Tipologi Pelaku KDRT

Tipologi Pelaku KDRT

Oleh: Margaretha

Dosen Pengajar Psikologi Forensik, Universitas Airlangga

surreal-man-with-hands-covering-faceAh masa iya, dia itu pelaku KDRT?” kata seseorang ketika mendengar berita dari temannya. “Kan, dia laki-laki yang pintar dan banyak membuat tulisan serta buku, sering tampil di seminar-seminar. Masa bisa berbicara filosofis begitu tapi kelakuannya sama sekali bertolak-belakang?”. Tambahnya lagi, “Ternyata, pelaku KDRT bukan tampak seperti penjahat saja ya, yang tampil dan bicara meyakinkan juga ternyata bisa sungguh keji memperlakukan perempuan”.

Pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bisa saja adalah seorang intelek yang paham tentang berbagai nilai dan aturan. Bisa juga dilakukan seseorang yang telah lama berpersoalan dengan hukum atau seorang laki-laki yang tampaknya sangat perhatian pada keluarganya. Namun kekerasan dibuat hadir dalam keluarga, oleh mereka pelaku KDRT, karena ketidakmampuan mereka dalam mengelola emosi dan konflik.

Kebanyakan pelaku KDRT adalah laki-laki, namun tidak menutup kemungkinan bahwa pelaku KDRT juga adalah perempuan. Tulisan ini akan menguraikan karakteristik pelaku KDRT laki-laki yang dapat digunakan masyarakat dan keluarga untuk memahami peristiwa KDRT yang terjadi di lingkungan mereka.

Tipologi pelaku KDRT

Ada berbagai penggolongan tipe pelaku KDRT (beberapa di antaranya oleh Gondolf, 1988; Hamberger & Hastings, 1986; Saunders, 1992). Salah satunya adalah Tipologi Pelaku KDRT laki-laki oleh Holtzworth-Munroe dan Stuart (1994), dimana dijelaskan ada 3 tipe pelaku: 1) pelaku kekerasan hanya dalam keluarga (family only), 2) pelaku kekerasan disforia/ambang (dysphoric/borderline), dan 3) pelaku kekerasan secara umum atau antisosial (antisocial). Tipologi ini dikembangkan atas dasar pemahaman kekerasan dari sisi bagaimana tingkat keparahan dan frekuensinya, dimana kekerasan terjadi (di dalam relasi intim atau juga di dalam relasi sosial), serta apakah ditemukan karakteristik gangguan kepribadian atau psikopatologi tertentu.

Pelaku KDRT hanya dalam keluarga relatif jarang melakukan kekerasan dan biasanya tidak terlalu parah. Mereka tidak melakukan kekerasan pada orang yang bukan keluarganya. Kekerasan yang mereka lakukan biasanya adalah: kekerasan emosional dan seksual pada pasangannya. Biasanya mereka tidak menunjukkan ciri-ciri psikopatologi, namun jika gejala patologis muncul biasanya adalah gejala kepribadian pasif-tergantung (passive-dependent).

Pelaku kekerasan disforia/ambang melakuka KDRT pada tingkat menengah hingga berat pada pasangan mereka, termasuk kekerasan psikis serta seksual. Mereka juga menunjukkan perilaku kekerasan di luar keluarga, seperti: agresi dengan orang lain di sekitarnya, serta perilaku kriminal. Biasanya, mereka menunjukkan beberapa gejala depresi, frustasi dan sangat mudah terpancing emosinya. Pada beberapa juga ditemukan gejala gangguan kepribadian seperti ambang (Borderline) dan Schizotypal. Mereka juga dapat menunjukkan perilaku atau pernah berurusan dengan penyalahgunaan zat.

Pelaku kekerasan antisosial paling memungkinkan melakukan kekerasan baik di luar keluarga serta pada anggota keluarganya sendiri. Mereka juga melakukan kejahatan di masyarakat dan kemungkinan besar memiliki gangguan kepribadian antisosial dan narsisistik.

Pelaku KDRT tidak melulu tampak sebagai orang beringas dan tampil seperti kriminal. Pelaku kekerasan dalam keluarga dan pelaku kekerasan disforia/ambang bisa saja tampak seperti orang biasa di masyarakat namun melakukan kekerasan selama bertahun-tahun di dalam keluarganya. Sedangkan pelaku kekerasan antisosial, mungkin tampak lebih mudah dikenali karena mereka juga memiliki rekam jejak kriminal, namun tentu saja KDRT juga dapat sulit dilihat karena terjadi dalam keluarga. Dari penjelasan tipologi ini dapat dipahami bahwa masyarakat jangan terpaku pada mitos atau kesalahan berpikir mengenai tipikal pelaku KDRT. KDRT tidak bisa hanya dikenali dari penampilan namun dari penggalian mendalam mengenai kejahatan kekerasan.

Mengapa menjadi pelaku KDRT?

Lebih lanjut, menurut Holtzworth-Munroe dan Stuart (1994), seseorang menjadi pelaku KDRT disebabkan berbagai faktor, baik faktor pengaruh jauh (distal) dan faktor pengaruh dekat (proximal). Beberapa faktor distal seperti: pengaruh genetik dalam menurunkan sifat-sifat kepribadian keras dalam keluarga, trauma menyaksikan kekerasan pada masa kecil dan pengalaman relasi teman sebaya yang menyimpang dari norma sosial (misalkan: tawuran dan berkelahi) dapat mempengaruhi munculnya perilaku kekerasan. Begitu juga faktor proximal ditemukan meningkatkan kemungkinan perilaku kekerasan dapat dilakukan oleh seseorang, seperti: persoalan membangun kelekatan pada pasangan di masa dewasa, impulsivitas, ketidakmampuan menyelesaikan masalah emosional yang dihadapi sehari-hari dan juga konflik dengan pasangan, serta sikap yang mendukung kekerasan.

Contohnya, anak laki-laki yang dibesarkan dalam keluarga yang penuh kekerasan akan sulit mengembangkan kelekatan masa dewasa dengan pasangannya; lalu jika pada masa remajanya ia bergaul dengan teman sebaya yang menyimpang dari norma sosial, maka ia dapat mengembangkan ide yang salah tentang kekerasan atau mendukung kekerasan. Maka, akan lebih besar kemungkinan anak laki-laki ini berkembang menjadi pelaku KDRT pada masa dewasanya.

Anak yang dibesarkan dalam situasi ketidakhadiran Ayah atau sikap Ayah yang terlalu keras dalam menghukum, disertai figur Ibu yang tidak hadir secara konsisten untuk anak-anaknya namun sangat menuntut, membuat anak belajar menjadi laki-laki dewasa yang berpikir bahwa laki-laki tidak perlu memberikan kenyamanan emosional pada pasangan perempuannya, dan perempuan hanya berpura-pura peduli namun tidak pernah bisa dipercaya (Dutton & Golant, 1995).

Lalu apa?

Dengan memahami bahwa pelaku KDRT bisa melakukan kekerasan secara khas, maka masyarakat perlu memahami bahwa penting memahami berbagai bentuk KDRT. Pelaku kekerasan tidak dapat diidentifiksi hanya dengan melihat penampilannya saja. Pelaku KDRT dapat tampil meyakinkan secara sosial, namun melakukan kekerasan dalam keluarganya. Lebih lanjut, ada berbagai faktor yang mempengaruhi terbentuknya seseorang menjadi pelaku KDRT. Oleh karena itu, keluarga dan masyarakat perlu lebih membuka pemahaman mengenai fenomena KDRT, dan tidak hanya terkecoh dengan penampilan pelaku saja, serta sungguh-sungguh menangani KDRT hingga tuntas dengan pencegahan dan penanganan kuratif.

Satu komentar di “Tipologi Pelaku KDRT

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s