Penanganan Autisme
Oleh: Margaretha
Dosen Pengajar Psikopatologi, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Dari Buku Patient-Based Approaches to Cognitive Neuroscience oleh Martha J. Farah & Todd E. Feinberg (Eds.).
Autisme adalah gangguan seumur hidup. Tidak ada “obat” yang menghilangkan autisme, tetapi ada banyak treatment efektif yang telah dikembangkan selama ini untuk penanganan gejala autisme. Treatment autisme yang tepat, tidak hanya akan mengurangi gejala tetapi juga meningkatkan fungsi hidup individu dengan autisme secara keseluruhan.
Tulisan ini akan menguraikan 2 pendekatan besar yang banyak digunakan dalam penangan Spektrum Autisme (Autism Spectrum Disorder; ASD), yaitu pendekatan Perilaku dan Psikofarmakologi. Tulisan ini bertujuan memberikan pemahaman menganai apa yang dapat diharapkan dari pendekatan perilaku dan medis dalam penanganan autisme.
- Pendekatan Perilaku
Penanganan ASD secara dini dan intensif adalah sangat penting (25-38 jam per minggu). Namun perlu dipahami juga, bahwa variabilitas individu dalam pola gejala dan respon terhadap treatment sangat berbeda-beda. Artinya, tidak ada satu model treatment yang cocok untuk semua anak. Namun setiap anak harus diberikan treatment sesuai dengan kebutuhan dan karakteristiknya. Seperti membuat pakaian, satu pola bagi satu anak.
Secara umum, intervensi perilaku pada ASD dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori:
- intervensi yang menargetkan pengembangan komunikasi dan bahasa
- intervensi yang menargetkan peningkatan kompetensi sosial, dan
- intervensi yang menargetkan pengurangan atau pengelolaan perilaku yang tidak diinginkan.
Masing-masing tujuan dicapai dengan menggunakan beberapa pendekatan treatment, seperti: Applied Behavioral Analysis (ABA), Discrete Trial Training (DDT), Pivotal Response Training (PRT), Treatment and Education of Autistic and Related Communication-Handicapped Children (TEACCH), dan Developmental, Individual-Difference Relationship-Based Model (DIR).
Applied Behavioral Analysis (ABA)
ABA mengikuti prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh B.F. Skinner, di mana semua keterampilan dipecah menjadi lebih kecil, lalu komponen individual tersebut diajarkan. Teknik modifikasi perilaku, seperti shaping, prompting, dan chaining digunakan untuk melatih munculnya perilaku baru.
Discrete Trial Training (DDT)
DDT, dikembangkan pertama kali oleh Ivaar Lovaas, sebagai aplikasi pertama dari metode ABA untuk anak-anak dengan ASD. DTT adalah terapi terstruktur, formal, dimana terapis yang memutuskan tujuan pembelajaran, memberikan instruksi, dan juga menyediakan prompt sebagai penguatan positif eksternal. Seluruh latihan perilaku akan diulang sampai anak menguasai keterampilan.
Pivotal Response Training (PRT)
PRT mengandalkan teknik mengajarkan perilaku anak dengan ASD di dalam lingkungan yang lebih naturalistik. Dalam intervensi naturalistik ini, terapis menunggu anak untuk memulai komunikasi, bukannya yang mengarahkan komunikasi. PRT berfokus pada perilaku yang dianggap paling penting, yang akan memiliki efek luas pada berbagai perilaku lain, misalkan: motivasi anak untuk berinteraksi; namun bukan mengarahkan hanya pada perilaku spesifik seperti: kemampuan berbahasa. Lebih juga mengutamakan penguatan intrinsik daripada penguatan ekstrinsik.
Incidental Teaching
Mengajar insidental akan sangat dipengaruhi oleh pengaturan lingkungan belajar, sehingga anak termotivasi untuk belajar berkomunikasi, misalnya: banyak mainan dan kegiatan yang tersedia, tetapi karena jauh dari jangkauan anak, maka anak tidak akan bermain; namun sebaliknya jika mainan tersedia dan terjangkau maka anak akan lebih mau bermain. Maka penting, agar terapis selalu awas dalam membuat suatu situasi belajar dapat terjadi secara efektif, walaupun dalam lingkungan sehari-hari anak.
Picture Exchange Communication System (PECS)
PECS adalah upaya untuk mengajarkan komunikasi fungsional pada anak dengan ASD. Anak itu awalnya diajarkan untuk bertukar gambar untuk item yang diinginkan. Kemudian menambahkan jumlah kosakatanya dengan menggunakan alat bantu gambar. Lalu akhirnya, anak akan belajar untuk menyusun beberapa gambar dalam sebuah kalimat untuk berkomunikasi, seperti: mengungkapkan permintaan atau memberikan komentar. PECS dimaksudkan untuk meningkatkan komunikasi bukan menggantikan komunikasi.
Treatment and Education of Autistic and Related Communication-Handicapped Children (TEACCH)
TEACCH adalah sebuah program yang layanan komprehensif yang bergantung pada pengembangan lingkungan fisik yang sangat terstruktur. Penekanan utama dalam metode ini adalah penyampaian informasi melalui alat bantu visual. Hal ini dilakukan dalam rangka memanfaatkan kekuatan visual ada pada anak-anak dengan ASD dan juga karena mempertimbangkan kelemahan mereka dalam pengolahan pendengaran.
Alat bantu visual (konsep informasi yang dicetak dalam bentuk gambar atau tanpa kata-kata). Dengan alat bantu visual, anak dengan ASD akan lebih memahami instruksi, tugas atau urutan kejadian sehari-hari karena menjadi lebih mudah diprediksi dan dipahami.
Developmental, Individual-Difference Relationship-Based Model (DIR)
Sebuah pendekatan keterampilan komunikasi namun tidak dilakukan dalam suatu lingkungan yang terlalu terstruktur, namun lebih menekankan pada aspek bermain dan interaksi yang berpusat pada anak. Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa dengan meningkatkan pengaruh positif pada interaksi, maka anak akan belajar komunikasi dengan orang lain. Floor-time adalah teknik populer dari pendekatan ini, dimana terapis akan bekerja memulai terapi dengan mengikuti perilaku si anak (follow the child’s lead), bukannya mengarahkan perilaku anak.
Pendekatan kompetensi sosial.
Pendekatan intervensi sosial akan menargetkan pada terbentuknya kompetensi sosial khusus melalui orang-orang di sekitar anak dengan ASD. Misalnya, keluarga, saudara atau teman sekelas diajarkan keterampilan untuk berinteraksi sosial dengan anak-anak dengan ASD. Orang-orang di sekitar anak ASD dapat menggunakan cerita sosial (social story), yaitu penggunaan cerita pendek (kadang disertai gambar) yang digunakan untuk mengajarkan anak tentang apa yang diharapkan dan bagaimana berperilaku di suatu situasi sosial tertentu. Metode sosial lain juga sering digunakan dalam mengembangkan keahlian sosial, seperti: permainan sosial (social games), keterampilan sosial kelompok (group social skills), dan pemodelan dengan menggunakan video (video modeling).
- Farmakologis
Penting dipahami, bahwa hingga saat ini belum ada pengobatan medis yang efektif untuk mengobati gejala inti autisme. Namun, jika diperlukan, pengobatan medis dapat digunakan untuk mengurangi gejala sekunder atau gejala tambahan ASD. Riset di Amerika Serikat menemukan bahwa sekitar 79% dari anak-anak dan remaja dengan ASD mendapatkan perawatan menggunakan obat golongan psikotropika, yang mengindikasikan bahwa penggunaan obat pada anak ASD masih harus dievaluasi kembali. Apakah benar penggunaan obat tersebut telah sesuai dengan peruntukannya.
Gejala penyerta autisme yang memungkinkan diberikan intervensi farmakologi adalah sebagai berikut:
- gejala ADHD, seperti seperti hiperaktif, kurangnya perhatian, impulsif; dapat diberikan psychostimulan atomoxetine (misalkan: SNRI), antidepresan, agonis adrenergic
- agresi, lekas marah, dan perilaku melukai diri dapat diberikan obat antipsikotik atipikal, antiepilepsi, atau beta-blocker.
Namun, penggunaan obat jangka panjang bagi anak dengan ASD harus sungguh-sungguh dipertimbangkan, karena akan mempengaruhi metabolisme dan kondisi fisik anak sepanjang hidupnya kelak.
Saat ini, penggunaan kedua pendekatan, baik perilaku dan jika dibutuhkan penggunaan obat, lebih dipertimbangkan. Terutama agar anak dan orang tua memahami bagaimana cara hidup dan mengelola gejala ASD, dengan cara yang proporsional dan efektif.
Simpulan
Penanganan ASD perlu menilik bukan hanya gejala klinis namun juga karakteristik unik pada masing-masing anak dengan ASD. Pemetaan kekuatan dan kelemahan anak perlu dilakukan dalam menyusun program intervensi dini yang paling sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anak. Dengan memahami berbagai keunikan anak dengan ASD, maka kita bisa mengetahui bagaimana pengaruhnya pada proses belajar anak. Dari pemahaman dasar inilah kita dapat lebih memahami bagaimana mereka memahami dunianya, dengan begitulah kita juga menjadi lebih tahu bagaimana cara membantunya.