Menghapus Mitos KDRT dalam Gereja
Oleh: Margaretha
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Dalam buku “Responding to Domestic Violence: Guidelines for those with pastoral responsibilities” oleh Kathleen Ben Rabha dan koleganya di tahun 2006, terurai bahwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) telah dianggap sebagai masalah yang penting ditangani di gereja.
Gereja memiliki standar yang tinggi terhadap kasih, kepedulian serta kesetiaan dalam pernikahan serta keluarga. Oleh karena itu, selayaknya gereja juga memberikan bantuan ketika keluarga mengalami persoalan, termasuk di dalamnya KDRT. Akan menjadi suatu hal yang menyedihkan jika gereja gagal dalam melindungi korban KDRT dan tidak membantu proses penyelesaian KDRT hanya karena ketidaktahuan dan keengganan keluar dari mitos. Apalagi jika dengan ketidakberpikiran tersebut, malah seakan-akan mendukung pelaku KDRT dan menambah beban korban KDRT.
Berikut adalah ulasan atas beberapa mitos, yang masih dilakukan oleh orang-orang di gereja yang tidak memahami KDRT. Sayangnya, jika perilaku seperti ini muncul terus, KDRT tidak akan tertangani hingga tuntas.
- Penyangkalan adanya masalah
“Tidak ada KDRT dalam gereja kami.”
Kenyataannya: KDRT terjadi di berbagai tempat, dilakukan oleh berbagai orang dari berbagai latar belakang pendidikan, agama dan budaya. Penyangkalan adalah tanda ketidakpedulian. Penyangkalan KDRT yang dialami oleh orang dalam hubungan sesama jenis bisa jadi berlipat. Komunitas gereja bisa jadi lebih dulu memberi respon negatif atas hubungan sesama jenis mereka, dan hal ini akan tambah menyulitkan korban KDRT untuk mencari bantuan.
- Menyalahkan korban KDRT
“Siapa suruh memilih dia jadi pasanganmu! Ini bukan urusan saya, saya tidak perlu turut campur”
Banyak sekali korban yang mengatakan kata-kata ini, “saya juga tidak paham mengapa saya berada dalam masalah KDRT seperti ini. Dulu dia baik dan mau bekerjasama. Tapi sejak Ayahnya meninggal, seperti berubah menjadi orang yang berbeda sama sekali. Ia menjadi jauh lebih kasar, suka mengontrol dan harus dipatuhi, pemarah dan pemukul, dan kata-kata kasarnya sangat menyakitkan. Saya pernah meminta bantuan untuk suami saya. Tapi tidak ada yang percaya kalau dia melakukan KDRT pada saya, karena dia tampak sangat intelek.”
Pelaku kekerasan dalam relasi intim dapat mengulang perilaku kekerasan mereka dari satu relasi intim ke relasi intim yang lain. Kekerasan bukanlah kesalahan korban. Pelaku dapat saja menampilkan diri sangat meyakinkan dan sangat lihai mempermainkan cerita agar dirinya sehingga tampak tidak bersalah. Sedangkan korban, jika sering mengalami penyangkalan, akan merasa semakin kecil dan belajar menutupi persoalan dan penderitaan mereka.
“Pasti kamu telah melakukan sesuatu yang membuat dia marah padamu.”
Tidak ada manusia yang layak mendapatkan kekerasan dalam hidupnya. Pelaku KDRT akan menyalahkan korban atas perilaku kekerasannya. Apapun yang dilakukan korban akan menjadi sasaran kekerasan dari pelaku.
“Ah pasti tidak serius. Semua pernikahan punya masalah. Jangan berlebihan.”
Sangat mudah untuk mengecilkan masalah, apalagi jika kita melihat bahwa masalah dalam pernikahan adalah wajar. Namun KDRT bukanlah hal yang wajar. KDRT adalah pola kekerasan yang berulang dan menimbulkan penderitaan bagia korban. Kekerasan harus dihentikan. Warga gereja perlu memberikan bantuan untuk menghentikan kekerasan sesuai kemampuannya.
“Kenapa kamu tidak pergi saja dari rumah? Lapor polisi. Kalau kamu memutuskan tinggal bersamanya, itu bukan urusan kami. Itu adalah keputusanmu.”
Ini adalah tantangan bagi komunitas gereja. Mengapa kita memaksa korban kejahatan untuk keluar dari rumahnya? Apakah kita akan mengatakan hal yang sama pada orang yang dirampok di rumahnya? Mengapa korban harus kehilangan semuanya setelah mengalami kekerasan?
Kenyataannya, ketika pun korban memutuskan keluar dari rumah pun atau memutuskan hubungan dengan pelaku KDRT, kekerasan justru semakin meningkat. Pelaku akan marah dan menambah kekerasannya dalam intensitas dan frekuensi. Bahkan tidak jarang, pelaku mengancam hidup korban dan keluarganya.
Komunitas gereja perlu fokus memahami apa yang aman bagi korban dan anak-anaknya. Serta memberikan bantuan agar kekerasan berhenti.
Kamu hanya butuh waktu untuk berpikir. Saat ini kamu emosional, makanya kamu melihat ini sebagai kekerasan. Nanti kalau kamu stabil, ini tidak lagi terlihat sebagai kekerasan (ah orang yang labil/emosional).”
Korban KDRT akan mengalami depresi, cemas, atau gangguan psikologis lainnya karena penderitaan dan kekerasan yang selama ini dialaminya. Namun bukan berarti korban tidak dapat dipercaya. Justru ketika mereka mencari bantuan, mereka dapat diajak bekerjasama untuk jujur tentang keadaan kekerasan yang terjadi di keluarganya.
- Membenarkan pelaku KDRT
“Saya kenal suaminya… laki-laki pintar dan baik. Hanya saja dia mengalami masa kecil yang buruk akibat kekerasan dan penalantaran di keluarganya. Dan mungkin membuat dia jadi sedih, lalu agak kasar… ah tapi mungkin saja cuma kelewatan sedikit. Laki-laki kan biasa begitu. Lalu sekarang istrinya ngomel-ngomel. Ah tahu kan perempuan kalau ngomel..”
Tidak ada pembenaran untuk perilaku menyakiti manusia lain. KDRT tidak pernah benar, dalam situasi apapun, adalah pelanggaran hukum di negara kita. Seperti yang telah diketahui, pelaku KDRT dapat tampil meyakinkan sebagai orang benar dan baik. Namun jika kita membuka telinga, mata serta hati nurani, maka perilaku kekerasan yang selama ini ditutupi akan tampak jelas.
- Membenarkan perilaku diri sendiri
“Ini toh bukan masalah saya. Saya sangat sibuk. Saya juga bukan ahli keluarga atau KDRT. Bukan tugas saya di Gereja. Saya takut kalau turut campur masalah orang lain, malah memperburuk keadaan.”
Ini adalah bentuk penyangkalan. Sama seperti menyalahkan korban dan mengecilkan penderitaannya. Memang lebih mudah untuk menghindari bekerja dengan masalah KDRT, karena biasanya sulit dan kompleks. Namun penyangkalan seperti ini akan memberikan beban tambahan bagi korban, karena seakan-akan tidak ada bantuan baginya dan bagi pelaku. Intervensi pelaku KDRT membutuhkan professional, namun sebagai komunitas gereja kita juga dapat melakukan sesuatu untuk menghentikan KDRT di lingkungan kita. Tidaklah salah untuk mendengarkan dan menghargai cerita korban. Tugas pastoral adalah memberikasn pengarahan dimana korban dapat mengakses bantuan serta layanan yang mereka butuhkan.
“Masa laki-laki jadi korban KDRT. Tidak mungkin. Pengecut sekali dia…”
Korban KDRT akan menghadapi penyangkalan dan berhadapan dengan orang-orang yang tidak percaya pada ceritanya. Terlebih lagi pada kasus yang cukup jarang, yaitu KDRT pada korban laki-laki. Korban laki-laki juga dapat mengalami kesulitan untuk mengungkapkan ceritanya, karena tanggapan masyarakat biasanya menginginkan figur laki-laki harusnya kuat dan tidak boleh lemah.
Gereja juga perlu peka terhadap kasus korban KDRT laki-laki. Lebih lanjut, gereja juga perlu mengembangkan sikap terbuka serta tanpa sikap meremehkan untuk menghadapi kasus KDRT pada laki-laki.
- Mitos rasial/suku dan budaya
“Perempuan dari suku tertentu….. biasanya cukup mampu mentolerir KDRT. Karena dalam budaya itu, penting untuk jaga nama baik keluarga.”
Tekanan bagi perempuan di berbagai konteks budaya masih sangat kuat. Pada perempuan yang berasal dari suku budaya tertentu dapat mengalami tekanan yang lebih kuat dari lingkungannya untuk diam ketika mengalami KDRT. Tekanan atas nama “kehormatan keluarga” menuntut korban untuk tetap dalam keluarganya yang penuh kekerasan. Hal ini justru akan menambah beban penderitaan korban, karena tidak mendapatkan bantuan yang dibutuhkannya.
Referensi:
Ben Rabha, K., Beresford, J., Burridge, S., Hales, T., Memmott, A., et al., (2006). Responding to Domestic Violence: Guidelines for those with pastoral responsibilities”. Church house publishing: London.
Sy mau sharing sekaligus curhat. Sy baru menemukan dan sangat suka dgn artikel artikel ibu. Margaretha.
Sy adalah korban KDRT, tp di lepaskan oleh Tuhan dgn kematian alhm suami 2 thn lalu.
Skrg ketika melihat saat itu sy bilang “koq bisa, sy” bodoh” sekali. Di perlakukan spt itu koq diam saja.
Alhm suami pemabuk, mantan narko. Di duga antisocial (tp tdk sempat di observed krn keburu meninggal). Ketahuan nya krn anak sy (wkt itu 7 thn) terdeteksi trauma dini oleh psikolog. Sejak itu. Sy di sarankan hrs bercerai. Tp saat itu sy msh keukeuh tdk mau bercerai. Krn melanggar perintah Tuhan. Sy jg tdk merasa menjadi korban. Pdhal uang di habiskan alhm. Kl tdk di beri uang anak anak di jadikan sasaran. Semua itu di hamburkan utk membeli “harga diri” nya. Dia ingin semua org menghormati dia.
Yg ingin sy tanyakan.
1.Ada kekuatiran sifat sifat alhm menurun ke anak anak sy. Apakah antisosial ( beda atau tdk dgn istilah ibu.. Narssist) itu bisa menurun ke anak anak sy. Anak sy yg pertama ADD dan yg ke 2 ADHD. IQ nya di atas 130 (ke 2 nya)
2. Tips tips mendidik anak yg sempat mengalami KDRT. Yg plg besar (yg sempat trauma dini) bertumbuh menjadi anak yg sgt sensitive. Tp skrg sdh berani mengemukakan pendapat nya. Sdh berani membantah. Yg dulu tdk pernah di lakukan. Sekalipun dia laki, dia menjadi anak penakut. Percaya Diri nya kurang dan sgt takut kehilangan sy. Kedekatan kami kdg sy blg “over” tdk seperti adiknya.
Ketika alhm hidup, gambar keluarga (baik yg kecil maupun yg besar) tdk pernah ada gambar bpknya. Skrg kl menggambar keluarga, mlh sudah ada gambar ayah tp di beri tanda salib.
Keadaan kami skrg sangat sederhana di bandingkan dulu. (dulu sy cukup berada, ). Skrg rmh kami relative kecil, tanpa mba dan supir. Sy hrs mencari nafkah plus melakukan pekerjaan rt sendiri. Tp skrg sy jauh lbh tenang. Kata yg besar “Mama sudah jarang menangis”… Dan tdk bisa berhenti sy bersyukur kpd Tuhan atas pemeliharaannya.
Benar dan sy sangat setuju dgn pendapat ibu.
Wkt itu pertolongan yg sy cari adalah gereja. Tp mrk tdk melakukan apa apa. Pdhal org org spt sy wkt itu tdk bisa menolong diri nya sendiri.
Terimakasih. Jbu
Ps. Tolong jgn di publikasikan
Mariana, baiknya saya dihubungi lewat email untuk membalas pertanyaan ini.
Kasih sayang dan kedamaian diri Marina yang akan membantu anak untuk tenang dan damai juga.
Salam damai.
Bagaimana kalau mau konsultasi utk masalah KDRT?
Salam,
saya sarankan, anda bisa pergi ke Psikolog atau Konselor keluarga ya. Mereka akan memberikan bantuan yang lebih dibutuhkan sesuai konteks anda.