Kontrol, Manipulasi, dan Kekerasan dalam Relasi Intim

Kontrol, Manipulasi, dan Kekerasan dalam Relasi Intim

Oleh: Margaretha

Pemerhati masalah kekerasan dan Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

emotional-manipulation

Pada kencan ketiga, ditengah-tengah pembicaraan dan diskusi yang sedang terjadi, tiba-tiba Antonius mengatakan, “I love you, you are home to me, will you grow old with me?” Pasangan perempuannya membelalakkan mata, seperti tidak percaya, lalu di kepalanya muncul pikiran betapa cepatnya ini semua terjadi, seperti mimpi. Baru 3 bulan berkenalan, dan 1 bulan ini mulai melakukan kencan, namun sudah kesekiankalinya Antonius melamarnya. Selama ini dia bisa menepis halus lamaran Antonius. Namun selalu dengan meyakinkan, Antonius menyatakan perasaannya dan keseriusannya, bahkan mau mengajak bertemu orang tua dan keluarga satu sama lain. “Kalau kamu mau, bulan depan saya lamar kamu dan kita tunangan di depan orang tua kita”, katanya lagi. Tersipu dan terpesona oleh rayuannya selama ini, walaupun sedikit khawatir dengan sikap Antonius yang mulai posesif, akhirnya si perempuan mengangguk, “I would love that.” Tidak mengantisipasi apa yang akan terjadi, si perempuan mulai masuk dalam serangkaian proses mengontrol, manipulasi dan penuh kekerasan dalam relasi intim mereka.

Beberapa minggu setelah lamaran, Antonius mulai mengatur cara berpakaiannya agar tertutup seluruh tubuh, menutup akses ke media- sosial karena dianggap rawan perselingkuhan, melarangnya untuk berbicara dengan laki-laki lain (bahkan termasuk Kakak laki-laki pasangannya dan Ayah Antonius) karena takut bisa selingkuh, serta membatasi kerja agar tidak terlalu banyak interaksi di luar rumah; semua hal ini harus dilakukan agar Antonius merasa aman bahwa pasangannya tidak akan selingkuh. Lalu berlanjut hingga penghinaan, sikap kasar dan merusak barang, yang akan muncul setiap kali Antonius merasa pasangannya tidak patuh. Lama-kelamaan tidak ada lagi perilaku manis, yang sering muncul hanyalah kekasaran dan kekerasan. Ketika sudah dianggap tidak lagi bisa diatur, maka Antonius mulai menyebarkan cerita yang diputarbalikkan tentang pasangannya. Beberapa orang pun percaya, karena yang dilihat sejak awal betapa manisnya sikap Antonius pada pasangannya selama ini di depan publik, sehingga berpandangan pastilah ada yang salah dengan pasangan perempuannya.

Penggalan kisah ini mengilustrasikan kontrol yang dilakukan oleh seseorang pada pasangannya (controlling), yang berkaitan dengan perilaku manipulasi (manipulation) dan kekerasan (violence) dalam konteks relasi intim. Ketiga hal ini merupakan komponen utama dalam kekerasan dalam relasi intim, baik pacaran maupun pernikahan, terutama kekerasan emosional (emotional abuse).

Kontrol

Menurut Bonior (2016) ada beberapa indikasi perilaku mengontrol pasangan yang bisa muncul yang awalnya akan sulit diidentifikasi sebagai bentuk penindasan, karena di awal tampil secara meyakinkan sebagai perilaku positif, seperti: perhatian, afeksi, komitmen, hasrat dan keinginan merawat. Namun, karena hal-hal tersebut adalah perilaku kontrol, maka dilakukan dengan cara yang tidak wajar dan dampaknya merugikan. Berikut adalah perilaku kontrol yang dapat terjadi pada tahap awal relasi intim menurut Bonior (2016):

  1. Perhatian

Mendapatkan perhatian pasangan ketika masa awal pacaran atau relasi intim adalah hal yang sangat indah dan diinginkan. Pelaku berusaha memperhatikan apa yang kita suka, apa yang tidak disukai dan menunjukkan usaha untuk mendapatkan hati pasangannya. Bahkan perhatian yang diberikan akan sangat berlebih-lebih, misalkan: selalu ingin bersama sepanjang hari, sangat sering menelpon dalam 1 hari, menginap di rumah lebih sering dan selalu ingin tahu apa yang sedang dilakukan pasangannya. Kadang mulai terasa perhatian ini mulai mengganggu (intrusive) dan bisa melanggar batas pribadi yang dimiliki seseorang (comfort zone) sehingga pasangan seperti tidak lagi punya waktu pribadi karena selalu ditemani pelaku kontrol. Hal ini dilakukan oleh pelaku kontrol untuk mempelajari pasangannya yang nantinya akan digunakan untuk melakukan kontrol.

  1. Komitmen

Pelaku akan menunjukkan minat dan perilaku menginginkan komitmen yang tampak sangat meyakinkan. Pelaku kontrol dapat mengungkapkan cinta sangat cepat bahkan di masa yang sangat awal dalam relasi, segera mengajak tinggal bersama, bahkan merencanakan pernikahan dan bertemu keluarga walau baru kenal. Ia dapat berkata, “saya sangat serius dan merasa cocok dengan kamu, maka kamu harus jadi milik saya”, “sudah bersama saya saja, jangan pergi dari saya”, “hanya kamu yang saya inginkan” atau “mari segera menikah”. Sehingga pasangannya berpikiran, betapa dia menginginkan saya, dan sangat ingin berkomitmen dengan saya. Komitmen digunakan oleh pelaku kontrol untuk mengendalikan siapa saja yang boleh dekat atau yang harus dijauhkan dari pasangannya. Pelaku kontrol ingin membatasi kesempatan pasangan/calon pasangan untuk mempertimbangkan pilihan lain/orang lain. Pelaku kontrol akan melakukan usaha-usaha untuk meyakinkan bahwa hanya merekalah yang terbaik untuk pasangannya, tidak ada yang lain.

  1. Afeksi

Afeksi biasanya dilakukan untuk menunjukkan perasaan dan pemahaman pada pasangan. Perasaan kasih membuat seseorang ingin menunjukkan pasangannya pada dunia. Pelaku kontrol biasanya menampilkan ini terasa aneh, karena terlalu cepat atau terlalu berlebihan, atau sepertinya terlalu ideal sehingga terasa tidak wajar. Dalam menerima penunjukkan rasa kasih ini, biasanya pasangan merasa agak risih, misalkan: merasa agak terpaksa menerima pelukan atau kontak fisik intim yang sebenarnya telah melampaui zona nyaman. Mungkin juga adanya hadiah, atau perilaku mesra yang berlebihan di depan umum, seperti: mencium mesra secara dramatis di depan banyak orang, memeluk atau menggandeng dengan cara yang berlebihan di depan publik. Hal ini sebenarnya dilakukan oleh pelaku kontrol untuk menunjukkan kepemilikan atas pasangannya, dan menunjukkan bahwa orang lain harus mundur karena pasangannya ini adalah miliknya.

  1. Hasrat

Perasaan dicintai dan diinginkan membuat pasangan merasa melambung karena hadirnya orang yang begitu mempedulikan diri kita. Kadang perasaan muncul perasaan cemburu ketika melihat pasangan berbicara dengan orang lain, dan ketika hal ini disampaikan maka membuat pasangan tersipu dan merasa senang karena merasa diinginkan. Cemburu yang awalnya memperkuat minat untuk berusaha mempertahankan keutuhan relasi intim, namun jika berlebihan dan tidak bisa dikendalikan maka malah merusak relasi intim. Pada pelaku kontrol, cemburu ini akan terjadi secara berlebihan. Pelaku kontrol bisa marah dan meledak jika pasangannya tidak turut seperti keinginannya atau ketika pasangan dianggap terlalu memperhatikan orang lain daripada dirinya. Bahkan tidak jarang menggunakan kekerasan fisik untuk mendisplinkan pasangannya. Pelaku kontrol tidak bisa mengendalikan emosinya dan kekasarannya, bahkan tidak tampak berusaha untuk mengendalikan dirinya. Pelaku kontrol sering menggunakan intimidasi dan memunculkan rasa takut pada pasangannya agar mereka patuh.

  1. Keinginan merawat

Keinginan merawat adalah indikasi suatu kematangan relasi intim yang wajarnya diperoleh melalui proses. Hal ini adalah suatu kesiapan untuk rela meluangkan waktu dan energi untuk merawat pasangan secara sukarela. Pada pelaku kontrol, hal ini dilakukan secara berlebihan dan tidak wajar. Jika pelaku kontrol adalah tipe mudah merawat (nurturing), maka ia akan mengambil alih semua proses merawat pasangannya dan tidak membiarkan orang lain masuk atau membantu. Pelaku kontrol akan membuat pasangannya berpikir hanya bisa bergantung pada pelaku kontrol dan tidak pada orang lain (bahkan keluarga, teman dan komunitas). Pada titik ekstrem, pelaku kontrol memanipulasi pikiran pasangannya bahwa ia tidak bisa hidup tanpa dirinya. DI tahap awal relasi intim, jika muncul pikiran bergantung secara berlebihan dan munculnya perasaan tidak bisa hidup tanpa pasangannya, maka ini perlu dijadikan indikasi terjadinya problem emosional dalam relasi intim.

Pada awal relasi intim, perilaku kontrol perhatian, komitmen dan afeksi dapat dilihat sebagai proses mempersiapkan pasangan untuk bisa dikontrol (grooming). Dan selanjutnya, perilaku hasrat dan keinginan merawat adalah cara pelaku kontrol untuk mengendalikan pasangannya untuk mau berperilaku seperti keinginannya. Dari hal inilah yang dapat membentuk rantai relasi intim yang dipenuhi kekerasan.

images-2

Manipulasi

Pelaku kontrol biasanya memiliki kemampuan manipulasi yang digunakan untuk mempengaruhi pasangannya agar berpikir bahwa hanya dialah tempat bergantung sedangkan keluarga dan teman-temannya salah atau cemburu atau terlalu protektif (Bonior, 2016). Di depan publik, pelaku kontrol akan menampilkan diri yang terbaik agar tampak sebagai “pasangan yang sempurna”.

Pelaku kontrol akan membuat pasangannya tidak yakin pada dirinya sendiri hingga akhirnya tidak memiliki inisiatif untuk mempertanyakan sikap dan menolak kekerasan emosional yang dilakukan pelaku kontrol. Hal ini juga disebut gaslighting, yang artinya perilaku manipulasi secara psikologis atas seseorang yang bertujuan untuk mempertanyakan kewarasan mereka sendiri. Terdapat beberapa bentuk gaslighting:

  1. Melakukan menyerang: pasangan dibuat tidak yakin atas ingatannya sendiri, karena selalu dibilang bahwa kamu salah mengingat, misal: “ingatanmu salah, saya tidak pernah hina kamu”
  2. Blocking: pelaku kontrol mengalihkan atau menghentikan interaksi dan komunikasi, misal: dalam suatu percakapan yang berjalan, tiba-tiba pelaku kontrol diam atau hilang tidak mau berinteraksi lagi
  3. Merendahkan: pelaku kontrol merendahkan pasangannya dan membuat pasangannya merasa tidak penting/tidak berharga, misal: “kamu terlalu sensitif”, “kamu pasti punya ide yang bodoh”
  4. Lupa/menyangkal: pelaku kontrol berlagak lupa, misal: “saya tidak pernah memukulmu, kamu cuma membual”

Gaslighting adalah kekerasan psikologis yang dilakukan pelaku pada pasangan korbannya. Jika ini terjadi dalam relasi intim, sebaiknya segara mencari pertolongan dan keluar dalam relasi intim.

Pada pelaku kontrol dan kekerasan yang hidup dalam keluarga yang tidak sehat karena memiliki nilai yang salah tentang kekerasan (menerima kekerasan dalam relasi), maka dapat terjadi dimana pelaku kontrol dan keluarganya berusaha membuat pasangan korban terisolasi secara emosional dari keluarganya sendiri lalu mengalihkanya ke keluarga “baru”nya – yaitu keluarga pelaku kontrol. Keluarga pelaku kontrol yang tidak sehat, akan membantu pelaku kontrol untuk memanipulasi pikiran pasangan korban agar mau patuh pada pelaku kontrol. Mereka bisa menyampaikan, “Anak saya memang begitu, kasar kata-katanya. Tapi dia cinta sekali pada kamu. Lagipula, istri kan memang harus patuh sama suami, maka dari sekarang kamu menyesuaikan diri untuk menjadi istrinya lebih baik. Sudah nurut saja.” Kelamaan, keluarga pelaku kontrol akan merasionalisasi semua perilaku kontrol dan kekerasan anaknya, bahkan menyangkal luka-luka yang dialami pasangan korban. Hal-hal inilah yang membuat pasangan korban menjadi lebih cepat terjerumus dalam relasi yang tidak sehat dan penuh kekerasan. Jika tidak terselesaikan, pasangan korban dapat terperangkap dalam keluarga disfungsional dan menjadi diri yang tidak berdaya.

images-3

Kekerasan

Pasangan korban bisa menyadari atau tidak menyadari bahwa ia mengalami kontrol dan kekerasan emosional. Pelaku kontrol biasanya menggunakan manipulasi emosi untuk membuat pasangan korban berpikir bahwa justru merekalah yang kurang dan salah, dan patut bersyukur bahwa pelaku kontrol masih mau menerima kekurangan dan kesalahan mereka itu (Bonior, 2015). Terkadang perilaku kontrol bisa disertai pada munculnya kekerasan dalam relasi intim, baik fisik, emosional, ekonomi dan seksual.

Berikut adalah 20 bentuk/pola perilaku pelaku kontrol dalam relasi intim (Bonior, 2015):

  1. Mengisolasi pasangan dari keluarga dan teman
  2. Memberikan kritik negatif – bahkan pada hal-hal kecil
  3. Memberikan ancaman baik implisit atau eksplisit
  4. Hanya memberikan perhatian, penerimaan, atau ketertarikan jika pasangan mau melakukan keinginan pelaku kontrol
  5. Melakukan perhitungan atas apapun yang telah dilakukan
  6. Menggunakan perasaan bersalah sebagai alat kontrol
  7. Membuat hutang (budi) sehingga pasangan bisa dikontrol untuk melakukan keinginan pelaku kontrol
  8. Menuntut pasangannya untuk selalu melaporkan kegiatan dan informasi pada pelaku kontrol tanpa penghargaan batas pribadi
  9. Cemburu, menuduh atau curiga secara berlebihan
  10. Tidak menghargai waktu pribadi pasangan
  11. Membuat pasangan harus melakukan keinginan pelaku kontrol sebelum bisa mendapatkan kepercayaan dan perlakuan yang baik dari pelaku kontrol
  12. Selalu beranggapan pasangan bersalah hingga ada bukti sebaliknya
  13. Selalu mau menang dalam berargumen sehingga membuat pasangannya menyerah membela diri
  14. Merendahkan keyakinan atau hal yang dipercaya oleh pasangan
  15. Membuat pasangannya berpikir bahwa ia tidak layak atau selalu kurang buat pelaku kontrol
  16. Mengolok-olok keadaan tidak enak yang sedang dialami pasangan
  17. Interaksi seksual dengan pelaku kontrol tidak membuat pasangannya nyaman (secara fisik dan psikis)
  18. Tidak mampu/tidak mau memahami sisi pandang pasangan
  19. Menekan pasangan hingga melakukan hal yang tidak sehat
  20. Merendahkan pencapaian akademik dan professional pasangan hingga merasa tidak yakin pada dirinya sendiri

Berbagai bentuk perilaku kontrol ini adalah bentuk kekerasan dalam relasi intim. Pada akhirnya, pasangan dari pelaku kontrol akan mengalami kekerasan emosional, yang juga dapat disertai kekerasan fisik dan kekerasan bentuk lainnya.

Kekuatan kelompok dan kekerasan

Dalam relasi intim yang berkembang secara wajar, masing-masing pasangan akan mendapatkan dukungan dan perhatian dari kelompok terdekat, seperti: keluarga, teman dan komunitas. Dukungan dari kelompok terdekat menjadi penting karena kelompok terdekat akan menjadi sumber pengawasan jikalau terjadi suatu masalah atau sumber bantuan. Namun, jika telah mengalami kontrol dan manipulasi, maka pasangan biasanya telah diisolasi dari keluarga, sahabat atau kelompok terdekatnya. Biasanya pelaku kontrol akan membuat pasangannya mulai menjaga jarak dari teman dan keluarga, atau pasangannya tidak berani menyampaikan seluruh informasi/pengalaman dirinya pada keluarganya sendiri. Dalam hal ini, maka keluarga dan kelompok terdekat korban perlu melakukan pendekatan yang aktif untuk mendukung korban. Utamanya, kelompok terdekat perlu masuk dan menyampaikan secara jelas pada pelaku kontrol dan kekerasan bahwa kekerasan yang ia lakukan adalah salah dan tidak boleh dilakukan lagi. Kelompok terdekat juga perlu mengawasi perilaku pelaku agar memastikan dia tidak melakukan kekerasan lagi. Jikalau masih terjadi kembali, maka pelaku kekerasan harus mendapat sanksi sosial dan hukum.

Amy Jacobson (2016), seorang ahli Evolusi Biologi menyampaikan bahwa kekerasan juga terjadi dalam dunia hewan, seperti simpanse. Kekerasan pada simpanse biasanya terjadi kaena adanya seekor jantan besar yang kasar pada betina di kelompok tersebut. Yang menarik, untuk menghentikan kekerasan, kelompok betina akan melakukan usaha bersama-sama menghalau jantan besar yang kasar tersebut keluar dari kelompok. Hal ini menunjukkan betapa kekuatan kelompok sangat penting untuk melakukan intervensi dan menghentikan kekerasan.

Hal yang sama juga perlu dilakukan pada kekerasan dalam relasi intim manusia. Kekerasan hanya bisa dihentikan ketika korban meminta bantuan kelompok terdekat di sekitarnya untuk keluar dari kekerasan. Bentuk intervensi yang paling efektif adalah intervensi dan pengawasan kelompok terdekat korban untuk secara jelas menolak kekerasan yang dilakukan pelaku. Korban juga perlu mendapatkan dukungan, perlindungan dan pemulihan dari kelompok terdekat. Untuk melakukan hal ini, maka kelompok terdekat korban perlu membentuk suatu kesatuan untuk bersama-sama menolak kekerasan. Pelaku perlu dihadapkan dengan kelompok secara langsung agar dia memahami bahwa perilakunya tidak diterima dan banyak orang yang mengawasinya. Pelaku harus diingatkan tidak lagi melakukan kekerasan pada korban maupun pada orang lain/orang baru. Usaha berkelompok juga perlu dilakukan dalam mengawasi (monitoring) pelaku kekerasan agar mencegah terjadinya kembali kekerasan.

Simpulan

Perilaku kontrol yang disamarkan sebagai perilaku penuh perhatian, afeksi dan komitmen akan tampak manis dan menyenangkan di awal relasi intim. Sulit dibayangkan jika perilaku-perilaku yang indah ini ternyata adalah usaha kontrol untuk mendominasi pasangannya. Namun, karena hal-hal tersebut adalah perilaku kontrol, maka dilakukan dengan cara yang tidak wajar dan dampaknya merugikan. Jika terjadi hal demikian, maka dukungan dari kelompok terdekat (keluarga, teman dan komunitas) menjadi penting karena kelompok terdekat akan menjadi sumber pengawasan jikalau terjadi suatu masalah atau sumber bantuan. Kelompok terdekat perlu memberikan intervensi dan pengawasan dan secara jelas menolak kekerasan yang dilakukan pelaku. Selain itu, korban juga perlu dibantu untuk mendapatkan dukungan, perlindungan dan pemulihan.

 

Referensi:

Bonior, A., (2016). 5 Surprising disguise that can mask controlling behavior: These otherwise lovely things can cover warning signs in new relationship. From: https://www.psychologytoday.com/blog/friendship-20/201612/5-surprising-disguises-can-mask-controlling-behavior

Bonior, A. (2015). 20 Signs your partner is controlling: Unhealthy and dangerous patterns aren’t always obvious. From: https://www.psychologytoday.com/blog/friendship-20/201506/20-signs-your-partner-is-controlling

Jacobson, A. (14 Desember 2016) Kuliah tamu: Evolutionary Biology of Sexual Coercion di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.

2 komentar di “Kontrol, Manipulasi, dan Kekerasan dalam Relasi Intim

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s