Terlalu Muda untuk Dipidana: Kapan usia yang lebih tepat mulai menerima pertanggungjawaban pelanggaran pidana (Bagian I)

Terlalu Muda untuk Dipidana: Kapan usia yang lebih tepat mulai menerima pertanggungjawaban atas pelanggaran pidana (Bagian I)

Margaretha

Dosen dan Peneliti Psikologi Forensik, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

 

https://www.suara.com/health/2019/07/23/071000/anak-berhadapan-dengan-hukum-potret-buram-perlindungan-anak-di-indonesia?page=all

Di Indonesia, usia minimum pertanggungjawaban pidana di Indonesia adalah usia 12 tahun. Artinya, anak manusia sejak usia 12 tahun di Indonesia dianggap telah memiliki kapasitas kematangan mental dan bertanggungjawab atas perilakunya secara mandiri. Jika anak diputuskan bersalah, maka anak bisa menanggung pidana dalam proses koreksi institusional. Sayangnya, pidana juga bukan jawaban terbaik untuk menyelesaikan persoalan anak berhadapan dengan hukum. Selain mengalami stigma sosial dan sulit beradaptasi ke masyarakat, kebanyakan ditemukan menjadi residivis setelah keluar dari proses pembinaan dan pemasyarakatan. Di tahun 2019, terdapat 11.492 anak Indonesia yang berhadapan dengan hukum yang menanti putusan pidana.

Apakah menurut anda usia 12 tahun sudah matang dalam membuat keputusan? Apakah anak usia 12 tahun dapat diminta pertanggungjawaban atas perilakunya sama seperti orang dewasa? Apa yang perlu diupayakan bagi anak yang melanggar hukum? Artikel ini akan mengupas apa yang dimaksud dengan kematangan mental manusia, baik dari sisi biologis, psikologis dan sosial. Ulasan tersebut ditujukan untuk menjelaskan bahwa anak usia 12 tahun belum mampu melakukan pertanggungjawaban atas perilakunya secara mandiri di depan proses hukum. Lebih lanjut, akan diuraikan mengenai proses koreksi dan rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mengelola perilaku pelanggaran yang dilakukan anak.

 

Usia Minimum Pertanggungjawaban Pidana Pada Anak

Batas usia minimum anak untuk dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atau usia minimum pertanggungjawaban pidana pada anak (UMPPA) adalah usia dimana anak yang melakukan kejahatan dianggap telah memiliki kematangan intelek, emosional dan kapasitas mental untuk memahami perilakunya, sehingga dapat dikenakan pidana dan pertanggungjawaban atas perilaku kejahatan yang telah dilakukannya (McAlister dkk., 2017).

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa secara psikologis sosiologis, dan pedagodis pada umur 12 tahun hingga belum berumur 18 tahun, dan belum pernah kawin sudah mempunyai rasa tanggung jawab atas tindakannya. Sebelum putusan ini, menurut UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, anak yang berusia 8 hingga 18 tahun dan belum kawin dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pidana.

Anak yang berusia di bawah 14 tahun, diarahkan untuk mendapatkan tindakan atau proses diversi. Tindakan adalah bentuk ganjaran pada anak yang masih digolongkan terlalu muda untuk menanggung pidana karena perilaku pelanggarannya. Dalam UU 11/2012, pasal 69, tindakan bentuknya adalah:

  1. pengembalian kepada orang tua/wali;
  2. penyerahan kepada seseorang;
  3. perawatan di rumah sakit jiwa;
  4. perawatan di LPKS;
  5. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
  6. pencabutan surat izin mengemudi;
  7. perbaikan akibat tindak pidana.

Lebih lanjut, hukum pidana anak di Indonesia mengarahkan agar antara usia 12-18 tahun, proses hukum anak diarahkan ke upaya diversi, selama sesuai dengan ketentuannya. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Diversi dilakukan untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, ancaman hukuman di bawah 7 tahun penjara, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum di dearah tersebut (UU 11/ 2012, pasal 9). Bentuk-bentuk diversi adalah:

  1. pengembalian kerugian dalam hal ada korban;
  2. rehabilitasi medis dan psikososial;
  3. penyerahan kembali kepada orang tua/wali;
  4. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) paling lama 3 (tiga) bulan;
  5. pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.

Dalam diversi juga dapat dilakukan dengan upaya perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian materil (UU 11/2012, pasal 11).

Namun, sayangnya di Indonesia saat ini banyak anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) dengan dakwaan lebih dari 7 tahun penjara, seperti kejahatan perampasan kendaraan bermotor, pencurian dengan kekerasan dan pencurian dengan pemberatan, sehingga sulit untuk diajukan diversi (Prasetyo, 2017). Anak yang berhadapan dengan hukum pun meningkat tajam, sejak 2011 sampai 2019, jumlah kasus ABH yang dilaporkan ke KPAI mencapai angka 11.492 kasus (Sulaiman & Halidi, 2019); yang terdiri dari kasus pelanggaran kesehatan dan Napza (2.820 kasus), pornografi dan cyber crime(3.323 kasus), traffickingdan eksploitasi (2.156 kasus), dan kekerasan seksual (102 kasus).

 

https://www.jawapos.com/metro/metropolis/10/04/2017/setiap-hari-dua-anak-masuk-penjara-3c-mendominasi-perkara-abh/

Setiap hari 2 anak masuk Bapas. Data tahun 2017 di Surabaya, Jawa Timur.

 

Implikasi UMPPA ini adalah bisa terjadinya dampak negatif dari proses hukum dan peradilan anak. Peradilan anak tidak selalu dapat menjamin kesejahteraan anak atau untuk melindungi kepentingan anak. Dalam prakteknya cenderung memberikan stigma pada anak, dimana stigmatisasi ini bisa terjadi di tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan hingga ditempat pembinaan/koreksi-rehabilitasi (Rahayu, 2015). Riset oleh Lane dan kolega (2002) menemukan bahwa anak yang mengalami pidana merasa tertolak oleh sistem, dan hal ini menimbulkan amarah dan penolakan terhadap sistem/aturan di masyarakat; yang akhirnya dapat menciptakan perilaku antisosial di masyarakat. Dapat disimpulkan pemidanaan justru menciptakan persoalan penyesuaian diri anak di masa depannya karena telah merasa tertolak oleh masyarakat.

Dalam proses pemidanaan, anak beresiko mengalami gangguan kesehatan mental dan turunnya kesejahteraan psikologisnya. Banyak anak yang berada salam sistem koreksi institusional merasa diperlakukan tidak manusiawi, dipermalukan/direndahkan sebagai manusia, dan ketakutan (Tisdale, 2019). Bahkan, anak yang berada dalam koreksi institusional ditemukan mengalami resiko lebih tinggi kekerasan seksual dan bunuh diri (Tisdale, 2019). Sebagai akibatnya, penelitian menemukan bahwa pemidanaan justru tidak banyak memberikan dampak korektif dan rehabilitatif, namun lebih memperburuk perkembangan anak. Penelitian di Amerika Serikat dan Australia menemukan bahwa anak yang masuk dalam proses pemidanaan justru ditemukan lebih banyak menjadi pelaku kejahatan berulang (reoffending) (Australian Human Rights Commission, 2019; Lambie & Lambert, 2013). Ditemukan sekitar 70%-80% anak yang pernah mengalami koreksi institusional atau proses pembinaan pidana justru menjadi residivis dalam waktu 3 tahun setelah keluar pertama kali (Mendel, 2011).

Peningkatan resiko residivisme pasca pidana anak dapat terjadi jika sistem pemidanaan hanya fokus pada pidana formal institusional, tanpa disertai dukungan dan fasilitasi perubahan perilaku pasca pidana institusional, misalkan: pendampingan perubahan perilaku dan pembinaan anak di masyarakat pasca keluar dari Lapas Anak. Sayangnya, belum banyak sistem dukungan pasca pemidanaan yang sudah dikembangkan saat ini. Hal ini terjadi karena kurangnya dukungan pemerintah dan masyarakat, serta penolakan terhadap anak yang telah dipidana karena adanya stigma buruk di masyarakat. Akibatnya, banyak anak yang kurang mendapatkan dukungan perubahan perilaku pasca pemidanaan akan kembali melakukan kejahatan. Artinya, pemidanaan anak bukan pilihan terbaik bagi anak yang telah melakukan perilaku pelanggaran hukum.

  

Doli incapax

Usia anak yang masih muda biasanya membuat mereka menjadi pihak rentan dalam proses hukum dan peradilan. Dalam hukum, dikenal istilah Doli Incapax (bahasa latin) atau defence of infancy, yang artinya ketidakmampuan merencanakan dan melakukan tindak kejahatan atau pelanggaran. Doli incapax ditentukan dengan asumsi dasar awal bahwa semua anak tidak mampu melakukan kejahatan. Dalam ketentuan hukum, hal ini menjelaskan dalil mens rea– elemen mental kejahatan, atau kejahatan hanya bisa terjadi jika adanya niat melakukan kejahatan. Maka, seseorang yang melakukan pelanggaran namun tidak memiliki kemampuan membedakan salah dan benar, perilakunya tidak dapat digolongkan sebagai kejahatan.

150760019359dc2741cc466

Asumsi doli incapax hanya bisa dipatahkan jika pengadilan menemukan bukti bahwa anak memiliki kemampuan mental untuk merencanakan perilaku kejahatannya atau memiliki pemahaman mental bahwa perilakunya dapat terkait dengan suatu tindak pelanggaran dan kejahatan (pembuktian terbalik). Di dunia, rentang usia penerapan doli incapax adalah 7 tahun hingga 14 tahun. Artinya, setiap anak yang melakukan pelanggaran dan menerima doli incapax maka perilaku pelanggarannya dikategorikan sebagai kenakalan remaja (juvenile delinquency). Namun, jika pengadilan bisa membuktikan bahwa si pelaku anak telah memahami tindakan dan konsekuensinya dengan kemampuan berpikirnya, maka doli incapaxnya akan dicabut, lalu si pelaku anak akan dikenakan pidana.

Di Australia, saat ini usia yang disepakati sebagai rentang usia doli incapax antara usia 10 tahun hingga di bawah usia 14 tahun (Australian Institute of Criminology, 2005). UMPPA di Australia adalah 10 tahun, maka pengadilan pidana anak menerapkan doli incapax pada pelaku pelanggaran anak, kecuali jika pengadilan bisa melakukan pembuktian terbalik. Namun, Brown (2019) menyatakan bahwa proses hukum pembuktian terbalik menjadi suatu momok yang kompleks dalam peradilan anak, karena sangat sulit dibuktikan. Hukum di Australia sedang berproses untuk meningkatkan UMPPA, karena saat ini anak lebih sulit mengakses Facebook (usia minimum memiliki akun Facebook adalah 13 tahun) daripada menerima pidana penjara. Di Indonesia, UMPPA Indonesia adalah sejak usia 12 tahun (UU no. 11 tahun 2012). Sepengetahuan penulis, pelaksanaan doli incapax belum jelas diatur dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia.

Doli incapax pada anak biasanya dikaitkan dengan belum berkembangnya kemampuan mental anak sehingga dianggap belum mampu mengelola dan bertanggungjawab atas perilaku kompleks seperti kriminalitas. Misalkan, orang dengan keterbelakangan mental, atau penyakit mental, atau usia yang belum cukup matang secara mental untuk memahami perilakunya, sebaiknya tidak diperbolehkan dilibatkan masuk dalam persidangan karena proses hukum dan persidangan beresiko menjadi masa penuh stress dan mereka akan kesulitan memahami apa yang mereka alami, sehingga mereka tidak bisa bertanggungjawab atas proses hukum serta hasil putusan persidangan tersebut. Oleh karena itu, anak di bawah umur yang masih tergolong doli incapax, tidak boleh dilibatkan dalam proses hukum yang tidak dipahaminya dan dikenai pertanggungjawaban pidana.

Dasar dari pentingnya konsep doli incapax adalah pengadilan harus dilakukan dengan humanis dan setiap orang yang terlibat di dalamnya harus memiliki kapasitas untuk memahami perilakunya, dan menjalani proses persidangan yang dihadapinya, sehingga akhirnya bisa dianggap mampu mengambil tanggungjawab atas hasil proses hukum dan persidangan (Bradley, 2003; Croft, 2003). Kapasitas memahami perilakunya sering diartikan sebagai kematangan mental. Kematangan mental menjadi topik yang penting dikaji dalam berbagai disiplin, termasuk Psikologi, Neurosains, Hukum dan Ilmu Sosial lainnya, karena akan mempengaruhi pemahaman manusia berhadapan dengan hukum serta penerapan hukum di masyarakat.

 

Temuan riset neurosains mengenai kematangan mental

Berbagai riset dalam bidang neurosains menemukan bahwa otak manusia terus berkembang hingga usia 25 tahunan dan berproses mencapai kematangan hingga menjelang akhir usia 20 tahunan, dimana kecepatan kematangannya bisa berbeda antar individual (Simmonds dkk., 2014). Hal inilah yang membuat beberapa peneliti menetapkan masa remaja berlangsung sejak pubertas hingga masa kematangan penuh, usia 10-24 tahun (Sawyer dkk., 2018).

Pematangan sel saraf adalah proses yang sangat penting dalam proses menuju kematangan mental. Beberapa proses di otak dapat terjadi adalah penebalan lapisan sel saraf otak (myelination) yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan sel saraf untuk meneruskan rangsang; juga penambahan cabang serabut sel saraf (dendritic arborisation) untuk menambah koneksi antar sel saraf dalam rangka memfasilitasi belajar dan ingatan; serta pemangkasan hubungan antar sel saraf (synaptic pruning) dalam rangka memperkuat dan meningkatkan efisiensi hasil belajar (Simmonds dkk., 2014). Koneksi saraf di otak yang matang akan membuat manusia lebih mampu membuat keputusan, dengan lebih cepat, dan dengan mempertimbangkan hasil belajar/pengalamannya sebelumnya.

Di dalam otak ada bagian yang disebut white matter, yaitu bagian otak berisi sel-sel saraf yang mengalami pematangan secara bertahap. Dimulai dari pematangan bagian batang otak dan fungsi gerak-sensoris tubuh (basic sensorimotor and brainstem systems), lalu ke area pre-frontal cortex yang mengendalikan fungsi eksekutif dan sistem integrasi dengan kendali emosi (executive and emotion systems). Keseluruhan proses ditemukan akan selesai di usia akhir 20 tahunan (Simmonds dkk., 2014). Secara pararel, proses pematangan juga terjadi pada bagian-bagian otak lainnya, terutama yang bertanggungjawab atas fungsi kognitif kompleks, sehingga akan mempengaruhi kapasitas kendali sosio-emosioal, pengambilan keputusan, pembuatan relasi sosial, perilaku dan kesejahteraan psikologis manusia. Artinya, walaupun bagian otak yang bertanggungjawab pada fungsi berpikir rasional sudah mencapai perkembangan penuh pada usia sekitar 16 tahun; namun kematangannya baru tercapai sekitar 10 tahunan kemudian, terkait dengan kematangan pada aspek kendali emosi dan fungsi eksekutif yang baru selesai pada sekitar usia 20 tahunan.

Pengambilan keputusan bukan hanya soal paham atau mampu berpikir rasional (fungsi kognitif – dikelola oleh interaksi bagian otak lateral pre-frontal, parietal cortexdan anterior cingulate cortex) tapi juga mempertimbangkan kendali emosi (fungsi sosio-emosional – dikendalikan pada bagian otak sistem limbicdan paralimbic), dan pengendalian perilaku (fungsi eksekutif – dikendalikan oleh prefrontal cortex) (Johnson, 2019; Steinberg, 2007). Pada masa remaja, kematangan ketiga fungsi ini tidak terjadi secara bersamaan. Secara kognitif, orang bisa saja memahami aturan perilaku, namun belum tentu melakukan perilaku sesuai dengan aturan, karena kematangan emosi dan pengendalian perilakunya belum matang secara penuh. Remaja bisa mengambil resiko dengan melakukan perilaku pelanggaran peraturan, karena kurangnya perasaan takut atau rendahnya kendali dirinya. Akibatnya, walaupun remaja tampak mampu berpikir intelek seperti orang dewasa, namun kemampuan kelola sosio-emosional dan kendali perilakunya masih terbatas. Kematangan mental manusia akan lengkap jika proses perkembangan dan kematangan otak telah terpenuhi, baik pada kemampuan kognitif-rasional, kendali sosio-emosional, dan fungsi eksekutif (Johnson, 2019). Diperkirakan keseluruhan kematangan otak baru selesai di akhir usia 20 tahunan.

Temuan-temuan ini menjelaskan bahwa sebelum mencapai kematangan otak, maka manusia masih beresiko tinggi melakukan perilaku yang kurang pertimbangan, perilaku beresiko dan perilaku pelanggaran. Hal ini terjadi karena otak yang belum matang dan belum selesai perkembangannya, membuat manusia rentan mengambil keputusan yang salah. Hasil temuan ini selayaknya digunakan membuat pertimbangan untuk meningkatkan usia minimum pertanggungjawaban perilaku kriminal. Usia di bawah 20 tahun tidak bisa dilihat sebagai usia kronologis yang cukup memfasilitasi kematangan mental untuk mengambil keputusan dan bertanggungjawab penuh atas perilaku manusia.

 

Referensi:

Australian Institute of Criminology, The age of criminal responsibility, September 2005 (Canberra). Diakses dari  https://aic.gov.au/publications/cfi/cfi106

Australian Human Rights Commission (2019). Raising the age of criminal responsibility. Diakses dari https://www.humanrights.gov.au/about/news/raising-age-criminal-responsibility

Bradley, L. (2003). The age of criminal responsibility revisited. Deakin Law Review, 4. Diakses dari http://www.austlii.edu.au/

Brown, A.L. (2019). Commonwealth, states and territories must lift minimum age of criminal responsibility to 14 years, remove doli incapax. Diakses dari https://www.lawcouncil.asn.au/media/media-releases/commonwealth-states-and-territories-must-lift-minimum-age-of-criminal-responsibility-to-14-years-remove-doli-incapax

Crofts, T. (2003). Doli incapax: why children deserve its protection. E-law, 10, 1-15. Diakses dari http://www.murdoch.edu.au/elaw/issues/v10n3/crofts103.html

Johnson, S. (2019). Why is 18 the age of adulthood if the brain can take 30 years to mature. Diakses dari https://bigthink.com/mind-brain/adult-brain?rebelltitem=2#rebelltitem2

Lane, J., Lanza-Kaduce, L., Frazier, C. E., & Bishop, D. M. (2002). Adult versus juvenile sanctions: Voices of incarcerated youths. Crime & Delinquency, 48, 431-455. http://dx.doi.org/10.1177/0011128702048003004

McAlister, S., Carr, N., Dwyer, C. & Lloyd, K. (2017). Raise the Age? Children’s attitudes towards the minimum age of criminal responsibility. Research Update, 113, 1-4.

Prasetyo, S.E. (2017). Setiap hari dua anak masuk penjara. 3 C mendominasi perkaran anak berhadapan dengan Hukum. Diakses dari: https://www.jawapos.com/metro/metropolis/10/04/2017/setiap-hari-dua-anak-masuk-penjara-3c-mendominasi-perkara-abh/

Pryde, N. (1999). Criminal responsibility: A psychological viewpoint. Diakses dari: http://www.childrenrights.org.hk/v2/archive/04concerns/JuvenileJustice_PsychologicalViewpoint.pdf

Sawyer, S.M., Azzopardi, P.S., Wickremarathne, D., & Patton, G.C. (2018). The age of adolescence. Lancet Child and Adolescent Health,1-6. Doi: http://dx.doi.org/10.1016/ S2352-4642(18)30022-1

Simmonds, D.J., Hallquist, M.N., Asato, & M., Luna, B.
(2014). Developmental stages and sex differences of white matter and behavioral development through adolescence: A longitudinal diffusion tensor imaging (DTI) study. Neuroimage,92, 356–368.

Steinberg, L. (2009). Adolescent development and juvenile justice. Annual Review of Clinical Psychology, 5, 459-485.

Sulaiman, M.R. & Halidi, R. (2019). Anak berhadapan hukum tertinggi, Potret buram perlindungan anak Indonesia. Diakses dari: https://www.suara.com/health/2019/07/23/071000/anak-berhadapan-dengan-hukum-potret-buram-perlindungan-anak-di-indonesia?page=all

Tisdale, A. (2019). The effects of incarceration on juveniles in prison and during reentry. University of Tennessee at Chattanooga.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2012 tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Unicef (2010). Child Development and Psychology Toolkit on Diversion and Alternatives to Detention. Diakses dari https://www.unicef.org/tdad/index_56375.html

Urbas, G. (2000). The age of criminal responsibility. Trends & Issues in Crime and Criminal Justice, 181.

Tinggalkan komentar