Pelaku Kejahatan Seksual: Mengapa Perlu Identifikasi dan Rehabilitasi?
STATIC-99R sebagai upaya aktuarial dalam rangka identifikasi dan intervensi pelaku kejahatan seksual (Bagian I)
Oleh: Margaretha
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Dalam pembicaraan tentang pelaku kejahatan seksual, topik yang sering muncul adalah pidana atau hukuman. “Pelaku ya dipenjara saja, titik. Kalau perlu dapat pidana yang paling berat supaya tidak melakukan lagi.” Pada kenyataannya, sebagian pelaku kejahatan seksual bisa ditemukan telah melakukan pelecehan dan kekerasan seksual sebelumnya, atau memiliki riwayat kriminal. Pelaku kejahatan seksual juga banyak ditemukan melakukan kembali kekerasan seksual setelah menyelesaikan pidana penjara. Artinya, pidana saja belum tentu dapat mengkoreksi perilaku kejahatan seksual.
Maka perlu disadari bahwa penanganan koreksi pelaku kejahatan seksual harus diperkuat dengan pencegahan resiko kejahatan seksual atau mencegah atau menurunkan resiko residivisme kelak. Hal ini dilakukan dengan tahap awal, identifikasi dan pengukuran kejahatan seksual. Dengan data kejahatan seksual, bisa dilakukan prediksi resiko pengulangan kejahatan dalam rangka pencegahan kejahatan. Selain itu, upaya pencegahan juga perlu diiring dengan upaya rehabilitasi. Rehabilitasi mental yang berhasil adalah yang mampu memperbaiki akar persoalan kejahatan seksual dan menurunkan tingkat resiko melakukan kejahatan seksual kelak. Jika kita bisa melakukan pencegahan dan rehabilitasi maka usaha perlindungan korban, korban potensial dan masyarakat menjadi lebih kuat.
Pendahuluan
Berbagai kasus kejahatan seksual muncul di masyarakat. Dari beberapa kejadian ditemukan bahwa pelaku bukan hanya sekali melakukan kekerasan seksual, namun jika dirunut merupakan perilaku berulang dan mendapatkan pidana, atau sering disebut residivisme.
Gambar 1. Pematahan siklus residivisme
Berikut adalah salah satu kasus tentang pengulangan kejahatan seksual. Pada masa Natal 2003, Daniel Marcombe berusia 13 tahun, dilaporkan tak pernah kembali ke rumah. Ketika dilakukan penyelidikan, diperoleh keterangan dari seorang saksi bahwa Marcombe terlihat terakhir ketika sedang menunggu bis bersama seorang pria di jalan Kiel Mountain, Sunshine Coast, Australia. Pencarian besar tahun itu pun dilakukan. Pemerintah Australia menawarkan hadiah sebesar 1 juta dolar bagi siapapun yang bisa menemukan Marcombe. Saat itu, dicurigai seorang pedofilia yang bernama Douglas Jackwey, karena ia bebas beberapa saat sebelum Marcombe dilaporkan hilang. Namun tidak ada cukup bukti untuk menjerat Douglas Jackwey. Baru pada tahun 2011, ditangkaplah Bret Peter Cowan, yang mengaku telah menculik dan melakukan pelecehan seksual pada Marcombe. Di ketahui Brett adalah pedofil kambuhan. Brett lahir tahun 1969, dan pernah beberapa kali dihukum karena melakukan pelecehan seksual hingga pemerkosaan pada anak. Dari keterangan Brett, sisa-sisa tubuh Marcombe pun di temukan; berupa sepatu, celana dalam dan tulang-tulang yang berserakan di dekat danau. Brett divonis bersalah dan dipenjara seumur hidup. Marcombe dimakamkan tahun 2012, setelah 9 tahun dinyatakan hilang. Pemakaman tersebut dihadiri oleh lebih dari 2000 orang (The Australian, 2014).
Mengapa hal ini bisa terjadi? Seorang pelaku kejahatan seksual dapat melakukan kembali kekerasan seksual setelah menyelesaikan pidana penjara. Tidakkah ada cara yang bisa kita lakukan untuk mencegah peristiwa kejahatan seksual? Terlebih, jika kita sudah mengetahui bahwa seseorang beresiko melakukan kejahatan serupa di depan hari.
Seiring dengan pemahaman ini, maka semakin disadari bahwa penanganan pelaku kejahatan seksual juga perlu diperkuat agar dapat mencegah atau menurunkan resiko residivisme kelak. Rehabilitasi mental yang berhasil adalah yang mampu memperbaiki akar persoalan kejahatan seksual dan menurunkan tingkat resiko melakukan kejahatan seksual kelak.
Pola berulang seharusnya bisa diidentifikasi dan diprediksi. Jika ada sistem yang membantu identifikasi dan prediksi kejahatan seksual, maka kita lebih bisa mencegah terulangnya kejahatan seksual yang semakin parah. Sistem prediksi residivisme kejahatan seksual berfungsi untuk mendeteksi dan memprediksi kemungkinan kambuhnya perilaku kekerasan seksual oleh pelaku. Salah satu upaya identifikasi dan penanganan pelaku kejahatan seksual dengan pendekatan aktuarial forensik.
Data aktuarial forensik dan prediksi perilaku kejahatan seksual
Pendekatan aktuarial bertujuan untuk memberikan prediksi resiko suatu fenomena. Dalam hal ini, pengukuran aktuarial forensik dalam kasus kejahatan seksual dilakukan untuk memprediksi kemungkinan kambuhnya perilaku kekerasan seksual oleh seorang pelaku. Psikolog menghadapi kasus dengan memeriksa data dengan sikap ilmiah: menganalisis berdasarkan literatur, mengumpulkan data yang akan digunakan untuk membuat dugaan atau menjelaskan probabilitas penjelasan terhadap kasus kejahatan seksual berdasarkan perhitungan matematis, konsep dan statistik.
Gambar 2. Data Amerika Serikat tentang kemungkinan residivisme atau penahanan kembali, membandingkan proses rehabilitasi koreksional di penjara dan di pengawasan komunitas. Data ini menunjukkan, pengawasan komunitas lebih efektif menurunkan residivisme.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengembangkan alat untuk memprediksi kejahatan seksual, kekerasan seksual dan residivisme secara umum. American Psychological Association (APA) bahkan telah merekomendasikan pengukuran actuarial perlu dilakukan secara rutin oleh professional kesehatan mental dan tenaga penegak hukum, serta Hakim dan Pengacara, karena pengukuran data aktuarial dianggap lebih obyektif daripada penilaian klinis yang tidak terstruktur. Namun, data aktuarial tidak bisa digunakan sebagai satu-satunya bahan pertimbangan untuk pengambilan keputusan dalam peradilan pidana. Dasar pengambilan keputusan harus mempertimbangkan fakta-fakta lain dalam proses peradilan. Hingga saat ini, ada lebih dari 40 negara yang menggunakan metode pengukuran aktuarial forensik dalam usaha untuk memprediksi, pengelolaan dan pengawasan tindak kejahatan.
Static-99R
Pada saat ini ada beberapa alat pengukuran resiko residivisme kejahatan seksual yang dipakai dalam setting persidangan, misalkam: Sex Offender Risk Appraisal Guide (SORAG), dan Sexual Violence Risk-20 (SVR-20). Salah satu metode prediksi residivisme kejahatan seksual yang paling banyak diteliti dan digunakan di berbagai belahan dunia, adalah Static-99R (Hanson & Thornton, 2000).
Static-99 adalah skala yang dikembangkan oleh Hanson dan Thornton (2000), yang telah dikembangkan dalam versi Static-99 Revised (Static-99R) dan Static-2002 Revised (Static-2002R). Kedua skala ini dan telah digunakan untuk mengukur resiko pengulangan perilaku kekerasan seksual oleh pelaku kejahatan seksual definitif (dimana ditemukan kejahatan seksual dan korban telah teridentifikasi).
Beberapa perilaku kejahatan seksual yang bisa dilakukan pelaku, adalah: kekerasan seksual pada anak atau dewasa, voyeurisme, eksibisionisme, kekerasan seksual tanpa korban yang dapat diidentifikasi, dan perilaku kekerasan dimana motif seksual tidak dapat/sulit ditemukan (misalkan: seks dengan pasangan seusia secara suka-sama-suka, memperlihatkan bagian tubuh pribadi seperti pantat dan alat kelamin di depan publik).
Static-99R terdiri dari 10 pertanyaan, dengan nilai skor berkisar 0-12, yang mengukur usia pelepasan setelah masa pidana, situasi hidup pelaku, perilaku kejahatan seksual yang pernah dilakukan, serta perilaku kejahatan secara umum (lihat lampiran 1). Setiap aitem diskor dengan pembobotan, yang telah ditentukan melalui analisis statistik regresi logistik. Skor akhir berupa besaran resiko yang dimiliki seseorang untuk melakukan pengulangan kejahatan seksual. Static-99 adalah skala yang sering digunakan terutama kemampuannya untuk memprediksi tingkat resiko residivisme pelaku kejahatan seksual di Amerika Serikat, Australia dan Canada (Neal & Grisso, 2014).
Banyak penelitian telah dilakukan untuk memahami daya prediksi static-99. Kajian meta-analisis oleh Helmus dan kolega (2012) menemukan bahwa Static-99R memiliki tingkat keakuratan menengah untuk memprediksi residivisme kejahatan seksual.
Static-99R digunakan dalam rangka: jaminan keluar tahanan, penyusunan data aktuarial di pengadilan, perencanaan intervensi pada pelaku, pembuatan sistem pengawasan komunitas atas pelaku, serta data yang digunakan sebagai bahan pertimbangan hakim di peradilan untuk menentukan hukuman-korektif dan proses rehabilitasinya (misalkan: pembebasan bersyarat). Aktuarial forensik adalah informasi hasil perhitungan statistik dan matematis untuk memprediksi resiko atau kemungkinan terjadinya kejahatan oleh seseorang, dan data aktuarial forensik ini digunakan untuk mengidentifikasi individu yang membutuhkan intervensi.
Pengukuran resiko menjadi suatu standar dalam konteks kesehatan mental dan hukum pidana di berbagai belahan dunia. Hal ini dilakukan untuk menurunkan resiko bagi mereka yang membutuhkan, dalam hal ini pelaku dan calon korban. Dengan data aktuarial forensik, kita bisa merencanakan alokasi energi dan usaha untuk melindungi komunitas dari kejahatan berulang. Oleh karena itu, pemeriksaan aktuarial forensik menjadi dasar dari pengambilan keputusan hukum.
Saat ini, static-2002R juga telah dikembangkan untuk memberikan gambaran yang lebih detail tentang pelaku kejahatan. Static-2002R dikembangkan oleh Hanson dan koleganya tahun 2003 (Hanson & Thornton, 2003 dalam Hanson dkk., 2016). Mirip penggunaan utama static-2002R adalah untuk pengukuran resiko aktuarial bagi pelaku kejahatan seksual dewasa (lebih detail lihat http://www.static99.org). Static-2002R berisi 14 aitem, yang dikelompokkan menjadi 5 sub-skala, yaitu: usia pembebasan, persistensi perilaku kejahatan seksual, penyimpangan seksual, hubungan dengan korban, dan perilaku criminal secara umum (lihat lampiran 1). Static-2002R juga ditemukan memiliki daya prediksi tingkat menengah (Hanson dkk., 2012).
Tabel 1. Perbedaan aitem dalam Static-99 dan Static-2002R
Static-99 | Static-2002R |
1. Usia pelaku ketika bebas
2. Mengalami pidana sebelumnya sejumlah 4 atau lebih 3. Jumlah tuntutan atau pidana atas kekerasan seksual sebelumnya 4. Adanya korban kekerasan seksual yang tidak ada hubungan kekerabatan dengan dirinya 5. Pernah melakukan penyerangan seksual pada korban laki-laki 6. Jumlah tuntutan atas kekerasan seksual tanpa-kontak 7. Melakukan penyerangan seksual pada korban yang tidak dikenal 8. Pidana atas kasus kekerasan non-seksual sebelum diganjar dengan pidana indeks 9. Pidana atas kekerasan non-seksual pada saat diganjar pidana indeks 10. Pernah tinggal bersama dengan pasangan selama dua tahu secara berturut-turut |
1. Usia pelaku ketika bebas
2. Mengalami pidana sebelumnya sejumlah 4 atau lebih karena kasus kejahatan apapun 3. Jumlah tuntutan atau pidana atas kekerasan seksual sebelumnya 4. Adanya korban kekerasan seksual yang tidak ada hubungan kekerabatan dengan dirinya 5. Pernah melakukan penyerangan seksual pada korban laki-laki 6. Jumlah tuntutan atas kekerasan seksual tanpa-kontak 7. Melakukan penyerangan seksual pada korban yang tidak dikenal 8. Pidana atas kasus kekerasan non-seksual sebelumnya 9. Pernah terlibat dengan sistem peradilan dan hukum pidana sebelumnya 10. Memiliki korban usia anak, tidak terkait hubungan saudara 11. Jumlah perilaku kejahatan seksual sebelumnya 12. Melakukan pelanggaran, walaupun telah mendapatkan pengawasan komunitas 13. Mengalami penangkapan atas kasus kejahatan seksual pada masa remaja dan dewasa 14. Tahun bebas sebelum mengalami pidana indeks |
Kategori resiko Static-99R dan Static-2002R
Setelah pengukuran dilakukan, maka akan dilakukan penskoran. Lalu hasil skor akan dianalisis kategorinya. Berikut adalah kategori tingkat prediksi kejahatan seksual, yaitu:
Tabel 2. Kategori resiko untuk Static-99R dan Static-2002R
Tingkat | Nama |
I | Resiko sangat rendah |
II | Resiko di bawah rata-rata |
III | Resiko rata-rata |
Iva | Resiko di atas rata-rata |
IVb | Resiko jauh di atas rata-rata |
Diambil dari Hanson dkk. 2016
Tabel 3. Kategori prediksi ratio residivisme untuk Static-99R dan Static-2002R
Skor | Ratio prediksi residivisme |
-3 | 0.9 |
-2 | 1.3 |
-1 | 1.9 |
0 | 2.8 |
1 | 3.9 |
2 | 5.6 |
3 | 7.9 |
4 | 11.0 |
5 | 15.2 |
6 | 20.5 |
7 | 27.2 |
8 | 35.1 |
9 | 43.8 |
10 | 53.0 |
Diambil dari Hanson dkk. 2016
Simpulan
Pendekatan aktuarial forensik dapat digunakan sebagai suatu pendekatan untuk mengidentifikasi pelaku residivisme kejahatan seksual. Namun, pendekatan aktuarial forensik tidak dapat digunakan untuk menjelaskan derajat keberatan kejahatan seksual yang dapat terjadi. Lebih lanjut, model aktuarial forensik di Indonesia masih perlu berkembang saat ini. Oleh karena itu, jikalau model ini akan digunakan, maka perlu dilakukan adaptasi dengan kondisi dan konteks kejahatan seksual di Indonesia.
Referensi:
Hanson, R. K., Babchishin, K. M., Helmus, L. M., Thornton, D., & Phenix, A. (2016). Communicating the Results of Criterion Referenced Prediction Measures: Risk Categories for the Static-99R and Static-2002R Sexual Offender Risk Assessment Tools. Psychological Assessment, 1-16. http://dx.doi.org/10.1037/pas0000371
Hanson, R. K., & Thornton, D. (2000). Improving risk assessments for sex offenders: A comparison of three actuarial scales. Law and Human Behavior, 24, 119-136. http://dx.doi.org/10.1023/A:1005482921333
Helmus, L., Hanson, R. K., Thornton, D., Babchishin, K. M., & Harris, A. J. R. (2012). Absolute recidivism rates predicted by Static-99R and Static-2002R sex offender risk assessment tools vary across samples: A meta-analysis. Criminal Justice and Behavior, 39, 1148–1171. http://dx .doi.org/10.1177/0093854812443648
Neal, T. M. S., & Grisso, T. (2014). Assessment practices and expert judgment methods in forensic psychology and psychiatry: An interna- tional snapshot. Criminal Justice and Behavior, 41, 1406–1421. http:// dx.doi.org/10.1177/0093854814548449
Sordid, violent criminal history of Daniel Morcombe killer Brett Peter Cowan”. The Australian. 13 March 2014. Retrieved 17 March 2014.