Psikologi Moralitas: Mengapa menjadi benar dan salah bisa berujung pada kejahatan (Bagian I)

Psikologi Moralitas: Mengapa menjadi benar dan salah bisa berujung pada kejahatan (Bagian I)

Oleh: Margaretha

Pengajar Psikologi Forensik

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

lamia

Gambar 1. Gambar ini adalah lukisan oleh seniman asal Kolombia, Isabel Castano, yang menggambarkan kemampuan setiap manusia untuk melakukan hal baik dan buruk, tergantung pada topeng apa yang hendak dipakainya *

 

Akhir-akhir ini saya sering tercekat melihat fenomena dimana orang tega menyakiti orang lain dengan alasan nilai moral dan keyakinan yang dianutnya. “Dalam keyakinan saya, mereka harus dihukum karena telah salah melanggar aturan, kebenaran harus ditegakkan!” dengan lantang berteriak. Pihak yang “dihukum” juga berteriak “Apa salah kami? Mengapa kalian kalian jahat pada kami?” Di antara mereka, banyak orang memilih menjadi penonton bingung dan pasif, “Apakah yang benar yang harus saya lakukan? Manakah yang benar?”. Masyarakat kita terpecah-pecah dalam mencari moralitas. Ini adalah tantangan besar yang sedang dihadapi bangsa Indonesia. Hal ini membuat saya bertanya, dari mana asal moralitas sehingga kita tahu mana benar dan salah? Apakah ada hubungan antara moralitas dan kejahatan? Tulisan ini akan menguraikan beberapa pandangan saya terkait moralitas dan apa yang bisa dilakukan untuk mengelola kebaikan serta mencegah kejahatan.
Baca lebih lanjut

Ajaran agama dan pemakluman kekerasan pada perempuan

Ajaran agama dan pemakluman kekerasan pada perempuan

Oleh: Margaretha

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

o-VIOLENCE-AGAINST-WOMEN-facebook

Domestic violence victim

Anna datang ke seorang Imam Katolik untuk menyampaikan masalahnya, mengenai usahanya untuk berpisah dari suaminya, Alex, yang sering melakukan kekerasan verbal dan fisik di rumah. Imam tersebut lalu memanggil Konselor untuk memberikan layanan konseling pernikahan pada pasangan ini, dengan harapan agar tidak perlu terjadi perceraian. Alex awalnya tidak mau turut proses konseling, namun Imam menggunakan pengaruhnya untuk memaksa di suami untuk turut dalam konseling dan berusaha berubah demi mempertahankan pernikahan. Anna yang awalnya tidak mau ikut konseling, berusaha menuruti Imam. Ia berupaya menerima suaminya. Imam bahkan turut dalam sesi konseling pertama untuk memahami proses konseling tersebut. Namun, ia menyatakan kurang memahami persoalan kekerasan dalam rumah tangga, sehingga ia tidak mau turut campur dalam proses konseling keluarga yang menurutnya terlalu sekuler. Alex pun hanya mau terlibat dalam 2 kali konseling, lalu menolak ikut lagi. Menurut suaminya pembicaraan dalam konseling sia-sia dan berlawanan dengan prinsipnya yaitu: suami adalah pemimpin keluarga. Alex malah mempengaruhi istrinya untuk tidak mengikuti konseling dan melanjutkan hidup dengannya begitu saja. Tidak banyak perubahan terjadi pada Alex, ia tetap kasar secara verbal setiapkali ada masalah dalam keluarganya. Akhirnya, Anna memutuskan melanjutkan proses perceraian karena tidak mau anak-anaknya hidup dalam kekerasan. Setelah itu, Imam menyatakan bahwa ia tidak bisa lagi mendampingi Anna, karena perceraian telah melampaui tugasnya sebagai Imam Katolik. Anna harus sendirian berjuang demi keamanannya dan anak-anaknya. Anna keluar dari rumah dengan membawa anak-anaknya untuk menghindari semua ancaman Alex. Sejak itu, hubungan religius Anna dan Alex dengan gereja katolik menjadi sangat jauh. Baca lebih lanjut