Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penanganan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penanganan Kekerasan dalam Rumah Tangga

 

Oleh: Margaretha

Dosen Psikologi Forensik, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya

RJ that promotes healingL akhirnya tidak tahan lagi menyimpan rahasia KDRT di keluarganya selama ini. Dari penindasan dan kekerasan ini, bahkan L pun tidak lagi menyukai dirinya sendiri. L paham ia harus bergerak keluar dari kekerasan agar tidak sakit dan terus terpuruk. Ia mencari bantuan, agar semua kekerasan ini berhenti. L pergi ke sebuah Lembaga Perempuan, lalu ia ditanya: “Apa yang Ibu harapkan dari situasi ini?” L diam cukup lama dan berpikir, apa yang akan dijawabnya.

Peristiwa ini memunculkan pertanyaan bagi orang-orang yang bekerja dengan kasus KDRT. Apakah yang ada dalam benak korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ketika mencari bantuan? Apakah harapannya untuk mencari keadilan dan memberikan hukuman bagi pelaku kekerasan? Ataukah harapannya mendapat bantuan agar pelaku berhenti melakukan kekerasan? Karena sering, korban seperti tidak tahu apa tujuannya. Korban seperti kewalahan dengan emosinya dan menjadi kurang mampu menjelaskan tujuan yang ingin dicapai dalam penanganan KDRT. Akibatnya, usaha penanganan bisa jalan di tempat atau malah mundur tidak terselesaikan. Korban sering tampak tidak kooperatif atau tidak berani melanjutkan penanganan KDRT, mungkin juga karena juga tidak tahu apa yang ingin dicapainya, keadilan atau pemulihan psikis. Lalu, apakah yang bisa dilakukan untuk membantu penanganan KDRT?

Tulisan ini akan fokus menjelaskan pendekatan keadilan restoratif sebagai alternatif dalam memberikan rasa keadilan dan pemulihan psikologis pada korban selamat setelah KDRT.

Setelah kekerasan

Setelah kekerasan, perubahan dan perkembangan masih terus dapat terjadi.

home-survivorKetika korban (victim) bergerak mencari bantuan untuk menghentikan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), maka terjadi proses transisi menjadi korban yang selamat (survivor). Pada saat ini, tidak hanya bantuan legal yang dibutuhkan oleh korban namun juga bantuan psikologis. Korban perlu merasa didengarkan, didampingi di tempat yang aman serta diyakinkan bahwa mereka tidak sendirian menghadapi persoalan ini. Korban sebaiknya didampingi oleh profesional maupun mediator yang netral untuk dapat menyelesaikan persoalan KDRT secara konstruktif. Korban perlu mendapatkan rasa aman dan kekerasan harus diakhiri.

Begitu juga pada pelaku, bukan hanya sekedar mendapatkan hukuman atas kekerasan sebagai pelanggaran hukum yang telah mereka lakukan, namun juga mereka membutuhkan penanganan psikis pada akar kekerasan yang dimilikinya. Namun kenyataannya, sering kasus KDRT yang dilaporkan ke polisi berujung pada perceraian atau hanya penyelesaian kekeluargaan tanpa penanganan hukum tuntas. Proses hukum sebagai bagian dari penanganan menyeluruh harus dilakukan untuk menegakkan azas kebenaran dan rasa keadilan. Tapi di samping itu, penyembuhan psikologis pelaku dan korban juga sangat penting dilakukan dalam penyelesaian masalah KDRT secara tuntas. Pelaku seharusnya mendapatkan ganjaran hukum dan rehabilitasi psikologis yang intensif, karena adalah sangat mungkin selepas persoalan kekerasan pada korban, ia dapat melakukan kekerasan pada pasangan berikutnya. Siklus kekerasan terus terjadi, karena pelaku belum keluar dari siklus perilaku kekerasannya.

Perlu dipahami pula, bahwa KDRT bukan hanya merugikan korban dan keluarganya, namun juga masyarakat di sekitar mereka. Masyarakat dipaksa melihat ketidakadilan dan kejahatan terjadi dalam komunitasnya. Bahkan pada saatnya, masyarakat akan membayar konsekuensi, ketika satu waktu korban KDRT mengalami persoalan fisik, psikis dan sosial sebagai akibat KDRT. Oleh karena itu, masyarakat perlu turut berkontribusi dalam penanganan kasus KDRT melalui pendekatan keadilan restoratif (restorative justice).

Maka, penanganan intensif dan menyeluruh atas kasus KDRT menjadi sangat penting. Bukan hanya menarget korban, pelaku namun juga orang-orang di sekitar yang terkait dengan kejadian KDRT tersebut.

Penanganan kasus KDRT berdasarkan Keadilan Restoratif

rj exampleSalah satu pendekatan alternatif berdasarkan teori keadilan restoratif menawarkan pendekatan yang “mengembalikan” kondisi semula pada korban, pelaku, dan masyarakat setelah suatu peristiwa kejahatan. Secara umum, keadilan restoratif berupaya mengembalikan hal-hal yang dianggap penting bagi korban, pelaku, dan masyarakat; termasuk di dalamnya adalah restorasi dari cedera atau barang pribadi yang hilang/rusak, harga diri yang telah dirusak, hilangnya dukungan sosial, dan hilangnya rasa keamanan pribadi. Namun, tentu saja, masing-masing orang yang melakukan keadilan restoratif dapat memberikan definisinya masing-masing mengenai apa dan bagaimana restorasi dapat dilakukan.

Keadilan restoratif dimulai dengan fokus pada bahaya yang telah ditimbulkan dan dialami oleh korban KDRT. Perlu dipahami, KDRT bukanlah peristiwa kekerasan tunggal, namun akan ada pola kekerasan dan penelantaran yang muncul dalam relasi intim. Maka, dalam kasus KDRT, adalah sangat penting untuk menggali riwayat kekerasan dan bagaimana kekerasan terjadi dalam suatu relasi intim. Hal ini bertujuan untuk menciptakan pemahaman yang lebih dalam mengenai sifat dan besarnya persoalan KDRT. Pengetahuan ini dapat menjadi penting dalam meningkatkan kesadaran dan mengembangkan cara-cara mencapai keselamatan bagi orang-orang yang terkait dalam kasus KDRT.

Dalam keadilan restoratif, akan diadakan pertemuan kelompok yang terdiri dari: pelaku kekerasan, korban (baik kekerasan oleh dewasa pada orang dewasa, juga orang dewasa pada anak), keluarga dan komunitas yang terkait dengan peristiwa KDRT tersebut. Dalam pertemuan kelompok, semua komponen berdiskusi untuk mengembangkan rencana berkelanjutan untuk merubah perilaku pelaku KDRT dalam rangka memulihkan kondisi korban, keluarga, dan masyarakat. Di bawah bimbingan moderator, biasanya seorang profesional, anggota pertemuan kelompok akan turut pula membicarakan dampak dari kekerasan yang telah dilakukan pelaku; harapan dan keinginan, potensi-potensi munculnya kekerasan di masa mendatang, dan hal-hal apa yang dapat dilakukan untuk mencegah KDRT di masa depan. Masing-masing komponen juga akan berkomitmen untuk mengubah perilaku masing-masing agar bisa mencegah peristiwa kekerasan di masa depan. Selain itu, peserta juga akan mendiskusikan riwayat kekerasan, serta pemicu khas munculnya kekerasan di keluarga mereka (misalkan: bagaimana masalah sosial ekonomi, norma budaya, penindasan suku, dan keyakinan agama dapat mempengaruhi dinamika kekerasan). Dinamika seperti ini membuat treatment keadilan restoratif menjadi lebih personal, baik untuk pelaku, korban dan keluarga.

Fokus dan tujuan pendekatan keadilan restoratif

no longer victimKeselamatan korban atau pun survivor adalah perhatian utama dalam keadilan restoratif. Mengingat bahwa kekerasan sudah dialami selama beberapa lama, maka sangat dipahami bahwa pembicaraan mengenai KDRT juga dapat memberikan tekanan dan penderitaan bagi korban selamat, bahkan resiko terjadinya peningkatan risiko kekerasan lebih lanjut.

Namun, jika memungkinkan, keadilan restoratif akan memberikan kesempatan bagi korban selamat untuk terlibat dalam dialog tentang upaya mencapai keadilan. Korban KDRT memiliki ruang yang aman dimana mereka dapat bercerita, didengar dan divalidasi mengenai pengalaman kekerasan yang telah dihadapinya. Penyangkalan tindak kekerasan yang telah dialami korban akan memberikan dampak tekanan luar biasa bagi korban, karena menepiskan semua penderitaan dan penindasan yang dialami seseorang hampir sama seperti meniadakan keberadaan dirinya sebagai manusia.

Pada beberapa korban selamat, menceritakan kisah mereka langsung kepada orang yang telah melakukan kekerasan pada mereka dan memiliki kesempatan untuk mengajukan pertanyaan serta mengekspresikan emosi bisa menjadi peristiwa yang sangat berarti. Terutama bila dikombinasikan dengan mendengar pelaku mengucapkan mau bertanggung jawab atas tindakan kekerasan yang telah dilakukannya. Hal-hal ini dapat menjadi pengalaman yang sangat menguatkan bagi korban selamat.

Kay Pranis (2002 dalam Mills, Barocas, & Ariel, 2013) menyatakan bahwa keadilan restoratif sangat bermakna dalam usaha pemberdayaan atas kasus yang selama ini tidak terdengar (empowering unheard voices).

Beberapa hasil positif yang dapat tercapai melalui pendekatan keadilan restoratif adalah: rekonsiliasi, pengampunan, penyelesaian masalah dan pemulihan. Hasil ini bisa sangat penting bagi korbna selamat dan pelaku serta orang-orang di sekitar mereka.

Namun perlu dipahami, bahwa tidak ada jaminan bagaimana dialog dalam keadilan restoratif berkembang pada satu kasus. Dapat pula terjadi, dalam proses keadilan restoratif justru muncul emosi tak terduga atau masalah berkepanjangan dan tidak selesai. Oleh karena itu, praktisi keadilan restoratif sebaiknya adalah profesional yang sungguh menguasai bidang kekerasan dan mediasi hukum. Praktisi bekerja untuk mengidentifikasi kebutuhan orang-orang yang terkait dengan kasus KDRT, lalu melakukan reality-check atas harapan dan keinginan masing-masing komponen, serta membantu mereka dalam membuat keputusan yang tepat tentang bagaimana menyelesaikan persoalan KDRT yang tengah dihadapi.

Namun yang paling penting, keadilan restoratif dapat memutus rasa takut, malu, dan isolasi yang telah dialami korban dan keluarga dalam krisis KDRT. Karena komunitas juga akan berpartisipasi dalam pemantauan keselamatan korban dan orang-orang yang terkait. Orang-orang akan saling bekerja sama dalam berperan sebagai pengawas pelaku KDRT dan menjadi mediator keamanan bagi korban dan keluarganya selama proses perawatan psikologis dan proses hukum berjalan. Misalkan: keluarga dan masyarakat akan mengandalkan bantuan hukum dan memanggil Polisi untuk memastikan bahwa pelaku tidak akan lagi melakukan perilaku merusak atau ancaman tindak kekerasan, jika terjadi perilaku yang di luar kesepakatan.

Simpulan

dv free zonePendekatan keadilan restoratif dikembangkan atas dasar filosofis bahwa pelaku KDRT dapat berubah dan tidak lagi melakukan kejahatan bila diberikan cara dan mekanisme untuk memfasilitasi perubahan (transformasi) pribadi. Hal ini dilakukan dengan melakukan proses dialog yang berfokus tentang memahami bagaimana kejahatan terjadi, serta bagaimana perubahan perilaku yang perlu dilakukan untuk menghindari kekerasan di masa mendatang. Dialog ini harus dilakukan secara mendalam, menembus pengalaman hidup dan masuk jauh ke dalam akar persoalan kekerasan yang dilakukan seorang pelaku KDRT.

Seluruh komponen, baik pelaku, korban dan masyarakat akan bekerjasama bahu-membahu untuk menghentikan kekerasan. Di dalam keadilan restoratif, pelaku KDRT memahami bahwa mereka berutang kewajiban pada korban, keluarga, dan masyarakat, untuk mengambil tanggungjawab mengelola perilaku mereka sendiri agar tidak lagi melakukan kekerasan di masa depan.

Referensi:

Mills, L.G., Barocas, B., & Ariel, B. (2013). The next generation of court-mandated domestic violence treatment: A comparison study of batterer intervention and restorative justice programs. Journal Experimental Criminology, 9, 65–90. DOI 10.1007/s11292-012-9164-x

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s