Kriminalisasi seksualitas: Fetisisme atau yang lain?

Kriminalisasi seksualitas: Fetisisme atau yang lain?

(peringatan: materi berisi informasi seksualitas untuk dewasa)

Margaretha

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Jika kita masing-masing bertanya pada diri sendiri, apakah seksi itu? Apakah hal yang bisa menarik minat diri untuk tertarik secara seksual? Maka, hampir bisa dipastikan jawaban antara satu orang dengan orang lain akan berbeda. Ada yang menunjuk pada faktor fisik, yang berbeda-beda dari ujung kepala hingga kaki; ada juga yang akan menunjuk pada faktor kepribadian, intelek atau lainnya. Cara manusia merespon pada stimulus seksual juga bisa sangat bervariasi. Lalu, sepanjang masa hidupnya, perilaku seksualnya pun bisa dinamis yang dipengaruhi berbagai peristiwa hidupnya.

Dapat disimpulkan bahwa masing-masing individu akan memiliki hasrat seksual, minat stimulus seksual, respon dan perilaku seksual yang berbeda-beda. Bahkan pada beberapa orang seksualitasnya tergolong berbeda dari orang-orang kebanyakan. Mengapa? Banyak faktor yang mempengaruhi, dari genetika, fisiologi, insting, proses belajar, dinamika psikologis, serta motivasi diri.

Baca lebih lanjut

Otopsi Psikologis: Upaya Psikologi Forensik untuk Menyelidiki Faktor Penyebab Bunuh Diri

Psikologi forensik dapat membantu untuk menyelidiki penyebab kematian yang diduga bunuh diri, yaitu dengan melakukan Otopsi Psikologis (psychological autopsy).

Apa otopsi psikologis?
Otopsi psikologis adalah metode ilmiah yang dilakukan untuk memahami penyebab kematian yang diduga “bunuh diri”. Otopsi psikologis dilakukan oleh ahli perilaku/psikologi/psikiatri forensik dengan mengumpulkan data riwayat (retrospective information) tentang korban yang diduga meninggal bunuh diri.

Baca lebih lanjut

Mengapa kita harus membantu anak korban KDRT sekarang?

Margaretha

Pengajar Psikologi Forensik di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya

Membantu anak korban kekerasan saat ini artinya menyelamatkan beberapa atau banyak orang di masa depan. Dengan menghentikan kekerasan dan membantunya pulih secara psikologis, kita bukan hanya menolong satu orang, tapi mungkin juga dapat menolong lebih banyak jiwa kelak.

Baca lebih lanjut

Mendampingi anak dengan trauma di Sekolah

Mendampingi anak dengan trauma di Sekolah

Oleh: Margaretha

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya

trauma schools1

Anak yang mengalami krisis atau tekanan besar dalam hidupnya dapat mengalami trauma. Anak dengan trauma dapat mengalami problem, seperti: sulit tidur, mimpi buruk, menjadi sangat bergantung pada orang lain, atau menjadi menjauh/menarik diri dari orang lain, sulit makan, berperilaku agresif, dan frustasi. Di sekolah, juga bisa muncul masalah perilaku seperti: sulit konsentrasi, dan kesulitan mengikuti instruksi di kelas dan bekerja/belajar dalam kelompok. Sayangnya, problem perilaku ini dapat membuat orang dewasa di sekitar anak salah paham bahwa anak mengalami kesulitan belajar, kesulitan konsentrasi atau gangguan kecemasan biasa. Akibatnya, Guru tidak bisa memahami masalah anak dan kurang dapat memberikan bantuan yang sesuai dengan kebutuhan anak.

Trauma dapat mempengaruhi proses belajar, perilaku anak dan juga interaksi anak dengan orang-orang di sekelilingnya. Oleh karena itu, Guru perlu memahami apa trauma dan bagaimana mendampingi anak dengan trauma di sekolah. Guru juga perlu membekali diri untuk mampu membantu anak didiknya yang mengalami trauma agar bisa belajar walaupun sedang berada dalam situasi krisis. Tulisan ini menguraikan mengenai apa trauma pada anak usia sekolah dan strategi yang dapat dilakukan Guru di sekolah untuk mendampingi anak dengan trauma. Baca lebih lanjut