MENGAJARKAN KEBAIKAN UNTUK MENCEGAH SIKLUS KEKERASAN

Margaretha
Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

The science of kindness.

Sering Guru dan orang tua bertanya, bagaimana mengajari anaknya untuk tidak berkelahi atau bagaimana membuat anaknya peduli pada orang lain dan menunjukkan kebaikan pada orang lain? Ini adalah pertanyaan kita semua. Di tengah-tengah kekerasan yang diteriakkan, ditampilkan, dilihat sehari-hari di Indonesia, bagaimanakah kita bisa mengajarkan kebaikan pada anak-anak kita?

Kekerasan adalah bentuk pelanggaran dan bukanlah penyesuaian psikologis yang sehat. Ketika kekerasan terjadi, baik pelaku dan korbannya sebenarnya mengalami persoalan psikologis, dan mereka beresiko terikat dalam siklus kekerasan.

Siklus kekerasan dapat terjadi di keluarga dan di masyarakat. Penting untuk mengidentifikasi kekerasan dan segera melakukan intervensi agar tidak terjadi atau tidak terulang lagi. Tulisan ini akan menguraikan bagaimana mengajarkan kebaikan adalah hal yang perlu dipilih secara sadar pada saat ini agar anak-anak kita tidak terikat dalam siklus kekerasan.

Apa kekerasan?
Kekerasan adalah bentuk agresi, dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan luka/penderitaan pada orang lain. Penderitaan bisa berupa luka fisik, penderitaan psikologis, kerusakan seksual dan kerugian ekonomi. Secara khas, dalam peristiwa kekerasan, dapat diidentifikasi siapa pelaku (yang melakukan kekerasan) dan korban (yang dikenai kekerasan).

Ada banyak penyebab kekerasan; dari frustasi, manipulasi hingga meniru apa yang dilakukan oleh orang lain di lingkungan sekitarnya.

Kekerasan secara umum dilakukan oleh orang yang kesulitan mengelola emosinya, hingga akhirnya melakukan cara-cara yang mengakibatkan penderitaan bagi orang lain. Misalkan, perasaan sedih dan frustasi bisa diekspresikan dalam bentuk melakukan kekerasan pada orang lain. Hal ini menunjukkan kesalahan berpikir bahwa kekerasan adalah cara lumrah dalam menghadapi emosi negatif diri.

Kekerasan juga dapat digunakan untuk memanipulasi orang lain; dimana orang menggunakan kekerasan untuk menghindari sesuatu atau mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Misalkan, orang akan mengancam dan menyakiti agar orang lain menurutinya. Hal ini juga merupakan perilaku maladaptif, karena artinya orang tersebut tidak memiliki kemampuan penyelesaian masalah.

Kekerasan juga digunakan sebagai bentuk peniruan/imitasi dari apa yang telah dilihat dan dialaminya sehari-hari. Misalkan: anak laki-laki melihat ayahnya memukul Ibunya dan juga dirinya setiap melakukan kesalahan, maka ketika melihat ada orang lain yang melakukan kesalahan si anak segera memukulnya. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan adalah bentuk belajar perilaku yang salah, dan kekerasan dapat dipelajari baik secara sadar dan maupun tidak disadari (bentuk trauma). Saat ini, orang juga bisa belajar kekerasan dari apa yang dilihat di film, sumber internet dan sosial media.

Kekerasan bisa terjadi karena pengaruh lingkungan teman sebaya. Misalkan: anak yang masuk dalam kelompok atau geng yang suka melakukan kekerasan (memiliki nilai pro kekerasan), maka ia lebih mungkin melakukan kekerasan, terutama pada anak lain di luar kelompoknya untuk menunjukkan kekuatan kelompoknya. Hal ini adalah contoh bagaimana kelompok bisa mempengaruhi perilaku kekerasan.

Kekerasan juga bisa terjadi karena berbagai faktor yang kompleks. Sering ditemukan, bahwa anak yang melakukan kekerasan adalah anak yang juga mengalami trauma sebagai korban kekerasan di rumahnya. Traumanya membuatnya sulit mengelola emosi dirinya. Dampak melihat kekerasan secara terus-menerus di rumah juga telah membuatnya belajar untuk memilih kekerasan sebagai cara menyelesaikan masalah.

Seiring dengan waktu, kekerasan yang tidak terselesaikan bisa meningkat menjadi persoalan psikologis dan juga perilaku pelanggaran yang serius. Banyak riset menemukan, anak yang dulunya menjadi korban kekerasan di rumah bisa berkembang menjadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga pada pasangannya. Remaja yang masuk dalam geng motor bisa terlibat dalam berbagai perilaku krimimal, bahkan bisa menjadi karir kriminal.

Perundungan (bullying)
Salah satu bentuk kekerasan adalah perundungan (bullying), yaitu sebuah situasi dimana seseorang melakukan tindakan kekerasan berulang yang menimbulkan perasaan tertekan atau memunculkan resiko menurunnya kesejahteraan psikologis orang lain.

Dalam perundungan, biasanya terjadi ketimpangan kuasa (power imbalance), dimana salah satu pihak, biasanya pelaku, memiliki kuasa lebih dibandingkan korbannya. Perundungan bukan pertikaian seimbang, antara dua pihak yang sama kuasanya.

Beberapa contoh perundungan:
-Menyingkirkan seseorang dari pembicaraan (baik secara langsung, online atau offline)
-Bertindak tidak menyenangkan pada seseorang
-Menunjukkan mimik/gesture jijik, kasar, menghina pada seseorang
-Menyebarkan gosip atau kebohongan, atau dengan sengaja membuat cerita yang salah tentang seseorang untuk menjatuhkannya secara sosial
-Menghina secara berlebihan dan menyakiti orang yang dijadikan obyek hinaan
-Secara sengaja menyakiti dan berulang melakukan kekerasan fisik
-Secara sengaja menguntit dan menyebabkan perasaan tidak senang
-Mengambil keuntungan dan memanipulasi orang lain dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya.
Perundungan bisa terjadi di berbagai konteks, di rumah, di tempat kerja, di sekolah, dan juga di media sosial.

Isi dari perundungan bisa berupa kekerasan fisik (memukul, menendang, mendorong), verbal (kata-kata baik tulis maupun lisan), emosional (kekerasan psikologis dan penelantaran emosional dengan gossip atau perlakuan buruk), dan siber (cyberbullying di media internet).

Di manapun, pada siapapun, perundungan akan menyebabkan penderitaan pada korbannya. Dengan pemahaman ini, maka jelas perundungan tidak untuk dipermaklumkan dan tidak boleh dibiarkan terus terjadi.

Kekerasan di sekolah
Dalam masa usia sekolah (6-18 tahun), anak menghabiskan waktu lebih banyak di sekolah. Sekolah adalah lingkungan hidup anak dan remaja yang sangat penting. Artinya, kualitas relasi dan pengalaman anak di sekolah akan sangat menentukan kesejahteraan psikologisnya (wellbeing) secara umum.

Jika anak mengalami perundungan di sekolah, hal ini akan menurunkan kualitas hidup, performa akademik, kesejahteraan psikologis bahkan kesehatannya. Bukan hanya penderitaan psikologis dan ketidakbahagiaan, tapi anak korban perundungan mengalami lebih banyak persoalan kesehatan (dari psikosomatis maupun persoalan kesehatan lainnya). Perundungan juga ditemukan sebagai salah satu penyebab bunuh diri masa remaja.

Ketika perundungan terjadi di sekolah, maka baik pelaku dan korbannya sebenarnya mengalami persoalan psikologis dan membutuhkan bantuan.

Korban
Secara umum, profil korban perundungan di sekolah biasanya memiliki karakter lemah, rendah diri, memiliki kecacatan/hendaya, tidak punya banyak teman dekat, memiliki persoalan psikologis di rumah, dan kurang cakap dalam menyelesaikan persoalan pribadinya.

Dampak mengalami perundungan, anak bisa memunculkan perilaku:
-Takut dan merasa tidak aman
-Menghindari pergi ke sekolah atau ke tempat tertentu di sekolah karena akan bertemu dengan pelaku
-Merasa bersalah, putus asa dan buntu.
-Sulit berteman dan menyesuaikan diri secara sosial.
-Sering cemas, stress, depresi dan mood negatif
-Menyakiti diri sendiri atau muncul ide bunuh diri
-Kesulitan menjaga motivasi belajar, bermasalah dengan tugas sekolah, dan kurang energi belajar
-Masalah makan atau tidur (berlebih atau menurun)

Perundungan bisa membuat korban makin kesulitan mendapatkan dukungan sosial. Kekerasan yang dialaminya sering membuatnya lebih merasa kesepian karena dijauhi teman dan dia pun semakin mengucilkan diri untuk menghindari kekerasan. Sebagian anak akhirnya tidak melaporkan kekerasan yang terjadi padanya, bahkan berusaha menutupi karena malu. Hal inilah yang justru membuat korban makin terpuruk ketika mengalami perundungan karena tidak mendapatkan bantuan yang dia butuhkan.

Korban perlu juga dibantu untuk berdaya meminta bantuan dan memahami haknya untuk hidup bebas dari beban mental kekerasan.

Pelaku
Pelaku perundungan tidak selalu tampak sama. Pelaku bisa saja tampak:
1.Sebagai orang yang berani dan agresif. Pelaku tipe ini tidak ragu menunjukkan kekuatannya, mudah mengolok-olok bahkan menyakiti secara fisik orang lain.
2.Sebagai orang pendiam tapi culas. Tipe pelaku ini manipulatif, bisa melakukan perundungan secara terselubung, bahkan orang bisa tidak menyangka kalau ia bisa melakukan kekerasan pada orang lain. Ia bisa menyebarluaskan gossip dan cerita bohong hanya untuk melihat reaksi orang-orang sekitarnya.
3.Sebagai orang yang ramah bersahabat tapi palsu. Tipe pelaku ini bisa berpura-pura sebagai teman untuk mendapatkan informasi di awal, namun ia akan menggunakan informasi tersebut untuk menyakiti di kemudian hari.
Secara umum, pelaku akan menunjukkan keinginannya untuk mengontrol orang lain dan sifat egoistik karena fokus pada keinginan dirinya saja. Walaupun tampak lebih kuat atau meyakinkan dalam mengendalikan orang lain, namun dasarnya pelaku perundungan adalah orang yang memiliki kelemahan kemampuan sosial (poor social skills) dan sulit menyesuaikan diri dengan orang lain di sekitarnya. Pada beberapa pelaku, ditemukan memiliki harga diri rendah yang coba dikompensasi atau ditutupi dengan sikap agresif serta kasar pada orang lain. Mereka sebenarnya tidak nyaman dengan dirinya sendiri, dan perundungan dilakukannya untuk sejenak lupa akan persoalannya dan mencari kesenangan sesaat.

Namun ada juga pelaku perundungan yang melakukan kekerasan karena kurangnya empati dan rasa bersalah. Ini khas pada orang dengan kepribadian antisosial/psikopat; dan sangat beresiko bisa berkembang menjadi karir kriminal kelak. Pelaku seperti ini harus mendapatkan intervensi intensif dari tenaga kesehatan mental, seperti: psikolog klinis, psikiater atau pekerja sosial klinis.

Pengamat – Bystander
Selain pelaku dan korban, sebenarnya ada orang lain yang terlibat dalam perundungan, yaitu: pengamat atau orang-orang yang menyaksikan perundungan.

Secara umum, 20-14% remaja melaporkan pernah menjadi korban perundungan; dan sekitar 70% menyatakan pernah melihat perundungan terjadi di lingkungannya (Global Student Health Survey). Sebagian pengamat melaporkan sebenarnya mereka kasihan atau simpati pada korban, namun tidak mampu melakukan apapun untuk membantunya. Ini disebut sebagai efek pengamat, dimana seseorang melihat terjadinya suatu tindakan salah namun tidak melakukan apapun untuk membantu karena pengamat merasa tidak berdaya.

Dalam mencegah perundungan, pengamat perlu didukung agar lebih berani untuk memunculkan aksi menolongnya. Untuk membuat pengamat lebih mungkin menolong temannya, maka akses terhadap bantuan dan siapa yang bisa dimintai bantuan harus diperjelas. Pengamat lebih mungkin mencari bantuan jika terjadi perundungan jika telah dilatih apa dan bagaimana yang harus dilakukan.
1.Tidak akan terlibat dalam perundungan/perilaku penindasan
2.Jangan pernah hanya berdiri dan menonton atau mendukung perundungan
3.Jangan melecehkan, menggoda, atau menyebarkan gosip tentang orang lain, termasuk di situs jejaring sosial seperti Facebook
4.Jangan pernah meneruskan atau menanggapi pesan atau foto yang mungkin menyinggung atau menyakiti orang lain
5.Dukung orang yang di-bully untuk meminta bantuan, misalkan temani ke tempat di mana mereka bisa mendapatkan bantuan atau memberi informasi tentang ke mana harus mencari bantuan
6.Laporkan ke seseorang yang berwenang di sekolah atau seseorang yang dipercaya, seperti guru, atau konselor di sekolah; atau jika penindasan tersebut serius, laporkan ke polisi; atau jika bullying terjadi di Facebook, laporkan ke Facebook.

Memberdayakan pengamat juga dapat dilakukan dengan memberikan psikoedukasi tentang kekerasan dan apa yang bisa kita lakukan untuk mencegahnya. Memberdayakan pengamat artinya juga mencegah budaya kekerasan berkembang di komunitas sekolah.

Pencegahan perundungan di sekolah
Sekolah adalah tempat yang strategis untuk dilakukannya program pencegahan perundungan yang terstruktur. Riset di Amerika Serikat bahwa menemukan program anti-bullying bisa menurunkan perilaku perundungan hingga 20-23% dan menurunkan laporan menjadi korban hingga 17-20% (Farrington & Ttofi, 2009).

Beberapa faktor yang ditemukan menentukan keberhasilan program:
1.Program harus menjadi bagian program rutin sekolah. Artinya konsisten dan intensif dilakukan. Bisa terintegrasi dengan proses belajar dan budaya sekolah.
2.Perlu didukung dengan penguatan orang tua, agar menjadi pendukung munculnya perilaku positif pada anaknya. Artinya, sekolah juga perlu melakukan training atau seminar orang tua tentang penanggulangan kekerasan.
3.Sistem dan aturan di kelas juga harus mendukung pencegahan kekerasan. Misalkan: Guru perlu hadir melakukan pengawasan ketika istirahat untuk mencegah terjadinya kekerasan dan bisa segera melakukan intervensi jika terjadi kekerasan. Dan di sekolah perlu dijelaskan kemana mencari bantuan jika terjadi kekerasan.
4.Fasilitasi interaksi sosial antar teman sebaya yang positif. Sekolah bisa menyusun kegiatan yang membuat antar teman, antar kelas dan antar angkatan untuk saling mengenal dan mengembangkan kerjasama. Hal ini juga ditujukan untuk mengembangkan empati dan mematahkan nilai-nilai yang pro-kekerasan. Jika budaya kekerasan masih ada, maka sulit menghentikan perundungan.

Namun, sayangnya belum semua sekolah memberikan perhatian serius pada perundungan.

Selaras dengan ketentuan hukum tentang perlindungan anak, maka segenap komunitas perlu bekerjasama untuk mencegah kekerasan dan menghentikan perundungan.

Payung hukum perlu digunakan untuk mendukung alokasi sumber daya, penyusunan kebijakan, perencanaan kegiatan untuk mencegah perundungan, dan akreditasi program anti-kekerasan.

Ajari kebaikan bukan kekerasan
Di dalam lingkungan keras, maka kekerasan lebih mungkin muncul. Sebaliknya, dalam lingkungan yang damai dan penuh kebaikan, maka perilaku baik akan lebih mungkin muncul.

Yang bisa kita lakukan sebagai orang dewasa di sekitar anak dan remaja adalah menunjukkan betapa penting menjadi welas kasih pada orang lain dan bertanggungjawab atas segala tindakan kita. Artinya, kita siap menjadi model, panutan atau sumber yang bisa diamati tentang bagaimana menjadi damai dan berbaik hati serta bertanggungjawab atas perilaku diri. Aksi kita akan menjadi contoh yang lebih kuat daripada apa yang kita ajarkan dalam bentuk kata-kata.

Jika pengaruh kekerasan datang dari televisi, film, atau internet. Pastikan orang tua mampu mengendalikan akses tayangan dan koneksi internet. Pengawasan masih perlu dilakukan, apalagi jika anak belum mampu mengendalikan perilakunya sendiri. Hindari tayangan penuh kekerasan, atau yang mendukung kekerasan. Jika terpaksa melihat, pastikan kita menjelaskan dampaknya dan berdiskusi dengan anak untuk memunculkan pemahaman bahwa kekerasan bukan jalan keluar yang adaptif.

Jika ada pengaruh negatif dari tetangga, teman sebayanya atau tokoh di komunitas yang mempropaganda kekerasan. Maka, upayakan untuk melawan pengaruh buruk dengan meningkatkan paparan contoh-contoh perilaku baik yang jelas dan konkret. Edukasi anak dan remaja bahwa perilaku baik lebih kuat daripada perilaku kekerasan. Ajak berdiskusi, atau membaca buku atau menonton film tentang perilaku welas kasih dan empati. Ajari anak bahwa ia adalah manusia yang berharga, samahalnya orang lain juga adalah manusia yang juga perlu dihargai. Bantu anak mampu berpikir dengan kritis dan melakukan perilaku yang manusiawi. Jika ada akses, ajak anak untuk terlibat menjadi relawan membantu orang lain yang membutuhkan.

Ketika anak telah melakukan tindakan kekerasan, kita pun perlu mengajak anak bicara tentang perilakunya ini agar dia paham apa dampak kekerasan, bahwa hal ini salah, dan bagaimana bertanggungjawab atas tindakannya ini (termasuk menerima penalti/hukuman sebagai konsekuensinya).

Namun, yang lebih penting lagi adalah mengajak anak memiliki empati pada orang yang mengalami penderitaan, agar muncul rasa bersalah yang akan membuatnya kelak berpikir ulang atau tidak mau lagi melakukan kekerasan.

Anak dengan harga diri memadai dan konsep diri positif akan lebih mungkin membantu orang lain dan tidak mau melakukan kekerasan pada orang lain. Sebaliknya, anak dengan harga diri rendah dan konsep diri negatif, lebih mungkin terlibat dalam kekerasan.

Sangat penting membuat anak dan remaja belajar memahami dampak perilakunya pada orang lain. Jika orang peduli pada orang lain, maka kelak, ia tidak mau menyakiti orang lain.

Simpulan
Kekerasan terjadi di sekitar kita. Kekerasan berpotensi mengembangkan siklus kekerasan yang terus-menerus memunculkan korban dan pelaku jika tidak ditangani dengan baik. Sekolah adalah tempat strategis untuk melakukan program pencegahan kekerasan dan perundungan.

Selain bekerja dengan korban dan pelaku perundungan, program anti-bullying juga perlu membangun keberanian pengamat dan membentuk nilai pro-empati dan kebaikan. Guru, orang tua dan komunitas perlu menyiapkan diri untuk memfasilitasi belajar empati, rasa bersalah dan welas asih bagi anak dan remaja kita agar menjadi manusia yang tidak melakukan kekerasan pada orang lain.

Referensi:
American Psychological Association (2013). What makes kids care? Teaching gentleness in a violent world. From: https://www.apa.org/topics/teaching-kids-gentleness
Australian Human rights Commission (2012) What you can do to stop bullies –  Be a supportive by stander. From: https://humanrights.gov.au/our-work/commission-general/what-you-can-do-stop-bullies-be-supportive-bystander-violence
Farrington, D. P., & Ttofi, M. M. (2009). School‐based programs to reduce bullying and victimization. Campbell systematic reviews, 5(1), i-148.
Jacobson, S. (2011). Understanding violence: what causes it and how should you respond? From: https://www.harleytherapy.co.uk/counselling/causes-of-violence-how-to-respond.htm

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s