Dinamika Psikologi Korban dan Saksi dalam Memberikan Kesaksian: Peradilan atas Trauma atau Trauma karena Peradilan?

Tulisan ini telah dipublikasikan dalam Jurnal Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban tahun 2012.

Weeping Woman 1937 Pablo Picasso 1881-1973 Accepted by HM Government in lieu of tax with additional payment (Grant-in-Aid) made with assistance from the National Heritage Memorial Fund, the Art Fund and the Friends of the Tate Gallery 1987 http://www.tate.org.uk/art/work/T05010

Apakah memberikan kesaksian atas tindakan kejahatan yang dialaminya di peradilan memberikan efek kelegaan pada korban, terutama ketika melihat pelaku kejahatan diadili atas perbuatannya? Apakah bersaksi di peradilan membuat korban menjadi tidak lagi menyimpan dendam atau menurunkan kemungkinan membalas dendam? Atau, apakah pengalaman memberikan kesaksian di peradilan justru memperdalam luka emosional dan psikologis korban karena seperti mengulang kembali penderitaan yang pernah dialaminya? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah fokus dari logika pemberian keterangan dalam peradilan.

Dalam pandangan hukum diasumsikan bahwa korban kejahatan yang memberikan kesaksian (korban-saksi) menginginkan tercapainya kebenaran dan keadilan sehingga proses memberikan kesaksian akan memberikan perasaan dan keadaan psikologis yang positif, seperti kepuasan. Namun selain itu, berbagai penelitian menemukan bahwa memberikan kesaksian di peradilan memberikan efek negatif bagi keadaan emosional dan psikologis korban-saksi, seperti: munculnya perasaan cemas dan malu karena berhadapan dengan proses hukum dan masyarakat. Pada kenyataannya, sedikit yang kita ketahui tentang apa dan bagaimana pengaruh memberikan kesaksian di peradilan di konteks Indonesia.

Tulisan ini akan menjelaskan efek pemberian kesaksian oleh korban di peradilan berdasarkan penelitian empiris dalam ilmu Psikologi. Argumen yang dikembangkan dalam tulisan ini adalah bahwa memberikan keterangan di peradilan bagi korban-saksi kejahatan merupakan pengalaman yang cukup emosional dan bermakna. Oleh karena itu, yang perlu diperhatikan bukan sekedar pemenuhan rasa keadilan, namun penting memperhatikan bagaimana keadaan emosionalnya serta turut membantu meringankan penderitaan psikologis yang dapat timbul pada korban-saksi ketika berhadapan dengan proses persidangan.

Kesaksian dan peradilan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) Pasal 1 Ayat 26 menyatakan bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Definisi tersebut juga diatur dalam RUU Perlindungan Saksi sebagai seseorang yang menyampaikan laporan dan atau orang yang dapat memberikan keterangan dalam proses penyelesaian tindak pidana berkenaan dengan peristiwa hukum yang ia dengar, lihat dan alami sendiri dan atau orang yang memiliki keahlian khusus tentang pengetahuan tertentu guna kepentingan penyelesaian tindak pidana. Artinya, kesaksian dalam peradilan di Indonesia masih memegang peranan kunci memberi titik terang dalam suatu kejadian pidana. Kesaksian yang disampaikan di peradilan dapat dipertimbangkan oleh Hakim dalam mengambil putusan. 

Maka ketika seseorang maju dan memberikan kesaksian mengenai suatu tindak kejahatan, diharapkan tindakan tersebut dapat lebih mendekatkan seluruh proses peradilan menuju kebenaran dan keadilan. Dalam hal ini, kesaksian korban dan saksi dilakukan dalam rangka memberikan keterangan penting yang dapat digunakan oleh Hakim dalam mengambil keputusan. Beberapa penelitian menemukan bahwa pemberian kesaksian oleh saksi dan korban dipandang sebagai usaha mendukung peradilan dalam upaya penegakan kebenaran. Salah satunya adalah penelitian saksi dan korban kejahatan kemanusiaan di Sierra Leone oleh Horn, Charter, dan Vahidy (2009). Mereka menemukan bahwa saksi dan korban mengalami pengalaman positif ketika terlibat dalam peradilan internasional, karena mereka merasa melakukan hal yang benar agar pelaku mendapatkan ganjaran atas kejahatannya (Horn, Charter, & Vahidy, 2009). Pengalaman positif bersaksi juga dipengaruhi oleh keyakinan diri saksi karena telah dipersiapkan oleh jaksa dan penyidik​​. Dalam kasus-kasus kejahatan lainnya, Angle dan kolega (2002 dalam Brown, 2010) menemukan bahwa pengalaman negatif korban dan saksi yang sering dilaporkan adalah ketika mereka merasa terintimidasi oleh proses atau lingkungan peradilan. Oleh karena itu, penting bagi saksi dan korban dipersiapkan sebelum mereka masuk dalam proses peradilan. Persiapan dapat mencakup pemberikan informasi mengenai prosedur persidangan, mempersiapkan saksi dan korban akan proses pemeriksaan yang akan dilakukan oleh Jaksa dan Pembela Hukum, serta mencoba untuk menyiapkan stamina emosional mereka agar mereka mampu mengelola perasaannya ketika berada di kursi saksi.

Kesaksian mengacu pada ingatan saksi dan korban mengenai suatu peristiwa tindak pidana yang telah terjadi. Di dalam kesaksian akan diuraikan mengenai keadaan dan deskripsi orang-orang yang terlibat dalam peristiwa kejahatan, serta identifikasi pelaku tindak kejahatan. Karena sebagian besar kesaksian korban atau saksi berdasarkan ingatan mereka mengenai peristiwa kejahatan yang telah dialami sebelumnya, maka penting untuk memahami faktor ketepatan dan kelengkapan kesaksian saksi dan korban. Lalu penting juga untuk memahami apakah kesaksian saksi dan korban memiliki komponen kesalahan atau bias (Yarmey 2009). 

Brewin (2007 dalam Brown, 2010) menyatakan bahwa ingatan merupakan bangunan mental catatan pengalaman yang berisi pikiran dan perasaan seseorang yang telah melalui proses interaksi dinamis dengan pengalaman hidup dan lingkungan manusia. Berbagai penelitian psikologi telah menunjukkan bahwa ingatan itu bisa saja benar, atau salah, bahkan keseluruhannya salah, atau benar dan salah dalam waktu yang bersamaan. Pada beberapa kasus menurut Loftus and Picrell (1995 dalam Brown, 2010), sugesti bahkan dapat mengarahkan seseorang untuk mengingat secara lengkap, bahkan termasuk juga kebalikannya seseorang dapat menceritakan detail yang tidak pernah terjadi. Oleh karena itu, dalam menerima kesaksian, peradilan perlu mempertimbangkan kompetensi dan kredibilitas individu dalam memberikan kesaksian. Hanya karena seseorang mengaku mengingat telah melihat sesuatu, tidak berarti bahwa apa yang mereka ingat benar-benar terjadi. Untuk hanya menjadi saksi yang kompeten dan kredibel, seseorang harus memiliki kapasitas persepsi yang memadai, mampu mengingat dan melaporkan dengan baik, serta mampu dan mau mengatakan yang sebenarnya.

Lebih lanjut perlu pula dipahami bagaimana dinamika psikologis seseorang setelah memberikan kesaksian. Karena proses peradilan dan memberikan kesaksian dapat menjadi suatu pengalaman dramatis bagi seseorang. Contohnya: pada kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tindak kekerasan biasanya disembunyikan dari orang lain. Kemungkinan saksi dan korban adalah anak-anak sedangkan pelakunya adalah Ayah atau Ibu mereka. Dapat dibayangkan tekanan batin yang harus dilalui saksi atau korban anak KDRT yang harus memberikan kesaksian mengenai tindak kejahatan yang dilakukan orang tuanya di depan orang banyak dalam proses peradilan. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa pada beberapa orang, proses memberikan kesaksian dapat menjadi suatu peristiwa traumatis.

Trauma dan kesaksian

Memberikan kesaksian mengenai peristiwa yang menyakitkan atau traumatis akan menempatkan seorang manusia mengalami tekanan atau stress, bahkan seperti mengalami trauma kembali. Berbagai penelitian di Psikologi Klinis mengenai efek trauma telah menemukan bahwa mengingat kembali pengalaman traumatis memberikan tekanan yang cukup besar bahkan hampir mirip seperti efek negatif pengalaman traumatis yang sesungguhnya (Orth & Maercker, 2004). Kesaksian akan membuat korban mengingat kembali peristiwa kejahatan yang menimpanya, mengungkapkannya pada berbagai orang, dari proses penyelidikan dan penyidikan oleh Kepolisian, persiapan pembuatan kasus perkara dan hingga harus bercerita di depan orang banyak di peradilan. Keseluruhan pengalaman kesaksian ini pada akhirnya adalah mengulang penderitaan yang telah dialaminya, bahkan bisa dilakukan berulang-ulang kali dalam seluruh rangkaian proses hukum.

Ketika seseorang mengalami peristiwa yang menyakitkan, menakutkan dan mengancam keadaan fisik dan psikologisnya, maka ia dapat mengalami trauma. Ketika mengalami pengalaman traumatis maka dapat terjadi 3 gejala yang biasanya muncul: 1) hipersensitifitas, individu menjadi waspada secara berlebihan terhadap stimulus yang ia rasa terkait dengan pengalaman traumanya sehingga membuatnya sulit tidur, cemas, takut, mudah marah; 2) mengalami kembali trauma, pengalaman traumatis seperti dialami kembali oleh individu dalam bentuk mimpi buruk, tiba-tiba muncul ingatan akan pengalaman menakutkan; dan 3) penghindaran, individu akan berusaha menghindari berbagai stimulus yang membuatnya teringat kembali pada peristiwa traumatis. Jika ketiga gejala tersebut muncul dalam waktu paling sedikit 1 bulan, maka individu akan diberikan diagnosa gangguan kecemasan pasca trauma (Post-Traumatic Stress Disorder; PTSD) dan perlu mendapatkan perawatan kesehatan mental (Diagnostic and Statistics Manual IV Text Revision; DSM IV-TR, 2000). Perawatan psikologis dibutuhkan individu dengan PTSD agar dapat membantunya mengendalikan perasaan tertekannya dan mencapai kualitas hidup yang lebih baik.

Penelitian atas korban peristiwa kejahatan juga menemukan bahwa kesaksian korban di peradilan bisa dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar peristiwa, seperti: tekanan psikologis selama persidangan dan usia saksi, serta pengaruh lingkungan sosial. Tekanan psikologis atau stress personal juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kesaksian. Jumlah stres atau kecemasan yang dialami oleh saksi selama proses persidangan telah diketahui dapat mengubah kesaksian atau mengurangi keakuratan kesaksian yang disampaikan oleh saksi maupun korban (Brown, 2010). Namun sebaliknya pun dapat terjadi, misalnya, stres terbukti juga dapat meningkatkan keakuratan ingatan dan rincian dari suatu peristiwa kejahatan (Christianson, 1992 dalam Brown, 2010). Dari kedua temuan ini dapat disimpulkan bahwa tekanan psikologis dan kecemasan dapat mempengaruhi kesaksian seseorang baik secara positif maupun negatif.

Usia saksi juga merupakan faktor penting dalam menentukan baik kuantitas dan kualitas kesaksian (Davies, Holling, & Bull, 2008). Jumlah infomasi yang dapat disampaikan dalam kesaksian anak yang sangat muda cenderung kecil, dan jumlah informasi yang dapat diingat akan meningkat seiring dengan pertambahan usia. Jika anak-anak diberi kesempatan untuk bebas mengingat dan melaporkan informasi tentang sebuah peristiwa, kesaksian mereka bisa sangat akurat; tetapi jika anak-anak menerima pertanyaan berarah (leading questions) maka informasi yang disampaikan bisa menjadi tidak akurat. Begitupula dengan saksi yang berusia lanjut, mereka cenderung mengingat informasi dalam jumlah yang sedikit, dan tingkat keakuratannya pun cenderung kurang akurat.

Pengaruh lingkungan sosial dan media juga dapat turut mempengaruhi kesaksian seseorang. Berbagai penelitian atas kasus peradilan dan penelitian psikologi eksperimental telah menemukan bahwa keterangan saksi dapat dipengaruhi oleh informasi yang diterimanya dari lingkungan sosial, orang lain dan media (Wright, 2000; Kimberly, 2004). Dalam penelitiannya, Luss dan Wells (1994 dalam Wright, Self, & Justice, 2000) menemukan bahwa kesaksian seseorang mengenai suatu peristiwa kejahatan dapat berubah setelah mereka mendengar laporan kesaksian orang lain, dalam hal ini dapat disebut sebagai konformitas kesaksian. Oleh karena itu, penting diperhatikan agar saksi dan korban diberikan kesempatan untuk membangun ceritanya atas pengalamannya pribadi tanpa distorsi dari pengaruh cerita orang lain. Secara konkrit, sebaiknya interaksi saksi dengan saksi lain diminimalisir agar menurunkan kemungkinan terjadinya konformitas kesaksian.

Ingatan pengalaman traumatis sendiri adalah suatu hal yang cukup kontroversial. Berbagai penelitian menemukan bahwa peristiwa traumatis dapat semakin menguatkan atau melemahkan ingatan kejadian (Sparr & Bremmer, 2005). Di satu sisi, ingatan akan kejadian traumatis adalah kunci penting yang dapat menguak peristiwa kejahatan. Karena pengalaman traumatis menyangkut suatu pengalaman emosional, maka individu akan lebih mampu mengenali dan mengingatnya. Namun di sisi lain, banyak penelitian psikologi menemukan bahwa perubahan ingatan (memory alteration) banyak terjadi di individu yang mengalami trauma, terutama PTSD. Penelitian Elizabeth Loftus (1978 dalam Brown, 2010) pada korban perampokan menggunakan senjata tajam atau senjata api mengungkapkan bahwa selama peristiwa kejadian korban biasanya lebih fokus pada senjata karena rasa takutnya, sehingga menjadi kurang fokus pada hal-hal lain secara mendetail bahkan juga kurang dapat menceritakan secara akurat mengenai pelaku kejahatannya. Akibatnya, menurut Loftus, kesaksian korban yang mengalami trauma tidak bisa langsung diterima begitu saja, namun perlu diverifikasi atau diuji keakuratannya. Karena bisa jadi, yang akhirnya dilaporkan oleh korban adalah kesannya atas pengalaman traumatis dan bukannya kejadian yang sebenarnya. Berikut adalah bentuk kesaksian yang khas atas beberapa pengalaman traumatis yang dapat muncul dalam kesaksian di persidangan, yaitu: kekerasan seksual, kesaksian anak, dan kesaksian kasus KDRT.

Kesaksian kasus kekerasan seksual

Rebecca  (2008) mengulas berbagai kajian kasus pemerkosaan di Amerika Serikat, dan ia menemukan bahwa korban pemerkosaan akan mencari bantuan hukum, medis dan kesehatan mental. Secara umum mereka akan mendapatkan bantuan dan dukungan, namun pada sebagian korban mereka juga mengalami ”pemerkosaan kedua” (second rape); karena setiap kali bertemu dengan pekerja hukum, medis dan kesehatan mental, mereka harus mengulang-ulang bercerita mengenai peristiwa pemerkosaan itu. Dengan kata lain, korban pemerkosaan akan menjadi korban untuk kedua kalinya ketika mencari bantuan. Hal ini terjadi karena ketika korban datang mencari bantuan pertama, mereka tidak segera mendapat bantuan yang integratif. Contohnya: ketika korban datang ke Rumah Sakit untuk mencari bantuan medis atas luka kekerasannya, maka sebaiknya korban juga langsung mendapatkan akses bantuan profesional hukum dan psikologis, sehingga keterangannya tidak perlu diambil berulang-ulang. Namun masih banyak pula yang belum mendapatkan bantuan kesehatan mental sama sekali, baik dari Psikolog, Psikiater ataupun pekerja sosial lainnya. Oleh karena itu, perlu dikembangkan dan dievaluasi program bantuan terpadu terhadap korban kekerasan (pusat krisis), serta semakin memperkuat koordinasi dan strategi kerjasama antara berbagai pekerja hukum, medis dan kesehatan mental. 

Pemberian kesaksian korban di depan pelaku kejahatan kekerasan seksual dapat menjadi peristiwa mengulang pengalaman trauma yang menyakitkan bagi korban hingga menyebabkan korban mengalami PTSD. Namun penelitian oleh Orth dan Maercker (2004) menemukan bahwa dari 137 korban pelecehan seksual, pengalaman memberikan kesaksian di depan pelaku pemerkosaan tidak berkaitan dengan gejala PTSD pada beberapa tahun setelah persidangan. Atau dengan kata lain tidak ada hubungan langsung antara peristiwa pemberikan kesaksian dengan munculnya gangguan mental. Sedangkan penelitian jangka panjang pada 31 korban pemerkosaan menunjukkan bahwa tingkat kecemasan dan PTSD yang terjadi pada korban baik sebelum dan setelah persidangan dapat dijelaskan oleh perbedaan individual atas kecenderungan kecemasannya. Atau dengan kata lain PTSD yang dialami korban lebih dipengaruhi seberapa besar kecenderungan kepribadian seseorang mengalami kecemasan ketika menghadapi persoalan sulit. Korban yang memiliki kecenderungan mudah tertekan atau pencemas akan lebih mungkin memunculkan PTSD daripada korban yang tidak memiliki kecenderungan kecemasan. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa hubungan pengalaman memberikan kesaksian dengan PTSD terjadi secara tidak langsung, namun dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kemampuan mengelola kecemasan dan karakter kepribadian pencemas.

Secara umum, kesaksian sesorang dipengaruhi oleh derajat keparahan peristiwa traumatis yang pernah dialaminya. Semakin berat peristiwa traumatis yang dialaminya maka semamin sulit dan menyakitkan bagi korban-saksi untuk memberikan kesaksian (Goodman dkk, 1992). Pada akhirnya pengalaman memberikan kesaksian justru memberatkan kondisi psikologis mereka. Lebih lanjut usia juga turut mempengaruhi kemampuan seseorang untuk mengatasi tekanan yang dapat terjadi ketika berhadapan dengan proses peradilan. Korban-saksi anak ditemukan akan lebih mengalami kesulitan untuk mengelola tekanan memberikan kesaksian secara mandiri daripada dengan saksi-korban yang lebih berusia dewasa (Goodman dkk., 1992).

Kesaksian kasus trauma anak

Salah satu studi pertama yang meneliti efek dari keterlibatan hukum pada anak dilakukan di Australia oleh Oates dan Tong (1987). Dalam studi ini, pengasuh dan 46 anak yang telah mengalami pelecehan seksual diwawancarai selama sekitar dua setengah tahun sejak mereka melaporkan peristiwa pelecehan yang mereka alami. Dua puluh satu dari 46 kasus melanjutkan kasus hingga ke pengadilan, dan anak-anak tersebut diminta untuk bersaksi. Lalu setelah persidangan selesai orang tua ditanya tentang reaksi anak mereka ketika berhadapan dengan sistem hukum, sekitar 86% anak dinilai oleh orang tua mereka menunjukkan respon sangat marah segera setelah sidang. Bahkan hingga 2,5 tahun kemudian, sekitar 57% anak dilaporkan oleh orang tua masih memiliki kemarahan atas kasus hukum yang pernah dialaminya serta menunjukkan masalah perilaku. Jika dibandingkan dengan anak yang tidak pergi melanjutkan kasus ke pengadilan, jumlah gangguan perilaku yang muncul jauh lebih sedikit, hanya sekitar 12%. Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan pengadilan dapat terus menjadi sumber kesulitan psikologis bagi anak, bahkan efeknya bisa bertahan hingga beberapa tahun setelah kasus berakhir.

Penelitian Goodman dan kolega (1992) juga menemukan bahwa korban pelecehan seksual anak tidak hanya harus menghadapi luka dan trauma peristiwa kekerasan seksual, namun juga pengalaman berhadapan dengan peradilan memberikan peristiwa traumatis tersendiri. Ia melakukan meneliti problem perilaku yang muncul pada 218 anak yang mengalami kekerasan seksual. Ia membaginya mereka menjadi 2 kelompok, separuhnya adalah anak yang memberikan kesaksian di peradilan dan sisanya tidak memberikan kesaksian di peradilan. Ia menemukan bahwa semenjak proses pengadilan dimulai hingga seluruh proses berakhir, anak-anak yang memberikan kesaksian menunjukkan problem perilaku lebih tinggi daripada anak yang tidak memberikan kesaksian di persidangan. 

Dalam suatu penelitian longitudinal oleh Quas dan kolega (2005) dalam jangka 20 tahun, dan mereka menemukan bahwa ketika seseorang dalam usia muda berhadapan dengan proses hukum dapat berkaitan dengan munculnya sikap negatif individu terhadap proses hukum dan lebih buruknya kemampuan beradaptasi di lingkungan. Secara khusus, anak usia muda yang harus bersaksi berulang kali dalam proses hukum ditemukan berkembang menjadi individu yang kurang mampu menyesuaikan diri secara sosial di masa dewasanya. Sedangkan jika pengalaman pertama berhadapan dengan proses hukum terjadi pada anak yang lebih tua, maka kesehatan mental mereka hanya akan lebih buruk jika tingkat kekerasan yang dialaminya pada masa kanak cukup berat namun pelakunya diberikan hukuman yang lebih ringan daripada tuntutan. Oleh karena itu, pertimbangan pemberikan kesaksian anak perlu memperhatikan usia dan derajat keparahan peristiwa kejahatan yang menimpa korban anak.

Bersaksi di pengadilan dan menghadapi terdakwa dapat menimbulkan trauma bagi korban anak. Sebagian besar penelitian tentang kesaksian anak-anak telah menunjukkan kesaksian di pengadilan pidana dikaitkan dengan kecemasan jangka pendek pada beberapa anak (Goodman dkk., 1992). Selain itu, beberapa faktor yang berhubungan dengan kesaksian, termasuk bersaksi beberapa kali, sikap dalam ruang sidang yang keras, dan kurangnya dukungan ibu, dapat menimbulkan tekanan emosional jangka pendek bagi anak-anak (Goodman et al, 1992; Whitcomb et al, 1991). Ketakutan yang paling sering diungkapkan oleh anak-anak yang bersaksi di pengadilan adalah ketakutan harus menghadapi terdakwa secara langsung. Kurangnya dukungan ibu dan bersaksi lebih dari sekali dikaitkan dengan meningkatnya kecemasan anak. Selain itu, panjang proses peradilan dan pemeriksaan yang keras oleh Jaksa maupun Pembela Hukum juga ditemukan berpengaruh kuat atas tekanan psikologis yang dialami anak. Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa tekanan besar akan dialami anak ketika menghadapi proses hukum, dan secara berangsur tekanan akan berkurang setelah berakhirnya masa persidangan.

Kesaksian kasus KDRT

Ketika seorang korban atau saksi menyampaikan pengalamannya mengenai KDRT, maka pekerja hukum perlu memahami faktor-faktor kontekstual yang mempengaruhi laporan KDRT di peradilan. Seorang korban KDRT, yang kebanyakan perempuan, dapat memunculkan perilaku-perilaku irasional yang bahkan dapat merugikan dirinya sendiri. Contohnya: walaupun korban diperlakukan buruk dan mengalami kekerasan dari pasangan namun ia dapat tetap memilih bertahan dalam relasinya. Walaupun tahu kekerasan menimpa anaknya, namun seorang ibu tetap dapat gagal melindungi anaknya dari siksaan ayahnya. Dalam kasus KDRT, korban saksi justru dapat memberikan kesaksian yang menyangkal atau meminimalisir kekerasan dan luka yang dideritanya di depan peradilan. Lebih lanjut, saksi-korban dapat pula terlihat seperti tidak konsisten karena mereka bisa tiba-tiba menghilang, pergi atau berpindah tempat dalam rangka menghindari pasangannya si pelaku kekerasan daripada menyelesaikan perkara KDRT secara hukum. 

Perlu dipahami, perilaku-perilaku tersebut adalah khas perilaku yang muncul pada korban KDRT. Sebagai bentuk perilaku tersebut muncul sebagai mekanisme pertahanan diri dari efek negatif pengalaman KDRT. Korban akan berusaha menyangkal luka karena belajar bahwa memberitahu keadaan sebenarnya akan memperburuk kondisi dirinya sendiri di keluarga. Hal ini banyak ditemui di korban KDRT yang masih merasa bergantung pada di pelaku, sehingga perilaku yang muncul justru melindungi perilaku di persidangan dengan cara menyangkal luka. 

Dalam hal ini, diperlukan bantuan profesional psikologis untuk memberikan konteks atas peristiwa KDRT. Profesional juga dapat memberikan keterangan ahli yang berguna untuk mengurangi kesalahpahaman dan ketidaktahuan mengenai berbagai perilaku kontradiktif yang dapat dimunculkan korban-saksi ketika berhadapan dengan proses peradilan. Profesional dapat menggunakan wawasan psikologisnya untuk menjelaskan mengapa seseorang yang mengalami peristiwa kekerasan dapat memunculkan perilaku yang kadang menjadi kontradiktif dengan proses hukum, serta memberikan penjelasan untuk membantu persidangan untuk mencapai titik terang kasus dalam rangka mendapatkan kebenaran dan keadilan.

Setelah kesaksian 

Dengan berulangkali diwawancara, diperiksa dan dicek-ulang kesaksiannya hingga memberikan kesaksian di peradilan mengenai peristiwa kejahatan, maka korban akan mengalami pengalaman trauma ulang. Ketika mengalami trauma kembali di persidangan, beberapa korban melaporkan perasaan tidak berdaya, tertekan dan merasa kehilangan kontrol akan dirinya sendiri (Orth, & Maercker, 2004). Korban-saksi dapat merasa lemah ketika menghadapi proses peradilan tanpa dukungan sosial. Justru ketika seorang merasa kehilangan kontrol diri ia akan semakin mengurung diri dan membatasi interaksi, akhirnya ia pun tidak mengakses bantuan yang sebenarnya ia perlukan. 

Dalam menghadapi hal ini, maka perlu dikembangkan usaha bantuan integratif. Lembaga perlindungan saksi dan korban dapat berkoordinasi erat dengan berbagai pusat layanan medis, dan kesehatan mental yang memiliki keahlian khusus. Contohnya: dalam menghadapi kasus KDRT, perlu bekerjasama dalam hal pelayanan psikologis dengan psikolog dan ahli yang terampil akan terapi trauma kekerasan. Hal yang perlu digarisbawahi adalah, usaha perlindungan saksi dan korban sedapatnya berupa dukungan menyeluruh atau holistik, dimana aspek perlindungan bukan hanya keamanan fisik, namun juga keselamatan sosial, emosional dan psikologis.

Lalu pertanyaannya, bagaimana cara memastikan kebutuhan emosional dan psikologis korban-saksi telah terpenuhi? Perlu dipahami bahwa kebutuhan psikologis masing-masing orang adalah unik. Maka setiap orang perlu diperiksa kebutuhan emosional dan psikologisnya, diberikan layanan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan personal korban, serta dilakukan pula pengawasan penyediaan layanan apakah telah sesuai dengan tujuannya.

Simpulan

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa memberikan kesaksian atas pelaku kejahatan adalah suatu hal yang beresiko dan dramatis. Tentu saja, kita memahami bahwa dalam kasus-kasus khusus, seperti kesaksian anak, kesaksian kasus KDRT, dan kasus kekerasan seksual, perlu diberikan pertimbangan khusus dalam memaknai kesaksian korban dan saksi. Secara khusus, kesaksian anak harus dilakukan secara berhati-hati dan perlu dipastikan hadirnya dukungan dari pengasuh anak dalam rangka meminimalisir efek negatif keterlibatannya dalam proses hukum pada usia dini. Maka penting dipastikan bahwa keselamatan psikis dan sosial korban-saksi tetap terjaga hingga selesainya proses peradilan serta kembalinya mereka ke masyarakat. Dalam menghadapi hal ini, Lembaga perlindungan saksi dan korban dapat berusaha memberikan bantuan integratif, yaitu layanan medis dan kesehatan mental yang terpadu dalam rangka upaya penjaminan kesejahteraan korban dan saksi dalam memberikan kesaksian di peradilan. 

Lebih lanjut, ulasan di atas juga menekankan bahwa begitu sedikit yang kita tahu mengenai efek psikologis keterlibatan seseorang ketika memberikan kesaksian di peradilan di Indonesia. Penelitian dan kajian ke depan selayaknya mencoba mengupas fenomena psikologis kesaksian dalam proses persidangan di Indonesia. Hal ini dilakukan agar kita mendapatkan gambaran nyata mengenai dinamika psikologis korban dan saksi di peradilan di konteks Indonesia. Informasi tersebut sangat penting dan dapat digunakan untuk pengembangan layanan dukungan dan perlindungan saksi dan korban di masa depan.

Referensi

American Psychiatric Association (2000). Diagnostic and Statistics Manual IV Text Revision. APA; United States of America.

Brown, J.M. & Campbell, E.A. (2010). The Cambridge handbook of Forensic Psychology. Cambridge; London.

Davies, G., Holling, C., & Bull, R. (2008). Forensic Psychology. John Wiley & Sons; West Sussex.

Goodman, G.S., Taub, E.P., Jones, D.P., England, P., Port, L.K., Rudy, L., & Prado, L. (1992). Testifying in criminal court: emotional effects on child sexual assault victims. Monograph of Social Research on Children Development57, 1-142.

Goodman, G.S., Pyle-Taub, E.P., Jones, D.P.H., England, P., Port, L.K., Rudy, L., & Prado, L. (1992). Testifying in criminal court: Emotional effects of criminal court testimony on child sexual assault victims. Monographs of the Society for Research on Child Development, 57 (Serial No. 229).

Goodman, G.S., Quas, J.A., Bulkley, J., & Shapiro, C. (1999). Innovations for child witnesses: national survey. Psychology, Public Policy, and Law, 5, 177-183.

Goodman, G.S., Tobcy, A.E., Batterman-Faunce, J.M., Orcutt, H., Thomas, S., Shapiro, C., & Sachsenmaier, T. (1998). Face-to-face confrontation: Effects of closed-circuit technology on children’s eyewitness testimony and jurors’ decisions. Law and Human Behavior, 22165-203.

Horn, R., Charters, S., & Vahidy, S. (2009). The victim-witness experience in the Special Court for Sierra LeoneInternational Review of Victimology15, 277-298.

Muud, K. (2004). Conformity to misinformation and time delay negatively affect eyewitness confidence and accuracy. North American Journal of Psychology2, 227-238.

Oates, R.K., & Tong, L. (1987). Sexual abuse ofchildren: An area with room for professional reforms. The Medical Journal of Australia, 147544-548.

Orth, U., & Maercker, A. (2004). Do trials of prepretators retraumatize crime victims? Journal of Interpersonal Violence, 2, 212-227.

Quas, J.A., Goodman, G.S., Ghetti, S., Alexander, K.W., Edelstein, R., Redlich, A.D., Cordon, I.M., & Jones, D.P. (2005). Childhood sexual assault victims: long-term outcomes after testifying in criminal court. Monograph of Social Research on Children Development70, 1-128.

Rebecca, C. (2008). The psychological impact of rape victims. American Psychologist63, 702-717.

Sparr, L.F. & Bremmer, J.D. (2005). Post-traumatic Stress Disorder and Memory: Prescient Medicolegal Testimony at the International War Crimes Tribunal? Journal of American Academy Psychiatry and Law33, 71-78.

Whitcomb, D., Runyan, D.K., De Vos, E., Hunter, W.M., Cross, T.P., Everson, M.D., Peeler, N.A., Porter, C.Q., Toth, P.A., & Cropper, C. (1991). Child victim as witness project: Final report. Washington, DC: Office of Juvenile Justice and Delinquency Prevention.

Wright, D., Self, G., & Justice, C. (2000). Memory conformity: Exploring misinformation effects when presented by another person. British Journal of Psychology, 91, 189-202.

Yarmey, A. D., Jacob, J. & Porter, A. (2002). Person recall in field settings. Journal of Applied Social Psychology, 32, 54-67.

Yarmey, A. D., & Morris, S. (1998). The effects of discussion on eyewitness memory. Journal of Applied Social Psychology, 28, 37-48.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s