Mendampingi anak dengan trauma di Sekolah
Oleh: Margaretha
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya
Anak yang mengalami krisis atau tekanan besar dalam hidupnya dapat mengalami trauma. Anak dengan trauma dapat mengalami problem, seperti: sulit tidur, mimpi buruk, menjadi sangat bergantung pada orang lain, atau menjadi menjauh/menarik diri dari orang lain, sulit makan, berperilaku agresif, dan frustasi. Di sekolah, juga bisa muncul masalah perilaku seperti: sulit konsentrasi, dan kesulitan mengikuti instruksi di kelas dan bekerja/belajar dalam kelompok. Sayangnya, problem perilaku ini dapat membuat orang dewasa di sekitar anak salah paham bahwa anak mengalami kesulitan belajar, kesulitan konsentrasi atau gangguan kecemasan biasa. Akibatnya, Guru tidak bisa memahami masalah anak dan kurang dapat memberikan bantuan yang sesuai dengan kebutuhan anak.
Trauma dapat mempengaruhi proses belajar, perilaku anak dan juga interaksi anak dengan orang-orang di sekelilingnya. Oleh karena itu, Guru perlu memahami apa trauma dan bagaimana mendampingi anak dengan trauma di sekolah. Guru juga perlu membekali diri untuk mampu membantu anak didiknya yang mengalami trauma agar bisa belajar walaupun sedang berada dalam situasi krisis. Tulisan ini menguraikan mengenai apa trauma pada anak usia sekolah dan strategi yang dapat dilakukan Guru di sekolah untuk mendampingi anak dengan trauma.
Trauma anak
Trauma adalah pengalaman krisis yang tiba-tiba/tidak diantisipasi yang menyebabkan munculnya perasaan takut luar biasa dan dapat berkaitan dengan ancaman hidup dan bahaya fisik pada seseorang (NCTSN, 2016). Secara umum, respon anak terhadap trauma adalah munculnya perasaan cemas akan keselamatan diri dan orang di sekitarnya. Anak dengan trauma melaporkan bahwa mereka sering mengingat peristiwa krisis secara berulang-ulang, muncul perasaan bersalah atau malu tentang apa yang mereka lakukan atau tidak lakukan pada saat krisis tersebut, mereka juga biasanya tidak mampu mengelola perasaan cemasnya, bahkan kewalahan dengan emosi sedih dan kecemasannya.
Trauma bukan hanya sekedar persoalan kekerasan, seperti: pemerkosaan, kekerasan fisik, psikis dan seksual, atau mengalami bullying. Trauma bisa juga terjadi karena pengalaman meninggalnya orang yang dikasihi, pergantian pengasuh, perceraian orang tua, pindah rumah/sekolah, atau terlalu banyak les/tugas sekolah. Berbagai bentuk stress/tekanan yang membuat sistem stress tubuh manusia terus bekerja selama minimal 4-6 minggu bisa disebut sebagai stress pasca trauma (National Institute for Trauma and Loss in Children; TLC, 2016). Pada masa kini, terdapat peningkatan jumlah anak yang mengalami trauma (TLC, 2016).
Efek trauma pada masa kanak
NCTSN menguraikan bahwa pengaruh trauma dapat terjadi secara khas pada tiap tahap perkembangan masa usia sekolah.
- Usia Pra-sekolah. Trauma dapat menyebabkan kemunduran perkembangan psikologis anak, misalkan: setelah trauma anak menjadi suka ngompol, menghisap jempol, dan berbicara dengan kata-kata yang lebih sederhana dari yang telah mampu dicapainya sebelumnya. Mereka juga bisa tampak lebih tergantung/tidak mau lepas dari orang tuanya, dan cemas sekali jika berpisah dari orang tuanya. Anak juga bisa mudah mengalami ledakan emosi (temper tantrum) dan mudah menangis serta sulit ditenangkan. Beberapa anak dapat menunjukkan gejala regresi, seperti: pasif, menarik diri, bahkan mutis (sama sekali tidak mau bicara). Biasanya anak juga mengalami kesulitan tidur dan mimpi buruk. Cara yang dapat dilakukan untuk membantu anak memproses kejadian traumatiknya adalah permainan pasca trauma (post-traumatic play).
- Usia Sekolah dasar. Anak usia sekolah dasar dapat mengungkapkan beberapa gejala fisik, seperti: sakit kepala, sakit perut, dan nyeri. Anak juga dapat menampilkan perubahan perilaku seperti: mudah tersinggung, agresif, dan meledak marah. Secara koginitif, anak bisa tampak kurang konsentrasi, sering absen dan turunnya prestasi akademis. Beberapa anak juga bisa menunjukkan obsesi pada peristiwa traumatisnya, dengan terus-menerus membicarakan traumanya dan bertanya terus-menerus tentang kejadian traumanya. Beberapa anak juga bisa menampilkan gejala perubahan yang tidak konsisten, hal inilah yang menyulitkan untuk memahami gejala trauma anak.
- Usia Sekolah menengah-akhir. Pada usia ini, anak telah memiliki kesadaran diri yang lebih berkembang. Anak juga lebih mampu memahami perasaan yang dialaminya. Mereka cenderung mengembangkan perasaan bersalah dan malu atas kejadian trauma yang dialaminya. Pada beberapa anak dapat terjadi perubahan drastis pada cara pandang mereka terhadap dunia, misalkan: “dunia bukan lagi tempat yang aman.”, bahkan karena hal ini, beberapa anak bisa melakukan perilaku yang membahayakan dirinya sendiri. Anak juga bisa memunculkan perubahan dalam hal prestasi akademis, relasi dengan orang-orang di sekitarnya, persoalan absensi, dan perilaku bermasalah di sekolah.
Secara umum, trauma menghambat rutinitas belajar bagi anak. Anak dengan trauma bisa menampilkan emosi yang meledak-ledak di kelas, turunnya nilai/prestasi akademik, sulit konsentrasi, perilaku maladaptif dan merusak di sekolah, sering tidak hadir di sekolah. Dan hal-hal tersebut dapat dihindari atau diturunkan jika Guru dan pihak terkait memberikan bantuan dan layanan penanganan trauma bagi anak di skeolah.
Merespon trauma anak
Dalam kelas, Guru perlu melakukan identifikasi siapa anak yang beresiko mengalami trauma atau sedang mengalami trauma. Guru mengamati perubahan perilaku dan gejala emosional anak yang menjadi indikator terjadinya reaksi stress traumatik.
Selanjutnya, Guru yang terlatih dapat memberikan Bantuan Psikologis Pertama (Psychological First Aid) bagi anak dengan trauma. Psychological First Aid bertujuan untuk membangun resiliensi anak menghadapi traumanya, dengan juga mengakui pengalaman traumatik yang dialaminya. Hal yang penting dilakukan Guru dalam Psychological First Aid adalah membangun persepsi anak bahwa ia berada dalam lingkungan yang sungguh aman. Selanjutnya, anak akan diajak untuk memahami apa saja reaksi alamiah manusia menghadapi stress/trauma, lalu anak dibantu untuk mengekspresikan perasaannya dan membantu anak untuk bisa mengidentifikasi pemicu traumanya serta cara-cara untuk mengelola kecemasannya tersebut (NCTSN, 2016).
Proses ini sering berlanjut dengan konseling. Guru dapat merujuk anak yang membutuhkan bantuan konseling lanjutan pada professional, seperti: konselor sekolah, psikolog klinis, atau terapis trauma anak dan remaja. Jika anak mendapatkan bantuan yang sesuai dengan kebutuhannya, maka dapat menurunkan munculnya perilaku bermasalah pada anak dengan trauma (NCTSN, 2016).
Strategi Guru mendampingi anak dengan trauma
Jika Guru tidak memahami berbagai bentuk trauma, Guru bisa menjadi kurang peka pada anak, dan menganggap apa yang dialami anak bukanlah trauma. Perlu dipahami, persepsi trauma dialami oleh anak, dan sering anak mengalami kecemasan besar atas suatu situasi yang mereka persepsikan sebagai besar dan mereka merasa tidak berdaya menghadapinya. Maka Guru perlu memahami trauma dari perspektif si anak. Guru sebaiknya tidak menilai trauma anak, misalkan bekata: “ah jangan khawatir, itu kan hal kecil. Begitu saja kok kamu takut. Ga usah takut.” Kata-kata seperti ini bisa membuat anak tidak mempercayai Guru, karena merasa tidak dipahami.
National Institute for Trauma and Loss in Children (TLC, 2016) menguraikan beberapa hal penting yang perlu dipahami Guru ketika berhadapan dengan anak yang mengalami trauma di sekolah. Beberapa di antaranya adalah:
- Anak dengan trauma berperilaku sulit bukan untuk mengetes kesabaran Guru atau orang di sekitarnya. Pikiran anak dengan trauma sering diisi dengan kecemasan atau masalah yang terjadi di rumahnya, maka ia akan memunculkan problem perilaku karena kecemasannya tersebut. Guru perlu memahami hal ini. Maka, ketika anak dengan trauma dating terlambat atau tidak mengerjakan pekerjaan rumah, alih-alih memarahi anak, Guru perlu mengingatkan tegas dan membantu anak untuk menyelesaikan tugasnya. Untuk dapat membantu anak dengan trauma yang mengalami problem perilaku, maka Guru perlu menyadari bahwa anak berperilaku sulit bukan untuk mengetes kesabaran Guru. Namun, melihat anak dengan trauma sebagai anak yang membutuhkan bantuan.
- Guru/orang lain tidak perlu tahu apa akar/penyebab trauma secara detail untuk dapat menolong anak. Kecenderungan budaya kelompok yang sering terjadi adalah banyak orang di sekeliling anak akan bertanya apa yang telah terjadi, apa akar masalahnya. Pertanyaan detail tentang trauma yang dilakukan terus-menerus malah bisa menjadi tekanan baru bagi anak, seperti proses trauma ulang (retraumatization). Alih-alih berperan sebagai penyelidik trauma secara mendetail, maka Guru perlu fokus menghadapi apa yang terjadi pada saat ini saja. Perlengkapan utama Guru untuk berhadapan dengan anak dengan trauma adalah empati dan fleksibilitas. Sekolah juga perlu mengembangkan kode etik kerahasiaan untuk bekerja dengan anak dengan persoalan trauma. Hal ini untuk menghindari bocornya rahasia anak dan mengurangi kemungkinan pergunjingan yang tidak perlu.
- Anak dengan trauma sering cemas memikirkan masa depan atau apa yang akan terjadi kemudian. Cara menghadapi kecemasan masa depan adalah dengan melakukan antisipasi. Pengelolaan jadwal kegiatan dapat memberikan perasaan antisipasi, karena anak tahu apa yang akan dilakukannya dalam beberapa waktu ke depan. Oleh karena itu, Guru perlu membuat jadwal yang jelas dan mudah dipahami oleh anak dengan trauma. Kadang, jadwal abstrak secara verbal saja tidaklah mudah dipahami anak. Maka, Guru bisa membuat jadwal secara visual yang lebih mudah dipahami anak, misalkan: membuat papan jadwal dengan alat bantu visual pelajaran dan aktivitas yang akan dilakukan secara berturut-turut dalam 1 hari. Dengan hal ini, anak dengan trauma bisa mengantisipasi apa yang akan dilakukannya di kelas. Selain itu, ajari anak juga teknik relaksasi, seperti: latihan pernapasan sederhana dan melemaskan otot seperti stretching.
- Trauma berpengaruh negatif pada belajar. Dalam kondisi stress anak akan kesulitan belajar. Anak dengan trauma biasanya akan kesulitan belajar kecuali mereka mendapatkan situasi belajar yang penuh penerimaan dan mendukung mereka. Guru bisa melakukan hal-hal di kelas yang menurunkan kecemasan anak, dan hal inilah yang akan membantu anak dengan trauma untuk lebih bisa belajar.
- Anak dengan trauma dapat mengalami kesulitan pengelolaan diri. Kebanyakan kasus trauma anak yang bekepanjangan dialami anak dari keluarga yang kurang memahami atau kurang memperhatikan anak (unavailable). Anak dengan trauma berkepanjangan juga biasanya kurang mampu mengendalikan perasaan mereka (unable to self soothe), akibatnya mereka dapat melakukan perilaku yang maladaptive atau bermasalah ketika mengalami trauma/stress. Oleh karena itu, bantu anak untuk mampu mengelola stressnya. Semakin banyak tugas akan meningkatkan stress anak di sekolah. Berikan waktu bagi anak untuk istirahat atau mengisi ulang energinya di antara aktivitas di kelas, misalkan: minum atau merebahkan kepala di kelas ketika butuh rehat. Guru dapat membuat break/istirahat di antara tugas yang harus dilakukan anak di kelas. Hal ini dapat membantu anak untuk bisa mengatur responnya terhadap stress.
- Kadang Guru perlu terbuka menanyakan apa yang bisa ia bantu pada anak. Untuk dapat tepat membantu anak, Guru dapat menanyakan langsung pada anak tentang apa yang bisa dibantu agar mereka bisa menyelesaikan tugas sekolahnya, misalkan: “Apa yang bisa Ibu Guru bantu?” Hal ini membangun perasaan positif bagi anak karena ia merasa didukung dan dipahami. Jika anak tidak menjawab, mungkin ia juga membutuhkan waktu untuk menjawab pertanyaan terbuka seperti ini. Berikan anak waktu, namun penting agar anak merasa bahwa ia dapat meminta bantuan dan percaya pada Gurunya.
- Dukungan pada anak dengan trauma bisa meluas hingga lingkungan di luar sekolah. Guru dapat bekerjasama dengan orang-orang di sekitar anak, terutama cara-cara dan strategi penanganan trauma pada anak. Misalkan, memberitahu pada penjemput anak/supir antar-jemput agar lebih peka terhadap perilaku anak. Hal ini dapat membantu anak di lingkungan yang lebih luas lagi. Semakin banyak orang yang berempati dan mendukung anak dengan trauma akan membuatnya menjadi lebih aman dan nyaman untuk melanjutkan hidupnya pasca trauma.
- Anak dengan trauma perlu mengalami perasaan berdaya dan mampu. Guru perlu membantu anak untuk keluar dari perasaan tidak berdaya yang khas dalam proses trauma. Maka anak perlu diberikan kesempatan untuk berproses untuk membuat tujuan, berusaha mencapai tujuan dan sukses mencapai tujuannya. Berikan aktivitas yang mampu dilakukan anak dengan berhasil, agar anak dapat mengalami keberhasilan yang akan menghasilkan perasaan berdaya dan mampu. Biarkan anak mengalami keberhasilan karena usahanya. Penting dipahami bahwa yang dibutuhkan anak bukan hanya sekedar pujian semata, namun pengalaman berhasil atas usahanya sendiri.
Pemulihan trauma
Sebagian besar anak akan pulih dari trauma secara alamiah, dengan proses dan kecepatan pemulihan yang berbeda-beda satu dengan yang lain (dipengaruhi oleh bentuk trauma, kemampuan coping/pengelolaan masalah, usia, pengalaman trauma sebelumnya, temperamen anak, dll.)
Namun Guru dapat membantu proses alamiah ini agar dapat berlangsung secara lebih optimal. Berikut adalah beberapa hal yang perlu dilakukan untuk pemulihan anak dengan trauma:
- Menjaga rutinitas: pada usia sekolah, rutinitas sekolah memberikan rasa aman yang besar bagi anak yang mengalami trauma. Karena dengan rutinitas aktivitas sekolah anak mendapatkan perasaan “normal”. Aktivitas sekolah juga dapat menjadi wadah berbagi pengalaman bagi anak dan saling memberikan dukungan antara satu dengan yang lain. Hal-hal ini dapat mendukung terjadinya pemulihan bagi anak.
- Menggunakan dukungan komunitas: sekolah dapat bekerjasama dengan komunitas untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi anak. Contohnya: pembangunan kembali lingkungan dapat memberikan perasaan aman bagi anak yang trauma pasca bencana; atau berkembangnya sistem buddy dan pengawasan Guru selama jam bermain yang mencegah terjadinya bullying di sekolah dapat menumbuhkan perasaan aman bagi anak yang mengalami trauma bullying.
Simpulan
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendampingan anak dengan trauma di sekolah adalah hal yang penting. Guru perlu menguasai strategi pendampingan anak dengan trauma di sekolah, terutama agar anak merasa aman dan nyaman belajar dan beraktivitas di sekolah. Oleh karena itu, sudah selayaknya layanan pendampingan dan pemulihan trauma dikembangkan dan disiapkan di setiap sekolah. Layanan pendampingan dan pemulihan trauma bisa diperuntukkan bagi anggota sekolah yang membutuhkan (misal: murid, Guru, keluarga dan staf di sekolah).
Lebih lanjut, perlu dipahami walau Guru adalah orang diandalkan untuk berhadapan secara langsung dengan anak, namun Guru tidak harus memberikan treatmen psikis pada anak. Treatment psikis khusus harus diberikan oleh tenaga kesehatan mental profesional (konselor sekolah, psikolog, terapis trauma anak dan remaja). Guru bisa melakukan perujukan pada kasus-kasus yang membutuhkan penanganan intensif.
Terakhir, sekolah juga perlu membangun kerjasama internal (dengan sesama staf sekolah) dan eksternal (keluarga, komunitas) untuk mempersiapkan dan melakukan pendampingan pemulihan trauma. Hanya dengan kerjasama demikian, maka anak akan mendapatkan bantuan yang komprehensif untuk melanjutkan hidup dan belajar pasca trauma.
Referensi:
The National Institute for Trauma and Loss in Children (2016). 10 Things About Childhood Trauma Every Teacher Needs to Know. Diunduh dari: http://www.weareteachers.com/blogs/post/2016/02/24/10-things-about-childhood-trauma-every-teacher-needs-to-know
Trauma sensitive schools (2016). Helping traumatized Children Learn. Diunduh dari https://traumasensitiveschools.org
National Child Traumatic Stress Network (2016). The effect of trauma on school and learning. Diunduh dari http://www.nctsn.org/resources/audiences/school-personnel/effects-of-trauma
Post nya bermanfaat dan membantu tugas-tugasku. semoga ilmu yang diberikan bermanfaat.
Terima kasih
Heloi dok…mau tanya,Anak saya usia 4 th 3 bulan,sudah saya masukan sekolah prasekolah yaitu PAUD,karena dari pada dirumah dia tidak ada teman,2 minggu pertama dia sangat senang sekolah,pada minggu ketiga dia menangis disekolah karena tidak bisa menunjukan angka yg disuruh gurunya,ke esokan harinya anak jadi kurang percaya diri sekolah,sudah tidak mau lagi ditinggal,dia ingin ditunggui sampai kelas usai,apakah ini termasuk trauma?bgmn mengatasinya supaya kepercayaan dirinya kembali,dan merasa nyaman disekolah,dan mau diyinggal seperti biasany?
Mohon maaf terlambat balas,
belum tentu ini trauma, mungkin karena dia mengalami pengalaman yang belum menyenangkan di sekolah. Coba dibantu agar dia merasa berhasil dan memiliki teman di sekolah. misalkan: ajak dia mengerjakan tugas di sekolah, lalu puji ketika berhasil menyelesaikan. bantu dia berteman, dengan mencontohkan cara berteman dan bagaimana berbicara dengan teman atau bermain dengan teman, jika ia sudah bisa, perkuat dengan reinforcement pujian bahwa dia berhasil karena dia berani dan pandai berteman. buat harga dirinya meningkat dan yakin bisa belajar dan berteman di sekolah. dengan demikian ia lebih mungkin mendapatkan pengalaman menyenangkan di sekolah. semoga membantu.