Anak dalam Setting Koreksional: Pembenahan Pembinaan Anak di LAPAS Anak Tangerang

Oleh: Ratna Wulaningsih

Mahasiswa peserta Mata Kuliah Psikologi Forensik
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

 

foto-0294a641Akhir-akhir ini banyak kasus anak dan remaja melakukan tindak pidana seperti mencuri, melakukan pelecehan seksual, membunuh, hingga kasus narkoba. Anak-anak ini pada akhirnya harus menjalani proses hukum dan dapat dikenakan sanksi pemidanaan berupa pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Anak, pembinaan di luar LAPAS, atau dikembalikan kepada orangtua. Anak yang dipidana berdasarkan keputusan pengadilan akan menjalani pembinaan di LAPAS dan akan kehilangan kemerdekaannya. Anak yang dipidana disebut dengan anak pidana. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) menunjukkan jumlah Anak Pidana meningkat tiap tahunnya, per Januari tahun 2012 sampai dengan tahun 2014 jumlah Anak Pidana laki-laki dan wanita sebagai berikut: 162 laki-laki dan 4 wanita (2012), 157 laki-laki dan 8 wanita (2013), 202 laki-laki dan 9 wanita. Lebih dari 50 persen Anak Pidana tersebut tersandung kasus narkoba.

LAPAS Anak di Indonesia masih sangat terbatas, sehingga di beberapa daerah di Indonesia, masih ada anak pidana yang ditempatkan dalam LAPAS Dewasa. LAPAS Anak yang sudah memiliki sarana dan prasarana cukup memadai salah satunya adalah LAPAS Anak Tangerang. Namun dari beberapa literatur, penulis menemukan bahwa masih ada yang perlu diperbaiki dalam pemidanaan anak di LAPAS Anak Tangerang.

Berikut rangkuman beberapa kasus yang terjadi di LAPAS Anak Tangerang:

Penyiksaan dan pelecehan seksual terhadap anak-anak yang bermasalah dengan hukum masih terjadi. penelitian LBH Jakarta terhadap anak-anak yang sedang menjalani proses hukum pada periode Januari 2010-Januari 2012 dengan rincian 50 responden diwawancara di Rutan Pondok Bambu, 45 Responden di Lapas Anak Tangerang, dan 5 responden di Lapas Wanita IIB Tangerang, dengan prosentase 38 persen responden anak yang diproses selama tahun 2010, dan sisanya 62 persen diproses selama tahun 2011, menyatakan bahwa diketahui sejumlah anak mengalami penyiksaan dan pelecehan seksual saat proses BAP (2012, Dien).

Selama dalam pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan, anak belum mendapatkan pembinaan yang sesuai dengan kebutuhan. Penelitian Helmina (2007) menunjukkan bahwa selama menjalani pidana, Anak Didik Pemasyarakatan (Andikpas) Kasus Narkoba tidak mendapatkan pembinaan yang selayaknya harus diberikan pada narapidana penyalahgunaan narkoba sebagai terapi untuk memutuskan ketergantungannya terhadap narkoba. Sebagai gantinya program psikososial diberikan sebagai treatment bagi Anak Didik kasus narkoba.

Salah satu penghuni LAPAS Anak Khusus Wanita Tangerang, Meli (16) mengeluh tidak pernah diberikan pendidikan seperti yang diterima penghuni LAPAS Anak Khusus Pria Tangerang yang mendapatkan pendidikan formal maupun informal dari petugas lapasnya. Meli mengharapkan, pemerintah menyediakan bekal pendidikan sehingga saat bebas kembali ke masyarakat, penghuni lapas memiliki bekal tentang pengetahuan atau ketrampilan (Kapanlagi.com, 2007). Hal ini juga diungkapkan dalam penelitian Dewi (2009) yang menyatakan bahwa pola pembinaan Andikpas di LAPAS Anak Khusus Wanita Tangerang belum maksimal dilaksanakan karena kegiatan-kegiatan di LAPAS Anak Khusus Wanita Tangerang masih terkesan mengisi waktu saja dan belum mengarah pada sasaran akhir, yaitu membina Andikpas menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat, bertanggung jawab, dan dapat mandiri saat kembali ke masyarakat.

Selain itu, berdasarkan data Ditjen PAS bulan Januari 2014 dan penelitian Ningtias (2013), diketahui bahwa Andikpas Wanita di LAPAS Anak Khusus Wanita Tangerang ditempatkan bersama narapidana wanita dewasa. Hal ini dikarenakan jumlah Andikpas Wanita hanya berjumlah 3 orang dan LAPAS yang berkapasitas 100 orang memungkinkan memuat narapidana dan tahanan wanita dewasa karena LAPAS Wanita Tangerang sudah melebihi kapasitas. Tentu saja hal ini berbahaya bagi Andikpas Wanita karena anak rentan belajar atau memodel perilaku narapidana dan tahanan wanita dewasa yang mungkin masih belum sesuai dengan peraturan hukum, sehingga Andikpas Wanita justru akan mempelajari perilaku melanggar hukum.

Adanya stigma negatif tentang mantan narapidana, karena banyaknya narapidana yang mengulangi kesalahannya berulang kali, membuat masyarakat memandang rendah dan negatif pada mantan narapidana, termasuk kepada Andikpas. Anak bimbingan LAPAS Anak Khusus Pria Tangerang, sebut saja Mono, 14 tahun, bukan nama sebenarnya, menyandang status Anak Negara, mengungkapkan kecemasan perihal masa depannya. Mono sangat menantikan kehidupan bebas di luar penjara namun ia tidak tahu lagi harus kemana. Saat kejadian apes menimpanya karena tertangkap tangan mencuri sebesar AS $600 di sebuah klub malam di kawasan Ancol, Jakarta Utara, sang ibu enggan mengakui maupun menemaninya di persidangan. Mono tidak percaya diri karena labelisasi sebagai mantan Anak Negara (Hukumonline.com, 2005). Kegelisahan Mono saat keluar dari LAPAS juga diakui oleh Kepala LAPAS (Kalapas) Anak Kelas IIA Khusus Pria Tangerang, Haru Tamtomo, anak yang sudah dibebaskan merasa gelisah karena pihak keluarganya sudah tidak menerima lagi, sehingga anak bingung akan pergi ke mana. Sehingga ada anak yang kembali ke LAPAS padahal sudah dibebaskan dari hukuman (Kapanlagi.com, 2007).

Menurut penulis, kasus-kasus yang masih terjadi di LAPAS Anak Tangerang di atas tentunya tidak bisa dibiarkan berlarut-larut dan harus segera diatasi, kenapa? Hal ini mengingat masa depan Andikpas masih panjang dan agar mantan Andikpas berkembang menjadi manusia yang lebih baik setelah keluar dari LAPAS Anak Tangerang. Apalagi masih banyak LAPAS Anak di daerah lain di Indonesia belum sebaik LAPAS Anak Tangerang, bahkan masih banyak daerah yang belum memiliki LAPAS khusus untuk Anak Pidana atau Andikpas.

Kemudian bagaimana keadaan LAPAS Anak Tangerang sebenarnya? Apa kebutuhan yang penting bagi Andikpas pada usianya? Dan pembenahan yang bagaimana yang diharapkan? Tulisan ini akan membahas permasalahan yang terjadi di LAPAS Anak Tangerang dan pembenahan yang perlu dilakukan oleh LAPAS Anak Tangerang.

Keadaan Anak Pidana di Lingkungan LAPAS Anak Tangerang

Menurut studi literatur peneliti (Sunaryo, 2005; Amaliawati, 2013; Setyobudi, 2012) LAPAS Anak Tangerang memiliki sarana dan prasarana yang cukup memadai. Di dalam LAPAS Anak Tangerang terdapat ruangan-ruangan khusus yang menampung minat Andikpas seperti Rumah Pintar Andikpas, lapangan badminton, lapangan basket, ruang komputer dan internet, ruang musik, pesantren, lapangan bola, dan lain-lain. Untuk fasilitas kapasitas ruangan, LAPAS Anak Khusus Pria Tangerang masih memenuhi karena dari data yang diperoleh dari Ditjen PAS bulan Januari 2014, LAPAS menampung 191 Andikpas dari kapasitas ruangan 220. Begitu pula pada LAPAS Anak Khusus Wanita Tangerang yang menampung 89 narapidana dari kapasitas ruangan 100, yang terdiri dari 63 narapidana dewasa wanita, 23 tahanan dewasa wanita, dan 3 Andikpas wanita.

Proses pembinaan yang dilaksanakan telah memenuhi ketentuan Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1999 Pasal 17, yaitu pembinaan narapidana dilaksanakan melalui 3 (tiga) tahap pembinaan, yaitu tahap awal, tahap lanjutan, dan tahap akhir. Ada lima program pembinaan yang dilakukan di dalam LAPAS Anak Tangerang yaitu pembinaan kesadaran beragama (perawatan rohani), pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara, pembinaan kemampuan intelektual (pelatihan, pengajaran, pendidikan), pembinaan kesadaran hukum, dan pembinaan menginteraksikan diri dengan masyarakat seperti keterampilan dan kemandirian (Soetodjo, 2006). Kegiatan di LAPAS Anak dilaksanakan dari pukul 05.00 WIB sampai dengan pukul 17.00 WIB. Selama proses pembinaan anak diberlakukan sama, antara satu dengan yang lain.

Kebutuhan Andikpas Berdasarkan Masa Perkembangan Anak

Anak menurut Undang-undang no.3 Tahun 1997 tentang peradilan anak pasal 1 ayat (2) menerangkan bahwa “anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun (deklapan belas) tahun dan belum pernah menikah .” Jadi dalam hal ini pengertian anak dibatasi dengan umur antara 8 (delapan) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun. Andikpas yang berada pada rentang usia 8 sampai dengan 18 tahun memiliki kebutuhan yang berbeda sesuai usia perkembangannya. Menurut teori Psikososial Erikson, anak berusia 8 sampai dengan 11 tahun memiliki kebutuhan eksplorasi diri sehingga anak cenderung untuk tidak bisa diam dan mempelajari segala sesuatu. Sedangkan anak usia 12 sampai dengan 18 tahun akan menghadapi situasi pencarian identitas diri (Psikologi Zone, 2010). Dalam situasi pembentukan identitas diri ini sangat penting akan hadirnya Role Model yakni seseorang yang dijadikan contoh dan menemukan peran, sehingga bimbingan dari orangtua, guru, atau orang yang lebih berpengalaman dalam hidup sangat diperlukan untuk mengarahkan anak pada Role Model yang sesuai dengan harapan masyarakat. Sehingga di kehidupan ke depannya, anak dapat mencapai identitas diri yang sehat dan berguna bagi masyarakat sekitar.

Selama pencarian identitas diri, anak tidak lepas dari lingkungan sosial. Lingkungan sosial yang luas dapat memberikan label tertentu karena perilaku anak yang cenderung berulang dilakukan anak. Sayangnya label sering dianggap menggambarkan kondisi atau gambaran seseorang secara keseluruhan, padahal belum tentu demikian. Psikososial Erikson juga menjelaskan bahwa lingkungan memiliki peran yang besar dalam perkembangan seorang individu sehingga labelling lingkungan terhadap individu tersebut dapat mendorong individu menjadi sosok yang sesuai dengan label yang diterimanya dari lingkungan.

Identitas diri yang berkembang dalam diri seseorang akan menentukan seperti apa ia di masa depan. Sehingga pemenuhan kebutuhan dalam pencarian identitas diri juga dipengaruhi oleh karakteristik individu masing-masing. Untuk itulah bimbingan yang diberikan pun akan berbeda antara individu satu dengan individu yang lainnya. Sehingga kebutuhan Andikpas akan bimbingan individual sesuai dengan karakteristik masing-masing sangat dibutuhkan, apalagi Andikpas memiliki latar belakang kehidupan dan kondisi yang berbeda-beda. Hal ini seyidaknya perlu dilakukan oleh atau dengan pengawasan tenaga profesional.

Pembenahan Pembinaan sesuai Kebutuhan Andikpas

Pada kasus yang terjadi di LAPAS Anak Tangerang, pemidanaan anak mungkin bukan solusi yang terbaik dalam menangani anak yang bermasalah dengan hukum (ABH). Karena pemidanaan anak memiliki dampak yang signifikan terhadap kehidupan anak selanjutnya yang boleh dikatakan masih panjang. Selain itu, pemberian hukuman pidana tidak terbukti dapat mencegah perilaku kriminal di kemudian hari, justru pemidanaan dapat menjadi sekolah kejahatan (School of Crime), dimana individu akan mempelajari perilaku dan sikap kriminal (Weinner & Otto, 2013). Misalnya pada kasus di LAPAS Anak Khusus Wanita Tangerang. Tidak dipisahnya ruangan untuk Andikpas dan Narapidana Wanita Dewasa sangat memungkinkan Andikpas mempelajari perilaku kriminal narapidana dewasa. Apalagi Andikpas pada masa eksplorasi diri dan pencarian jati diri sehingga belum memiliki pegangan atas perilaku yang benar dan yang salah. Kondisi psikologis Andikpas belum stabil sehingga akan mudah dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya.

Sedikitnya jumlah Andikpas wanita bisa jadi membuat proses pembinaan pada Andikpas terabaikan. Hal ini dikarenakan petugas LAPAS masih terbatas dan harus menanggapi Andikpas sekaligus narapidana dewasa. Meskipun demikian pembinaan seharusnya diberikan berdasarkan kebutuhan anak dan sesuai karakteristik masing-masing sehingga Andikpas dapat berkembang optimal di kehidupan ke depan. Hal ini berlaku pula pada Andikpas laki-laki. Perlu dilaksanakan serangkaian asesmen yang dapat digunakan sebagai dasar pembinaan Andikpas agar pemberian pembinaan sesuai kebutuhan. Asesmen juga dapat dijadikan sumber informasi masalah kesehatan, baik secara fisik maupun secara mental. Karena beberapa penelitian menunjukkan bahwa remaja datahan atau dipenjara di lembaga koreksional (LAPAS atau RUTAN) menunjukkan beberapa masalah kesehatan, seperti kondisi yang mungkin ada sebelum anak dipenjara, berhubungan dengan masalah kebijakan (hukum), mungkin karena diabaikan orangtua, gangguan kesehatan mental, pelecehan seksual, dan sebagainya. Kondisi-kondisi khusus semacam ini perlu diadakan penangganan khusus sehingga tidak mengganggu proses kehidupan anak di masa depan. Pendekatan atau metode yang tepat dalam rehabilitasi akan memotivasi dan membantu partisipan dalam intervensi peradilan kriminal untuk berubah (Andrews, 2001; Gendreau and Andrews, 1990; McMurran, 2002, dalam Brown & Campbell, 2010).

Setelah Andikpas menyelesaikan masa pidana di LAPAS Anak, maka Andikpas bisa kembali kepada orangtua atau keluarga. Namun sebagaimana penuturan Kepala LAPAS, Haru Tamtomo, ada kekhawatiran yang muncul pada anak saat Andikpas keluar dari LAPAS tentang stigmatisasi atau labelling negatif masyarakat terhadap mantan Andikpas. Labelling negatif tersebut menimbulkan anak justru takut dengan dunia luar, tidak percaya diri, merasa rendah diri, dan merasa tidak diterima di masyarakat. Tentu hal ini berdampak negatif bagi kondisi dan perkembangan psikologis anak saat ini maupun di kemudian hari karena labelling masyarakat ikut mempengaruhi pembentukan identitas diri Andikpas. Sehingga untuk mengurangi labelling tersebut, hal yang mungkin bisa dilakukan oleh LAPAS dalam rangka mempersiapkan anak kembali kemasyarakat adalah setidaknya mengadakan program pengabdian masyarakat semenjak anak masih menjalani hukuman pidana. Hal lain yang dapat dilakukan adalah mengubah image LAPAS menjadi rumah rehabilitasi, rumah sosial, rumah singgah, dan sejenisnya. Sehingga tidak ada lagi istilah narapidana, anak nakal, anak jahat untuk anak dalam sistem koreksional.

Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan LAPAS Anak sebagai lembaga koreksional belum cukup menjawab kebutuhan Andikpas selama dalam masa pembinaan. Hasil pembinaan selama di LAPAS Anak Tangerang belum mampu mengubah stigma masyarakat tentang mantan Andikpas, terutama pada Andikpas dari LAPAS Anak khusus Wanita Tangerang. Keadaan mereka mungkin masih sama dengan keadaan Andikpas di daerah lain yang belum memiliki LAPAS khusus anak. Pembinaan sangat kurang dan sangat memungkinkan Andikpas melakukan tindakan kriminal yang lebih buruk lagi saat anak keluar dari LAPAS. Kiranya perlu adanya perubahan dalam memandang pembinaan untuk Andikpas yaitu diarahkan ke arah hasil akhir Andikpas kembali ke masyarakat. Pola pembinaan secara individu oleh tenaga profesional sangat dibutuhkan mengingat latarbelakang, kondisi, dan kebutuhan anak sangat beragam, serta anak masih dalam masa perkembangan yang membutuhkan eksplorasi diri menuju kematangan.

Simpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa LAPAS Anak yang memiliki sarana dan prasarana yang cukup memadai, seperti LAPAS Anak Tangerang, bukan berarti sudah cukup dalam memenuhi kebutuhan Andikpas dari segi hasil pembinaan. Pada pelaksanaan pembinaan masih saja ada yang perlu dibenahi, apalagi untuk menanggani masalah anak, dimana anak merupakan generasi penerus yang patut dilindungi dan dibimbing dengan tepat. Penyimpangan yang dilakukan oleh anak sebenarnya karena perkembangan psikososial anak belum matang sehingga penanganan anak yang melakukan penyimpangan pun sebaiknya diproses secara detail dan hati-hati, apakah anak memang patut memperoleh sanksi pidana atau dapat dikenai dengan sanksi lain seperti rehabilitasi untuk kasus penyalahgunaan narkoba, kerja sosial kepada masyarakat untuk kasus perkelahian, dan intervensi untuk kasus yang dimungkinkan karena adanya gangguan kesehatan mental. Proses ini menjauhkan anak dari resiko negatif akibat labelling atau stigmatisasi negatif terhadap mantan narapidana atau mantan Andikpas. Selain itu, anak akan terhindar dari modeling atau pembelajaran perilaku yang menyimpang narapidana dewasa. Tenaga profesional sangat diperlukan untuk menangani kondisi khusus yang dialami oleh Andikpas, baik saat asesmen maupun selama proses pembinaan.

 

Daftar Pustaka

Amaliawati, Tresna. (2013). Pola Interaksi Komunikasi pada Hubungan Petugas LAPAS dengan Anak Didik Pemasyarakatan (Andikpas): Deskriptif Kualitatif pada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Anak Tangerang. Skripsi. Serang: Universitas Ageng Tirtayasa.

Brown, J.M., Campbell, E.A. (2010). The Cambridge Handbook of Forensic Psychology. USA: Cambridge University Press.

Dien, H.A. (2012). Keterlaluan, Ada Anak Dipaksa Oral Seks Saat BAP. Global Muslim Community [Online]. Diakses dari http://www.globalmuslim.web.id/2012/04/keterlaluan-ada-anak-dipaksa-oral-seks.html

Ditjen PAS. (2014). Data Terakhir Klasifikasi Narapidana Anak Per-UPT pada Kanwil. Sistem Database Pemasyarakatan [Online]. Diakses dari http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly/kanwil/db5b3040-6bd1-1bd1-a252-313134333039

Gie. (2005). Label Napi Anak Sudah Selayaknya Diubah: Sudah Saatnya Pemerintah Memandang Anak yang Bermasalah dengan Hukum Sebagai Korban dan Bukan Selalu Menjadi Pelaku. Hukumonline.com [Online] Diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol12753/label-napi-anak-sudah-selayaknya-diubah

Heniarti, D.D. (1999). Pembinaan Terhadap Narapidana Anak di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Tesis. Semarang: Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.

Helmina. (2007). Pembinaan Anak Didik Pemasyarakatan Kasus Narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang. Tesis. Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia.. Diakses dari http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/16/1d80bcf7878e67c05af4662f782767f83f6da9eb.pdf

Herlina, Apong. Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH). http://www.slideserve.com/caldwell-dunlap/penanganan-anak-yang-berhadapan-dengan-hukum-abh

Kaplan, D.W., dkk. (2001). Health Care for Children and Adolescents in the Juvenile Correctional Care System. Pediatrics. (107.4).

Mendel, R.A. (2011). No Place for Kids: The Case for Reducing Juvenile Incarceration. Maryland: The Annie E. Casey Foundation. Diakses dari http://www.aecf.org/m/resourcedoc/aecf-NoPlaceForKidsFullReport-2011.pdf

Mulyadi, Seto. (2007). Kak Seto Beri Perhatian ke Penghuni Lapas Anak. Kapanlagi.com [Online]. Diakses dari http://www.kapanlagi.com/showbiz/selebriti/kak-seto-beri-perhatian-ke-penghuni-lapas-anak-t3ynpjh.html

Ningtias, Vivi. (2013). Pembinaan Kepribadian terhadap Anak Pidanadi Lembaga Pemasyarakatan Anak Wanita: Studi Kulitatif di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Anak Wanita, Tangerang. Jurnal PPKJ UNJ Online. (1.2)

Pandjaitan, P.I., Widiarty, W.S. (2008). Pemasyarakatan Narapidana. Jakarta: CV. Indhill CO.

Prayitno, Dwidja. (2009). Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama.

Psikologi Zone. (2010). Teori Erikson. Psikologizone [Online]. Diakses dari http://www.psikologizone.com/teori-erikson/06511804

Setyobudi, M.T. (2012). Pembinaan Anak Pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang. Tesis. Jakarta: Fakultas Hukum Program Pascsarjana Universitas Indonesia.

Soetodjo, Wagiati. (2006). Hukum Pidana Anak. Bandung: PT. Refika Aditama.

Steinberg, L., Haskins, Ron. (2008). Keeping Adolescents Out of Prison. Policy Brief Fall. Diakses dari http://futureofchildren.org/futureofchildren/publications/docs/18_02_PolicyBrief.pdf

Sunaryo. (2005). Pelayanan Kesehatan bagi Anak Didik Pemasyarakatan dalam Upaya Pemenuhan Hak Asasi Manusia: Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang. Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia Program Pascasarjana.

Vincent, G.M. (2011). Screening and Assessment in Juvenile Justice Systems: Identifying Mental Health Needs and Risk of Reoffending. Washington, DC: Technical Assistance Partership for Child and Family Mental Health. Diakses dari http://www.tapartnership.org/docs/jjResource_screeningAssessment.pdf

Weiner, I.B., Otto, R.K. (2013). The Handbook of Forensic Psychology: Fouth Edition. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s