Apakah psikoterapi dapat membantu menghentikan kekerasan verbal?
Oleh: Margaretha
Psikoterapi masalah kekerasan perlu dilakukan bagi korban dan pelaku KDRT. Untuk menghentikan masalah KDRT secara menyeluruh, hanya membantu korban untuk pulih saja tidaklah cukup. Dalam persoalan KDRT yang pelik, ada beberapa figur terkait yang juga perlu dipertimbangkan: korban langsung, pelaku dan korban tidak langsung. Ketiganya membutuhkan bantuan, jika sungguh ingin menghentikan rantai kekerasan secara utuh.
Korban
Korban akan datang untuk mencari bantuan untuk menghentikan kekerasan yang dilakukan pasangannya. Korban juga mencari orang-orang yang dapat mengakui/memvalidasi perasaannya. Korban juga berharap agar dapat bantuan untuk lepas dari masalahnya dengan aman. Korban juga membutuhkan bantuan untuk memulihkan harga dirinya yang telah digerus oleh perlakuan kasar pelaku KDRT. Korban juga akan membutuhkan masukan dan bantuan untuk membangun hidup baru setelah keluar dari relasi yang penuh kekerasan. Hal-hal ini dapat dilakukan dalam psikoterapi bagi korban.
Stress menghadapi KDRT sangat besar bagi korban. Tidak ada satupun perempuan yang berharap kekerasan terjadi dalam hidupnya. Mengalami KDRT adalah penderitaan bagi korban dari berbagai latar belakang keluarga, ekonomi, pendidikan, dan etnis. Bukan berarti jika KDRT terjadi pada korban yang berpendidikan tinggi maka penderitaannya akan lebih rendah daripada orang yang tidak berpendidikan tinggi. Semua korban KDRT membutuhkan bantuan. Terapi dapat berguna pada korban hanya ketika kekerasan yang dialaminya berhenti. Bisa jadi pelaku KDRT berhenti melakukan kekerasan atau korban tidak melakukan kontak dari pelaku.
Namun, selain korban langsung, ada pula korban tidak langsung yang turut merasakan penderitaan dari menyaksikan kekerasan sehari-hari, misalkan: anak, atau orang-orang yang hidup di sekitar pasangan dengan kekerasan. Pada korban tidak langsung juga perlu dilakukan konseling dan psikoterapi agar mereka meresolusi konflik yang muncul akibat menyaksikan kekerasan. Perlu dipahami bahwa pelaku kekerasan dan korban kekerasan pada masa kecil ditemukan memiliki riwayat pernah mengalami dan atau menyaksikan kekerasan pada masa kecilnya (Margaretha, 2012). Oleh karena itu, pendekatan psikologis untuk mengungkap persoalan terkait dengan peristiwa kekerasan yang disaksikan dan upaya rekonsiliasi psikologis sangat dibutuhkan bagi masing-masing korban tidak langsung. Contohnya: penanganan kasus KDRT dalam sebuah keluarga, perlu dilakukan untuk pemulihan korban langsung, namun juga anak-anak yang menyaksikan kekerasan selama ini. Anak perlu didampingi untuk memahami bahwa kekerasan bukan cara menyelesaikan masalah dan mereka juga perlu dibantu untuk mengembangkan kemampuan mengelola emosi dan menyelesaikan masalah secara konstruktif.
Pelaku
Tulisan ini telah menguraikan secara detail mengenai apa dan bagaimana pelaku melakukan kekerasan. Maka, baiknya psikoterapi dapat dilakukan untuk mengurai persoalan pelaku dan mencari cara-cara untuk mencapai kesadaran dan perubahan perilaku. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam usaha membantu pelaku keluar dari pola kekerasannya, yaitu:
- mempersiapkan korban, terapis dan situasi yang aman untuk melakukan pembicaraan dengan pelaku
- membuat kesepakatan tentang bagaimana memperlakukan satu sama lain.
- Korban dan Pelaku dapat membuat daftar kata, sikap dan perilaku yang tidak lagi boleh dilakukan antara satu dengan yang lain. Dan kesepakatan ini digunakan dalam interaksi mereka.
- Pelaku mendapatkan psikoterapi untuk memahami akar kekerasannya dan merubah perilakunya.
- Kedua pasangan juga mendapatkan psikoterapi trauma untuk mengembangkan resiliensi pasca-trauma.
Perlu dipahami, bahwa proses ini akan memakan waktu yang cukup panjang. Maka penting bagi pelaku dan orang-orang terkait untuk mendukung pelaku untuk mendapatkan cukup bantuan dan dukungan agar mencapai perubahan. Namun yang paling penting, pelaku memang menginginkan perubahan dan menampilkan perubahan. Jika tidak terjadi perubahan, maka sebaiknya pasangan/korban perlu mempertimbangkan pergi dari relasi dengan aman.
Ketika psikoterapi gagal
Sayangnya, tidak semua terapis/konselor/tenaga kesehatan mental (professional mental health) atau pemuka agama/konselor pastoral memahami apa dan bagaimana menghadapi kekerasan verbal.
Psikoterapi KDRT hanya dapat dilakukan oleh terapis yang memahami pola kekerasan dalam relasi intim. Jika terapis tidak memahami apa dan bagaimana kekerasan terjadi, tidak menyadari bahwa kekerasan terjadi di ruang terapi, lalu tidak menghentikannya atau malah memberikan persetujuan maka kekerasan akan terus berlangsung. Hal ini justru akan memperburuk kondisi korban.
Berikut adalah beberapa kesalahan yang dapat terjadi di konteks psikoterapi.
- Membagi kesalahan menjadi 50-50
Terapis keluarga yang tidak memahami kekerasan bisa jadi malah mengarahkan kesalahan ke korban, dengan menyatakan bahwa problem KDRT disebabkan oleh kedua belah pihak secara merata (50-50).
- Terapi pasangan biasa tidak efektif menangani KDRT
Dalam terapi pasangan, biasanya didasari asumsi dimana masalah akan diselesaikan dengan komunikasi yang baik. Maka, terapis akan membantu kedua belah pihak berlatih menyatakan apa yang dia lihat, dia rasakan pada pasangannya, misalkan: korban disarankan untuk menyampaikan pada pasangannya, “Suamiku, cobalah lebih sabar dan penuh kasih, karena perasaan saya sedih jikalau kamu menghina dan membentak aku.” Hal ini tidak banyak berguna bagi pasangan yang mengalami KDRT.
- Terapis yang belum memahami dinamika dalam pelaku KDRT akan naïf menangani kasus KDRT
Seorang pelaku yang intelek akan menjadi sangat lihai menggunakan kata-kata untuk mendefinisikan korbannya. Hal ini bisa mengaburkan masalah, misalkan: pada terapis pelaku berkata, “Dia terlalu sensitif, padahal dia tahu kalau saya orangnya keras.” Dan terapis mengangguk memahami, lalu fokus pada merubah korban agar menjadi tidak terlalu sensitif. Terapis yang tidak memahami justru membiarkan terjadi kekerasan dalam ruangan terapi.
- Belum terintegrasinya pendekatan psikoterapi dengan penanganan hukum.
Jika seorang korban meminta bantuan pada kepolisian ketika dipukul (kekerasan fisik) maka bisa meminta penanganan hukum, misalkan: penahanan atau pelaku diwajibkan untuk mengikuti konseling penanganan kemarahan (anger management). Hal ini diperlukan untuk membantu pelaku sadar dia juga butuh bantuan. Namun jika tidak ada kekerasan fisik, maka korban perlu mencari bantuan psikoterapi atau lembaga masyarakat atau tempat keagamaan (misalkan: gereja) agar pelaku juga dijangkau dan diminta untuk mengakhiri perilaku kekerasannya. Jika perilaku kekerasan ini tidak tertangani, maka korban dapat saja mengalami kekerasan berikutnya, atau ketikapun mereka berpisah, maka pelaku akan melakukan kekerasan pada pasangannya berikutnya.
Simpulan
Dengan memahami dasar persoalan kekerasan verbal, maka diperlukan psikoterapis yang ahli dalam persoalan kekerasan. Pendekatan keluarga belumlah cukup dalam menangani kasus kekerasan. Bahkan kesalahan dan kelalaian dalam proses psikoterapi justru berpengaruh kontra-produktif dalam upaya penanganan persoalan kekerasan verbal. Dibutuhkan keahlian penanganan konflik dan trauma baik bagi pelaku maupun korban. Oleh karena itu, ahli kesehatan mental yang berniat membantu kasus kekerasan verbal perlu memperkaya pengalaman dan keahliannya agar dapat membantu penyelesaian kasus kekerasan verbal dengan optimal.
Referensi:
Evans, P. (2006). The Verbally Abusive Man, Can He Change: A Guide for Women to Deciding to Stay or Go. Adams Media: Massachusetts.
Margaretha, Nuringtyas, R., & Rachim, R. (2013). Trauma kekerasan masa kanak dan kekerasan dalam relasi intim. Makara Seri Humaniora, 17, 33-42. doi: 10.7454/mssh.v17i1.1800