Dibalik istilah: Korban atau Orang yang Selamat (Victim or Survivor)?

Margaretha

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya

12149-custom-ribbon-magnet-sticker-survivor-silentnomoreenddomesticviolenceMulut kelu sulit bersuara dan dibungkam. Begitulah kira-kira kondisi yang kita bayangkan mengenai orang-orang yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Baik anak maupun dewasa, mereka biasanya tampak berada dalam posisi lemah, tertindas dan kesulitan untuk bersuara dan mencari bantuan.

Namun, kita juga dapat melihat ada orang-orang yang telah melampaui kekerasan dan penelantaran, yang tidak lagi bungkam namun bergerak mencari bantuan. Bahkan dengan lantang berteriak meminta bantuan orang-orang di sekitarnya serta bergerak berusaha memperbaiki hidup ke depan. Mereka tampak tidak seperti korban; mereka tampak berdaya seperti orang-orang yang selamat. Siapakah mereka? Apakah yang membedakan antara korban yang tampak lemah dan korban yang tidak seperti tipikal korban? Dan apa relevansi penggunaan istilah korban dan orang yang selamat dalam penanganan KDRT? Tulisan ini akan menguraikan makna di balik istilah korban (victim) dan orang yang selamat (survivor).

Korban atau Orang yang selamat (victim or survivor)?

Orang-orang yang mengalami KDRT membutuhkan bantuan orang-orang di sekitarnya untuk menyuarakan penindasan dan pengalaman menyakitkan yang dialaminya. Zehr (2002 dalam Fernandez, 2010) menjelaskan bahwa mereka membutuhkan berbagai bantuan, misalkan: mengakses pemulihan dan penyembuhan luka baik fisik maupun psikis, agar cerita dari sisi mereka turut didengarkan, mengambil-alih kembali kendali atas diri sendiri yang pernah direnggut dengan cara-cara kekerasan, mendapatkan informasi yang jelas tentang berbagai proses psikologis dan hukum yang harus dijalaninya, serta berusaha mendapatkan kembali hak-hak yang telah hilang darinya selama ini.

Selama ini, orang yang mengalami KDRT disebut sebagai korban, baik korban langsung maupun korban tidak langsung. Korban langsung adalah orang-orang yang mengalami kekerasan dan penelantaran secara langsung oleh pelaku; sedangkan korban tidak langsung adalah orang-orang di sekitar tindak kekerasan dan penelantaran yang menyaksikan penindasan bahkan turut merasakan kengerian atas tindak KDRT.

Namun istilah korban juga perlu dipertimbangkan penggunaannya agar sesuai dengan keadaan yang sedang dialami orang yang bersangkutan.

Dalam penanganan Hukum, istilah korban lebih sering digunakan untuk merujuk pada orang-orang yang perlu dibela haknya dengan hukum positif. Namun, secara psikologis, istilah korban (victim) menyiratkan keadaan lemah, tidak berdaya dan tergantung.

Wodarski (1987 dalam Fernandez, 2010) meneliti ciri korban KDRT, dan menemukan bahwa korban memiliki beberapa karakteristik, seperti: terisolasi secara sosial, menyalahkan dirinya sendiri atas kekerasan yang dialaminya, menunjukkan sikap patuh dan loyal pada pelaku sebagai mekanisme bertahan dalam situasi sulit yang dihadapinya, serta berharap pelaku akan berubah. Istilah korban sering digunakan ketika orang pasca KDRT belum menunjukkan perubahan dalam hal sikap dan perilaku dalam menghadapi deraan kekerasan dan penelantaran yang dihadapinya.

Wodarski juga meneliti ciri kepribadian pelaku kekerasan, dan menemukan bahwa pelaku cenderung menunjukkan perilaku menyalahkan korban, berpandangan bahwa korban adalah obyek kepemilikan bukan individu, menggunakan korban sebagai tempat mengalihkan kemarahan yang sebenarnya diarahkan pada orang lain, dan memiliki harapan yang tidak realistis pada korban. Sehingga, istilah korban merujuk pada bentuk relasi antara pelaku KDRT dan orang yang dikenakan kekerasan dan penelantaran.

Selain korban, istilah orang yang selamat (survivor) juga mulai digunakan dalam merujuk orang-orang yang telah melampaui tindak kekerasan dan penelantaran. Istilah orang yang selamat menunjukkan kekuatan dan daya juang melampaui kesulitan (Fernandez, 2010).

Aktivis KDRT mulai mendukung penggunaan orang yang selamat pada orang-orang yang mengalami kekerasan dan penelantaran, yang telah menunjukkan perubahan dan usaha melampaui persoalannya, bahkan berusaha untuk mengambil alih kendali atas hidupnya yang selama ini ditindas atau dihancurkan oleh pelaku kekerasan. Orang yang selamat akan berusaha membangun kembali hidupnya dan kebahagiaannya. Setelah melampaui kekerasan dan penelantaran, orang yang selamat dapat disebut mencapai proses resiliensi.

Oleh karena itu, istilah korban lebih tepat digunakan ketika membahas pengalaman KDRT yang dialami seseorang, dan istilah korban selamat untuk mengulas pengalaman seseorang setelah munculnya perilaku mencari bantuan dan memperjuangkan hak hidupnya (Women Aids, 2015).

Orang yang selamat dan pemulihan trauma
survivorNamun perlu dipahami, bahwa penggunaan istilah orang yang selamat bukan bertujuan untuk mengurangi makna trauma yang dialami korban KDRT. Bukan berarti orang yang selamat mampu melampaui trauma KDRT, karena trauma yang dialaminya bukanlah suatu hal yang besar atau trauma yang dilampaui hanyalah bertaraf ringan. Apapun bentuk KDRT adalah penindasan atas hak asasi manusia yang bermakna secara pribadi pada orang-orang yang mengalaminya. Namun penggunaan istilah orang selamat adalah apresiasi keberhasilan yang telah dicapai seseorang keluar dari persoalan yang selama ini menindasnya.

Orang yang selamat tetap membutuhkan proses pemulihan jangka panjang untuk terus memupuk pertumbuhan pribadi dan kekuatan dirinya. Luka fisik dan psikis yang telah dialami tidak hilang begitu saja. Orang yang selamat perlu mendapatkan bantuan diakui perasaannnya (emotional validation), mendukung kemampuan pengelolaan diri (regain self control) dan pendampingan pertumbuhan pribadi (support on self development).

Kemampuan keluar dari trauma KDRT inilah yang dapat menjadi indikator keberhasilan penanganan KDRT secara menyuluruh. Orang yang selamat dan keluar dan mampu mengelola trauma KDRT-nya, dapat terhindar dari efek jangka panjang KDRT. Pada jangka panjang, trauma KDRT dapat berpengaruh pada ketidakmampuan mengembangkan kemampuan coping yang efektif, dimana korban rentan terhadap depresi dan menunjukkan gejala-gejala traumatis, hingga akhirnya beresiko tinggi menjadi pelaku KDRT atau korban dalam relasi intim selanjutnya (Margaretha dkk., 2013). Maka penting, agar pasca KDRT, orang bergerak dari korban menjadi orang yang selamat (from victim to survivor).

Bukan sekedar korban, namun bergerak ke orang yang selamat

Memahami bahasa yang digunakan dalam berhadapan dengan orang-orang yang mengalami kekerasan dan penelantaran, menunjukkan pemahaman atas persoalan KDRT. Dengan berhati-hati menggunakan istilah korban dan orang yang selamat, maka profesional dan aktivis KDRT bisa merespon dengan lebih tepat dan mendukung pertumbuhan pribadi orang-orang yang telah mengalami KDRT. Masyarakat perlu memahami bahwa orang tidak akan selalu jadi korban namun juga bisa keluar menjadi orang yang selamat. Karena, setelah kekerasan, perubahan dan perkembangan masih terus dapat terjadi.

Pustaka acuan

Fernandez, M. (2010). Restorative Justice for Domestic Violence Victims: An integrated approach to their hunger for healing. Lexington Book: Plymouth.

Margaretha, Nuringtyas, R., Rachim, R. (2013). Trauma kekerasan masa kanak dan kekerasan dalam relasi intim. Journal of Makara Seri Sosial Humaninora, 17, 33-42. DOI: 10.7454/mssh.v17i1.1800

Women Aids (2015). Survivors’ handbook. Source: http://www.womensaid.org.uk/domestic-violence-survivors-handbook.asp?section=000100010008000100310003#Woman%20and%20men,%20victims%20and%20survivors

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s