Kekerasan Verbal
Oleh: Margaretha
Penggalan dialog di bawah menunjukkan kekerasan verbal yang dialami seorang korban dan dilakukan pelaku. Dengan model pembicaraan seperti ini, kemungkinan besar ini adalah pola berulang. Artinya kekerasan verbal bukan terjadi sekali, namun berkali-kali, sehingga kekerasan menjadi pola dalam relasi intim.
A: Papa, apakah kita bisa bicara via Skype? (pertanyaan)
B: Kamu jadi istri bisanya menuntut saja. Ga tahu apa koneksi internet di sini ga bagus? (marah, memblok pembicaraan, tidak menjawab pertanyaan)
A: Maksud Mama tanya kok. Kalau papa tidak bisa Skype ya ga apa. (menjelaskan, tidak mendapat jawaban)
B: Istri kok goblok banget sih. Dasar ga istri kompeten (marah, kekerasan, melabel)
A: Tolong jangan kasar dulu, Pa. (negosiasi, mengalihkan luka)
B: Memangnya kamu mau saya jadi banci? (menuduh)
A: Bukan itu maksud Mama… (menjelaskan, mulai putus asa)
B: Seperti bekas pacarmu itu? Banci. Tidak sudi saya jadi banci. Diinjak-injak sama perempuan macam kamu. (marah, menuduh, kekerasan, memblok pembicaraan)
A: Maksud Papa apa bicara begitu? Kamu kasar (membela diri, menyampaikan emosi)
B: Perempuan macam apa kamu bicara begitu pada suami. Sudah syukur dulu kamu saya nikahi. Kalau tidak, kamu ga laku tau. (marah, memblok komunikasi, menyerang, melabel)
A: (menangis)… (menarik diri, merasa kalah)
B: Kenapa menangis? Kamu terlalu sensitif. Lihat, kamulah yang selalu memancing emosi dan buat saya marah. Itu salahmu sendiri. Dasar provokator, istri tidak berguna (marah, kekerasan, pengalihan tanggung-jawab)
Kekerasan verbal dalam relasi intim
Secara khas, juga ditemukan adanya pelaku dan korban. Pelaku adalah orang yang memberikan kekerasan, dan korban adalah yang menerima kekerasan dan mengalami penderitaan. Sering juga ditemukan kasus, dimana sulit menemukan mana yang korban dan mana yang pelaku, karena keduanya tampak melakukan saling membalas. Namun dengan melakukan analisa pola pembicaraan dan pola interaksi, maka dapat dikenali siapa yang dominan menjadi korban dan siapa yang dominan menjadi pelaku. Oleh karena itu, penting untuk memahami apa dan bagaimana kekerasan verbal terjadi.
Apa kekerasan verbal?
Kekerasan verbal adalah peristiwa dimana pelaku menggunakan kata-kata ditujukan untuk mendefinisikan seseorang secara negatif, dan hal ini menimbulkan tekanan mental dan penderitaan emosional bagi korbannya (Evans, 2006).
Beberapa kata dan kalimat di atas menggambarkan bagaimana pelaku ingin menunjukkan kendalinya pada korban. Pelaku berkata-kata seakan-akan ia adalah korban. Pelaku mendefinisikan apa yang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan oleh korban dengan tujuan agar pelaku mencoba masuk dan mengontrol pikiran korbannya. Misalkan: pelaku mengatakan “kamu terlalu sensitif”, kalimat ini ditujukan untuk mendefinisikan “dunia dalam” (inner world) korban dan juga menyerang kesadaran korban. Kalimat pelaku bertujuan agar korban mengubah pikirannya dan mulai melihat dirinya sebagai ”terlalu sensitif”. Kalimat ini adalah kebohongan, karena pelaku bukanlah diri korban. Pelaku tidak bisa berpura-pura berpikir dan merasa sebagai korban.
Ada pula bentuk kekerasan lain yang dilakukan oleh pelaku (detail lihat tabel 1), seperti: melangkah pergi ketika korban sedang berbicara atau menanyakan sesuatu, atau bahkan ketika di tengah-tengah pembicaraan. Dengan mengabaikan atau tidak menjawab, pelaku mendefinisikan korban sebagai “tidak ada”.
Tabel 1. Bentuk kekerasan verbal lain
No. | Aspek | Contoh |
1 | Kekerasan lain | Memblok segala cara untuk berkomunikasi |
Menutup pintu untuk menutup komunikasi | ||
Mendiamkan (silent treatment) | ||
Membanting atau merusak atau melempar barang | ||
Mengambil telepon/membatasi interaksi dengan orang lain | ||
Menyangkal adanya pernikahan/menganggap mati pasangan | ||
Meninggalkan pasangan yang tengah berbicara, seakan-akan dia tidak ada | ||
2 | Ancaman | Saya akan menyebar foto intim kita untuk merusak karirmu |
Saya akan mengambil semua darimu | ||
Saya akan menghancurkan hidupmu | ||
Kau akan hidup di neraka seumur hidupmu | ||
Saya akan membunuhmu | ||
3 | Sindiran atau tuduhan tidak langsung | (kamu tidak berpikir): Apa sih yang kamu pikirkan? |
(kamu tidak bekerja): Apa yang kamu kerjakan sepanjang hari? Saya harus banting tulang untuk hidup! | ||
(kamu memulai pertengkaran): Kenapa sih semuanya harus bertengkar denganmu? | ||
(kamu tidak bekerjasama): Kapan kamu akan berkontribusi dalam pernikahan ini? | ||
(kamu tidak bisa diandalkan): Apa sih yang bisa diharapkan dari kamu? | ||
(kamu bukan yang diharapkannya): Ya, dia istri saya. Kalau kamu mau, ambil saja. | ||
(kamu tidak bisa melakukan hal yang kamu inginkan): Kamu tidak punya waktu untuk melakukan hal itu. | ||
(kamu merusak): Setiap bersama kamu, saya sial. Komputer saya rusak karena kamu. | ||
(kamu tidak bisa dipercaya): Sejak saat itu, kamu sudah tidak bisa percaya pada kamu. Semua sudah rusak. |
Kekerasan verbal dan Korban
Menghadapi kendali pelaku atas pikirannya, biasanya korban akan mengalami kebingungan. Begitu sering korban diobyektivikasi dengan kata-kata kekerasan, mau tidak mau, beberapa ide akan tinggal dalam benak korban. Korban mulai menyangsikan cara berpikirnya dan realitanya. Korban mulai percaya sebagian kata-kata pelaku. Inilah yang akan mengikis harga diri korban. Maka yang terbaik ketika hendak memutus pola kekerasan adalah korban memberikan batas, pelaku tidak lagi boleh mendefinisikan pikiran korban. Hal ini dilakukan agar pikirannya menjadi otonom. Tidak lagi dikendalikan oleh pelaku.
Referensi:
Evans, P. (2006). The Verbally Abusive Man, Can He Change: A Guide for Women to Deciding to Stay or Go. Adams Media: Massachusetts.
Reblogged this on I see, I hear, I learn, I write.