Margaretha
Pengajar Psikologi Forensik di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya
Membantu anak korban kekerasan saat ini artinya menyelamatkan beberapa atau banyak orang di masa depan. Dengan menghentikan kekerasan dan membantunya pulih secara psikologis, kita bukan hanya menolong satu orang, tapi mungkin juga dapat menolong lebih banyak jiwa kelak.

Krisis pandemi dan kekerasan
Dalam krisis pandemi ini, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) meningkat. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melakukan survei pada lebih dari dua-ribu orang, dan menemukan, kekerasan ekonomi dan psikologis meningkat terjadi pada orang yang berasal dari kelompok ekonomi menengah-bawah. Kekerasan fisik dan seksual juga tercatat terjadi dalam konteks keluarga. Lembaga pendampingan dan konseling kekerasan terhadap perempuan, Rifka Annisa sudah mencatat antara Januari-April 2020, kasus kekerasan anak dan perempuan yang dilaporkan naik 100% dari tahun lalu.
Anak dan perempuan adalah korban kekerasan yang paling sering terjadi dalam konteks rumah tangga atau keluarga karena merupakan anggota yang tergolong lemah, jika dibandingkan dengan kuasa yang dimiliki laki-laki atau pemimpin keluarga. Di negara dimana masyarakatnya masih memeluk nilai patriarki sangat kuat, akan terjadi ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Dan sebagai akibatnya, posisi perempuan dan anak menjadi lebih lemah dan sangat beresiko mengalami kekerasan.
Penyebab kekerasan di rumah sering diatribusikan terjadi karena persoalan ekonomi. Komnas Perempuan juga menyuarakan bahwa tekanan finansial pandemi membuat orang lebih melakukan KDRT. Dalam krisis pandemi, orang dewasa bisa menjadi stress dan tertekan karena ekonomi, hilangnya pekerjaan atau bertambahnya pekerjaan dan tugas-tugas rumah yang harus dilakukan secara bersamaan; hal ini membuat mereka melemparkan kemarahannya kepada orang-orang di sekitarnya, terutama pada yang lebih lemah.
Tapi faktor ekonomi bukan penyebab kekerasan
Kekerasan dalam rumah tangga dalam kerangka hukum diartikan sebagai segala perilaku yang mengakibatkan timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Sekali saja perilaku kekerasan terjadi, maka sudah bisa dianggap pelanggaran hukum.
Namun, dalam perspektif psikologis, perilaku kekerasan dalam relasi intim atau keluarga dilihat bukan sekedar sebagai peristiwa unik dan tunggal, tapi peristiwa kekerasan yang berulang secara khas terjadi dalam suatu konteks relasi intim/keluarga. Dalam KDRT juga dapat terjadi dinamika perilaku kekerasan, dalam arti perilaku kekerasan dapat semakin meningkat atau menurun baik secara intensitas (kuat-lemah), frekuensi (sering-jarang) dan ekstensitasnya (macam jenisnya fisik, seksual, ekonomi, penelantaran). Oleh karena itu identifikasi kasus KDRT akan selalu perlu menggali riwayat pola dan dinamika pola perilaku kekerasan dalam relasi pelaku dan korbannya.
Artinya, ada suatu yang salah dalam relasi ini; sehingga ketika mengalami suatu persoalan (baru), yang muncul bukannya kemampuan penyelesaian masalah, tapi kekerasan. Tekanan ekonomi masa pandemi bisa memberikan dampak tekanan dan sumber stress tambahan bagi keluarga, bagi pelaku dan korban, serta seluruh masyarakat. Tapi tidak semua orang yang mengalami tekanan akan melakukan kekerasan pada anggota keluarganya. Maka, faktor ekonomi bukan penyebab orang melakukan KDRT.
Siklus kekerasan antar generasi
Mengapa orang melakukan kekerasan dalam keluarga? Seharusnya keluarga menjadi sumber kebahagiaan dan perasaan tenang, bukan sumber perasaan takut dan marah. Tapi jika seorang manusia, sejak lahir dan berkembang dalam keluarganya mengalami rasa takut, marah dan tertolak secara berulang-ulang, maka ia akan belajar membenci dan kemarahan menjadi bagian hidupnya.
Penelitian di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga pada tahun 2012 menemukan bahwa sebagian besar pelaku KDRT yang tercatat di Polrestabes Surabaya adalah dulunya mengalami kekerasan pada masa kecilnya sebagai korban. Pelaku KDRT, dulu di masa kecilnya, mereka adalah anak laki-laki yang mengalami luka berulang akibat kekerasan fisik dan psikologis dari orang tuanya atau menyaksikan ketika ibu mereka dipukuli dan dihina oleh ayahnya; dan ketika berkembang dewasa mereka belajar bahwa kekerasan adalah cara menyelesaikan masalah dan tekanan hidup. Pada akhirnya ketika mereka dewasa, sebagian besar menjadi laki-laki yang akan melakukan kekerasan jika menghadapi persoalan dalam hidupnya.
Dulu mereka membenci melihat ayahnya memukuli dan menghina ibunya karena adanya masalah; mereka mengutuk setiap kali ayahnya memukuli mereka tanpa ampun karena melakukan kesalahan. Tapi ketika dewasa mereka menyaksikan diri mereka sendiri melakukan hal yang sama. Memukul ketika istri tidak patuh, mendisiplinkan anak dengan memukul dan mencaci supaya hormat padanya sebagai kepala rumah tangga. Kekerasan dipelajari menjadi cara yang bisa digunakan ketika berhadapan dengan masalah dan stress. Inilah aspek yang merusak, ketidakmampuan menyelesaikan masalah dengan cara yang konstruktif, tapi menggunakan kekerasan sebagai cara membuat orang lain yang lebih lemah untuk bisa ditaklukkan dan dikontrol. Inilah penyebab KDRT.
Penelitian ini juga menemukan dampak negatif pada korban anak perempuan. Anak-anak perempuan yang mengalami kekerasan atau menyaksikan kekerasan, sebagian berkembang menjadi remaja yang memiliki harga diri lebih rendah dari orang muda seusianya. Dan sebagian dari mereka yang mengaku telah memiliki relasi intim melaporkan, bahwa mereka pun berada dalam relasi intim yang dipenuhi kekerasan. Korban anak perempuan bisa berkembang menjadi perempuan muda yang mengalami kekerasan, kontrol dan manipulasi, penolakan dan penelantaran dari pasangan intim (pacaran/tunangan) mereka. Dan bukan tidak mungkin, berlanjut hingga menjadi pasangannya kelak dalam pernikahan yang akan berisi kekerasan.
Mengapa? Dalam psikologi dijelaskan dengan pola relasi intim yang berkembang di masa dewasa sebenarnya dibentuk sejak masa kanak. Bagaimana cara individu merasa, menerima diri dan berelasi dengan orang lain, awal pembentukannya terjadi sejak masa kanak sebelum usia 2-5 tahun (baca attachment theory). Dan manusia adalah mahluk yang terikat dengan pola. Pola yang telah terbentuk sejak kanak ini relatif menetap, secara sadar dan tidak sadar dipertahankan. Salah satu indikasinya, ketika dewasa, manusia mencari pasangan relasi intimnya yang bisa memberikan perasaan yang familiar dengan apa yang pernah dialaminya dulu. Pada anak-anak yang besar di dalam kekerasan, walaupun secara rasional membenci kekerasan, tapi kekerasan memberikan perasaan yang lebih familiar daripada hal lainnya. Sebagai akibatnya, mereka bisa kembali terlibat dan terikat dalam relasi yang dipenuhi oleh kekerasan.
Korban langsung dan korban tidak langsung
Anak-anak yang tinggal dalam lingkup keluarga yang mengalami KDRT memiliki resiko yang tinggi mengalami penelantaran atau menjadi korban langsung; namun juga bisa menyaksikan kekerasan atau korban tidak langsung. Baik korban langsung dan korban tidak langsung mengalami dampak negatif kekerasan yang merusak. Kemampuan otak manusia memproses informasi dari apa yang dilihatnya (mirroring), membuat korban tidak langsung memproses pengalaman luka di otak, sama seakan-akan ia yang mengalaminya sendiri.
Dampak negatif KDRT bukan hanya dalam jangka pendek tapi hingga berdampak ke jangka panjang, misalkan: gangguan emosional, masalah sosial, gangguan perilaku, gangguan fokus dan berpikir, serta dampak jangka panjang. Gangguan perilaku dan sosial dapat muncul dalam bentuk perilaku agresif, kemarahan, kekasaran, perilaku menentang dan tidak patuh. Gangguan emosional muncul seperti meningkatnya rasa takut, kecemasan, relasi yang buruk dengan saudara kandung, teman bahkan orang tua, serta menurunnya self esteem anak. Gejala kognitif dapat terlihat dari menurunnya prestasi anak di sekolah. Masalah sosial juga muncul terbatasnya kemampuan penyelesaian masalah, kecenderungan sikap yang mendukung perilaku kekerasan, bahkan hingga terbentuknya nilai dan sikap yang negatif. Pada jangka panjang, mereka akan memiliki kemampuan penyelesaian masalah yang buruk, sehingga rentan depresi, bahkan beresiko tinggi menjadi pelaku KDRT ketika dewasa.
Melihat dampak buruk ini, maka baik korban langsung maupun anak yang menyaksikan kekerasan harus dibantu untuk berhenti terpapar atau terlibat dalam kekerasan.
Bagaimana menolong?
Kita dapat membantu dengan cara:
- Sebagai anggota masyarakat, memberikan telinga untuk mendengarkan, menjadi peka untuk melihat siapa yang mengalami dan melakukan kekerasan di sekitar kita. Kita perlu lebih peka pada perempuan dan anak korban kekerasan, dan siapapun yang membutuhkan bantuan untuk keluar dari penderitaan dan isolasi dengan cara yang paling aman. Jangan menyalahkan korban atau berprasangka kalau dia berbohong. Memang ada laporan palsu, namun jumlahnya tidak banyak. Biarkan proses berjalan hingga ia mendapatkan bantuan yang dibutuhkannya.
Tunjukkan juga pada pelaku, bahwa kita tahu apa kekerasan yang tengah terjadi, hal ini agar membuat pelaku berpikir ulang jika mau melakukan kekerasan lagi. Ajak juga agar pelaku mendapatkan koreksi psikologis perilakunya agar berhenti menggunakan kekerasan dalam menghadapi masalah. Perlu dipahami, pelaku kekerasan membutuhkan psikoterapi psikologis dalam jangka panjang bukan hanya sekedar berjanji sesuai dengan nilai normatif (adat, budaya, agama) masyarakat saja.
Pemulihan psikologis perlu dilakukan pada korban dan pelaku untuk menyelesaikan persoalan KDRT secara tuntas.
- Sebagai pemuka agama, pemimpin masyarakat dan orang yang dituakan di komunitas, perlu mengembangkan pemahaman, keahlian dan kepekaan mengenai kekerasan pada anak dan perempuan; karena merekalah yang menjadi pintu awal laporan kekerasan dan tempat dimana korban pertama kali mengadu;
Sebagai pemuka agama, mulailah menyampaikan kotbah mengenai kekerasan dalam pelayanannya. Mulai terbuka pembicaraan mengenai KDRT dan cara pencegahan atau penyelesaiannya yang benar. Jangan berhenti dengan memaafkan atau ayat agama, karena yang sering terjadi justru ayat agama disalahgunakan untuk membungkam perempuan dan anak dalam kekerasan.
Perlu ditekankan, bahwa upaya membantu korban KDRT harus dilakukan dengan cara seksama dan aman. Artinya, mengajak bicara dan membantu mereka harus dipastikan dilakukan pada waktu dimana pelaku tidak bisa menyakiti atau membahayakan mereka. Sering, korban sudah melemah karena mengalami kekerasan bertahun-tahun, bahkan hingga tidak melihat apa yang mereka alami sebagai bentuk kekerasan lagi.
Jika dibutuhkan, maka bantulah korban mendapatkan bantuan dari Kepolisian atau Layanan korban KDRT di daerah kita masing-masing. Seiring dengan upaya pemulihan, korban dan penyintas akan membutuhkan konseling dan psikoterapi psikologis untuk pemulihan lukanya. Dan sangat penting diperhatikan, agar seluruh orang terdampak KDRT, baik orang dewasa maupun anak-anak, baik korban langsung dan korban tidak langsung, perlu mendapatkan layanan pemulihan psikologis yang tuntas. Hanya dengan rekonsiliasi psikologis inilah kita bisa memutus rantai kekerasan KDRT antar generasi.
Mengapa harus menolong sekarang?
Dengan menghentikan kekerasan maka kita membantu korban kekerasan, baik yang secara langsung atau tidak langsung, untuk mendapatkan rasa aman. Dengan demikian, korban (victim) bisa berproses untuk menjadi orang yang selamat atau penyintas (survivor). Penyintas tetap membutuhkan proses pemulihan jangka panjang untuk terus memupuk pertumbuhan pribadi dan kekuatan dirinya. Luka fisik dan psikis yang telah dialami tidak hilang begitu saja. Penyintas perlu mendapatkan bantuan diakui pengalaman dan perasaannya (emotional validation), mendukung kemampuan pengelolaan diri (regain self control) dan pendampingan pertumbuhan pribadi (support on self development). Kemampuan keluar dari trauma KDRT inilah yang dapat menjadi indikator keberhasilan penanganan KDRT. Penyintas anak yang telah keluar dan mampu mengelola trauma KDRT-nya, dapat terhindar dari efek jangka panjang KDRT. Maka penting, agar pasca KDRT, orang bergerak dari korban menjadi orang yang selamat (from victim to survivor).
Karena dengan menjadi penyintas, maka mereka tidak lagi terikat dengan luka kekerasan di masa lalu, dan tidak akan terkukung dalam perasaan marah yang menyebabkan mereka menjadi pelaku kekerasan di keluarga mereka kelak. Dengan membantu korban KDRT masa kanak, kita bisa menyelamatkan pasangan, anak dan keluarga mereka kelak dari resiko mengalami kekerasan berulang – antar generasi.
Dengan memberikan kesempatan penyintas mengalami pendampingan dan pemulihan psikologis, mereka bisa memahami dan menerima diri mereka sendiri. Kelak, mereka pun menjadi lebih mampu berhadapan dengan tekanan, stress yang dialami dalam hidup, tanpa harus menyakiti atau melakukan kekerasan pada yang lebih lemah.
Karena, setelah kekerasan, perubahan dan perkembangan pribadi masih terus dapat terjadi.