Dinamika Psikologi Korban dan Saksi dalam Memberikan Kesaksian: Peradilan atas Trauma atau Trauma karena Peradilan?

Tulisan ini telah dipublikasikan dalam Jurnal Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban tahun 2012.

Weeping Woman 1937 Pablo Picasso 1881-1973 Accepted by HM Government in lieu of tax with additional payment (Grant-in-Aid) made with assistance from the National Heritage Memorial Fund, the Art Fund and the Friends of the Tate Gallery 1987 http://www.tate.org.uk/art/work/T05010

Apakah memberikan kesaksian atas tindakan kejahatan yang dialaminya di peradilan memberikan efek kelegaan pada korban, terutama ketika melihat pelaku kejahatan diadili atas perbuatannya? Apakah bersaksi di peradilan membuat korban menjadi tidak lagi menyimpan dendam atau menurunkan kemungkinan membalas dendam? Atau, apakah pengalaman memberikan kesaksian di peradilan justru memperdalam luka emosional dan psikologis korban karena seperti mengulang kembali penderitaan yang pernah dialaminya? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah fokus dari logika pemberian keterangan dalam peradilan.

Baca lebih lanjut

Hukuman maksimum dan bantuan rehabilitatif bagi predator seksual

https://www.registeredoffenderslist.org/how-to-confront-a-child-predator.html

Kebiri kimia dan psikoterapi perlu dilihat sebagai bantuan rehabilitatif agar predator seksual/pelaku kejahatan seksual berulang yang disertai kekerasan agar mampu mengendalikan seksualitasnya. 

Riset Psikologi Forensik di Universitas Airlangga menemukan bahwa usia adalah prediktor penting pengulangan kejahatan seksual. Artinya, untuk mencegah pengulangan kejahatan seksual, pelaku dalam usia produktif seksual dengan korban/perilaku jamak dan disertai kekerasan, sangat disarankan mendapatkan hukuman maksimal dan dibantu untuk mampu mengelola seksualitasnya kelak.

Dampaknya, pelaku kejahatan seksual dengan ciri tersebut harus diberikan bantuan rehabilitatif kebiri kimia dan psikoterapi intensif selama minimal 2 tahun oleh negara.

Tulisan ini akan mengulas apa kejahatan seksual pada anak di bawah umur dan hubungannya dengan kebiri kimia, serta apa hal yang perlu dilakukan untuk mencegah kejahatan seksual pada anak di bawah umur.

Baca lebih lanjut

Money talks: Ketika uang membuka tabir di Sex Trafficking

Mengapa perlu melacak transaksi keuangan dalam investigasi kejahatan perdagangan manusia terkait eksploitasi seksual (sex trafficking)

Setiap tahunnya, dari hampir 25 juta orang yang terperangkap dalam perdagangan manusia (human trafficking), ada sekitar sekitar 4 juta anak, perempuan dan laki-laki menjadi korban perdagangan manusia terkait eksploitasi seks (sex trafficking). Data dari United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC, 2020) menunjukkan bahwa korban perdagangan manusia terkait eksploitasi seks korbannya mayoritas adalah perempuan dewasa (67%), lalu diikuti dengan anak perempuan di bawah umur (25%), dan laki-laki dewasa (5%), dan anak laki-laki di bawah umur (3%). Dan menurut International Labour Organization (ILO, 2018 dalam Kelly, 2019), sebagian besar korban berada di negara Asia dan Pasifik (70%), dan sisanya menyebar di Eropa (14%) dan di benua Amerika (4%).

Secara ekonomi, perdagangan manusia dan eksploitasi seks termasuk bisnis ilegal dengan keuntungan sangat besar, ILO mencatat keuntungan yang didapat sekitar USD 99 milyar (bisnis ilegal besar lainnya: penjualan nakotika, tenaga kerja illegal dan penjualan organ manusia). 

Namun yang menyedihkan adalah, penanganan hukum kejahatan eksploitasi seks sangatlah rendah (UNODC, 2020). Bahkan di beberapa negara, pelaku dan kaki tangan kejahatan ini bisa sangat mudah beroperasi mencari korban dan melanggengkan bisnis ilegalnya.

Baca lebih lanjut

Pornografi Mengancam Pribadi, Relasi, dan Komunitas (Bagian II)

https://www.apa.org/monitor/2014/04/pornography

Pornografi merusak komunitas
Komunitas dibangun dari relasi. Pornografi dapat mengikis kemampuan manusia untuk mengelola diri, kesulitan membangun dan mempertahankan relasi, bahkan merusak keluarga. Sebagai akibatnya relasi-relasi yang seharusnya menjadi pondasi dapat hancur dan mengancam keberlanjutan komunitas.

Pornografi adalah ancaman bagi komunitas karena mengikis moral, menghancurkan relasi, serta menciptakan marginalisasi.

Pornografi dan banalisasi kekerasan seksual
Konsumen pornografi perlu memahami asal video yang dinikmatinya. Penelitian oleh Griffith dan kolega (2012) di pusat industri pornografi di Los Angeles, Amerika Serikat terhadap 176 aktris video porno. Mereka menemukan sebagian besar video dibuat secara komersil, dimana aktris melakukannya demi mendapatkan uang (53%), seks (27%), perhatian (16%), serta kesenangan (11%). Namun, ada 1% video dibuat dengan pemaksaan dan kekerasan.

Kenyataannya, tidak semua video porno dibuat secara sukarela. Seorang perempuan bernama Rose Kalemba mengalami penculikan, pemerkosaan dan penganiayaan berat di usia 14 tahun oleh tiga orang laki-laki (Mohan, 2020). Rose diculik, dipukuli, ditusuk, diperkosa selama 12 jam, dan kejadian itu direkam pelaku. Lebih buruknya, beberapa bulan kemudian, ia menemukan video pemerkosaannya (dimana dia dalam keadaan tidak sadar, baju berdarah dan diperkosa) ditayangkan di situs Pornhub. Rose harus berjuang keras meminta Pornhub berhenti menayangkan video tersebut.

Selain kasus Rose, banyak juga video porno yang disebarluaskan di media sosial dengan latar belakang balas dendam (revenge pornography). Seseorang menyebarluaskan rekaman intimnya tanpa persetujuan pasangannya; dan ini dilakukan karena konflik dan niat mempermalukan pasangannya.

Kepekaan kemanusiaan orang yang mengkonsumsi pornografi bisa berkurang. Mereka menikmati pemerkosaan yang jelas-jelas bukan tampilan seks sehat dan normal. Bisa dibayangkan bagaimana sikap dan perilaku seks bisa rusak karena terbiasa menyaksikan tayangan pornografi menyimpang seperti itu. 

Baca lebih lanjut