Mood Disorders dan Bunuh Diri : Analysis Kasus Kematian Sylvia Plath

Mood Disorders dan Bunuh Diri : Analysis Kasus Kematian Sylvia Plath

Bernadeta Ayuning, Damianus Yanna, Dimas Panigraha, Dyah Rizka,  Frantic Claudia & Kecia Eunike (Mahasiswa Peserta Matakuliah Psikopatologi)

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya

God, but life is loneliness, despite all the opiates, despite the shrill tinsel gaiety of “parties” with no purpose, despite the false grinning faces we all wear. And when at last you find someone to whom you feel you can pour out your soul, you stop in shock at the words you utter – they are so rusty, so ugly, so meaningless and feeble from being kept in the small cramped dark inside you so long. Yes, there is joy, fulfillment and companionship – but the loneliness of the soul in its appalling self-consciousness is horrible and overpowering.
(Sylvia Plath)

Pada tahun 1963, Sylvia Plath ditemukan tewas di dapur dengan kepala yang berada di dalam oven dan gas yang dihidupkan beberapa hari sebelum jadwalnya untuk berkonsultasi pada dokter psikiater pribadinya. Usahanya dalam melawan penyakit mental tertuang melalui novelnya yang berjudul The Bell Jar (1963). Novel tersebut dibuat sesuai dengan kehidupan nyatanya dan berbicara tentang seorang wanita muda yang memiliki permasalahan mental.

 

Sylvia Plath

Sylvia Plath merupakan seorang wanita asal Amerika Serikat yang terkenal diantara para penyair, novelis, cerpenis, dan esaeis. Ia lahir di Boston, Massachusetts, pada 27 Oktober 1932 dan menghasilkan karya-karya yang banyak diminati para sastrawan di dunia. Karya-karyanya hingga sekarang masih dikenang dan dipakai sebagai bagian dari ilmu pengetahuan. Ia menikah dengan seorang laki-laki yang bernama Ted Hughes tahun 1957 dan memiliki dua anak yang lahir pada tahun 1960 dan 1962.

Sylvia lahir secara normal pada tahun 1932 dengan berat sekitar 8lb. Namun rekam medis menyatakan, bahwa pada masa kanak-kanaknya Sylvia memiliki penyakit campak, sinus, dan juga pneumonia pada ia berumur 25 tahun. Selain itu, ia pernah mengalami keguguran dan operasi usus buntu tiga tahun setelahnya.

Sylvia lahir di keluarga berpendidikan.Ibu dan ayah dari Sylvia Plath berasal dari campuran Eropa Tengah. Ayahnya, Otto Plath, berasal dari Jerman Timur dan ibunya, Aurelia Schober Plath, berasal dari Amerika Serikat. Orang tua Sylvia Plath termasuk orangtua yang cerdas, pekerja keras, dan orang cukup sosial. Mereka senang berbagi, bersungguh-sungguh dalam bekerja, dan memiliki sifat untuk selalu ingin memperbaiki diri lebih baik terus menerus ke depannya. Ayah dan ibu Sylvia bersedia mengorbankan kenyamanan secara materi dan kegiatan rekreasi demi pekerjaan.

Pada tahun 1940, ketika Sylvia berumur 8 tahun, terjadi sebuah kejadian yang tak terduga. Otto, ayah Sylvia mengidap penyakit diabetes melitus yang cukup serius, yang membuat kaki ayahnya tersebut diamputasi. Ketika ayahnya masih di rumah sakit, beliau juga menderita penyakit jantung dan akhirnya meninggal. Data tambahan yang dimiliki rumah sakit menyatakan bahwa kematian ayah Sylvia juga diakibatkan karena depresi yang didukung dari hasil psikater. Kematian ayahnya tersebut ternyata membuat Sylvia menjadi  kehilangan iman dan akhirnya sampai akhir hayat ia masih ambivalen mengenai agama yang dianutnya. Akhirnya setelah kematian tersebut, ia bersama ibunya memutuskan untuk berpindah ke Massachusetts.

Tahun 1950, Sylvia menyelesaikan sekolahnya dengan nilai terbaik dan akhirnya ia melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Di perguruan tinggi, ia mendapatkan beasiswa untuk kuliah dan akhirnya lulus kuliah dengan nilai cum laude. Di perkuliahannya ia masih melanjutkan hobi yang ia miliki sejak kecil, yakni menulis. Tulisan-tulisan Sylvia tersebut, akhirnya membuatnya menjadi seseorang yang sangat terkenal, terutama karena puisi-puisi yang telah dibuatnya. Sylvia memiliki prestasi yang tinggi dan dirinya sangat suka menuliskan ekspresi-ekspresi kekosongannya dalam jurnal dan puisi. Namun, wanita ini memiliki emosi yang kurang stabil dan memiliki perubahan mood yang cepat. Segala bentuk keberhasilan dalam akademis mendorong dirinya untuk lebih beraktivitas terus menerus (aktif), akan tetapi sebuah kegagalan yang ia alami dapat membuatnya sangat kecewa.

Di usia 20 tahun, ia bekerja sangat keras untuk mencapai keinginannya untuk masuk dalam kelas menulis di Harvard. Akan tetapi ia mengalami kegagalan, sehingga hal tersebut membuat ia terguncang. Sylvia mulai melukai kakinya dan berbicara mengenai keinginannya untuk bunuh diri, sehingga ia akhirnya dirujuk kepada psikiater untuk melakukan terapi dan konseling. Pada awalnya,ia pernah menjalani electroconvulsive therapy (ECT). Namun setelah menjalani terapi tersebut, keadaannya tidak semakin membaik sehingga ia sering bersembunyi di dalam ruang kecil di teras rumahnya. Selain itu, ia pernah dibawa ke rumah sakit karena sering mengonsumsi pil tidur secara berlebihan sehingga mengakibatkan ia koma selama dua hari.

Setelah dirawat di rumah sakit, ia dipindahkan ke klinik McLean selama empat bulan untuk menjalani insulin treatment, ECT yang kedua, serta psikoterapi. Intervensi yang ia jalani tersebut berjalan lancar dan membuatnya lebih baik dari sebelumnya. Setelah empat tahun kemudian melakukan psikoterapi, diketahui bahwa ternyata Sylvia mengalami kesulitan emosi karena adanya hubungan ambivalen dengan ibunya dan kematian ayahnya pada saat ia masih di usia muda.

Tahun 1957, Sylvia menikah dengan seorang penulis puisi yang pertama kali ia temui di perguruan tingginya, Ted Hughes. Namun setelah lima tahun menjalani pernikahan, pernikahan tersebut harus kandas ditengah jalan pada tahun 1962. Perpisahannya ini berakibat pada depresi yang mendalam bagi Sylvia. Ia sangat mengagumi suaminya hingga dirinya membuat puisi mengenai suaminya. Kejadian ini membuat dirinya sangat terpukul dan kecewa mengetahui suaminya berselingkuh. Usahanya dalam menyelamatkan pernikahannya berbuah sia-sia hingga ia putus asa. Hal ini membuat Sylvia semakin tertekan dan seringkali suka menunjukkan aktivitas-aktivitas yang membahayakan dirinya.

Sebelumnya, tahun 1953 Sylvia pernah berkonsultasi kepada seorang praktisi tentang masalah depresinya dan upaya untuk bunuh diri sepuluh tahun yang lalu. Namun, permasalahan yang ia hadapi semakin bertambah akibat permasalahan dalam rumah tangganya dan permasalahan-pemasalahan lain yang membuatnya semakin tertekan. Kejadian ini berlangsung selama enam atau tujuh bulan dan memiliki dampak pada keadaan emosionalnya dimana ia merasa marah dan kepahitan secara berkepanjangan.

Di tengah masalah dan penyakit yang ia derita, Sylvia Plath tetap aktif beraktivitas walaupun dibantu dengan konsumsi obat antidepresan dan selalu dikunjungi oleh suster setiap hari. Ia menyalahkan perselingkuhan suaminya dan melakukan permusuhan dengan teman serta keluarganya atas keadaan yang ia alami. Ia menderita insomnia dan bangun terlalu awal sehingga ia harus mengandalkan cara hipnotis untuk dapat tidur. Sylvia Plath mengalami penurunan berat badan drastis yaitu sebesar 9 kg walaupun ia tetap dapat makan dengan baik.

Namun sayangnya pada tahun 1963, ia ditemukan tewas di dapur dengan kepala yang berada di dalam oven dan gas yang dihidupkan beberapa hari sebelum jadwalnya untuk berkonsultasi pada dokter psikiater pribadinya. Usahanya dalam melawan penyakit mental tertuang melalui novelnya yang berjudul The Bell Jar (1963). Novel tersebut dibuat sesuai dengan kehidupan nyatanya dan berbicara tentang seorang wanita muda yang memiliki permasalahan mental.

Kasus dari Sylvia Plath bukan merupakan stereotip depresi “endogenous” ataupun “reactive”, melainkan pencampuran dari beberapa sindrom seperti agitasi, kehilangan berat badan, insomnia, pikiran akan bunuh diri, serta dikombinasikan dengan perubahan mood yang merupakan gejala tipikal dari penyakit tipe pertama. Perpindahan mood ini diprovokasi oleh adanya kemarahan, kecemasan, serta perilaku menyalahkan orang lain yang menunjukkan pada gejala sekunder.

Menurut skala Newcastle, Sylvia Plath mendapatkan 3 poin dari rentang neurotik. Hal ini didapatkan dari gejala-gejala yang di deritanya, seperti kualitas depresi (+1), kehilangan berat badan lebih dari 7lb (+2), bangun lebih awal (+1), keadaan dahulu yang serupa (+1), kecemasan (-1), dan menyalahkan orang lain (-1). Selain itu, menurut indeks diagnostik yang di buat oleh Kendell, kasus Sylvia Plath dapat ditempatkan di dekat pusat dari hypothetical depression continuum.

 

Gejala Mood Disorder dalam kasus Sylvia Plath

Melalui kasus Sylvia Plath didiagnosa mengalami Bipolar II terlihat dari beberapa simptom-simptom dibawah ini, antara lain:

  • Mood swing

Seseorang yang mengalami gangguan mood, khususnya disertai dengan perubahan mood yang sangat drastis, menurut DSM IV TR & V dapat diklasifikasikan kedalam hypomanic episode. Perasaan mood Sylvia seringkali mudah berubah, sehingga simptom yang dialaminya ini dapat diklasifikasikan ke dalam hypomanic episode.

  • Weight loss

Penurunan berat badan sangat drastis yang dialami Sylvia, menurut DSM IV TR & V termasuk simptom yang dialami oleh orang yang mengalami major depressive episode.

  • Insomnia

Kesulitan untuk tidur secara normal yang dialami seseorang, menurut DSM IV TR & V merupakan salah satu simptom major depressive. Insomnia yang dialami oleh Sylvia dapat diindikasikan bahwa dirinya mengalami major depressive episode.

  • Wake up early

Tidak hanya kesulitan untuk tidur, Sylvia juga seringkali bangun terlalu awal. Hal ini menunjukkan bahwa Sylvia mengalami pengurangan jam tidur dari waktu normal. Bila disesuaikan dengan DSM IV TR & V, simptom yang dialami oleh Sylvia termasuk dalam hypomanic episode.

  • Ambisius

Sylvia adalah seseorang yang ambisius dalam hal akademik dan bekerja. Hal ini terbukti bahwa dirinya bekerja terlalu keras untuk mencapai keinginannya untuk masuk dalam kelas menulis di Universitas Harvard. Namun sayangnya ia gagal untuk dapat masuk ke universitas tersebut dan hal itu membuatnya merasa sangat kecewa. Jika simptom yang dialami Sylvia disesuaikan dengan DSM IV TR &V, maka dapat digolongkan ke dalam hypomanic episode.

  • Physical harm

Perilaku usaha untuk menyakiti atau membahayakan dirinya sendiri juga diperlihatkan oleh Sylvia. Hal ini terbukti dengan dirinya sempat berolahraga ski yang mengakibatkan dirinya patah kaki. Kemudian dirinya juga pernah menyetir mobil yang ia kendarai hingga keluar dari jalur. Menurut DSM IV TR & V, hal ini mengindikasikan bahwa dirinya mengalami hypomanic episode.

  • Suicidal behavior

Perilaku percobaan bunuh diri juga pernah dialami oleh Sylvia. Hal ini dibuktikan bahwa jauh sebelum Sylvia meninggal, kira-kira 10 tahun yang lalu, ia pernah dibawa ke psikiater karena usahanya untuk bunuh diri. Dengan simptom seperti ini menurut DSM IV TR & V, Sylvia diindikasikan mengalami major depressive episode.

  • Deep depressed

Perasaan kecewa yang berlebihan pernah dialami oleh Sylvia melalui kejadian dimana dirinya bercerai dengan suaminya setelah 5 tahun menikah. Selain itu, dirinya juga melakukan permusuhan dengan keluarga dan teman-temannya karena kurang mendapatkan dukungan dari keluarga dan orang-orang terdekatnya. Kejadian tersebut membuat dirinya tertekan dan hingga akhirnya muncul intensi untuk melakukan bunuh diri. Dengan adanya symptom seperti ini, menurut DSM IV TR & V Sylvia juga mengalami major depressive episode.

Dengan adanya pemaparan simptom-simptom diatas maka Sylvia Plath dapat didiagnosa menderita gangguan mental berjenis bipolar II, di mana hal ini merupakan gabungan dari simptom hypomanic episode dan major depressive episode.

DIAGNOSA MULTIAKSIAL

  • Axis I : 89 Bipolar II Disorder (Reccurent Major Depressive Episodes with Hypomanic Episodes)
  • Axis II :
  • Axis III : 
  • Axis IV : 20 Parent Children Relational Problem, V61.10 Partner Relational Problem
  • Axis V : GAF:1-10 Persistent danger of severely hurting self or others OR persistent inability to maintain minimum personal hygiene OR serious suicidal act with clear expectation of death

 

Analisa Faktor Etiologi

Berdasarkan pemaparan kasus di atas, dapat diketahui bahwa hal-hal yang terjadi pada Sylvia Plath merupakan simptom-simptom yang mengarah pada kondisi seseorang yang mengalami gangguan mental tipe bipolar II. Berikut ini merupakan beberapa faktor yang digunakan untuk menjelaskan dugaan penyebab Sylvia dikatakan menderita gangguan mood jenis bipolar II:

Faktor Lingkungan

Sylvia beberapa kali mengalami kekecewaan dalam hidupnya. Kegagalan dalam pernikahan memberikannya tekanan dan stres tersendiri baginya hingga membuat wanita ini mengalami depresi. Kegagalan dalam pernikahan dan melakukan permusuhaan dengan keluarga dan teman-temannya menunjukkan bahwa ia kurang mendapatkan dukungan dari keluarga dan orang-orang terdekatnya. Dukungan sosial dari orang-orang terdekat sangat penting bagi keberlangsungan hidup seseorang, tak terkecuali Sylvia Plath.Kehilangan orang-orang yang berarti dalalam kehidupan memicu gangguan depresi, khususnya pada wanita.

Selain itu ia juga pernah kecewa karena mengalami kegagalan dalam usaha untuk dapat menuntut ilmu di Universitas Harvard. Kegagalan dalam mencapai harapan berperan besar dalam kehidupan Sylvia dalam memberikan pukulan hebat bagi seseorang sepertinya yang ambisus dan memiliki sederetan prestasi yang luarbiasa. Sehingga dapat dikatakan bahwa lingkungan hidup mengambil peran yang cukup besar atas hidup Sylvia Plath.

Psikodinamik

Perspektif ini menggunakan cara berpikir Freud yang beranggapan bahwa selama seseorang mengalami kedukaan yang mendalam maka merekaakan mengalami kemunduran dalam perkembangan sebagai bentuk defence mechanism. Hal ini menjadi bentuk perlawanan bagi orang-orang yang berjuang dalam menghadapi stress yang luarbiasa dalam hidupnya seperti Sylvia Plath. Rasa amarah Sylvia terhadap orang-orang atau hal-hal yang membuatnya kecewa tidak ia luapkan ke orang lain tetapi pada dirinya sendiri. Sehingga, rasa amarah yang telah berubah menjadi stress akut menggiring Sylvia pada keadaan depresi. Teori Freud memahami bahwa super ego menjadi sangat dominan saat seseorang yang mengalami depresi mulai menyalahkan diri sendiri dan merasa tidak berharga.

Selain itu, hal menarik yang penulis temukan dalam kasus ini adalah kesulitan Sylvia dalam mengelola emosinya dikarenakan ia memiliki hubungan ambivalen dengan ibunya. Kemungkinan besar yang terjadi adalah Sylvia dan ibunya memiliki interaksi yang membingungkan, kadang-kadang memuaskan dan kadang-kadang mengecewakan.Namun ternyata hubungan mereka yang seperti itu mempengaruhi perkembangan emosional Sylvia Plath di masa dewasanya. Rasa amarah yang ia rasakan berkembang ke arah yang ekstrem dan kemudian berubah menjadi perasaan bersalah. Hal ini semakin terlihat nyata melalui pemaparan kasus diatas bahwa ia mengalami mood swing. Adanya gejala mood swing memperkuat bukti bahwa Sylvia didiagnosis sebagai seseorang yang menderita bipolar II dan bukan depresi.

Behavioral

Perspektif behavioral memiliki fokus pada bagaimana proses belajar dapat mempengaruhi perilaku Sylvia Plath. Menurut Leinsohn dan kolega  (1979), depresi merupakan hasil rendahnya positive social reinforcement dalam kehidupan seseorang. Berkaitan dengan permasalahan sebelumnya tentang hubungan sosialnya berdasarkan data-data yang ada, Sylvia kurang mendapatkan penguatan dan orang-orang terdekatnya sehingga mempengaruhi perilakunya menjadi tidak adaptif terhadap situasi yang terjadi.

Sylvia Plath tidak berhasil menemukan coping stressyang tepat atas permasalahan yang ia hadapi. Sehingga hal ini mengarahkannya pada depresi hingga menjadi bipolar. Ketidakmampuan seseorang dalam mengelola masalah dapat memberikan efek jangka panjang. Kegagalan yang ada tidak dianggap sebagai sebuah pembelajaran membuat seseorang tidak pernah belajar dalam mengelola masalah yang ia hadapi.

Faktor Biokimia

Faktor biokimia merupakan salah satu bagian dari kehidupan Sylvia yang tidak terlepas dari faktor lingkungan. Namun perbedaannya dengan yang sebelumnya, faktor biokimia lebih menekankan pada pendekatan atau perspektif biologis, yaitu dalam hal ini adalah mengenai obat yang dikonsumsi Sylvia. Beberapa tahun belakangan sebelum Sylvia bunuh diri, keadaan memaksa ia untuk mengonsumsi beberapa macam obat yaitu obat tidur dan obat antidepresan.

Reaksi atas obat-obat yang dikonsumsi oleh Sylvia mempengaruhi fungsi anatomi tubuhnya secara keseluruhan, khususnya pada bagian otak. Pendekatan biokimia percaya bahwa gangguan bipolar dapat terjadi akibat adanya ketidakseimbangan cairan kimia pada otak manusia. Otak merupakan salah satu sistem saraf pusat utama yang mengendalikan tubuh dan perilaku manusia.Pengendalian tubuh dapat terjadi karena adanya peran sel saraf (neuron) yang dibantu oleh akson untuk mengantarkan neurotransmitter menuju ke seluruh jaringan syaraf dan pengendalian fungsi tubuh.Singkatnya, neurotransmitter memiliki peran sebagai pengantar pesan pada syaraf-syaraf penting dalam tubuh manusia.

Seseorang yang menderita gangguan bipolar II biasanya akan ditandai dengan kurang atau kelebihan tidur seperti yang dialami oleh Sylvia. Sylvia mengonsumsi jenis obat tidur tertentu untuk dapat mengatasi insomnia yang ia derita. Hal ini menunjukkan bahwa Sylvia mengalami gangguan siklus tidur yang dipengaruhi oleh beberapa hormon seperti andrenocorticotropic hormone (ACTH), Growth Hormone (GH), Thyroid-Stimulating Hormone (TSH), dan Luteinizing Hormone (LH). Bila hormon-hormon ini tidak bekerja secara normal, maka hal ini akan mempengaruhi sistem pengeluaran neurotransmitter yang dibutuhkan oleh seseorang. Ketidakberfungsian peran neurotransmitter akan mempengaruhi seluruh sistem yang ada didalam tubuh. Sehingga obat tidur akan bereaksi pada reseptor dalam otak manusia. Secara alami, reseptor yang dapat mengatasi permasalahan insomnia seseorang adalah reseptor GABA.

Terdapat tiga jenis utama neurotransmitter yang dipercaya para ahli memiliki peranan penting dalam mengendalikan mood seseorang, yaitu neuroephinephine, dopamine, dan serotonin. Sehingga, jika seseorang mengalami gangguan mood maka dapat dikatakan bahwa ia mengalami ketidakseimbangan pada ketiga jenis neurotransmitter. Gangguan mood jenis bipolar II dapat terjadi karena rendahnya kadar hormon dopamine dan serotonin dalam tubuh.

Usaha yang biasanya dilakukan oleh manusia untuk menyeimbangan ketiga hal tersebut adalah dengan pengonsumsian obat. Obat merupakan senyawa kimia yang akan bereaksi di dalam tubuh manusia. Reaksi obat akan berbeda-beda tergantung jenisnya. Jenis obat yang diberikan oleh dokter Sylvia untuk menangani penyakit kejiwaannya adalah monoamine oxidase inhibitor (MAOI). Pada dasarnya, obat antidepresan akan meningkatkan keberfungsian otak sehingga dapat memproduksi neurotransmitter lebih banyak. Kondisi seperti ini akan membuat syaraf-syaraf semakin sensitif terhadap pesan yang dibawa oleh neurotransmitter.

MAOI adalah salah satu jenis obat antidepresan yang bekerja dengan cara meningkatkan neurotransmitter untuk menghambat aksi monoaine oxidase (MAO). MAO yang bereaksi teralu berlebihan dalam tubuh dapat melemahkan atau mengurangi neurotransmitter sebagai pengirim pesan pada saraf-saraf penting (sambungan sinaptik). Sehingga, efek yang mungkin akan dirasakan oleh seseorang yang mengonsumsi obat ini adalah semakin sensitif terhadap lingkungan yang ada disekitarnya. Terlalu sensitif terhadap lingkungan juga akan membahayakan pasien sehingga dalam hal ini, obat tidur akan digunakan sebagai penenang yang dapat menurunkan aktivitas motorik seseorang yang menderita gangguan jiwa, khususnya bipolar II. Namun sayangnya, belum ada seorang pun yang dapat menjelaskan cara kerja antidepresan dalam menyembuhkan depresi seseorang  (Januzzi & DeSanctis, 1999; Kupfer, 1999). Kemungkinan terbesar yang terjadi efek dari obat antidepresan dipercaya telah melibatkan sebuah aksi terapeutik ganda pada lebih dari satu sistem neurotransmitter (Feighner, 1999; USDHHS 1999).

Faktor Neuroendokrin

Neuroendokrin lebih berfokus memahami permasalahan melalui otak di area limbik. Area limbik memiliki keterkaitan yang erat dengan hipotalamus. Hipotalamus memiliki fungsi untuk mengontrol kelenjar endokrin dan tingkat hormon yang dihasilkan. Terdapat tiga hal yang memengaruhi sistem utama dalam neuroedokrin, antara lain: hypothalamic pituitaryadrenal. Hipotalamus akan menghasilkan hormon-hormon yang mengaktifkan kelenjar pituitari. Kelenjar ini telah terbukti memiliki hubungan dengan gangguan depresi.

Seseorang yang mengalami gangguan jiwa, khususnya depresi, mengalami peningkatan aktivitas sistem utama neuroendokrin. Tingkat kortisol (hormon andrenocortical) akan cenderung tinggi karena adanya kerusakan pada hipoccampus. Sehingga neuroendokrin yang ada dalam tubuh manusia menjadi abnormal atau tidak seimbang. Seseorang yang merasa stres akan mengirimkan sinyal dan hormon stress ke kelenjar endokrin yang selanjutnya mengalirkan hormon adrenalin dan hidrokortison ke dalam darah. Hal ini nantinya akan memberikan sinyal bagi tubuh untuk ‘melawan’ atau ‘lari’ dari stresor. Bila seseorang yang stres memiliki hormon kortisol yang tinggi tidak segera ditangani, maka ia akan berisiko tinggi untuk mengalami gangguan fisiologis atau gangguan psikologis. Hasil penelitian menemukan bahwa kadar kortisol yang tidak normal yang disertai dengan perubahan struktur DNA pada gen SK2 lama kelamaan dapat mengakibatkan kecenderungan seseorang untuk bertindak impulsif seperti bunuh diri pada pasien kejiwaan. Hal ini dapat menjadi analisa yang akurat untuk menjelaskan bagaimana Sylvia Plath sebagai seseorang yang mengalami bipolar II akhirnya mengakhiri hidupnya di oven.

 

Intervensi yang Diperlukan

Pada kasus ini, Sylvia mengidap penyakit bipolar II sehingga kami menawarkan suatu intervensi yang dirasa paling tepat untuk mengobati penyakitnya. Intervensi yang kami ajukan ialah Family Focused Therapy (FFT). Studi pada dewasa ini menunjukkan bahwa pemberian intervensi yang berorientasi pada keluarga bersama dengan farmakoterapi memberikan hasil yang positif jika dibandingkan dengan intervensi yang hanya melibatkan obat-obatan. Terapi ini merupakan terapi psikososial yang berfokus pada pemberian edukasi bagi keluarga mengenai penyakit terkait dan gejala-gejala yang mungkin timbul. Dengan adanya terapi ini, diharapkan keluarga dapat memberikan dukungan maupun adanya peningkatan dalam kemampuan komunikasi serta menyelesaikan masalah. Tujuan terapi ini adalah membantu pasien dalam memahami episode manik dan depresi, perencanaan cara menyiasati adanya perubahan mood, menghadapi stressful events yang dapat memicu mood swings, penerimaan dalam menggunakan obat, mengerti gejala-gejala bipolar, dan pemulihan jangka panjang.

Perkembangan terapi ini didasari dari penemuan-penemuan mengenai mood disorders. Terapi ini menggunakan seluruh alat-alat yang tersedia, seperti obat-obatan, pelatihan keterampilan, maupun manajemen diri. Terapi ini berfokus dalam dua tema besar, yaitu (a) kebutuhan akan informasi untuk keluarga dan pasien dalam memahami dan mengatasi penyakit yang di derita, serta (b) komunikasi dan kemampuan pemecahan masalah untuk memodifikasi siklus dari interaksi keluarga. Family Focused Therapy memberikan fleksibilitas bagi pihak-pihak yang ingin ikut serta dalam terapi, seperti orangtua, anak, saudara, suami, istri, dan sebagainya. Terapi ini bekerja besama dengan satu keluarga dalam waktu yang sama dan secara aktif melibatkan pasien ke dalam proses psikoedukasi.

Family Focused Therapy biasanya diadministrasikan dalam 21 sesi dalam 9 bulan atau waktu yang lebih singkat sesuai dengan kasus yang terkait. Dua puluh satu sesi ini dilakukan seminggu sekali (6 sesi), dua minggu sekali (3 sesi), kemudian sebulan sekali (3 sesi). Pada segmen pertama, keluarga akan diinformasikan mengenai gejala ataupun terapi dari penyakit bipolar.

Berikut adalah tahapan Family Focused Therapy:

  1. Fase Engagement

Klinisi mengembangkan aliansi kerja dengan pasien beserta keluarga pasien yang bersangkutan. Pada fase terapi ini, diperlukan kerja sama antara klinisi, pasien, serta keluarga yang bersangkutan dalam menghadapi predisposisi biologi, stres, gangguan fungsi sosial, serta perubahan tanggung jawab di masa depan (Morris, 2007). Fase ini melatih pasien dan keluarga dalam strategi mengatur diri (self-management) dan mengikutsertakan kerabat sebagai penyedia perencanaan perawatann.

  1. Fase Psikoedukasi

Bagian paling penting dari fase ini adalah relapse-prevention drill yaitu keluarga dan pasien diminta untuk mengidentifikasi konteks yang secara historis telah menjadikan pasien pada risiko tinggi untuk kambuh dari penyakitnya. Klinisi melatih pasien dan keluarganya untuk mengenali tanda-tanda prodromal individu dari depresi, seperti pergantian mood, level aktivitas, sosialisasi, dorongan seksual, ataupun nafsu makan. Lalu, klinisi akan memberikan instruksi kepada keluarga untuk mendokumentasikan langkah-langkah kongkrit yang dapat diambil apabila pasien mengalami peningkatan gejala.

  1. Communicating Enhancement Training (CET)

Dimulai dari sesi ke delapan dan dilanjutkan selama 7-10 sesi ke depan. Tahap ini menggunakan behavioural modelling dan latihan untuk mengajarkan komunikasi dari perasaan positif maupun negatif seperti memuji dan        memberikan kritik yang membangun, memberikan strategi mendengarkan secara aktif verbal dan nonverbal seperti parafrase dan mengangguk, dan membuat permintaan positif untuk mengubah perilaku anggota keluarga seperti meminta anggota keluarga untuk berbicara secara lembut.

  1. Problem Solving Skill Training

Tahap ini dilakukan pada bulan ke 6-9 yang berfokus pada keterlibatan keluaarga terhadap pemecahan masalah. Pada tahap ini, sesi dilakukan dua minggu sekali atau satu bulan sekali. Awalnya, keluarga terlebih dahulu menyetujui definisi dari masalah, kemudian brainstorming mengenai beberapa solusi yang mungkin dilakukan, mengevaluasi keuntungan dan kerugian dari solusi yang dipikirkan, menyetujui salah satu dari solusi yang telah dipertimbangkan, mengembangkan rencana implementasi, serta melakukan review dari status masalah. Sesi terakhir dari terapi ini adalah proses terminasi dan mengulas tujuan dari terapi yang telah dilakukan.

Seperti penjelasan yang telah dipaparkan, Family sistem adalag terapi ini sebenarnya bisa untuk dilakukan pada kasus Sylvia Plath, karena salah satu alasan mengapa depresinya semakin meningkat karena adanya masalah di dalam rumah tangganya.Suami dari Slyvia telah tertangkap basah berselingkuh namun Sylvia tetap berusaha untuk mempertahankan keluarganya. Upaya Sylvia dalam memperbaiki masalah tersebut berujung pada kegagalan sehingga hal ini semakin membuatnya terpuruk. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa Sylvia memerlukan dukungan dari orang-orang terdekatnya seperti keluarga, pasangan, dan anak-anaknya untuk hidup secara baik. Selain itu, terapi ini diharapkan dapat memberikan strategi mengenai bagaimana menyelesaikan suatu masalah. Hal ini dibutuhkan oleh Sylvia karena ia cenderung mudah terpuruk saat menghadapi sesuatu yang tidak diinginkannya seperti kegagalannya dalam memasuki Harvard sehingga hal tersebut menjadi awal mula munculnya depresi dalam hidupnya.

 

Mad Girl’s Love Song

I shut my eyes and all the world drops dead;
I lift my lids and all is born again.
(I think I made you up inside my head.)

The stars go waltzing out in blue and red,
And arbitrary blackness gallops in:
I shut my eyes and all the world drops dead.

I dreamed that you bewitched me into bed
And sung me moon-struck, kissed me quite insane.
(I think I made you up inside my head.)

God topples from the sky, hell’s fires fade:
Exit seraphim and Satan’s men:
I shut my eyes and all the world drops dead.

I fancied you’d return the way you said,
But I grow old and I forget your name.
(I think I made you up inside my head.)

I should have loved a thunderbird instead;
At least when spring comes they roar back again.
I shut my eyes and all the world drops dead.
(I think I made you up inside my head.)”
― Sylvia Plath

 

Daftar Pustaka:

American Psychiatric Association.(2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Fifth Edition. Arlington VA: American PsychiatricAssociation.

Artikeltop.xyz. (2016).Fungsi Kelenjar Adrenal dan Penyakit Kelenjar Adrenal.Diakses dari http://artikeltop.xyz/fungsi-kelenjar-adrenal-dan-penyakit-kelenjar-adrenal.htmlpada 14 Mei 2016

Astuti, M.B. (2016). Anti Depresan.Diakses dari https://www.academia.edu/22792554/Anti_Depresan pada 14 Mei 2016.

Bennet, P. (2006).Abnormal and Clinical Psychology: An Introductory Textbook. England: Open University Press.

Doktersehat. (2012). Apa Saja Penyebab Depresi. Diakses dari http://doktersehat.com/apa-saja-penyebab-depresi/pada 14 Mei 2016.

Japardi, Iskandar. 2002. Gangguan tidur. Diakses melalui http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi12.pdf pada tanggal 15 Mei 2016.

Materi Biologi. (2014). Macam-Macam Neurotransmitter dan Fungsinya.Diakses dari http://www.materibiologi.com/macam-macam-neurotransmitter-dan-fungsinya/ pada 14 Mei 2016.

Media Indonesia Sehat.(2014). Peranan Neurotransmitter Otak pada Gangguan Perilaku dan Gangguan Psikiatrik.Diakses darihttps://mediaindonesiasehat.com/2014/08/09/peranan-neurotransmiter-otak-pada-gangguan-perilaku-dan-gangguan-psikiatrik/ pada 14 Mei 2016.

Morris CM, Miklowitz DJ, Wisniewski SR, Giese AA, Thomas MR, Allen MH. (2005). Care satisfaction, hope, and life functioning among adults with bipolar disorder: Data from the first 1,000 participants in the systematic treatment enhancement program. Comprehensive Psychiatry. 46:98–104.

Putra, Y.A. (2015). Biokimia Neurotransmitter. Diakses dari http://dokumen.tips/documents/biokimia-neurotransmitter.html pada 14 Mei 2016

Sentanu, Erbe. 2009. The Science & Miracle of Zona Ikhlas. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Supratiknya, A. (1993). Teori-Teori Psikodinamik (Klinis). Yogyakarta: Kanisius. Diakses pada tanggal 21 Maret 2016 melalui   https://books.google.co.id/books?id=DaAOiNyvWF0C&pg=PA124&lpg=PA124&dq=hubungan+ambivalen+psikologi+psikodinamika&source=bl&ots=-O0_ENe2Y_&sig=hhwCVDMBi_LcMRT9iI0fMRMOZeI&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwizwcD08tDLAhWDTY4KHfbXAz4Q6AEIGTAA#v=onepage&q=hubungan%20ambivalen%20psikologi%20psikodinamika&f=false.

Wikipedia.(2016). Gangguan Bipolar.Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Gangguan_bipolar pada 20 Maret 2016.

Wikipedia.(2016). Mood (psychology).Diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Mood_(psychology) pada 20 Maret 2016.

Wikipedia.(2016). Neurotransmitter.Diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Neurotransmitterpada 14 Mei 2016.

Wikipedia.(2016). Sylvia Plath.Diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Sylvia_Plath pada 21 Maret 2016

Yahya, H. (2003). Keajaiban Hormon. Diakses dari http://id.harunyahya.com/id/Buku/4734/keajaiban-hormon/chapter/10372pada 14 Mei 2016

 

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s