Penjelasan Psikologi Evolusi atas Kekerasan dalam Relasi Intim
Oleh: Margaretha
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Di Amerika Serikat saja, sekitar 500.000 perempuan tiap tahunnya melaporkan telah mengalami kekerasan oleh pasangan atau mantan pasangannya (Zukerman, 2011). Mengapa hal ini bisa terus terjadi? Bahkan pada banyak negara ditemukan tren peningkatan, termasuk di Indonesia. Jika kekerasan adalah perilaku yang merugikan manusia karena merusak kehidupan psikis dan fisik korbannya, juga merugikan keadaan si pelakunya, lalu mengapa kekerasan dalam relasi intim terus dilakukan oleh manusia? Lalu, mengapa sebagian besar pelaku kekerasan relasi intim adalah laki-laki terhadap pasangan perempuannya?
Salah satu penjelasannya adalah dari perspektif Psikologi Evolusi. Psikologi Evolusi percaya bahwa perilaku manusia bertahan dari generasi ke generasi karena berperan dalam mempertahankan keberlangsungan spesies manusia di bumi ini. Tulisan pendek ini akan menjelaskan bagaimana usaha Psikologi Evolusi menjelaskan perilaku kekerasan dalam relasi intim.
Psikologi Evolusi dan berpasangan
Psikologi Evolusi adalah kajian dalam Psikologi yang menjelaskan bagaimana proses seleksi alam mempengaruhi bertahannya perilaku tertentu bahkan hingga diteruskan dari satu generasi ke generasi lain dalam rangka mempertahankan keberlangsungan spesies manusia.
Psikologi Evolusi cukup banyak mengkaji perilaku manusia dalam berpasangan. Relasi intim manusia telah berevolusi cukup lama dalam mengembangkan berbagai strategi untuk menjaga keberlangsungan hubungan jangka panjang, misalkan: investasi, komitmen dan cinta (Buss, 2011). Oleh karena itu, relasi intim pada spesies manusia tidak bisa bertahan jika tanpa usaha beradaptasi dan menjaga investasi relasi intim sepanjang waktu.
Menurut Buss (2011), ada 2 jenis usaha adaptasi dan menjaga investasi relasi yang digunakan manusia: 1) usaha mendapatkan perhatian, dukungan, perlindungan dan cinta; dan 2) usaha menekan yang kasar dengan kekerasan, ancaman, kekerasan seksual dan agresi fisik. Buss berpendapat bahwa kedua usaha ini dilakukan manusia untuk mempertahankan relasi dan mencegah ketidaksetiaan dalam hal seksual, emosional dan finansial. Keduanya terus dilakukan oleh manusia karena telah memiliki peran dalam mempertahankan keberlangsungan reproduksi spesies manusia selama ini. Namun, yang kedua inilah yang menjadi penyebab munculnya kekerasan dalam relasi intim.
Kekerasan, kecemburuan dan persaingan
David Buss (2011) dari University of Texas menjelaskan bahwa laki-laki melakukan kekerasan dalam relasi intim dalam rangka untuk memastikan pewarisan gennya pada keturunannya melalui pasangan perempuan yang dipilihnya. Laki-laki akan berupaya agar pasangan perempuannya hanya akan mengandung anaknya, bukan anak dari laki-laki lain. Hal ini ditemukan dengan survei di North Carolina, Amerika Serikat yang menemukan 65% perempuan yang mengalami kekerasan dalam relasi intim melaporkan bahwa saat itu sedang mengandung anak laki-laki lain/bukan dari pasangannya.
Kekerasan diasumsikan oleh Buss sebagai perilaku yang muncul dari rasa cemburu, dimana kecemburuan lahir dari proses kesulitan penyesuaian diri terhadap persaingan. Sebenarnya, Buss menyatakan bahwa kecemburuan bertujuan agar pasangan tetap bersama satu dengan yang lain. Laki-laki berusaha untuk mempertahankan pasangannya di tengah persaingan dalam berpasangan. Namun, ketika laki-laki merasa kesulitan untuk menggunakan sumber daya yang ada pada dirinya untuk mempertahankan pasangannya, atau ketika merasa curiga jika pasangannya tidak setia atau hamil dari laki-laki lain, maka emosi cemburu bisa muncul. Lebih lanjut, pada laki-laki yang mengalami konflik dengan kecemburuan dan ketidakmampuan mencari cara lain untuk mempertahankan pasangannya, maka ia bisa memilih menggunakan kekerasan.
Kesenjangan nilai pasangan (mate value discrepancy)
Selain itu, Buss mengemukakan alasan lain terjadinya kekerasan dalam relasi intim, yaitu adanya perbedaan nilai pasangan. Perbedaan nilai pasangan artinya ketika salah satu pasangan dianggap lebih menarik, atau lebih diinginkan dalam persaingan berpasangan. Dalam hal ini, laki-laki akan merasa sangat mudah cemburu dan posesif pada pasangan perempuannya, jika ia marasa bahwa pasangan perempuannya lebih menarik dan lebih diinginkan banyak orang daripada dirinya. Di masyarakat, biasanya ketika terjadi perbedaan nilai pasangan, muncul kalimat komentar: “Laki-laki itu tidak cocok buat perempuan itu” atau “perempuan itu layak mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari dia”. Karena itu, di kepala si laki-laki bisa muncul ide, bahwa perempuan yang lebih menarik maka lebih tinggi kemungkinannya untuk beralih ke laki-laki lain yang memiliki sumber daya dan kemampuan yang lebih dari dirinya. Untuk laki-laki, hal ini adalah ancaman. Ia ketakutan jika si pasangan perempuan akan memutuskan hubungan dengannya, maka ia berusaha mencari cara untuk menghentikan hal ini sebelum terjadi. Laki-laki akan menjadi posesif dan pencemburu, bahkan pada beberapa kasus bisa berujung ada penguntitan, kekerasan berat, bahkan pembunuhan.
Pada spesies laki-laki telah dikembangkan perilaku pencemburu dan posesif bahkan kekerasan. Hal ini digunakannya untuk menjaga agar pasangannya tetap bersamanya, mencegah pasangannya untuk pergi dari dirinya. Laki-laki bisa berperilaku kasar, berkata-kata yang akan merendahkan harga diri pasangannya agar si pasangan perempuan tidak punya cukup harga diri dan keberanian untuk pergi dari laki-laki kasar tersebut. Pada banyak kasus juga ditemukan, laki-laki yang berusaha mengisolasi pasangan perempuannya dari relasi sosial dengan teman dan keluarganya, hal ini dilakukan agar laki-laki dapat mengontrol keberadaan pasangan perempuannya.
Mengapa laki-laki lebih tinggi melakukan kekerasan daripada perempuan?
Secara evolusi, perempuan melakukan lebih banyak investasi dalam proses reproduksi karena perempuan akan hamil dan men gurus anak untuk jangka waktu yang lama. Maka, perempuan hanya bisa memilih satu atau sedikit pasangan. Dibandingkan laki-laki yang tidak terlalu melakukan investasi dalam hal reproduksi dan pengasuhan anak, maka laki-laki bisa memilih lebih dari satu pasangan. Namun, keberhasilan laki-laki dalam reproduksi akan ditentukan dari keberhasilannya untuk mendapatkan perempuan yang akan memberikannya keturunan yang terbaik/sehat. Oleh karena itu, laki-laki harus melakukan kompetisi dengan laki-laki lain untuk mendapatkan perempuan yang memiliki karakteristik menghasilkan keturunan yang terbaik/sehat. Dengan kata lain keberhasilan laki-laki dalam berpasangan adalah kemampuannya untuk mendapatkan perempuan yang berkualitas tinggi untuk melakukan reproduksi yang artinya laki-laki harus berjuang mengalahkan laki-laki lain untuk mendapatkan perempuan dengan karakteristik terbaik (Trivers, 1972).
Laki-laki akan melakukan agresi pada laki-laki lain dalam usaha kompetisinya. Kekerasan digunakan sebagai cara untuk menghadapi konteks keterbatasan sumber daya perempuan dengan kualitas reproduktif terbaik. Laki-laki akan berusaha mencegah laki-laki lain untuk merebut dan mengambil hati perempuannya. Laki-laki yang menang akan mendapatkan ego dan perempuannya, sedang yang kalah akan luka dan “mati”.
Perempuan juga dapat melakukan kekerasan, dan biasanya korbannya juga sesama perempuan. Dalam penelitian Buss dan Dedden (1990, dalam Buss & Schackle, 1995), perempuan bisanya melakukan kekerasan verbal dalam rangka menjatuhkan kompetitornya, terutama dalam aspek penampilan fisik dan kemampuan reproduktif saingannya tersebut. Namun secara teori, kekerasan yang dilakukan oleh perempuan jauh lebih ringan dibandingkan laki-laki, karena perbedaan investasi dan cara pemilihan pasangan (Campbell, 1995 dalam Buss & Schackle, 1995).
Jumlah kekerasan yang dilakukan laki-laki pada perempuan mendominasi dalam kasus kekerasan dalam relasi intim di berbagai budaya di dunia. Kecemburuan seksual (sexual jealousy) biasanya adalah penyebabnya. Laki-laki akan mengalami kecemburuan seksual jika ia berpikir bahwa pasangan perempuannya akan meninggalkannya demi laki-laki lain yang lebih baik, atau ketika curiga pasangan perempuannya hamil dari laki-laki lain. Kedua hal ini menyebabkan laki-laki turun harga dirinya dan munculnya perasaan gagal berpasangan dan reproduksi. Jika laki-laki mengalami hal tersebut, dapat beresiko memunculkan kekerasan pada perempuan dalam relasi intim.
Dari reviewnya atas hasil berbagai kajian sebelumnya mengenai kekerasan dalam relasi intim pada perempuan, Buss dan Schackle (1995) menemukan bahwa perempuan muda beresiko lebih tinggi mengalami kekerasan relasi intim daripada perempuan yang lebih tua. Kecemburuan seksual laki-laki lebih tinggi ditujukan pada perempuan yang lebih muda, karena perempuan muda menarik bagi banyak laki-laki lain, atau dengan kata lain, memiliki pasangan perempuan muda berkonsekuensi memunculkan insting kompetisi yang lebih tinggi pada laki-laki. Kajian pembunuhan di Amerika Serikat pada tahun 1970-1980an menemukan bahwa mayoritas (50%-90%) kasus kekerasan dan pembunuhan pada perempuan dilakukan oleh pasangan laki-lakinya karena frustasi merasa tidak mampu mengontrol pasangan perempuannya dan juga karena motif kecemburuan (Buss & Schackle, 1995).
Peters, Buss dan Schackle (2002) melakukan penelitian pada 5.298 kasus kekerasan dalam relasi intim di New York yang dilaporkan ke Polisi sejak tahun 1986 hingga 1999. Mereka menemukan bahwa: 1) resiko kekerasan pada perempuan akan menurun seiring penambahan usianya, 2) laki-laki muda lebih beresiko melakukan kekerasan dalam relasi intim daripada laki-laki yang lebih tua, 3) perempuan muda dan dalam usia reproduktif beresiko hingga 10 kali lipat lebih tinggi mengalami kekerasand dalam relasi intim, dan 4) resiko perempuan mengalami kekerasan dalam relasi intim tidak dapat dijelaskan hanya karena mereka berpasangan dengan laki-laki muda dan kasar.
Temuan nomor 4 menunjukkan aspek sosial budaya dalam fenomena kekerasan dalam relasi intim pada perempuan. Mereka menjelaskan bahwa kemungkinan besar kekerasan dalam relasi intim juga dipengaruhi oleh faktor budaya, dimana adanya kesenjangan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki. Laki-laki dianggap memiliki kekuasaan lebih pada perempuan dan memungkinkan munculnya opresi patriarkis (kekerasan) atas perempuan.
Bagaimana di Indonesia?
Di Indonesia belum banyak penelitian Psikologi Evolusi, terlebih lagi dalam konteks kekerasan dalam relasi intim. Namun asumsi universalitas proses evolusi biasanya diajukan dalam melihat makna temuan dalam kajian Psikologi Evolusi. Secara teoritis, agresi diasumsikan terjadi di berbagai budaya, namun perbedaan antar budaya yang mungkin muncul tentu masih harus dipahami lebih lanjut.
Walaupun begitu, perlu dilakukan usaha untuk memahami mengapa kecenderungan kekerasan dalam relasi intim lebih banyak terjadi pada laki-laki pada perempuan dengan berbagai perspektif, baik dari upaya kajian sosial budaya, feminisme, neurosains, genetika, psikologi, juga termasuk Psikologi Evolusi. Lebih lanjut, Psikologi Evolusi dapat berperan untuk menjelaskan dan mengidentifikasi faktor resiko dan faktor protektif perlu digunakan dalam menjelaskan perilaku kekerasan dalam relasi intim. Dan pada akhirnya, diharapkan dapat memberikan masukan dalam usaha intervensi dan prevensi kekerasan dalam relasi intim.
Simpulan
Dalam perspektif Psikologi Evolusi, kekerasan dalam relasi intim dilihat bukan sebagai fenomena tunggal, namun sebagai set usaha adaptasi yang muncul dalam konteks khusus. Kekerasan dalam relasi intim yang dilakukan lebih banyak oleh laki-laki disebabkan beberapa masalah adaptasi, seperti: kompetisi berpasangan, hirarki negosiasi dan usaha mempertahankan pasangan. Hal ini menegaskan bahwa kecenderung kekerasan yang diwarisi laki-laki ini akan termanifestasi jika berinteraksi dengan berbagai faktor kontekstual.
Pemahaman kekerasan dalam relasi intim yang ditawarkan oleh Psikologi Evolusi dapat memberikan wawasan mengenai faktor-faktor resiko perilaku kekerasan dalam relasi intim. Dalam hal ini, bisa diprediksikan siapa perempuan yang beresiko tinggi mengalami kekerasan dalam relasi intim, bagaimana taktik laki-laki yang memiliki resiko tinggi melakukan kekerasan dalam relasi intim, serta bagaimana bentuk relasi tidak sehat yang menjadi indikasi munculnya kekerasan dalam relasi intim.
Tentu saja, masih banyak hal yang belum bisa dijelaskan oleh pendekatan Psikologi Evolusi, yang masih membutuhkan banyak kajian lebih lanjut. Oleh karena itu, akan menarik untuk terus mempelajari bagaimana perkembangan berbagai perspektif dalam usaha menjelaskan kekerasan dalam relasi intim, serta bagaimana informasi tersebut dapat bermakna dalam usaha intervensi dan prevensi kekerasan dalam relasi intim di masyarakat kita.
Sumber:
Buss, D. & Schackle, T. (1995). Human Aggression in Evolutionary Psychological Perspective. Clinical Psychology Review, 17, 605-619.
Buss, D. (2011). How Can Understanding Human Evolutionary Psychology Help Prevent Domestic Violence? Diunduh dari: http://www.scienceandreligiontoday.com/2011/10/13/how-can-understanding-human-evolutionary-psychology-help-prevent-domestic-violence/
Peters, J., Buss, D. & Schackle, T. (2002). Understanding Domestic Violence Against Women: Using Evolutionary Psychology to Extend the Feminist Functional Analysis. Violence and Victims, 17, 255-264.