Kekerasan verbal (2): Wanita impian dan kekerasan verbal

Wanita impian dan kekerasan verbal

Oleh: Margaretha

fantasy
Korban kekerasan verbal sering bertanya-tanya, mengapa pelaku menjadi sangat kasar? Apakah yang salah sehingga dia menjadi sangat kasar? Dulu, pelaku adalah pasangan yang sangat mempesona namun dia berubah menjadi sangat kasar dan tidak masuk akal. Beberapa korban, malah menyalahkan dirinya sendiri; korban merasa kurang pandai membawa diri, kurang memahami pasangan, kurang mengalah, dan sebagainya.

Tulisan ini adalah review personal penulis dari Buku “The Verbally Abusive Man, Can He Change: A Guide for Women to Deciding to Stay or Go” oleh Patricia Evans tahun 2006. Tulisan ini berusaha menguraikan fenomena kekerasan verbal; mengenai mengapa pelaku melakukan kekerasan verbal, serta apa yang perlu dilakukan untuk menghadapi kekerasan verbal. Secara khusus, buku ini mengupas bentuk kekerasan verbal yang dilakukan pelaku laki-laki pada pasangan perempuannya. 

Wanita impian dan kekerasan verbal

Dalam menghadapi kekerasan verbal, orang sering menumpukan kesalahan pada korban. Namun, kekerasan verbal bukanlah sekedar salah korban. Pelaku biasanya melakukan kekerasan verbal ketika merasa terancam. Jika merasa terancam, pelaku akan membalas balik dengan memberikan kekerasan verbal.

Lalu, mengapa pelaku merasa terancam? Menurut Evans (2006), kekerasan verbal dilakukan pelaku pada pasangannya karena apa yang dikatakan oleh pasangan nyatanya berbeda dari idealisasinya, dari wanita impiannya (dream woman). Wanita impiannya harusnya tahu apa yang dipikirkan pelaku, apa yang diinginkan pelaku, maka wanita impian seharusnya tahu bagaimana bertindak dan berkata-kata untuk menyenangkan pelaku. Namun perempuan pasangan nyata yang ada di hadapannya tidak melakukan yang seharusnya dilakukan wanita impian. Maka pasangan nyatanya diserang dengan marah, dihina, atau dijauhi dengan dingin.

Ada beberapa hal yang mengindikasikan bahwa pelaku memiliki wanita impian di kepalanya. Pelaku biasanya kesulitan untuk menjawab pertanyaan mengenai dirinya secara langsung. Pelaku juga jarang bertanya pada pasangannya tentang bagaimana perasaan pasangannya, apa yang disukai atau yang tidak disukai oleh pasangannya. Baginya, itu semua tidak penting. Bagi pelaku, yang terpenting adalah bagaimana wanita ideal berpikir dan merasa, itulah yang telah diketahuinya selama ini. Pelaku tidak melihat pasangan korban sebagai dirinya. Pelaku akan marah jika korban menyatakan perasaannya, karena perasaan pasangan nyatanya bisa jadi berbeda dengan wanita impian yang ada di kepalanya. Namun, pelaku biasanya tidak sadar jika mereka melakukan hal tersebut.

Terbentuknya wanita impian: Disasosiasi dan idealisasi
Wanita impian adalah personifikasi ego yang tidak sadar dan tidak terintegrasi yang dimiliki oleh pelaku sejak kecil hingga dewasa (the personification of his unlived and unintegrated self). Proses muncul dan terbentuknya wanita impian dijelaskan oleh proses disasosiasi, atau keterpecahan ego dari diri (self) utama, sehingga ego tidak utuh atau tidak terintegrasi. Disasosiasi terjadi pada masa kanak, dimana individu rentan terpecah egonya ketika menghadapi trauma. Misalkan: seorang anak laki-laki yang sering dipukuli, mengalami kekerasan emosional tapi tidak boleh mengeluh sakit dan tidak boleh menangis, maka ia akan berusaha memblokir perasaannya sakitnya agar bisa tampak kuat. Anak akan menekan emosinya ke bawah sadarnya. Jika berulang, maka ini akan menjadi pola pemblokiran emosi. Pemblokiran emosi membuat anak berkembang menjadi orang yang tidak dapat memfungsikan emosinya, tidak sungguh paham apa yang terjadi padanya, dan tidak mudah menyadari apa penderitaan atau masalah yang sedang dialaminya. Bagian emosi seakan-akan menjadi bagian terpisah dari kesadarannya. Bagian diri mereka yang terpisah (separate self) inilah yang menjadi cikal bakal wanita impian.

Wanita impian terbentuk dari berbagai komponen, seperti: pengalaman masa lalu yang tidak terintegrasikan; serta kualitas, bakat, serta energi yang muncul dari ketidaksadaran pelaku. Semuanya membentuk suatu kumpulan ide tidak sadar mengenai diri ideal, seorang impian.

Bagi pelaku, wanita impian adalah bagian dirinya dan tidak boleh terpisah. Sehingga ketika pelaku merasa kehilangan wanita impiannya, maka mereka juga merasa kehilangan diri mereka. Maka pelaku akan berusaha menghidupkan wanita impian mereka pada pasangan nyata mereka. Pelaku kekerasan verbal akan menggunakan kemarahan dan kekerasan untuk mengendalikan dan membentuk pasangan nyata mereka agar menjadi wanita impiannya.

Perlu dipahami, bahwa wanita impian bukanlah sekedar idealisasi mengenai perempuan yang dibentuk dari rasionalitas; namun terbentuk dari akumulasi pengalaman ketidaksadaran. Bisa juga terjadi, terbentuk bentuk disasosiasi lain, seperti: anak impian, dan sebagainya.

Macam kekerasan verbal

Ada 2 jenis kekerasan verbal: tampak (overt) dan tidak tampak (covert). Tampak terjadi ketika pelaku melakukan kekerasan verbal dengan jelas dan dapat diamati, seperti: memaki, menghina dan dapat diikuti dengan berbagai macam perilaku kekerasan fisik; sedangkan yang tidak tampak akan melakukan sikap menentang dan pengabaian emosional. Ada pula pelaku yang menggunakan baik kekerasan tampak dan tidak tampak. Bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terkait dengan sejak kapan wanita impian mulai terbentuk pada diri pelaku.

Kekerasan verbal tampak

Pelaku marah, menghina, membatasi perilaku pasangannya, mengendalikan finansial, mengawasi gerak-gerik pasangannya. Wanita impian yang dikembangkan oleh pelaku kekerasan verbal tampak adalah persepsi remaja laki-laki mengenai feminisme, yaitu: cantik, seksi, muda (femme fatale) dan dapat dikendalikan. Pelaku hanya ingin pasangannya menjadi miliknya, dan pasangannya tidak boleh memiliki dunia lain selain dunia bersamanya. Ini terjadi karena wanita impian mulai dibentuk pada masa remaja atau dekat dengan pubertas.

Pelaku memperlakukan pasangannya seperti boneka, dapat dipamerkan kecantikannya atau kualitas baik lainnya, dan pasangganya akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pelaku. Namun jika pasangannya mulai menunjukkan perilaku yang berbeda dari wanita impiannya, pelaku akan memberikan hukuman. Hukuman adalah bentuk kontrol pelaku atas korban.

Biasanya pelaku merasa bahwa ia harus lebih superior dari pasangannya, dan dia memiliki hak atas pasangannya. Ia mungkin dapat menunjukkan canda atau sikap yang merendahkan perempuan, namun hal ini dilakukannya karena mereka sebenarnya meragukan maskulinitasnya. Jika demikian, maka pelaku akan mendefinisikan diri secara berlebihan sebagai “bukan perempuan” atau “bukan banci”. Hal ini bisa terjadi karena pelaku pernah merasa tertolak oleh figur Ayah, atau tidak adanya figur Ayah yang hangat, atau pernah mengalami pelecehan seksual pada masa remaja.

Kekerasan verbal tidak tampak

Pelaku kekerasan verbal tidak tampak melakukan mengabaikan atau menggangap pasangannya tidak ada. Pelaku tidak akan memukul atau jarang memaki korban. Ia akan mengabaikan pasangannya karena ingin bersama wanita impiannya, yang pelaku rasa akan lebih tepat dalam memberikan semua kebutuhannya. Wanita impian yang dikembangkannya adalah personifikasi persepsi feminim ideal anak laki-laki usia muda, yaitu: ibu yang dapat memuaskan semua kebutuhannya (all needs-meeting mother).

Walaupun tidak tampak jelas perilaku mengontrol dan menghina pasangan, namun hal ini akan menyulitkan relasi intim. Jika pasangannya menunjukkan sikap atau perilaku berbeda dari wanita impian, maka pelaku akan mengabaikan pasangannya atau menentang segala kata/tindakan dari pasangan nyatanya. Pelaku dapat juga menampilkan perilaku kooperatif, seperti membantu pasangannya, namun hal ini ditujukan agar pasangannya bertindak seperti wanita impiannya tersebut. Dan ketika korban dianggal gagal menjadi persis seperti wanita impiannya, maka pasangannya akan mendapatkan pengabaian atau dianggap tidak pernah ada.

Pelaku dapat berpura-pura bahwa tidak mendengar, tidak tahu atau menghapus pasangannya dari hidupnya. Karena bagi pelaku, merespon pasangan nyatanya adalah mengakui bahwa dia ada, dan hal ini akan mengancam dirinya dan wanita impiannya. Pelaku akan menyangkal kekerasan yang telah dilakukannya dengan mengatakan bahwa pasangannya tidak paham apa yang dilakukannya, atau pasangannya hanya berimajinasi, atau tidak memiliki selera humor, atau terlalu serius menanggapi masalah (over-thingking). Hal ini menunjukkan bahwa pelaku memiliki kecacatan psikologis, dimana ia telah terpisahkan dari pengalaman emosionalnya. Hal ini terjadi akibat pengalaman dan trauma masa kecilnya.

Selama masa pengabaian atau pendiaman (silent treatment), korban akan mengalami kebingungan dan penderitaan. Namun bagi pelaku, ia tidak bisa memahami kondisi dan penderitaan korban. Ia malah berpikir, “Bukankah saya telah memberikan kebebasan untuk kamu, supaya kamu dapat melakukan apapun?” Sehingga luka akibat pengabaian akan disangkal oleh pelaku. Namun, pelaku juga dapat melakukan kekerasan ekstrim. Ketika pasangan nyatanya bersikap atau memutuskan untuk meninggalkan pelaku, maka pelaku merasa terancam seperti akan dibunuh. Pada beberapa kasus, pelaku menyerang balik pasangannya, menghancurkan pasangannnya dan terakhir menghancurkan dirinya sendiri. ia menghabisi dirinya sendiri karena sudah tidak ada lagi pasangan yang bisa dilekatkan dengan wanita impiannya, artinya dirinya pun sudah tidak ada.

Simpulan

Dari uraian di atas, tampak bahwa pelaku kekerasan baik tampak dan tidak tampak akan marah ketika pasangannya berbeda dari wanita impiannya. Ketika pelaku merasa kehilangan wanita impiannya, ia akan merasa diserang, maka ia akan marah atau meniadakan pasangannya. Tujuannya adalah menyerang pasangan nyatanya.

Pelaku kekerasan verbal dapat menjadi sangat tidak terprediksi, bersikap asing, irasional dan menakutkan, serta bisa juga menampilkan diri sangat menderita walaupun tanpa provokasi apapun dari pasangannya. Bahkan, ketika pasangan nyata menampilkan dirinya secara aktual, orisinal, rasional, jujur dan rendah hati; justru inilah yang akan memantik ketidaksadaran pelaku untuk melakukan kekerasan pada pasangannya. Semakin nyata pasangannya maka wanita impiannya akan terancam. Pasangannya nyatanya tidak boleh berbeda dari wanita impiannya. Pelaku tidak bisa kehilangan wanita impiannya, maka ia akan melakukan kekerasan sebagai usaha untuk mengendalikan pasangannya agar kembali sesuai dengan wanita impian yang dimilikinya.

Referensi:

Evans, P. (2006). The Verbally Abusive Man, Can He Change: A Guide for Women to Deciding to Stay or Go. Adams Media: Massachusetts.

Margaretha, Nuringtyas, R., & Rachim, R. (2013). Trauma kekerasan masa kanak dan kekerasan dalam relasi intim. Makara Seri Humaniora, 17, 33-42. doi: 10.7454/mssh.v17i1.1800

4 komentar di “Kekerasan verbal (2): Wanita impian dan kekerasan verbal

  1. Ping balik: Kekerasan verbal (2): Wanita impian dan kekerasan verbal | Psikologi Forensik dan Psikopatologi

  2. Terimakasih atas tulisannya Bu Retha, sangat menarik. Sebelumnya perkenalkan nama saya suci. Dulu saya berkuliah di Psikologi Univ, Airlangga angkatan 2005. Saat ini saya berkecimpung di dunia yang penuh KDRT karena tergabung dengan LSM KDRT.

    Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan kepada bu Retha.
    1. Apakah wanita impian sebagai bentuk personafikasi ego itu berlaku kepada perempuan juga ? Dalam artian perempuan sebagai pelaku kekerasan akan membentuk “pria impian” ?
    2. Dengan paparan perilaku kekerasan verbal dan non verbal. Saya cukup sering menemukan pasangan yang secara tidak sadar melakukan kekerasan non verbal. Dengan alasan “menenangkan diri” ketika bertengkar. Apakah mungkin kekerasan verbal dan non verbal dilakukan oleh orang yang sehat, dalam artian bukan pelaku kekerasan ?
    3. Sejak jaman dahulu, ketika kita kecil, orangtua kerap sekali melarang anak-anaknya untuk menangis, sehingga mungkin persentase pelaku kekerasan menjadi banyak karena terjadinya self separate tersebut. Apakah ibu Retha setuju ? Lalu gambaran kehidupan relasi yang tanpa kekerasan verbal dan non verbal secara ideal itu apakah benar-benar ada ?
    4. Apa yang perlu ditanamkan atau di tingkatkan dari pasangan agar relasinya dapat menjadi ideal (tanpa kekerasan verbal dan non verbal) ? Bagaimana jika salah satu pasangan tidak memiliki keterbukaan terhadap informasi mengenai kekerasan ?

    Terimakasih atas waktu dan kesediaannya untuk menjawab pertanyaan saya

    • Hi Chie1330,
      1. Ya bisa terjadi pada perempuan juga.
      2. Ini bukan dikotomi sehat tidak sehat, tapi usaha untuk memahami mengapa perilaku kekerasan terjadi. Justru yang tampak adalah orang yang “normal” namun sebenarnya ada kerumitan kondisi psikologis dibalik kekerasan. alasan menenangkan diri dg menggunakan kekerasan adalah distorsi cognitive yang perlu dirubah spy tidak terjadi kesalahan berikutnya.
      3. Tidak semua anak yang mengalami kekerasan akan menjadi pelaku kekerasan. Inilah inti pekerjaan kita di psikologi, bagaimana kita bisa membantu anak yang beresiko bisa mendapatkan resiliensi. Resiliensi adalah ketangguhan untuk melampaui kesulitan hidup. Hal ini ditopang utama oleh dukungan sosial dan kehangatan keluarga.
      Menurut saya, jikalau ada muncul pertengkaran, namun masih diperkuat dg dukungan dan kehangatan, manusia akan pulih dan mampu melampaui masalah dg memaafkan dan bergerak maju menyelesaikan masalah. yang menjadi persoalan jika tanya ada kekerasan terus menerus tanpa upaya penyelesaian.
      4. Kita perlu membekali diri tentang apa kekerasan. Dan sebagai laki-laki/perempuan kita juga perlu berlatih untuk menyatakan tidak mau menjadi korban kekerasan dan segera menghentikan jika melakukan kekerasan. sebagai masyarakat kita perlu belajar untuk mau terlibat dalam menghentikan kekerasan yang terjadi di sekitar kita. Jikalau kita belum sanggup melakukannya, maka perlu mencari bantuan profesional, ahli trauma kekerasan.

      thanks ya sharingnya.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s