Mengelola Perilaku Sulit Anak dengan Autisme dengan Rancangan Dukungan Perilaku (Behavior Support Plan)

Mengelola Perilaku Sulit Anak dengan Autisme dengan Rancangan Dukungan Perilaku (Behavior Support Plan)

Margaretha

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Materi diperoleh dalam Masterclass: Advanced behavior workshops oleh Autism Association of Western Australia oleh Joan Mc Kenna Kerr dan Tasha Alach di Surabaya pada tanggal 17-19 Juli, 2017.

 

N9388048angry-child-boy.jpg

Carol diajak oleh Ibunya ke toko. Carol ingin lebih lama di toko, namun Ibu segera mengajaknya pulang karena ia ingin segera pulang ke rumah. Segera setelah diajak pulang, Carol merajuk duduk di lantai dan tidak mau bergerak. Agar Carol mau pulang, maka Ibu mengatakan bahwa kalau Carol mau pulang, maka nanti setelah makan malam mereka akan pergi lagi keluar rumah. Namun, karena merasa sudah terlalu larut, maka Ibu memutuskan untuk tidak jadi keluar rumah. Carol menjadi marah, dan tantrum. Lalu, Carol mulai menggigiti tangannya sendiri, berteriak dan mulai melempari barang-barang. Ibunya menjadi sangat bingung menghadapi perilaku sulit Carol. Ibu ingin menghentikan ledakan emosi dan perilaku menggigit Carol karena dianggapnya berbahaya karena bisa membuatnya luka. Ibu memegang Carol dan bilang jangan gigit. Tapi tiba-tiba, Carol menggigit Ibunya. Ibunya terkejut dan menjauh dari Carol. Melihat anaknya dari kejauhan, ia bingung, apa yang harus dilakukan?

What-to-do-during-a-meltdown.jpg

Dalam berhadapan dengan anak dengan autisme, kita sering melihat anak menunjukkan perilaku sulit (difficult behavior/challenging behavior), seperti: tantrum, agresi, menangis, ledakan emosi atau menarik diri. Tantrum dan agresi adalah beberapa problem perilaku yang sering dilaporkan orang tua sebagai maslaah terberat pada anak dengan autisme.

Perilaku sulit terjadi karena suatu alasan. Kadang alasan munculnya perilaku sulit sangat spesifik dan terkait dengan latar belakang situasi perilaku itu sendiri. Maka penting untuk memahami apa alasan perilaku sulit muncul agar kita bisa melakukan intervensi. Rancangan dukungan perilaku (behavior support plan) dikembangkan untuk memberikan panduan intervensi pencegahan perilaku sulit dan krisis dalam intervensi autisme.

Tulisan ini akan menguraikan prinsip-prinsip dasar penanganan perilaku sulit pada anak dengan autisme dengan menggunakan pendekatan rancangan dukungan perilaku.

 

Mengapa muncul perilaku sulit?

Anak dengan autisme biasanya memunculkan perilaku sulit karena sedang mengalami stress dan hal ini bisa membuahkan munculnya perilaku sulit.. Penyebab stress biasanya sebagai berikut:

  1. Terbatasnya kemampuan komunikasi (limited communication ability). Kesulitan komunikasi membuat anak frustasi karena kesulitan memahami dan dipahami.
  2. Pemahaman sosial dan kelemahan kemampuan sosial (impaired social understanding) membuat situasi sosial menjadi cukup menekan (stressful) bagi anak.
  3. Anak dengan autisme memiliki karakteristik sensoris yang membuat mereka sering merasa kewalahan dan stress dengan stimulus sensori (sensory disturbances), baik kurang terstimulasi atau mendapatkan stimulus berlebihan.
  4. Minat anak dengan autism yang terbatas dan obsesinya pada rutin (restricted range of interest and activities), membuat mereka mudah merasa frustasi jika ada perubahan jadwal rutinnya, dan juga sulit mengalikan diri dari minat terbatasnya.
  5. Anak-anak dengan autisme juga mengalami kesulitan bahkan stress dalam mengelola dirinya terutama ketika menghadapi tantangan dan persoalan (problem with self regulation and coping strategies).
  6. Masing-masing individu dapat memiliki sumber atau pemicu stress yang unik (individual triggers). Hal ini perlu diidentifikasi agar memahami apa dan bagaimana strategi intervensinya.

 

Rancangan dukungan perilaku (behavior support plan)

Rancangan dukungan perilaku adalah suatu perencanaan yang digunakan untuk mengarahkan cara-cara dan strategi untuk membangun perilaku positif untuk menggantikan perilaku sulit atau berbahaya. Rancangan ini termasuk strategi mengajarkan perilaku baru, meningkatkan komunikasi, memperbaiki relasi, dan penggunaan teknik intervensi klinis. Rancangan dukungan perilaku juga berguna sebagai panduan agar intervensi dijalankan secara konsisten.

Ada beberapa komponen penting dalam rancangan dukungan perilaku, yaitu:

  1. Informasi mengenai anak (apa yang anak bisa lakukan, kekuatan anak dan minat/kesukaan anak). Hal ini dibutuhkan sebagai sumber acuan mengenai aktivitas apa yang dapat digunakan dalam pembentukan intervensi.
  2. Apa penyebab stress dan perilaku sulit anak (apa penyebab stress anak). Hal ini penting diidentifikasi. Terutama untuk pendekatan pencegahan, maka faktor penyebab stress perlu dihindari.
  3. Tanda-tanda anak sedang mengalam stress (tanda perilaku, intonasi, ekspresi dan gerak tubuh anak yang menunjukkan anak sedang berada dalam kondisi stress). Hal ini perlu dikenali agar terapis paham kapan anak sedang mengalami stress, kapan memberikan intervensi, serta apa yang perlu dilakukan.
  4. Strategi yang perlu dilakukan pada fase stress mulai meningkat (eskalasi). Utamanya dalam fase ini adalah pendekatan pengalihan (redicrecting), menggunakan alat/aktivitas lain yang dapat mengalihkan fokus anak dari krisis yang dialaminya.
  5. Managemen krisis. Ketika krisis sudah terjadi maka pendekatan utama adalah memberika ruang bagi anak untuk mengekspresikan stressnya.
  6. Tindakan menjamin keamanan dan keselamatan anak. Seiring dengan itu, terapis juga mengawasi dan menjamin bahwa anak aman, atau tidak ada ancaman keselamatan bagi anak dan orang di sekitarnya (misalkan: memastikan anak menangis di ruangan yang tidak banyak barang berbahaya).

Dalam pelaksanaan rancangan dukungan perilaku, berbagai kasus krisis dan penanganannya (baik yang berhasil dan tidak berhasil) perlu dicatat. Hal ini juga dapat digunakan sebagai acuan belajar dan mengembangkan kesiapan terapis dan kelompok terapis untuk memahami apa strategi yang berhasil dan yang tidak berhasil.

Sering tanpa disadari, terapis atau orang tua lebih menggunakan pendekatan disiplin ketika berhadapan dengan perilaku sulit, misalkan: memberikan hukuman karena dianggap nakal. Hal ini dianggap lebih mudah daripada mencoba memahami perilaku secara utuh dan baru menyusun intervensi spesifik (seperti yang dilakukan dalam rancangan dukungan perilaku). Namun, pada jangka panjang, hampir dapat dipastikan, disiplin yang tidak tepat tidak akan menyelesaikan perilaku sulit anak. Maka, terapis perlu menyusun rancangan dukungan perilaku untuk dapat menyelesaikan problem perilaku secara secara tepat dan konsisten.

 images-5.jpeg

Tahapan mengelola perilaku sulit dalam masa krisis anak:

Berikut adalah tahapan untuk mengelola perilaku sulit:

Fase 1: mengenali tanda-tanda stress (identifying the signals of distress)

Sebelum terjadi ledakan emosi, perlu dilakukan pemetaan situasi hidup anak sehari-hari untuk menemukan hal-hal apa saja yang membuat anak akan menjadi stress (prediktor), mengidentifikasi perilaku apa saja yang menjadi tanda bahwa anak sedang mengalami stress (indikator).

Maka terapis perlu melakukan:

  1. Cara unik individu dlaam mengekspresikan stress, kecemasn dan agitasi
  2. Mencari tanda stress dalam bentuk kata-kata, perilaku, ekspresi emosi.

 

Fase 2: merubah arah (redirection)

Ketika anak mulai menunjukkan perilaku yang menjadi indikator stress, maka terapis perlu melakukan pengalihan kegiatan atau disebut sebagai merubah arah kegiatan. Hal ini dilakukan agar anak tidak terus mendapatkan paparan stress atau mengalami peningkatan emosi yang berlebihan. Terapis bisa mengarahkan anak ke ruang sumber, atau melakukan aktivitas yang tidak terlalu menuntut energi mental anak, atau anak diberikan sesuatu yang disukainya agar anak menjadi lebih tenang.

Maka terapis perlu segera melakukan:

  1. segera setelah tanda stress muncul, maka terapis perlu mengalihkan perhatiannya.
  2. perlu segara mencari aktivitas lain yang disukai oleh anak (memperluas eksplorasi sensori/pengalaman anak)

 

Fase 3: menyediakan kemarahan memuncak (provide escalation)

Ketika anak sudah masuk dalam fase puncak emosi, maka orang di sekeliling anak perlu memberikan ruang agar anak bisa mengeluarkan emosinya. Bukan ditahan atau dihentikan. Dalam fase ini, emosi harus dikeluarkan. Menahannya anak untuk menampilkan emosinya yang telah meledak malah bisa membuat situasi tambah buruk. Terapis juga jangan melanggar batas pribadi anak, dengan mendekap atau menahan anak, karena itu bisa menjadi pelanggaran batas sensoris anak dan akhirnya menjadi tekanan tambahan bagi anak (sumber stress tambahan).

Maka terapis perlu melakukan:

  1. Jangan bicara terlalu banyak
  2. Kurangi tekanan dan stimulus sensoris
  3. Jangan intrusif/terlalu masuk dalam ruang pribadi anak atau terlalu mengatur

 

Fase 4: Mengelola krisis (managing a crisis)

Ketika anak sedang berada dalam krisis, maka ada perlu dilakukan cara-cara untuk segera mengembalikan situasi ke dalam keadaan tenang dan aman. Untuk menyelesaikan krisis, perlu dilakukan usaha-usaha untuk mengurai krisis, dengan cara: berbicara dengan sederhana (lebih sedikit kata, tidak menggunakan kata-kata sulit), berikan instruksi yang jelas yang positif, atau sampaikan apa yang perlu dilakukan bukan apa yang tidak boleh dilakukan, contohnya: sampaikan “turunkan tanganmu” bukan “jangan memukul”. Hal ini akan membantu menjadi anak lebih mudah untuk memahami instruksi.

Terapis perlu melakukan:

  1. Tidak kaku untuk memaksa anak untuk terus melakukan aktivitas.
  2. Mengurangi tekanan atau stimulus sensoris anak, misalkan: anak boleh tidak duduk di kelas dulu, dan pergi ke ruang sumber. Tujuan utama untuk membuat anak tenang dan aman.
  3. Dalam krisis bukan waktunya mengajarkan suatu hal baru (crisis is not a time to teach). Kemampuan anak untuk mendengarkan dan memahami akan menurun/tidak maksimal.
  4. Jangan memaksa masuk dalam batas pribadi anak yang sedang mengalami krisis. Ini akan menjadi sumber stress tambahan.

 

Fase 5: Pemulihan setelah krisis (recovery)

Ketika anak mulai berhenti tantrum atau berhenti menangis, terapis perlu memahami cara-cara yang efektif untuk memastikan bahwa krisis reda. Terkadang kita tidak sadar melakukan perilaku yang niatnya menurunkan perilaku malah berakibat sebaliknya, misalkan: bertanya pada anak apa perasaannya setelah menangis; hal ini bisa jadi malah memicu ulang krisis dan membuat anak menangis kembali.

Terapis perlu melakukan:

  1. Menurunkan intensitas interaksi
  2. Tidak melakukan hal-hal yang dapat memancing ulang krisis muncul lagi
  3. Tidak memberikan komentar negatif
  4. Mengajak anak berinteraksi dan terlibat dalam aktivitas ketika anak siap
  5. Menghindari membicarakan kembali peristiwa krisis yang baru saja terjadi

 

Kapan mengintervensi?

Periode dan bentuk intervensi sangatlah saling terkait. Pada fase tertentu, maka akan dibutuhkan strategi khas yang paling tepat untuk menarget perilaku (lihat gambar 1). Secara garis besar, ada 4 fase waktu dan hal ini akan mempengaruhi strategi apa yang paling tepat untuk dilakukan.

  1. Tenang (calm). Para fase ini anak sedang dalam kondisi tenang. Maka bisa dilakukan usaha-usaha untuk mengembangkan keterampilan anak untuk mampu mengelola emosinya ketika satu saat mengalami krisis. Ini adalah waktu belajar/mengajarkan keahlian pada anak. Juga dapat dilakukan pembuatan rancana dan persiapan hal-hal yang perlu dilakukan agar mencegah munculnya stimulus pemicu stress/krisis (avoiding).
  2. Pemicu (trigger). Pada fase ini, yang penting dilakukan adalah pencegahan munculnya stimulus stress. Hal ini bisa dilakukan dengan menjauhi stimulus, penghilangan stimulus atau mengurangi paparan stimulus. Misalkan: jika anak akan tantrum karena mendengar suara keras dan tiba-tiba, maka diusahakan agar anak tidak mendengarkan suara keras dan tiba-tiba.
  3. Peningkatan emosi (escalation). Pada fase ini, tekanan dan stress sudah mulai muncul. Maka yang utama dilakukan pada fase ini adalah pengalihan. Fokus anak akan dialihkan dengan stimulus lain yang dia sukai atau yang akan membuat dia tenang. Misalkan: Jika anak akan tantrum karena mendengar suara keras dan tiba-tiba, maka dia akan diberikan mainan yang dia sukai yang bisa membuat dia tenang.
  4. Puncak (peak). Pada fase ini, anak perlu diberikan ruang agar bisa mengeluarkan frustasinya. Ini juga bukan waktu untuk memberikan komentar atau mengajari keahlian penyelesaian masalah. Yang utama adalah memberikan anak waktu menyelesaikan frustasinya secara aman.
  5. Pemulihan (recovery). Pada fase ini, yang utama dilakukan adalah memastikan bahwa ledakan emosi benar-benar telah selesai. Penting untuk menghindari perilaku yang dapat memicu ulang krisis, misalkan: memberikan komentar negatif “kamu nakal sekali, lain kali jangan begitu”. Pastikan anak sudah benar siap, baru diajak untuk terlibat dalam aktivitas berikutnya.

 

 

cycle-of-tantrums

Gambar 1. Periode krisis (calm, trigger, escalation, peak, recovery)

 

Penutup

Perlu digarisbawahi, bahwa rancangan dukungan perilaku adalah dokumen dinamis (yang selalu harus diupdate dan dievaluasi). Sebaiknya penyusunan rancangan dukungan perilaku dilakukan oleh terapis professional secara kelompok, agar terjadi diskusi dan pengembangan cara-cara bermakna untuk penyelesaian masalah. Tidak semua anak dengan autism perlu dibuatkan rancangan dukungan perilaku. Pada dasarnya, penyunan kegiatan aktif dan positif di kegiatan terapis sudah didesain untuk membuat anak mampu berfungsi dengan tenang dan mencegah potensi frustasi. Namun, jika muncul perilaku sulit yang tidak bisa dirubah hanya dengan aktivitas sehari-hari, maka mungkin perlu dipertimbangkan penyusunan rancangan dukungan perilaku untuk perilaku spesifik dan konteksnya. Dan pada kelanjutannya, rancangan dukungan perilaku akan berguna sebagai data pendukung dari planning matrix, profil individual anak dan program belajar individual anak.

 

 

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s