan menghargai kelompok khusus mereka sendiri; orang-orang ini mampu merugikan orang di masyarakat umum, namun memiliki relasi yang cukup baik dan membela kelompoknya sendiri. Disosial juga sering disebut sebagai Sosiopat Lykken (1995) atau Pseudopsikopat (McCord & McCord, 1964).
Murphy dan Vess (2003) melakukan observasi pada penjahat psikopat di Atascadero State Hospital, California, Amerikan Serikat, dan menemukan 4 sub-tipe psikopat, yaitu: sadistik, ambang (borderline), narsisistik dan antisosial. Artinya, selain telah terdiagnosa secara klinis memiliki gangguan kepribadian psikopati, individu juga menampilkan gejala berikut:
- Sadistik: ditandai dengan menyadari dan menikmati penderitaan dan rasa sakit yang dialami oleh orang lain karena perilakunya. Pada beberapa orang, juga ditunjukkan dengan: perilaku terror dan mengancam, mampu menceritakan dengan detail perilaku kejahatan yang telah dilakukannya tanpa menunjukkan empati pada korban atau tidak muncul perasaan bersalah; serta alih-alih merasa bersalah, pembicaraan mengenai rasa sakit dan penderitaan korban justru malah membuatnya terangsang, bersemangat atau senang.
- Ambang: ditandai dengan ketidakstabilan emosi dan perilaku yang merusak/menghancurkan diri sendiri. Pada beberapa orang, juga ditunjukkan dengan: niat bunuh diri; berubah-ubah kadang mengidealisasi namun juga bisa merendahkan orang lain; merayu orang dalam hubungan interpersonal bahkan mengajak lawan jenis terlibat dalam hubungan emosional yang tidak pantas (misalkan: berselingkuh); dan memanipulasi hidup dan perasaan orang-orang di sekitarnya namun menghindari mengakui kelemahannya dalam pengelolaan pengalaman emosi.
- Narsisistik: ditandai dengan perasaan hebat/besar, tidak peka dan merendahkan orang lain. Pada beberapa orang, juga ditunjukkan dengan: perilaku menuntut diperlakukan lebih atau berbeda daripada orang lain di sekitarnya, bisa melakukan perilaku manipulatif dan kasar dalam rangka untuk menunjukkan kehebatan dirinya di depan orang lain.
- Antisosial: adalah tipe murni psikopat, ditandai dengan impulsivitas, rendahnya kemampuan kontrol diri, keinginan untuk mendapatkan rangsangan/stimulasi dan hidup parasit atau menggunakan orang lain demi kepentingan diri sendiri. dalam penampilan, psikopat antisosial tidak tampak memiliki sejarah perilaku brutal, tidak menuntut jadi pusat perhatian, bahkan tidak tampak emosional. Bisa saja ia tampil simpatik dan meyakinkan, sama seperti ketiga sub-tipe lainnya. Namun yang menonjol adalah banyaknya jumlah kejahatan yang dilakukannya, kemampuan manipulasi/ berbohong yang patologis, dan sikap hidup yang tidak bertanggungjawab. Baginya, melakukan kejahatan adalah cara bertahan hidup, dan menghancurkan penghambatnya untuk mencapai tujuan pribadi.
Murphy dan Vess (2003) juga mengajukan bahwa sub-tipe Psikopati ini perlu digunakan untuk mengembangkan intervensi yang paling tepat bagi psikopat. Karena masing-masing jenisa akan membutuhkan bentuk intervensi yang khas untuk menarget gejala persoalannya dan faktor penyebabnya.
Mokros dan kolega (2015) menggunakan analisis statistik untuk mengidentifikasi tipe psikopat dari 1.451 pelaku kejahatan yang memiliki skor psikopat cukup tinggi, dan menemukan 3 profil laten, yaitu: profil manipulatif, profil agresif, dan profil sosiopatik. Mereka menyimpulkan bahwa hasil temuan mereka selaras dengan konsepsi Karpman dan Arieti, dimana profil laten manipulatif dan profil laten agresif 2 mewakili kelompok psikopat primer, sedangkan profil laten sosiopat mewakili kelompok psikopat sekunder.
Dari berbagai kajian di atas dapat dipahami bahwa psikopati adalah payung atas berbagai bentuk karakter gangguan. Pendekatan sub-tipe bisa digunakan dalam usaha memahami, mencari etiologi dan menyusun intervensi yang paling tepat bagi bentuk psikopati tertentu.
Koreksi dan Psikopat
Psikopat dalam sistem koreksional dan psikiatrik ditemukan tidak mengalami perubahan setelah mendapatkan intervensi klinis, beberapa malah dinyatakan memburuk gejalanya, dan tingkat residivisme tidak berkurang (Salekin, 2002). Bahkan, koreksi pidana seperti pemenjaraan, ditemukan tidak memperbaiki perilaku sosial psikopat baik di dalam penjara maupun di komunitas masyarakat setelah keluar (Murphy & Vess, 2003). Walaupun beberapa psikopat ditemukan akan membaik atau turunnya residivisme setelah masuk usia lanjut (Olver & Wong, 2015), namun secara umum psikopati bertahan dan tampak sulit diperbaiki.
Beberapa psikopat tampak kooperatif mengikuti treatment, namun sebenarnya hal ini dilakukan untuk mencari celah untuk memperdaya terapis dan orang-orang di sekelilingnya agar tampak baik dalam rangka untuk mencapai tujuan pribadinya. Dan tidak jarang, terapi di penjara dijadikan psikopat sebagai cara untuk tampil seakan-akan baik, setelah itu psikopat tanpa ragu merugikan orang lain jika ia telah mendapatkan keinginannya. Akhirnya, psikopat tetap akan memilih untuk melakukan apapun yang akan membuatnya untung atau dapat memenuhi kepentingan pribadinya. Psikopat dapat menggunakan kemampuan manipulasinya untuk mengecoh orang-orang di sekitarnya, akibatnya bukan perilaku membaik malah perilaku manipulatifnya makin memburuk.
Oleh karena itu, maka proses koreksi perlu diarahkan untuk membuat psikopat berpikir bahwa jika mereka turut proses ini maka kepentingan pribadinya akan terpenuhi juga. Psikopat akan lebih bisa berubah jika perubahan adalah keputusannya, dan perubahan tersebut juga akan membantunya untuk memenuhi kepentingan pribadinya.
Pendekatan korektif bisa diarahkan untuk membantu psikopat mencapai tujuan pribadinya, namun dengan cara-cara yang dapat diterima masyarakat dan tidak melanggar peraturan. Bukan dengan cara yang selama ini dilakukannya, dengan merugikan orang lain atau melanggar aturan hukum. Misalkan, demi mencapai kebutuhan pribadi untuk didengarkan, maka psikopat diajarkan cara-cara berkomunikasi yang lebih adaptif untuk meminta orang lain mendengarkannya; bukan dengan cara-cara kekerasan. Dengan kata lain, psikopat dibantu agar mampu berpikir dan mengambil keputusan untuk menyelesaikan persoalan dan memenuhi kebutuhannya dengan cara-cara yang adaptif. Psikopat perlu didampingi untuk belajar bahwa pemenuhan kebutuhan pribadinya bisa dilakukan tanpa merugikan orang lain. Selain mengubah cara pandang, psikopat juga perlu didampingi untuk berlatih melakukan dan mempertahankan perilaku adaptifnya ini. Psikopat perlu didampingi agar mampu secara lebih konsisten memilih cara-cara adaptif daripada kembali ke cara yang lebih mudah, namun akan merusak dan merugikan orang lain.
Hemphill, Hare dan Wong (1998) menjelaskan bahwa koreksi difokuskan untuk membantu perubahan perilaku bukan untuk merubah karakter kepribadian psikopat. Hal ini penting dipahami, karena yang membuat psikopat berhadapan dengan hukum adalah disebabkan problem perilakunya, bukan karena masalah kepribadiannya. Jika proses koreksi ditujukan pada perubahan perilaku, maka psikopat akan melihat koreksi sebagai pendekatan yang lebih bisa diterima, karena tidak berusaha merubah dirinya secara keseluruhan.
Rehabilitasi dan Psikopat
Pesimisme pendekatan klinis atas intervensi psikopat menyebabkan minimnya usaha perbaikan dan koreksi sistematis pada psikopat, baik di konteks koreksional-hukum maupun dalam konteks kesehatan mental. Dalam praktek klinis, psikopati sering dilihat sebagai kasus “jalan buntu” atau yang tidak dapat dirubah. Seto dan Barbaree (1999) menemukan bahwa intervensi pada psikopati tidak mampu memperbaiki residivisme pada pelaku kejahatan seksual. Namun ternyata, pesimisme ini tidak memiliki dasar empiris yang kuat. Justru sebaliknya, beberapa penelitian melaporkan bahwa intervensi psikologis mampu memberikan perubahan konstruktif pada pelaku kejahatan dengan psikopat.
Salekin (2002) mencoba mencari akar pesimisme ini dengan melakukan analisa atas 42 penelitian sebelumnya (dari tahun 1942 hingga 2002) mengenai intervensi psikopat, ternyata menemukan bahwa dasar pesimisme ini tidaklah kuat. Berbagai pendekatan intervensi pada psikopat ditemukan memiliki pengaruh, dari pendekatan Electroconvulsive therapy (ECT; Cleckley & Beard, 1942), Psikoanalisa tradisional (Schmideberg, 1978), Psychodrama, Psikoterapi Rasional dan Psikoterapi Konstruk Personal. Beberapa perubahan positif dapat diamati pada psikopat, seperti: berkurangnya berbohong, meningkatkan perasaan bersalah dan empati, membaiknya relasi dengan orang lain, dan menurunnya residivisme (penjelasan detail treatment psikopati baca Salekin, 2002).
ECT hanya menunjukkan rata-rata keberhasilan sekitar 20% atau tidak berbeda dengan kelompok kontrol (kelompok yang tidak mendapatkan perlakukan intervensi); artinya tidak ada perbedaan antara tanpa perlakukan dengan diberikan treatment ECT. Tingkat keberhasilan terapi juga perlu dikritisi, terutama pada pendekatan Psikodrama, Psikoterapi Rasional dan Psikoterapi Konstruk Personal yang masih menggunakan penelitian kasus tunggal. Salekin (2002) menemukan pendekatan yang paling efektif adalah kombinasi terapi kelompok dan terapi individual (kesuksesannya hingga 81%), juga pemberian intervensi secara intensif, yaitu: rata-rata 4 sesi per minggu dalam jangkan1 tahun atau lebih (kesuksesannya hingga 91%).
Yang menarik, ulasan Salekin ini mematahkan beberapa pemahaman praktisi mengenai efektivitas pendekatan psikoterapi pada psikopat. Berbeda dengan pandangan pesimisme praktisi tentang keberhasilan treatment pada psikopat, psikoanalisa ditemukan mencapai tingkat kesuksesan rata-rata hingga 59%dari 17 penelitian atas 88 orang psikopat. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan insight dalam intervensi psikopat ternyata memiliki dampak konstruktif untuk menurunkan gejala psikopati. Pendekatan Kognitif Perilaku (Cognitive Behavioral Therapies; CBT) juga menunjukkan tingkat keberhasilan yang cukup tinggi (62%) dari 5 penelitian atas 246 psikopat. Hal ini terjadi karena CBT menarget perubahan cara berpikir dan menyediakan latihan perilaku untuk mempertahankan perubahan bagi orang dengan psikopati.
Pendekatan komunitas juga ditemukan memberikan tingkat kesuksesan. Program rehabilitasi remaja psikopat yang dikembangkan oleh Ingram dan kolega (1970 dalam Salekin, 2002) ditemukan memberikan kesuksesan sekitar 88%. Walaupun tidak sekuat pendekatan psikoterapi, pendekatan Komunitas Terapeutik (Therapeutic Communities; TC, Warren, 1994) di konteks lembaga pemasyarakatan juga menunjukkan keberhasilan perubahan pada sekitar 25% dari 372 psikopat dari 8 penelitian. Sedangkan, pendekatan psikofarmakologi (Lithium atau SSRI, dan Benzedrine sulfate) yang dikombinasikan dngan CBT juga menunjukkan keberhasilan rata-rata sekitar 70%. Namun, keberhasilan komponen obat dalam penanganan psikopat masih perlu diteliti lebih lanjut.
Begitupula dalam ulasan penelitian yang dilakukan oleh Chakhssi, de Ruiter dan Bernstein (2010) yang menemukan efektivitas intervensi psikopat. Chakhssi dan keloga menemukan bahwa perawatan psikiatrik forensik selama 20 bulan dapat memberikan perubahan positif bermakna pada 71 pelaku kejahatan dengan gejala gangguan kepribadian psikopati. Perawatan psikiatrik pada pelaku kejahatan dalam lembaga pemasyarakatan ditemukan dapat memberikan perubahan konstruktif pada kemampuan adaptasi sosial, kemampuan komunikasi, pembangunan insight, atribusi tanggungjawab, dan kemampuan pengelolaan diri. Perubahan hanya dapat tampak hasilnya jika psikopat mendapatkan treatment intensif (sekitar 2-3 kali seminggu) selama waktu yang cukup panjang (20 bulan). Namun, Chakhssi dan kolega juga menyatakan bahwa Jika dibandingkan dengan kelompok kriminal biasa, terdapat perbedaan tingkat keberhasilan intervensi intensif ini pada kelompok kriminal psikopati dan non-psikopati, dimana keberhasilan kelompok kriminal non-psikopati bisa mencapai 100%, namun hanya sekitar 78% pada kelompok kriminal dengan psikopati. Ada sebagian kecil kelompok psikopat yang sangat sulit berubah sehingga tidak menyelesaikan perawatan bahkan menunjukkan tanda kemunduran sehingga menjadi lebih agresif (sekitar 22%).
(bersambung)
Referensi:
Chakssi, F., de Ruiter, C., & Bernstein, D. (2009). Change during forensic treatment in psychopathic versus nonpsychopathic offenders. Journal of Forensic Psychiatry and Psychology, 21, 660-682. doi: 10.1080/14789949.2010.483283
Grilo, C.M., McGlashan, T.H., Skodol, A.E. (2000). Stability and course of personality disorders: The need to consider comorbidities and continuities between Axis I psychiatric dis- orders and Axis II personality disorders. Psychiatric Quarterly, 71, 291-307.
Hare, R. D. (1991). The Hare Psychopathy Checklist – Revised. North Tonawanda, NY: Multi-Health Systems.
Hemphill, J. F., Hare, R. D., & Wong, S. (1998). Psychopathy and recidivism: A review. Legal and criminological Psychology, 3, 139-170.
Hervé, H. (2007). Psychopathic subtypes: Historical and contemporary perspectives. In J. C. Yuille & H. Hervé (Eds.), The psychopath: Theory, research, and practice (pp. 431–460). Mahwah, NJ: Erlbaum.
Hervé, H., & Yuille, J. C. (Eds.). (2007). The psychopath: Theory, re- search, and practice. Mahwah, NJ: Erlbaum.
Hicks, B.M., Carlson, M.D., Blonigen, D.M., Patrick, C.J., Iacono, W.G., & Mgue, M. (2012). Psychopathic personality traits and environmental contexts: Differential correlates, gender differences, and genetic mediation. Personality Disorders, 3, 209-227.
Kraeplin (1904/1968). Lectures on clinical psychiatry. New York: Hafner.
Leistico, A.R., Salekin, R.T., DeCoster, J., & Rogers, R. (2008). A large-scale meta- analysis relating the Hare measures of psychopathy to antisocial conduct. Law and Human Behavior, 32, 28–45.
Lykken, D. T. (1995). The antisocial personalities. Hillsdale, NJ: Erlbaum.
McCord, W., & McCord, J. (1964). The psychopath: An essay on the criminal mind. Princeton, NJ: D. Van Nostrand.
Mealey, L. (1995). Primary sociopathy (psychopathy) is a type, secondary is not. Behavioral and Brain Sciences, 18, 579–599. http://dx.doi.org/ 10.1017/S0140525X00040024
Mokros, A., Neumann, C.S., Habermeyer,E.,Hare, R.D., Santtila, P., Nitschke, J. (2015). Variants of Psychopathy in Adult Male Offenders: A Latent Profile Analysis. Journal of Abnormal Psychology, 124, 372-386. doi: 0.1037/abn0000042
Murphy, C., & Vess, J. (2003). Subtypes of psychopathy: Proposed differences between narcissistic, borderline, sadistic, and antisocial psychopaths. Psychiatric Quarterly, 74, 11-29.
Patrick, C.J. (Ed.). (2006). Handbook of psychopathy. New York: Guilford Press.
Salekin, R.T. (2002). Psychopathy and therapeutic pessimism: Clinical lore or clinical reality? Clinical Psychology Review, 22, 79-112.
Seto, M.C., & Barbaree, H.E. (1999). Psychopathy, treatment behavior, and sex offenders recidivism. Journal of Interpersonal Violence, 14, 1235–1248.
Warren, F. (1994). What do we mean by a ‘‘therapeutic community’’ for offenders? Commentary on papers by Harris et al. and Cullen. Therapeutic Communities: International Journal of Therapeutic and Supportive Organizations, 15, 312–318.
Terimakasih retha untuk tulisan yang bermamfaat ini.
Adakah cara menerapi diri sendiri tanpa rehab?