Terlalu Muda untuk Pidana: Kapan usia yang lebih tepat mulai menerima pertanggungjawaban atas pelanggaran pidana (Bagian II)

Terlalu Muda untuk Pidana: Kapan usia yang lebih tepat mulai menerima pertanggungjawaban atas pelanggaran pidana (Bagian II)

Oleh: Margaretha

Dosen dan Peneliti Psikologi Forensik, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Masukan dari Psikologi Perkembangan: Apa yang dimaksud dengan kematangan mental?

Ahli psikologi perkembangan remaja dari American Psychological Association (APA), Laurence Steinberg, dalam amicus brief-nya di hadapan pengadilan di Amerika Serikat, mengatakan bahwa kapasitas pertanggungjawaban atas tindakan kriminal remaja sangatlah berbeda dengan orang dewasa. Remaja jauh lebih impulsif dan lemah dalam mengantisipasi konsekuensi tindakannya (Tisdale dkk. 2019). Belum sempurnanya perkembangan otak, kematangan psikologis dan sosial membuat anak-remaja lebih rentan membuat perilaku salah. 

Peradilan anak di Amerika Serikat telah menggunakan hasil riset neurosains dan psikologi dalam membuat pertimbangan putusan pidana anak. Putusan pidana anak tidak boleh disamakan dengan proses putusan pidana bagi dewasa, misalkan: peradilan akan sangat berhati-hati dan menghindari dalam membuat putusan pidana seumur hidup bagi anak.

Baca lebih lanjut

Terlalu Muda untuk Dipidana: Kapan usia yang lebih tepat mulai menerima pertanggungjawaban pelanggaran pidana (Bagian I)

Terlalu Muda untuk Dipidana: Kapan usia yang lebih tepat mulai menerima pertanggungjawaban atas pelanggaran pidana (Bagian I)

Margaretha

Dosen dan Peneliti Psikologi Forensik, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

 

https://www.suara.com/health/2019/07/23/071000/anak-berhadapan-dengan-hukum-potret-buram-perlindungan-anak-di-indonesia?page=all

Di Indonesia, usia minimum pertanggungjawaban pidana di Indonesia adalah usia 12 tahun. Artinya, anak manusia sejak usia 12 tahun di Indonesia dianggap telah memiliki kapasitas kematangan mental dan bertanggungjawab atas perilakunya secara mandiri. Jika anak diputuskan bersalah, maka anak bisa menanggung pidana dalam proses koreksi institusional. Sayangnya, pidana juga bukan jawaban terbaik untuk menyelesaikan persoalan anak berhadapan dengan hukum. Selain mengalami stigma sosial dan sulit beradaptasi ke masyarakat, kebanyakan ditemukan menjadi residivis setelah keluar dari proses pembinaan dan pemasyarakatan. Di tahun 2019, terdapat 11.492 anak Indonesia yang berhadapan dengan hukum yang menanti putusan pidana.

Apakah menurut anda usia 12 tahun sudah matang dalam membuat keputusan? Apakah anak usia 12 tahun dapat diminta pertanggungjawaban atas perilakunya sama seperti orang dewasa? Apa yang perlu diupayakan bagi anak yang melanggar hukum? Artikel ini akan mengupas apa yang dimaksud dengan kematangan mental manusia, baik dari sisi biologis, psikologis dan sosial. Ulasan tersebut ditujukan untuk menjelaskan bahwa anak usia 12 tahun belum mampu melakukan pertanggungjawaban atas perilakunya secara mandiri di depan proses hukum. Lebih lanjut, akan diuraikan mengenai proses koreksi dan rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mengelola perilaku pelanggaran yang dilakukan anak. Baca lebih lanjut

Kecanduan dan Relasi Sosial

Margaretha, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Disampaikan dalam Seminar Pencegahan Narkoba GEPENTA di Surabaya, 29 Oktober 2015

hands-e1437687012312Apakah yang menyebabkan kecanduan? Dari kecanduan zat, seperti narkotika, obat-obatan dan berbagai aktivitas yang membuat kecanduan, seperti game online, judi, pornografi dan main smartphones. Berbagai penelitian menemukan bahwa kecanduan terjadi bukan sekedar akibat toleransi tubuh dan sebab-sebab biologis, tapi juga pengaruh lingkungan sosial. Manusia yang menjadi pecandu ditemukan sebagai orang-orang yang mengalami kekurangan atau ketidakmampuan untuk membangun relasi sosial yang bahagia dan sehat dengan orang-orang di lingkungannya. Jika masyarakat meneriakkan perang terhadap kecanduan, dan pecandu dianggap sebagai kriminal yang harus diasingkan serta mendapatkan hukuman agar jera, maka apakah sudah tepat penanganan masalah kecanduan yang kita lakukan selama ini? Tulisan ini akan menguraikan bagaimana pendekatan rehabilitasi sosial perlu dilakukan untuk menangani akar masalah kecanduan. Baca lebih lanjut

Anak dalam Setting Koreksional: Pembenahan Pembinaan Anak di LAPAS Anak Tangerang

Oleh: Ratna Wulaningsih

Mahasiswa peserta Mata Kuliah Psikologi Forensik
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

 

foto-0294a641Akhir-akhir ini banyak kasus anak dan remaja melakukan tindak pidana seperti mencuri, melakukan pelecehan seksual, membunuh, hingga kasus narkoba. Anak-anak ini pada akhirnya harus menjalani proses hukum dan dapat dikenakan sanksi pemidanaan berupa pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Anak, pembinaan di luar LAPAS, atau dikembalikan kepada orangtua. Anak yang dipidana berdasarkan keputusan pengadilan akan menjalani pembinaan di LAPAS dan akan kehilangan kemerdekaannya. Anak yang dipidana disebut dengan anak pidana. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) menunjukkan jumlah Anak Pidana meningkat tiap tahunnya, per Januari tahun 2012 sampai dengan tahun 2014 jumlah Anak Pidana laki-laki dan wanita sebagai berikut: 162 laki-laki dan 4 wanita (2012), 157 laki-laki dan 8 wanita (2013), 202 laki-laki dan 9 wanita. Lebih dari 50 persen Anak Pidana tersebut tersandung kasus narkoba.

LAPAS Anak di Indonesia masih sangat terbatas, sehingga di beberapa daerah di Indonesia, masih ada anak pidana yang ditempatkan dalam LAPAS Dewasa. LAPAS Anak yang sudah memiliki sarana dan prasarana cukup memadai salah satunya adalah LAPAS Anak Tangerang. Namun dari beberapa literatur, penulis menemukan bahwa masih ada yang perlu diperbaiki dalam pemidanaan anak di LAPAS Anak Tangerang. Baca lebih lanjut