Mood Disorders dan Bunuh Diri : Analysis Kasus Kematian Sylvia Plath

Mood Disorders dan Bunuh Diri : Analysis Kasus Kematian Sylvia Plath

Bernadeta Ayuning, Damianus Yanna, Dimas Panigraha, Dyah Rizka,  Frantic Claudia & Kecia Eunike (Mahasiswa Peserta Matakuliah Psikopatologi)

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya

God, but life is loneliness, despite all the opiates, despite the shrill tinsel gaiety of “parties” with no purpose, despite the false grinning faces we all wear. And when at last you find someone to whom you feel you can pour out your soul, you stop in shock at the words you utter – they are so rusty, so ugly, so meaningless and feeble from being kept in the small cramped dark inside you so long. Yes, there is joy, fulfillment and companionship – but the loneliness of the soul in its appalling self-consciousness is horrible and overpowering.
(Sylvia Plath)

Pada tahun 1963, Sylvia Plath ditemukan tewas di dapur dengan kepala yang berada di dalam oven dan gas yang dihidupkan beberapa hari sebelum jadwalnya untuk berkonsultasi pada dokter psikiater pribadinya. Usahanya dalam melawan penyakit mental tertuang melalui novelnya yang berjudul The Bell Jar (1963). Novel tersebut dibuat sesuai dengan kehidupan nyatanya dan berbicara tentang seorang wanita muda yang memiliki permasalahan mental.

Baca lebih lanjut

Ajaran agama dan pemakluman kekerasan pada perempuan

Ajaran agama dan pemakluman kekerasan pada perempuan

Oleh: Margaretha

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

o-VIOLENCE-AGAINST-WOMEN-facebook

Domestic violence victim

Anna datang ke seorang Imam Katolik untuk menyampaikan masalahnya, mengenai usahanya untuk berpisah dari suaminya, Alex, yang sering melakukan kekerasan verbal dan fisik di rumah. Imam tersebut lalu memanggil Konselor untuk memberikan layanan konseling pernikahan pada pasangan ini, dengan harapan agar tidak perlu terjadi perceraian. Alex awalnya tidak mau turut proses konseling, namun Imam menggunakan pengaruhnya untuk memaksa di suami untuk turut dalam konseling dan berusaha berubah demi mempertahankan pernikahan. Anna yang awalnya tidak mau ikut konseling, berusaha menuruti Imam. Ia berupaya menerima suaminya. Imam bahkan turut dalam sesi konseling pertama untuk memahami proses konseling tersebut. Namun, ia menyatakan kurang memahami persoalan kekerasan dalam rumah tangga, sehingga ia tidak mau turut campur dalam proses konseling keluarga yang menurutnya terlalu sekuler. Alex pun hanya mau terlibat dalam 2 kali konseling, lalu menolak ikut lagi. Menurut suaminya pembicaraan dalam konseling sia-sia dan berlawanan dengan prinsipnya yaitu: suami adalah pemimpin keluarga. Alex malah mempengaruhi istrinya untuk tidak mengikuti konseling dan melanjutkan hidup dengannya begitu saja. Tidak banyak perubahan terjadi pada Alex, ia tetap kasar secara verbal setiapkali ada masalah dalam keluarganya. Akhirnya, Anna memutuskan melanjutkan proses perceraian karena tidak mau anak-anaknya hidup dalam kekerasan. Setelah itu, Imam menyatakan bahwa ia tidak bisa lagi mendampingi Anna, karena perceraian telah melampaui tugasnya sebagai Imam Katolik. Anna harus sendirian berjuang demi keamanannya dan anak-anaknya. Anna keluar dari rumah dengan membawa anak-anaknya untuk menghindari semua ancaman Alex. Sejak itu, hubungan religius Anna dan Alex dengan gereja katolik menjadi sangat jauh. Baca lebih lanjut

Apa yang Gereja dapat lakukan untuk menghentikan KDRT?

Apa yang Gereja dapat lakukan untuk menghentikan KDRT?

Oleh: Margaretha

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

church 1

Dalam website United States Conference of Catholic Bishops (USCCB), mereka menyatakan bahwa gereja katolik menolak tegas kekerasan pada perempuan baik di dalam rumah atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), serta di luar rumah. Segala bentuk kekerasan –  fisik, seksual, psikologis, verbal- adalah Dosa, serta kejahatan hukum. Gereja memahami bahwa kekerasan dapat juga terjadi pada laki-laki, namun sebagian besar korban kekerasan adalah perempuan dan anak-anak. Sebagian besar kekerasan pada perempuan dilakukan oleh pasangan atau suaminya.

Gereja katolik mengajarkan bahwa hukum yang utama adalah Kasih, maka kekerasan pada manusia lain adalah pelanggaran hukum utama gereja. Ketika mengalami kekerasan keluarga yang telah diberkati dengan sakramen suci pernikahan, maka korban dapat bertanya, “Bagaimana mungkin kekerasan yang saya alami ini bisa membuat saya mempertahankan janji saya dulu untuk bersama dalam suka dan duka?” Seharusnya, adalah tugas gereja membantu korban memahami bahwa menghentikan kekerasan bukanlah membatalkan janji pernikahan. Baca lebih lanjut

Menghapus Mitos KDRT dalam Gereja

Menghapus Mitos KDRT dalam Gereja

Oleh: Margaretha

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

dv free zoneDalam buku “Responding to Domestic Violence: Guidelines for those with pastoral responsibilities” oleh Kathleen Ben Rabha dan koleganya di tahun 2006, terurai bahwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) telah dianggap sebagai masalah yang penting ditangani di gereja.

Gereja memiliki standar yang tinggi terhadap kasih, kepedulian serta kesetiaan dalam pernikahan serta keluarga. Oleh karena itu, selayaknya gereja juga memberikan bantuan ketika keluarga mengalami persoalan, termasuk di dalamnya KDRT. Akan menjadi suatu hal yang menyedihkan jika gereja gagal dalam melindungi korban KDRT dan tidak membantu proses penyelesaian KDRT hanya karena ketidaktahuan dan keengganan keluar dari mitos. Apalagi jika dengan ketidakberpikiran tersebut, malah seakan-akan mendukung pelaku KDRT dan menambah beban korban KDRT.

Berikut adalah ulasan atas beberapa mitos, yang masih dilakukan oleh orang-orang di gereja yang tidak memahami KDRT. Sayangnya, jika perilaku seperti ini muncul terus, KDRT tidak akan tertangani hingga tuntas.

  1. Penyangkalan adanya masalah

“Tidak ada KDRT dalam gereja kami.”

Kenyataannya: KDRT terjadi di berbagai tempat, dilakukan oleh berbagai orang dari berbagai latar belakang pendidikan, agama dan budaya. Penyangkalan adalah tanda ketidakpedulian. Penyangkalan KDRT yang dialami oleh orang dalam hubungan sesama jenis bisa jadi berlipat. Komunitas gereja bisa jadi lebih dulu memberi respon negatif atas hubungan sesama jenis mereka, dan hal ini akan tambah menyulitkan korban KDRT untuk mencari bantuan. Baca lebih lanjut