Ajaran agama dan pemakluman kekerasan pada perempuan

Ajaran agama dan pemakluman kekerasan pada perempuan

Oleh: Margaretha

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

o-VIOLENCE-AGAINST-WOMEN-facebook

Domestic violence victim

Anna datang ke seorang Imam Katolik untuk menyampaikan masalahnya, mengenai usahanya untuk berpisah dari suaminya, Alex, yang sering melakukan kekerasan verbal dan fisik di rumah. Imam tersebut lalu memanggil Konselor untuk memberikan layanan konseling pernikahan pada pasangan ini, dengan harapan agar tidak perlu terjadi perceraian. Alex awalnya tidak mau turut proses konseling, namun Imam menggunakan pengaruhnya untuk memaksa di suami untuk turut dalam konseling dan berusaha berubah demi mempertahankan pernikahan. Anna yang awalnya tidak mau ikut konseling, berusaha menuruti Imam. Ia berupaya menerima suaminya. Imam bahkan turut dalam sesi konseling pertama untuk memahami proses konseling tersebut. Namun, ia menyatakan kurang memahami persoalan kekerasan dalam rumah tangga, sehingga ia tidak mau turut campur dalam proses konseling keluarga yang menurutnya terlalu sekuler. Alex pun hanya mau terlibat dalam 2 kali konseling, lalu menolak ikut lagi. Menurut suaminya pembicaraan dalam konseling sia-sia dan berlawanan dengan prinsipnya yaitu: suami adalah pemimpin keluarga. Alex malah mempengaruhi istrinya untuk tidak mengikuti konseling dan melanjutkan hidup dengannya begitu saja. Tidak banyak perubahan terjadi pada Alex, ia tetap kasar secara verbal setiapkali ada masalah dalam keluarganya. Akhirnya, Anna memutuskan melanjutkan proses perceraian karena tidak mau anak-anaknya hidup dalam kekerasan. Setelah itu, Imam menyatakan bahwa ia tidak bisa lagi mendampingi Anna, karena perceraian telah melampaui tugasnya sebagai Imam Katolik. Anna harus sendirian berjuang demi keamanannya dan anak-anaknya. Anna keluar dari rumah dengan membawa anak-anaknya untuk menghindari semua ancaman Alex. Sejak itu, hubungan religius Anna dan Alex dengan gereja katolik menjadi sangat jauh.

Pendahuluan

Agama adalah panduan hidup manusia, baik dalam lingkup pribadi dan sosial. Ajaran agama dan kitab suci menjadi sumber nilai-nilai yang dijadukan acuan untuk menata hidup pribadi dan bermasyarakat. Terutama, manusia akan berpaling pada nilai agama ketika menghadapi berbagai tantangan dan persoalan hidup, serta berharap akan datangnya jalan keluar dan kedamaian.

Namun, sayangnya ada ayat kitab suci, doktrin, dan ajaran agama yang digunakan sebagai pemakluman terjadinya kekerasan, terutama pada perempuan. Ajaran agama yang seharusnya digunakan untuk memberikan perlindungan dan kedamaian bagi yang mengalami kesulitan; tapi justru digunakan sebagai rasionalisasi kekerasan dan kontrol pada perempuan. Akibatnya, korban kekerasan perempuan yang berusaha mencari bantuan dari pemuka agama dapat kecewa dan patah arang, ketika memahami bahwa nilai ajaran agama yang diyakini pemuka agama justru mendukung atau memaklumi kekerasan pada perempuan.

Berikut adalah beberapa penafsiran ajaran agama Kristen dan Islam yang sering secara salah digunakan untuk memaklumi kekerasan pada perempuan. Lalu, tulisan pendek ini menjelaskan apa yang dapat dilakukan pemuka agama dan komunitas keagamaan dalam menangani permasalahan kekerasan pada perempuan.

 

Kristianitas

Beberapa orang dalam gereja menggunakan teks Alkitab untuk merestui dominasi laki-laki atas perempuan dan kekerasan laki-laki terhadap perempuan. Baik Alkitab Ibrani dan Kristen banyak berisi kisah kekerasan terhadap perempuan, misalkan: Dinah (Kejadian 34), Tamar (2 Samuel 13), selir orang Lewi itu (Hakim 19), putri Yefta (Hakim 11), Vashti (Esther 1), dan Suzannah (Daniel 13).

Laki-laki dilihat memiliki hak untuk memberikan hukuman pada isterinya sebagai penegak disiplin keluarga, dan hal ini dilakukan untuk mempertahankan subordinasi perempuan dalam perkawinan. Dalam “Aturan Pernikahan” yang disusun oleh Rahib Cherubino pada abad ke-15 (Bussert, 1986 dalam Fortune & Enger, 2005) dijelaskan pada suami untuk menegur istrinya dengan cara tertentu: “Dan jika ini masih tidak berhasil, ambil tongkat dan pukul tubuhnya dengan keras. Karena lebih baik menghukum tubuh demi memperbaiki jiwa daripada merusak jiwa demi melindungi tubuh”.

Adapula ayat Alkitab yang dijadikan doktrin dalam gereja untuk memperbolehkan kekerasan pada perempuan, “Istri harus tunduk kepada suami, seperti Anda adalah Tuhan. Karena suami adalah kepala dari istri sama seperti Kristus adalah kepala gereja, tubuh dimana ia adalah Juru Selamat. Sama seperti jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri seharusnya, dalam segala hal, untuk suami mereka “(Efesus 5, 22-24).

Sayangnya, cuplikan ayat-ayat ini sering disalahtafsirkan untuk membenarkan dominasi laki-laki atas perempuan. Dengan sikap diam atau memberikan instruksi “memaafkan dan melupakan”, orang-orang dalam gereja dan pemuka agama kristen yang salah mengartikan ayat ini memaksa perempuan menerima kekerasan. Bahkan, pelaku kekerasan semakin diyakinkan bahwa mereka memang berhak melakukan “disiplin” pada istri dan anaknya, dalam rangka membentuk “keluarga yang baik”.

Dalam Katolik, larangan perceraian sering mengakibatkan pengabaian persoalan kekerasan pada perempuan di dalam keluarga (misalnya Efesus 5:20 mengenai subordinasi perempuan dalam pernikahan, atau Maleakhi 2: 13-16 mengenai larangan perceraian). Beberapa orang dalam Katolik meyakini bahwa bicara tentang kekerasan akan mengarahkan pada perceraian yang dilarang dalam agama Katolik; sebagai akibatnya, segala bentuk penanganan kekerasan tidak dilakukan karena takut terkesan mendukung perceraian. Hal ini justru membuat pelaku leluasa dan menganggap dirinya benar dan tidak tersalahkan. Dan sebaliknya, kondisi ini akan semakin menghimpit korban kekerasan.

Sebenarnya, adapula ayat dalam Alkitab yang menyatakan kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam Kristen. Galatia 3:26-28 tertulis: “Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus. Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” Ayat ini menunjukkan bahwa semua orang adalah sama dan tidak ada satu yang berkuasa atas yang lainnya. Dengan pemahaman ini, seharusnya kekerasan atau cara apapun tidak boleh digunakan untuk mengendalikan perempuan atau siapapun, karena dominansi dan kekerasan adalah pelanggaran jiwa manusia yang telah diberkati oleh Tuhan.

 

Islam

Dalam Islam, kita juga dapat menemukan interpretasi teks-teks yang telah sering digunakan laki-laki untuk membenarkan perilaku kekerasan mereka terhadap perempuan. Menurut cendekiawan Muslim dan aktivis, Sharifa Alkhateeb (1999), ayat yang paling disalahgunakan adalah Al Qur’an, Bab 4 (An-Nisa), ayat 34: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat kepada Allah dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz (membangkang), hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi, jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” Ayat ini memerintahkan laki-laki untuk melindungi perempuan baik secara fisik dan finansial karena laki-laki telah diberi kekuatan fisik yang lebih besar oleh Allah, dan Allah memerintahkan perempuan Muslim untuk menjaga kesetiaan mereka dalam ketaatan kepadaNya.

Namun sayangnya, ayat ini telah digunakan sebagai alat kontrol terhadap perempuan dan penyalahgunaan yang benar-benar bertentangan dengan dasar Islam perkawinan dan keluarga. Menurut Alkhateeb (1999) penerjemahan kata “memukul” bertentangan dengan ajaran eksplisit dari Nabi Muhammad, yang membenci kekerasan. Beberapa penerjemah menegaskan bahwa kata “memukul” dalam koleksi hadits dari Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Baihaqi, diartikan sebagai pukulan gbayr mubarrih, atau tanpa menyebabkan rasa sakit; dan hal itu hanya dilakukan jika istri telah menjadi bersalah jelas karena melakukan perilaku tidak bermoral.

Sebaliknya, Alkhateeb (1999) menunjukkan bahwa dalam Al Qur’an, hubungan suami istri secara khusus diberi mandat untuk menjadi salah satu dari “saling kebaikan dan kemurahan.” Artinya, baik laki-laki dan perempuan dalam pernikahan Islam perlu berbagi kasih dan bukan kekerasan.

Perempuan Muslim bahkan bisa mempertahankan nama mereka sendiri setelah menikah dan memiliki hak untuk membuat kontrak pernikahan di mana mereka bisa menentukan harapan mereka atas perlakuan yang adil dalam pernikahan. Dalam Islam, tidak dibenarkan pandangan adanya manusia berkuasa atas perempuan. Islam justru mengedepankan kebaikan, kesopanan, pertimbangan, kelembutan, rasa hormat dan kebaikan umum untuk perempuan. Praktek-praktek yang tidak adil pada perempuan saat ini sebenarnya adalah contoh ketidaktahuan agama daripada perintah agama (Alkhateeb, 1999).

 

Agama dan pemakluman kekerasan pada perempuan

img-internal-global.jpg

Dari berbagai uraian di atas, dapat dipahami bahwa kutipan parsial kitab suci dan ajaran agama sering digunakan sebagai pembenaran kekerasan pada perempuan. Biasanya, orang-orang yang memaklumkan kekerasan akan mengambil cuplikan ayat untuk membenarkan kekerasan atau subordinasi perempuan dari laki-laki (Fortune & Enger, 2005). Hal ini disebut Proof-texting (penggunaan selektif teks, biasanya di luar konteks, untuk mendukung posisi seseorang). Akibatnya, agama dan ajarannya terkesan membungkam dan menekan perempuan untuk tunduk pada laki-laki yang melakukan kekerasan. Memang mudah mencari pembenaran mengenai dominansi laki-laki terhadap perempuan dalam cuplikan tulisan yang diliputi tradisi budaya patriarki, namun cuplikan tidak akan bisa menjelaskan makna cerita yang sesungguhnya (Fortune & Enger, 2005).

Pengutipan secara parsial ini tidak menggambarkan cara pandang ajaran agama yang utuh pada perempuan. Ajaran agama sebenarnya selalu memberikan pandangan yang menguatkan dan melindungi bagi siapapun, termasuk perempuan dan orang-orang yang mengalami kekerasan. Seharusnya, dalam memahami cerita dalam kitab suci perlu dipertimbangkan konteks cerita yang lebih lengkap. Oleh karena itu, pemahaman kutipan kitab suci dan ajaran agama perlu dipahami di dalam konteksnya. Hal ini dilakukan agar pemahaman mengenai posisi perempuan dan perlindungan manusia terjadi secara utuh.

 

Kekerasan sebagai dosa

Berbagai ajaran agama jelas menyatakan bahwa kekerasan – seperti: fisik, psikologis, seksual, spiritual, ekonomi dan penelantaran – adalah dosa. Kekerasan dan penganiayaan orang lain, baik orang yang dikenal ataupun keluarga, adalah pelanggaran hukum agama (Fortune & Enger, 2005). Kekerasan juga merusak hubungan dan kepercayaan antara satu manusia dengan yang lain, terlebih jika dilakukan oleh orang yang disayangi atau keluarga. Lebih lanjut, kekerasan juga akan mengisolir manusia dari komunitasnya, terutama korban. Korban akan merasa rentan dan tidak berdaya untuk berbicara serta mencari bantuan.

Jika kekerasan dipandang sebagai dosa, maka komunitas agama perlu dengan jelas menyatakan penolakannya pada kekerasan, apapun bentuknya, siapapun yang melakukannya, dengan apapun alasannya. Komunitas keagamaan juga perlu bekerjasama untuk mengidentifikasi persoalan kekerasan serta membuat respon yang paling tepat untuk menangani dan menghentikan kekerasan.

 

Pemuka agama dan penanganan kekerasan pada perempuan

Cranach_the_Younger_Lucas_-_Christ_and_the_adulteressPemuka agama perlu hadir dan mendampingi serta memberikan respon yang tepat pada kasus kekerasan pada perempuan dan anak yang terjadi di lingkungannya, Apalagi, jika korban telah datang dan meminta bantuan.

Pemuka agama perlu dipersiapkan untuk memiliki kepekaan dan hati nurani untuk bergerak menolong dan memberikan respon yang paling tepat untuk membantu dalam kasus kekerasan tertentu. Jikalau pemuka agama tidak memiliki kepekaan dan pemahaman yang cukup mengenai kekerasan, maka yang sering terjadi adalah pengabaian atau bahkan pembiaran kekerasan terjadi terus-menerus pada perempuan dan anak. Jika pemuka agama belum menguasai pengelolaan kasus kekerasan, maka ia perlu memberikan rujuan pada konselor dan profesional penanganan kekerasan pada perempuan dan anak.

Konselor atau profesional dalam intervensi kekerasan juga perlu memahami bahwa pada beberapa korban kekerasan bisa juga membutuhkan bantuan spiritual yang biasa diberikan oleh pemuka agama. Untuk itu, konselor awam juga perlu menghargai pilihan korban dan memberikan akses bagi mereka untuk bisa mendapatkan layanan spiritual dari pemuka agama atau layman pastoral (Fortune & Enger, 2005). Jika hal-hal ini dilakukan, maka masing-masing pemuka agama dan konselor profesional akan saling memahami peran dan tugas masing-masing dalam membantu korban kekerasan.

Dapat pula terjadi ketidaksepahaman mengenai peran antara pemuka agama dan konselor profesional (Fortune & Enger, 2005). Pemuka agama yang tidak memahami peran dan tugas konselor profesional kekerasan, dapat berpikir bahwa konselor hanya akan mengarahkan pada perceraian yang akan menghancurkan keluarga. Dan sebaliknya, konselor profesional yang tidak memahami peran pemuka agama dalam penanganan kekerasan, dapat berpikir bahwa pemuka agama hanya akan memiliki cara pandang sempit dan seksis pada korban perempuan. Terkadang baik pemuka agama dan konselor profesional juga perlu bekerjasama dalam proses advokasi hukum. Hal ini diperlukan jika kekerasan yang telah terjadi adalah pelanggaran hukum berat yang juga penting diperjuangkan kebenaran dan keadilan bagi korban dan pelaku. Ketidaksepahaman ini dapat menghasilkan ketidakpercayaan yang akan menghambat kerjasama. Padahal kerjasama antar pihak untuk saling memberikan bantuan sangat diperlukan oleh korban.

Fortune dan Enger (2005) menyarankan sebaiknya konselor profesional dan pemuka agama bekerjasama dalam membangun jejaring dan memberikan bantuan bagi korban kekerasan. Hal ini penting baik dalam usaha mencapai keamanan dan juga proses pemulihan fisik serta psikologis korban. Pemuka agama perlu menggunakan posisi mereka dalam komunitas untuk membuka diskusi terbuka mengenai kekerasan yang terjadi di dalam komunitas mereka. Pemuka agama selayaknya menggunakan akses pengajaran religius untuk membuka kepekaan, mengadvokasi serta mengajarkan keahlian untuk mengelola persoalan kekerasan secara nyata. Kegiatan di tempat ibadah juga dapat digunakan untuk mengembangkan tulisan publik, diskusi kebijakan publik, juga pengumpulan dana untuk membantu kegiatan pencegahan dan penanganan kekerasan di komunitasnya. Umat di tempat ibadah juga bisa juga dapat bekerjasama dengan berbagai Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) dan Kepolisian untuk membantu penjaminan keselamatan dan kesejahteraan korban kekerasan, misalkan: membantu mencari tempat yang aman bagi korban kekerasan setelah meninggalkan rumah yang diliputi kekerasan. Calon pemuka agama juga perlu diperlengkapi dengan wawasan dan keahlian untuk mampu mengidentifikasi kekerasan, merespon kasus kekerasan dengan tepat, serta mampu mengakses atau merujuk pada sumber bantuan yang tepat dalam penanganan kasus kekerasan.

Lebih lanjut, Fortune dan Enger (2005) menyarankan agar konselor profesional dan pemuka agama bekerjasama dalam menyelenggarakan pelatihan bagi pemuka agama dan berbagai kelompok dalam komunitas agamanya. Hal ini dilakukan agar semakin banyak orang yang dapat membantu untuk menangani isu mengenai perempuan dan kekerasan. Umat, pemuka agama dan konselor profesional akan bekerjasama untuk meminimalisir efek hambatan budaya dan ajaran agama yang salah diartikan selama ini sebagai pemakluman kekerasan pada perempuan. Perlu digarisbawahi bahwa umat, pemuka agama dan konselor profesional perlu bekerjasama untuk memberdayakan perempuan dan membangun manusia-manusia yang peka dan secara manusiawi hadir membantu penanganan kasus kekerasan di komunitasnya.

 

Referensi:

Alkhateeb, S. (1999). Ending domestic violence in Muslim families. Journal of Religion and Abuse, 1, 49-59.

Fortune, M.M. & Enger, C.G. (2005). Violence against women and the role of religion. Applied Research Forum. National Electronic Network on Violence Against Women. USA: National Resource Centre on Domestic Violence.

Jayasundara, D., Nedegaard, R., Sharma, B., & Flanagan, K. (2014). Intimate Partner Violence in Muslim Communities. Arts Social Science Journal, 3, 1-12. doi: 10.4172/2151-6200.S1-003

Kalra, G., & Bhugra, D. (2013). Sexual violence against women: Understanding cross-cultural intersections. Indian Journal of Psychiatry, 55, 244-249. http://doi.org/10.4103/0019-5545.117139

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s