Kekerasan pada Anak dalam Film “Beth Thomas: The Child Of Rage”: Analisis cara Identifikasi, Merawat, and Mencegah

Oleh: Mustika Kurniawati

Mahasiswa peserta Mata Kuliah Psikologi Forensik
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

tumblr_me3wab1h1q1ry5xy7o1_500Disadari maupun tidak, kasus mengenai kekerasan pada anak, baik secara fisik, seksual, maupun emosional mulai banyak ditemui di masyarakat. Banyak hal yang bisa melatarbelakangi terjadinya kekerasan, salah satunya kelalaian dan kelengahan perlindungan orangtua. Juga kurangnya wawasan atau pemahaman orangtua terkait pengasuhan dan perlindungan anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan bahwa institusi ini mendapatkan laporan kurang lebih 622 kasus kekerasan anak yang meliputi kekerasan fisik, seksual dan psikis. Kasus-kasus ini terjadi secara akumulasi pada awal Januari hingga akhir April 2014. Menurut Komisioner KPAI, Susanto MA, jumlah kasus kekerasan ini dimungkinkan akan merangkak naik sepanjang 2014. Berikut ini merupakan salah satu kasus kekerasan pada anak yang terjadi di luar Indonesia. Kasus ini akan diceritakan secara menyeluruh mulai dari awal permulaan kekerasan terjadi hingga dampak-dampak yang ditimbulkan serta penyelesaiannya. Penyampaian kasus ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai kekerasan pada anak dan akibat negatif yang ditimbulkan sehingg memungkinkan untuk memunculkan kesadaran pembaca bahwa perlindungan terhadap anak dari kejahatan orang dewasa sangat perlu agar tidak mengganggu tumbuh kembang mereka.

Pengenalan kasus

Esai ini akan mengangkat satu kasus tentang kekerasan seksual pada anak yang cukup populer pada tahun 1989 hingga 90an di Amerika Serikat. Kasus yang melibatkan seorang anak perempuan berusia 6 tahun bernama Elizabeth atau yang biasa dikenal dengan Beth Thomas. Cerita tentang Beth ini sempat dibuat film dokumenter dan ditayangkan di channel HBO dalam acara America Undercover. Diceritakan Beth adalah seorang anak piatu. Ibunya meninggal sesaat setelah melahirkan adiknya, Jonathan. Mereka berdua tinggal bersama ayahnya yang notabene adalah seorang pria yang kejam dan sadis. Ayah Beth yang sering sekali memukuli Beth, yang kala itu masih berusia 1 tahun. Tidak hanya itu, Beth tidak jarang ditelantarkan begitu saja bersama adiknya yang masih kecil. Yang lebih mengejutkan lagi adalah Beth seringkali dipaksa untuk memuaskan nafsu seks ayahnya sendiri. Ketika tidur, Beth seringkali mengalami mimpi buruk tentang seorang pria yang menyakiti anggota tubuhnya. Beth mengatakan bahwa ayah kandungnya seringkali memukulinya dan menyentuh serta menyakiti vagina nya. Saat Beth diminta untuk menunjukkan hasil gambarannya, ia mengatakan bahwa ia takut dan menangis saat itu (saat ayahnya menyakitinya).

Tim dan Jullie telah menikah selama 12 tahun. Tetapi sampai saat itu mereka masih belum dikaruniai anak. Maka, di bulan Februari 1984, mereka memutuskan untuk mengadopsi anak dari departemen pelayanan sosial. Mereka menghubungi pihak departemen dan mengatakan bahwa siap untuk mengadopsi dua orang anak. Akhirnya mereka mengadopsi Elizabeth dan Jonathan yang pada saat itu berusia 19 bulan dan 7 bulan. Mereka merasa sangat bahagia memiliki dua orang anak yang masih kecil. Namun, hal itu berubah menjadi kenyataan yang kurang menyenangkan ketika ternyata mereka mengetahui ada sesuatu yang salah dengan kedua anak angkat mereka. Mereka akhirnya mencoba menggali informasi dari beberapa sumber terkait masa lalu kedua anak angkatnya. Hingga akhirnya diketahui bahwa mereka mengalami penelantaran yang cukup parah. Ketika petugas pelayanan sosial mendatangi rumah asli Beth dan John, mereka ditemukan dalam keadaan yang memprihatinkan. John tergeletak begitu saja di boks bayi dengan diaper kotor, botol kotor dan sekeliling kasurnya juga kotor. Kepala John menjadi datar karena terlalu sering berbaring di boks bayi. Pada usia 7 bulan, John masih belum bisa mengangkat kepalanya dan tampak sangat kekurangan stimulasi atau rangsang. Beth juga ditemukan dengan pakaian lusuh dan tidak terurus.

Mungkin karena seringkali diperlakukan tidak menyenangkan oleh ayah kandungnya, Beth mulai menunjukkan kekerasan yang tidak lazim pada John. Selain sering disakiti oleh Beth dengan memukul kepala, penis serta pantatnya juga disakiti Beth di malam hari. Ia menyakiti penis dan pantat John dengan mencubit, meremas, menendang. Ia terus melakukannya meski John meminta Beth untuk berhenti. Orang tua angkat Beth sampai harus mengunci pintu untuk mencegah Beth menyakiti John terus menerus. John merasa takut bila berdekatan dengan Beth karena tidak ingin disakiti. Alasan mengapa Beth melakukan kekerasan itu kepada adiknya John di malam hari adalah karena ia tidak ingin orangtuanya tahu atau melihatnya melakukan hal itu.

Perilaku tidak lazim lain dimunculkan Beth. Ia sering melakukan masturbasi di beberapa waktu dan tempat tertentu yang tidak tepat hingga terluka dan berdarah. Pernah ia bermasturbasi di rumah sakit, di tempat parkir atau di tempat umum lainnya. Julie, ibu angkatnya mengatakan bahwa Beth melakukannya setiap hari secara konstan. Pernah suatu ketika, Beth menemukan seekor anak burung dalam sangkarnya di pohon. Ibunya berpikir bahwa Beth hanya merasa penasaran dan ingin tahu saja. Namun, tidak disangka bahwa Beth juga melakukan tindak kekerasan terhadap anak burung itu hingga leher anak burung itu patah.

Tindak kekerasan Beth semakin lama semakin menakutkan dan tentunya mengkhawatirkan. Bahkan Beth pernah mengancam hendak membunuh kedua orangtua angkatnya dan John dengan pisau dapur yang didapatnya di rak peralatan makan. Beth akhirnya dipertemukan dengan Dr Ken Magid, psikolog klinis yang ahli dalam melakukan terapi terhadap anak yang mengalami kekerasan yang cukup parah di mana kekerasan tersebut meninggalkan trauma kepada anak di tahun-tahun pertama kehidupannya. Beth didiagnosa mengalami RAD (Reactive Attachement Disorder) atau gangguan kelekatan reaktif. Anak-anak dengan gangguan ini tidak terikat secara emosional dengan orang lain, tidak menerima cinta dan tidak mencintai orang lain, tidak menerima atau memberi kepercayaan pada orang lain, serta tidak peduli terhadap orang lain. Mereka tidak ingin berada di sekitar orang-orang. Perkembangan hati nurani mereka pun terhambat sehingga mereka tega dan tidak merasa bersalah atau menyesal ketika menyakiti seseorang atau bahkan membunuh orang lain meskipun orang terdekatnya.

Sama seperti Beth. Hati nurani Beth tidak berkembang dengan baik sehingga ketika menyakiti seseorang, bahkan orang terdekatnya hingga membunuh, Beth tidak akan merasa bersalah atau menyesal karena telah melakukan tindakan tersebut yaitu ketika ia menyakiti adiknya John, bahkan ia sering mengulanginya hingga terluka. Beth juga tidak segan untuk melakukan tindak kekerasan yang sama kepada anak laki-laki lain seperti yang ia lakukan kepada John.

Pada akhirnya, Dr Ken meminta orangtua Beth untuk hidup terpisah sementara waktu demi kesembuhan psikis dan perilaku Beth dengan memberikan Attachment Therapy. Beth ditempatkan di sebuah rumah, semacam asrama, khusus bagi anak-anak yang cukup berbahaya bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Di sana mereka dibiasakan untuk melakukan keperluannya sendiri seperti makan, mandi, tidur, mencuci peralatan makan, menata pakaian di lemari serta menjaga kerapian kamar tidur. Mereka dikondisikan untuk menerima perintah dari terapis di sana. Bukan dalam konteks yang negatif tetapi karena anak-anak tersebut tidak dapat mempercayai orang lain dan bisa menyakiti, para terapis ingin mengontrol perilaku mereka dengan adanya perintah yang berkaitan dengan keperluan anak itu sendiri. Mereka juga dikondisikan untuk disiplin dalam waktu. Saat waktu tidur datang, mereka diminta untuk memasuki kamar tidur masing-masing dan tidur. Begitu pula untuk waktu makan atau mandi.

Tidak hanya itu, mereka dikondisikan dari sisi spiritualnya juga. Mereka dibimbing untuk berdoa, mempercayai adanya setan dan kejahatan sekaligus Tuhan dan kebaikan. Mereka ditunjukkan bahwa mereka adalah anak yang baik dan tidak melakukan tindakan atau perilaku yang menyakiti orang lain. Selain itu juga mereka akan diberikan pujian ketika mereka melakukan tugas mereka dengan baik. Dengan begitu sedikit demi sedikit mereka akan mengenal dan merasakan cinta kasih, menerimanya dan akan memberi cinta kasih serta kepercayaan pada orang lain.

Setelah beberapa waktu di sana, Beth mengalami kemajuan positif yang cukup baik. Ia sudah bisa mengendalikan perilaku negatifnya dan sudah mulai bisa membedakan mana tindakan yang baik dan mana yang buruk. Ia bisa pergi ke sekolah umum, ke gereja bahkan menyanyi di paduan suara gereja. Pada awalnya pintu kamar tidurnya diberi alarm untuk keselamatan karena masih ada rasa tidak percaya kepada perubahan Beth, hanya untuk memastikan bahwa Beth telah berubah dan menjadi lebih baik. Setelah beberapa saat, Beth menunjukkan perilaku baik yang konsisten, alarm di pintunya pun di lepas. Tidak hanya itu, Beth memiliki peliharaan dua ekor burung yang cantik dalam sangkar yang ia letakkan dalam sisi kamarnya. Ia juga merawat anjing peliharaan keluarga dengan baik. Saat ia diberi pertanyaan tentang siapa saja yang pernah disakiti dan apa perasaannya saat ini ketika mengingat tindakannya tersebut, Beth menangis dan mengatakan tidak ingin membicarakannya (dalam film dokumenter Beth di youtube.com).

Anak dan Kekerasan pada anak

Menurut UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN ANAK NOMOR 23 TAHUN 2002 pasal 1 ayat 1, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Maka dari itu, anak masih memerlukan perlindungan dan pengawasan orangtua maupun orang yang lebih dewasa dan matang secara usia dan emosionalnya.

Kekerasan pada anak merupakan suatu tindakan yang menyakitkan baik secara fisik maupun psikis / emosional anak hingga mengakibatkan trauma, gangguan kesehatan, hambatan perkembangan dan pertumbuhannya, hingga kepercayaan diri anak (IDAI, 2014). Pada kasus Beth, dampak yang muncul akibat kekerasan yang dialaminya adalah hambatan tumbuh kembang secara emosional maupun sosial serta muncul adanya gangguan perilaku.

 

Cara mengetahui kekerasan pada anak

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengetahui apakah anak tersebut mengalami kekerasan. Tentu saja tindak kekerasan yang lebih mudah untuk diidentifikasi adalah kekerasan fisik. Biasanya, kekerasan fisik akan meninggalkan jejak berupa luka atau bekas luka di beberapa bagian tubuh anak, atau lebam bahkan darah. Anak yang mengalami kekerasan biasanya juga akan mengalami perubahan perilaku. Bisa menjadi lebih pendiam dari biasanya, tidak mau bersosialisasi dan menghindari orang lain, secara emosional sangat tidak stabil, mudah marah atau tersinggung, mudah menangis atau bahkan melakukan tindak kekerasan pula terhadap orang lain atau binatang. Seperti yang ditunjukkan oleh Beth. Ketika ia sering diperlakukan secara kejam oleh ayahnya, ia pun memunculkan perilaku yang sama yaitu dengan menyakiti adiknya John juga menyiksa hewan.

Lebih sulit bila harus mengidentifikasi kekerasan seksual pada anak. Tentunya tidak akan tampak secara kasat mata. Namun, bisa diidentifikasi juga dengan perubahan perilaku anak. Sama seperti kekerasan fisik, anak akan menjadi lebih pendiam dari biasanya atau malah melakukan tindakan berbahaya berbau seksual yang tidak pernah dilakukannya sebelum ini. Misal seperti Beth. Ia “mempermainkan” penis adiknya dengan tidak sepatutnya. Juga ia sendiri secara konsisten melakukan masturbasi hingga vaginanya berdarah setiap hari. Adanya kekerasan yang dialami si anak juga bisa diidentifikasi bila anak mengalami mimpi buruk yang cukup sering saat tidur.

Bila melihat kondisi anak yang demikian, orangtua maupun orang di sekitar anak harus cepat tanggap. Mengajak komunikasi anak, bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi, mengapa si anak berperilaku demikian dan apa yang dirasakan juga apa yang ingin dilakukan atau didapatkan. Setelah itu, orang dewasa di sekitarnya bisa mengambil tindakan lebih lanjut untuk menangani permasalahan yang dialami si anak agar tidak terus berlanjut dan tidak mengganggu perkembangan dan pertumbuhan anak berikutnya. Seperti yang telah dilakukan oleh orangtua angkat Beth. Mereka langsung mengambil tindakan untuk mencari tahu mengapa Beth berperilaku demikian dan hingga akhirnya memutuskan untuk membawa Beth kepada psikolog yang kemudian Beth diberikan terapi sesuai untuk kebutuhannya. Akhirnya, Beth pun bisa dipulihkan kondisi psikis dan perilakunya sehingga ia bisa beraktivitas kembali secara normal tanpa harus melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain ataupun dirinya sendiri (dalam idai.or.id).

Cara menangani anak korban kekerasan (kuratif) sesuai dengan kebutuhan (etiologi-treatment)

Cara penanganan anak korban kekerasan ada beberapa macam, tergantung pada etiologinya atau awal bermulanya. Untuk kasus Beth, ia mengalami kekerasan fisik dan seksual yang dilakukan oleh ayah kandungnya sehingga ia pun berlaku demikian terhadap adiknya John. Beth lebih membutuhkan penanganan secara psikologis untuk menanggulangi diagnosanya dan perilaku yang menyertai. Beth didiagnosa RAD dan diberikan Attachment Therapy oleh Dr. Ken dan tim. Di dalam terapi ini, ada beberapa konsep psikologi yang dilibatkan. Salah satunya yang paling tampak adalah behaviorisme. Dengan mengkondisikan Beth untuk melakukan sesuatu hingga akhirnya terbiasa melakukan. Memberikan reinforcement berupa pujian agar Beth mulai memperkuat tindakan baik yang dilakukannya. Yang paling penting adalah pengkondisian untuk mengubah perilaku kekerasan yang selalu dilakukan Beth sebelum mengikuti terapi kelekatan ini.

Tugas yang diberikan kepada Beth merupakan salah satu cara untuk mulai belajar menerima kepercayaan orang lain. Dengan ia mulai menerima kepercayaan orang lain, ia pun akan belajar untuk mempercayai orang lain. Ketika diberikan penguatan atau reinforcement berupa pujian setelah melakukan tugasnya dengan baik, Beth belajar untuk mengerti cinta kasih, memunculkan perasaan dicintai dan dihargai yang kemudian Beth akan belajar pula untuk mencintai dan menghargai orang lain. Sisi spiritual Beth pun tidak luput dari terapi ini. Dibimbing untuk berdoa, pada saat makan misalnya, dan diberikan pengertian mengenai kepercayaan yang dianutnya, akan mengasah dan mengembangkan hati nuraninya. Ia mulai bisa membedakan salah dan benar, yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Ia mulai merasakan penyesalan atau rasa bersalah ketika ia melakukan hal yang tidak seharusnya. Dengan begitu, kemampuan problem solving Beth meningkat sehingga hal-hal yang dialaminya tidak menimbulkan tindak kekerasan, tidak hanya kepada orang-orang disekitarnya tetapi juga kepada hewan.

Secara garis besar, intervensi atau penanganan yang dapat diberikan perlu untuk disesuaikan dengan kebutuhannya. Misal terkait fisik, maka perlu diberikan penanganan fisiologis seperti obat dan penanganan medis. Jika terkait luka batin, trauma atau dampak negatif akibat kekerasan yang dialami, maka perlu diberikan penanganan secara psikologis. Berikut ini gambaran secara umum terkait variasi penanganan anak korban kekerasan.

1. Fisiologis-drug treatment

Bila dampak kekerasan yang dialami anak hingga menimbulkan luka, penyakit bahkan kecacatan fisik maka diperlukan penanganan secara medis dan medikasi secara teratur. Misal luka bekas pukulan, cakaran, bahkan bakar perlu ditangani dengan menggunakan obat minum atau obat luar. Atau misal menimbulkan patah tulang, penyakit fisik hingga operasi maka perlu penanganan yang lebih intensif. Bila diperlukan adanya terapi fisik seperti terapi berjalan, terapi bicara dan sebagainya juga harus segera dipenuhi (dalam idai.or.id).

2. Psikologis-psychological treatment (therapy, counseling and so on)

Pada umumnya, anak korban kekerasan akan mengalami trauma tertentu. Hal ini pasti harus segera diatasi dan ditanggulangi agar tidak mengganggu kehidupan pribadi maupun sosial si anak. Trauma ataupun dampak psikologis akibat kekerasan yang lain bisa dinetralkan atau disembuhkan dengan memberikan terapi tertentu dan konseling. Biasanya kedua hal ini akan saling berkaitan karena merupakan urutan prosedural. Bila si anak mengalami trauma yang cukup mendalam dan sering mimpi buruk atau takut terhadap orang lain, setelah diketahui dari sesi konseling, maka praktisi akan memberikan terapi khusus misalnya terapi dengan kegiatan yang menyenangkan dan mengasyikkan bagi anak seusia korban, menggambar, menyanyi, menulis dan lain sebagainya. Terapi bertujuan untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan anak pasca kekerasan, dengan begitu bisa dimungkinkan intensitas mimpi buruk anak berkurang. Selain itu, kegiatan-kegiatan yang menyenangkan ini bisa menumbuhkan kembali kepercayaannya kepada lingkungan sekitar sehingga tidak takut lagi terhadap orang lain.

Sebagai tambahan, berikut merupakan penjelasan lanjutan terkait intervensi psikologis yang bisa diberikan berdasarkan buku saku yang dirilis oleh Child Welfare Information Gateway (2011).

Intervensi-intervensi dengan target korban kekerasan fisik dan penelantaran (termasuk di dalamnya adalah penelantaran secara emosional dan gangguan kelekatan) yaitu:

  1. Services for new parents

orang tua baru atau pasangan suami istri yang baru saja memiliki anak tentunya belum memiliki pengalaman dan pengetahuan yang memadai terkait cara merawat, menjaga serta mendidik anak dengan baik. Maka dari itu perlu adanya layanan yang memfasilitasi para orangtua baru ini untuk lebih memahami atau mengerti berbagai hal terkait anak.

  1. General parenting education classes

kelas pendidikan terkait pola asuh secara umum juga perlu diberikan agar orangtua memahami peran-peran mereka di hadapan anak dan bagaimana cara menghadapi atau memperlakukan anak dengan sebaik-baiknya agar anak bertumbuh kembang secara optimal. Tentunya bila ada kesalahan atau ketimpangan dalam pola asuh yang diberikan orang tua kepada anak maka akan mengakibatkan dampak tertentu bagi anak.

  1. Parent support groups

kelompok dukungan orang tua ini perlu dikembangkan agar dapat saling memfasilitasi, saling mendukung, saling berbagi pengalaman dan memberikan informasi terkait anak agar permasalahan yang muncul dalam situasi keluarga dapat segera di atasi.

  1. Family resource centers

Pusat informasi keluarga bisa memberikan berbagai fasilitas yang bisa membantu pemecahan permasalahan keluarga.

  1. Crisis intervention services such as hotlines and crisis nurseries (Cohn, 1983)

Layanan intervensi krisis bisa membantu sebagai sarana pelaporan atau pertolongan bagi anak yang mengalami kekerasan sehingga dapat segera ditangani.

Intervensi-intervensi bagi korban kekerasan dan pelecehan seksual, yaitu

  1. Usaha secara universal disusun untuk memberikan pengajaran kepada anak-anak terkait perbedaan mana yang baik mana yang buruk, konsep kepemilikan anggota tubuh atau hak-hak anak untuk mengkontrol siapa yang boleh menyentuh anggota tubuh mereka dan pada bagian mana saja (Wurtele & Miller-Perrin, 1992).
  2. Program edukasi yang mendukung atau memberikan anjuran kepada anak-anak dan remaja yang telah menjadi korban untuk melakukan insiden tersebut dan mencari pertolongan.

Cara menghindarkan anak dari kekerasan seksual (preventif)

Berikut ini merupakan metode yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadi kekerasan pada anak, menurut Child Welfare Information Gateway (2011), yaitu Promising Prevention Strategies

  1. Public Awareness Efforts

Dengan melakukan kampanye-kampanye melalui layanan iklan publik pada televisi, radio, media cetak dan papan iklan terkait pemeliharaan anak yang benar dapat memberikan wawasan kepada masyarakat sehingga masyarakat luas juga ikut memahami dan memberlakukan hal-hal yang dikampanye dan sehingga menghindarkan perilaku-perilaku yang tidak tepat bahkan membahayakan bagi anak.

  1. Child Sexual Assault Prevention Classes

Sebagai usaha pencegahan bagi orang dewasa yang memiliki kemungkinan melakukan pelecehan atau kekerasan perlu dilaksanakan sebuah program pendidikan keamanan yang memberikan informasi atau pengetahuan terkait pelecehan atau kekerasan seksual pada anak, menghindari situasi-situasi beresiko, dan bila terjadi pelecehan atau kekerasan seksual, bagaimana meresponnya atau apa yang perlu dilakukan. Juga perlu didukung dengan adanya program atau kegiatan positif bagi anak-anak yang tentunya memberikan kesempatan bagi mereka untuk belajar dan mengeksplorasi dunia lebih baik seperti pramuka, program rekreasi dan lain-lain.

  1. Parent Education and Support Groups

Kegiatan ini merupakan sarana diskusi antar orang tua yang mendiskusikan berbagai hal terkait pola asuh anak. Tidak hanya itu, kegiatan ini juga merupakan sarana diskusi pengalaman, informasi dan pendapat tentang pendidikan yang tepat bagi anak, membentuk kepribadian dan moral anak serta memantau tumbuh kembang anak. Kemudian, didukung dengan adanya diskusi tentang strategi khusus yang bisa dilakukan untuk membangun komunikasi positif dengan anak sehingga tercipta situasi kondisi yang nyaman bagi anak sehingga bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan akan lebih mudah dikomunikasikan. Kegiatan ini akan didukung dengan adanya praktisi ahli yang akan memantau jalannya diskusi dan memberikan penilaian serta evaluasi untuk perbaikan diskusi selanjutnya.

  1. Kunjungan ke rumah (Home Visitation)

Salah satu cara atau pelayanan yang bisa dilakukan untuk mengecek kondisi anak di rumah yang sebenarnya. Hal ini bisa disediakan atau dilakukan oleh pihak sekolah. Telah ada beberapa sekolah di Indonesia yang sudah melakukan ini. Misal, ketika anak mengalami perubahan perilaku di sekolah, tidak mengerjakan PR, menutup diri, penurunan prestasi akademik, mungkin hal seperti ini patut dicurigai. Bisa jadi ada permasalahan tertentu yang terjadi dan dialami si anak di rumah. Oleh karena itu, pihak sekolah bisa mengirimkan guru pembimbing akademik atau guru konseling dan bisa melibatkan praktisi ahli seperti psikolog, pekerja sosial perlindungan anak dan lain yang relevan untuk berkunjung ke rumah dan melihat secara langsung bagaimana kondisi rumah si anak. Apakah sehat secara fisik maupun mental, lingkungan kondusif atau tidak, bagaimana orangtua memperlakukan anak dan sebagainya.

Hal-hal yang perlu untuk ditinjau dan digali informasinya adalah

  • Riwayat kesehatan ibu dan pola hidup
  • kesehatan anak dan tumbuh kembangnya
  • kepentingan lingkungan seperti pendapatan, situasi rumah dan komunitas kekerasan
  • fungsi keluarga termasuk hubungan antara anak dan orangtua
  • akses terhadap layanan-layanan khusus

Dan berikut aktivitas-aktivitas khusus yang bisa dilakukan

  • melakukan modeling interaksi anak dan orangtua serta strategi manajemen anak
  • menyediakan observasi dan timbal balik sebagai bentuk evaluasi
  • memberikan informasi terkait pola asuh yang tepat dan perkembangan anak
  • melakukan screening dan asesmen formal
  • menyediakan konseling terstruktur

Namun, sayangnya cara ini memiliki beberapa kekurangan. Di antaranya bisa jadi orangtua atau lingkungan rumah, bila merupakan pihak yang melakukan tindak kekerasan, akan memperlihatkan yang tidak sejujurnya. Bisa jadi mereka berpura-pura bahwa keluarga mereka baik-baik saja begitupula dengan anaknya. Atau dengan kata lain, mereka akan cenderung menutup-nutupi kebenaran yang sebenarnya kepada pihak sekolah yang memberikan kunjungan. Selain itu juga, bila memang terjadi sesuatu dan salah satu anggota keluarga yang terlibat, maka anggota keluarga yang lain akan menutup-nutupi karena malu atau takut bila permasalahan ini sampai diketahui oleh orang lain bahkan pihak berwajib (Howard & Brooks-Gunn, 2009).

  1. Community Prevention Efforts

Tidak hanya orang tua saja yang diberikan pemahaman atau pengertian tentang bagaimana memberikan perlindungan kepada anak, namun lingkungan sekitar anak juga perlu dikondusifkan agar memberikan kenyamanan dan keamanan bagi anak. Diperlukan kerjasama yang baik setiap keluarga dalam satu sektor perumahan dengan membangun komunikasi, hubungan baik, kepercayaan sehingga muncul kesepakatan untuk bersama-sama membesarkan dan merawat anak-anak mereka dengan perlindungan dan kasih sayang yang memadai tanpa menciptakan resiko yang akan mengganggu tumbuh kembang anak.

Simpulan

Dengan banyaknya kasus kekerasan pada anak yang terjadi di Indonesia maupun seluruh dunia, khususnya kasus Beth Thomas ini memunculkan keprihatinan dan sangat menyayangkan tindakan keji tersebut. Kita sebagai orang yang berpendidikan dan lebih matang secara emosional seharusnya menyadari bahwa anak-anak harus dilindungi dan dibimbing dengan sebaik-baiknya. Biarkan mereka bertumbuh kembang dan berproses secara positif dan mencapai segala tujuan dan cita-cita mereka di kemudian hari. Selain itu juga, kita harus menyadarkan dan menyebarkan kesadaran bahwa anak bukanlah sarana atau wadah untuk melampiaskan emosi bahkan nafsu birahi. Mereka berhak untuk merasa nyaman, aman, dan dicintai. Orangtua dan orang dewasa di sekitar anak perlu untuk menjaga hubungan dan kelekatan yang positif dengan anak sehingga memungkinkan untuk menghindari adanya kekerasan menimpa anak-anak tersebut.

Penulis sendiri, selaku civitas academica psikologi, perlu untuk mempelajari lebih lanjut terkait hal-hal yang bisa membantu dan mendukung pencegahan maupun penanganan anak korban kekerasan. Memberikan solusi-solusi kreatif dan solutif juga peran serta atau keterlibatan aktif dalam penanggulangan kasus demikian.

children needs to be protected and nurtured. Let them shine and face the world in their own way. Do not break their rhytm.

-amuletta white-

 

DAFTAR PUSTAKA

Author. (2014, Juni 16). http://nws.okezone.com/read. Dipetik Oktober 1, 2014, darihttp://news.okezone.com:http://news.okezone.com/read/2014/06/16/337/999726/2014-ada-622-kasus-kekerasan-anak

Child Welfare Information Gateway. (2011). Child Maltreatment Prevention: Past,Present, and Future. Washington Dc: Department of Health and Human Services.

DPR-RI. (2002). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK. JAKARTA: Pemerintah Republik Indonesia.

Monte (Sutradara). (1989). The Child of Rage [Gambar Hidup].

Sekartini, R. (t.thn.). http://idai.or.id/public-articles/seputar-kesehatan-anak. Dipetik Oktober 1, 2014, dari http://idai.or.id: http://idai.or.id/public-articles/seputar-kesehatan-anak/bagaimana-mencurigai-tindak-kekerasan-pada-anak-child-abuse.html

Howard, S.K & Brooks-Gunn, J. (2009). The Future Of Children: Preventing Child Maltreatment- The Role of Home Visiting Program in Preventing Child Abuse and Neglect. Princeton-Brookings.

 

Satu komentar di “Kekerasan pada Anak dalam Film “Beth Thomas: The Child Of Rage”: Analisis cara Identifikasi, Merawat, and Mencegah

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s