Menangkap Psikopat (1) Mengenali psikopat dalam kekerasan di relasi intim

Menangkap Psikopat (1)

Mengenali psikopat dalam kekerasan di relasi intim

Margaretha

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

psychopath-face

Reza sudah siap mendapatkan mangsa baru. Sejak bercerai, keluar dari pekerjaan, dan pindah kota, hidupnya masih naik-turun dalam kemarahan diri. Ia telah mencoba meditasi namun belum berhasil membuat moodnya stabil. Lalu, ia berpikir untuk membentuk hidup baru. Ia ingin segera mendapatkan pekerjaan dan lingkungan sosial baru dimana tidak ada orang yang mengetahui sejarah penyimpangan perilakunya. Secara berhati-hati, ia menyusun resume yang sangat meyakinkan dan menutupi segala kesalahan dan perilaku menyimpang yang telah dilakukan sebelumnya. Ia menciptakan image baru sebagai manusia “normal” dan sempurna melalui berbagai aktivitasnya. Namun seiring dengan waktu, ia merasa kurang. Ia membutuhkan atribut sosial yang lebih meyakinkan untuk mendukung image manusia barunya ini. Atribut keluarga akan sangat tepat untuknya saat ini.

Reza mencari calon istri baru di Tinder. Disana ia bertemu seorang perempuan yang memiliki satu anak perempuan yang sangat manis, yang juga menunjukkan ketertarikan padanya. Dalam kepalanya, inilah atribut sosial yang dibutuhkannya. Segera memiliki istri dan anak untuk mendukung image “normal” yang ingin dibentuknya kali ini. Dengan sekali usaha bisa langsung memiliki foto keluarga sempurna, “a perfect picture of family for me”. Reza sebenarnya takut punya anak biologis karena takut si anak akan sama agresif dan kasar seperti dia, yang diyakininya diwarisi dari garis keturunan keluarganya. Menurutnya, memiliki anak ini akan menghindarkan dia dari tanggungjawab atas lahirnya keturunannya yang kasar dan agresif.

Selanjutnya, dengan kata-kata, sikap dan perilaku yang sama seperti ia mendekati mantan istri dan berbagai mantan pacar sebelumnya, Reza mulai mendekati si perempuan baru. Sangat meyakinkan dilakukannya dengan menonjolkan gelar doktor lulusan luar negeri dan kepintarannya dalam menulis dan berbicara di depan umum. Setelah beberapa kali bertemu, ia bergerak cepat membuat komitmen untuk mengikat si perempuan “Gua suka banget sama lo, lo beda dengan mantan gua sebelumnya. Lo paling istimewa karena lo pintar dan sederhana, ga seperti mantan istri dan mantan-mantan gua yang lain. Kita nikah aja segera ya. Gua bakal nafkahin lo dan anak lo. Kita bisa tinggal bersama.”

Setelah membangun relasi pacaran selama beberapa minggu, kata-kata dan sikap mengontrol Reza mulai keluar dan diarahkan ke pasangannya. Sekali lagi, kata-kata yang digunakannya pun sama seperti yang pernah digunakannya untuk mengontrol pasangan-pasangan sebelumnya: “Kalau pakai baju jangan yang ketat dan pendek gitu, kayak perempuan murahan aja. Lo emangnya mau genit sama abang-abang di luar sana? Ga sudi gua badan calon istri gua dilihatin abang-abang kayak perempuan murahan. Dan ga usah genit-genit ngomong sama laki-laki, menurut gua lo udah selingkuh.” Jika pasangannya tidak melakukan persis seperti keinginannya, maka Reza akan berkata-kata kasar pada pasangannya. Kata-kata kasar yang dipilihnya adalah sebutan yang merendahkan perempuan, persis sama seperti kata-kata yang digunakannya untuk menyakiti pasangan-pasangannya yang lalu. Kekerasan emosional pun menjadi sangat intensif.

Sering, setelah menyakiti, Reza akan menyatakan putus dan meninggalkan pasangannya. Selama itu, semua komunikasi akan diputus Reza sehingga pasangannya tidak bisa menghubungi Reza. Namun keesokannya atau beberapa hari kemudian, Reza akan datang kembali dengan menangis meminta maaf dan memohon pasangannya mau menerimanya kembali. Namun masa tenang hanya berjalan beberapa hari, lalu selanjutnya mereka akan mengalami konflik lagi, dan Reza akan melakukan kekerasan emosional lagi pada pasangannya. Siklus kekerasan ini persis sama seperti yang pernah dilakukannya pada pasangan-pasangannya sebelumnya.

Ketika pasangan perempuan Reza mulai menyadari siklus kekerasan yang dialaminya dan berusaha keluar, maka Ibu Reza akan bergerak untuk membantu anaknya. Ibunya akan terus-menerus menelpon pasangan Reza tersebut untuk memintanya agar mau memaafkan Reza dan menerima kelemahan Reza itu. Ibu Reza akan mempersuasi dengan  berbagai cerita agar pasangan perempuan Reza yang baru ini tidak jadi pergi. Lebih lanjut, pasangan baru anaknya ini diminta menyesuaikan diri dengan segala tuntutan Reza dengan dalih cinta perlu pengorbanan. Yang menyedihkan, perilaku Ibu Reza sudah dilakukan untuk kesekian kalinya pada perempuan-perempuan korban kekerasan anak laki-lakinya tersebut. Selama 10 tahun terakhir, telah banyak perempuan yang menjadi obyek kontrol, manipulasi dan kekerasan dari Reza. Tanpa perasaan bersalah, perempuan tua ini membujuk satu lagi perempuan untuk masuk dalam relasi intim penuh kekerasan dengan anak laki-lakinya ini. Walaupun Ibu Reza tahu bagaimana relasi ini akan berakhir, si perempuan akan ditinggal ketika Reza sudah bosan dan mendapatkan perempuan baru lagi untuk memenuhi kebutuhannya.*

istock_000025088076small_sq-8df9e492e736f982596643b2b255ddb28dd70095-s300-c85

Apakah anda pernah mendengar kasus ini terjadi di lingkungan hidup anda? Mengapa seorang yang begitu tampak sempurna bisa melakukan hal-hal yang di luar nalar manusia pada umumnya? Siapa yang harus dipercaya?

Berhadapan dengan kasus kekerasan memang tidak mudah. Apalagi jika dihadapkan dengan berbagai cerita yang kita tidak pahami mana dan siapa yang berbohong. Kemungkinan besar, jika anda menghadapi kasus kekerasan dalam relasi intim yang memiliki pola berulang (baik pada banyak korban atau pada satu korban dalam satu relasi), maka anda bisa saja berhadapan dengan seorang psikopat. Saat ini, banyak psikopat yang berada dalam relasi intim yang merusak relasi dan menyakiti pasangannya. Tulisan ini akan menguraikan siapa psikopat dalam relasi intim (bagian 1) dan bagaimana cara menghadapi psikopat dalam relasi intim (bagian 2).

Siapa psikopat?

Psikopati atau antisosial, atau disebut juga sosiopati adalah gangguan kepribadian yang merupakan gangguan mental pada manusia. Gangguan kepribadian adalah serangkaian pola pikir, merasa dan berperilaku yang secara khas kaku sehingga membuat individu kurang/tidak bisa menyesuaikan diri dalam relasi personal dan dengan lingkungan/komunitasnya (maladaptive adaptation), serta akan menghasilkan perasaan tertekan (distress) bagi yang mengalami atau bisa merugikan orang-orang di sekelilingnya. Orang yang mengalami biasa disebut sebagai psikopat atau sosiopat. Dalam tulisan ini akan digunakan psikopat.

Untuk mengenali psikopat, ada beberapa gejala yang khas ditampilkannya, yaitu:

  1. Minim/tidak adanya empati, sulit mengambil perspektif orang lain
  2. Kejam (callousness)
  3. Manipulatif
  4. Berbohong yang merugikan/patologis
  5. Menggunakan persona (charm) untuk mengelabui
  6. Sombong/arogan
  7. Membalikkan kesalahan ke orang lain (blame shifting)
  8. Dominan
  9. Agresif
  10. Impulsif

Perlu dipahami, sifat-sifat di atas bukan hanya ada pada orang yang tampak kasar dan tidak terorganisir. Banyak film menggambarkan bahwa psikopat sebagai orang yang kasar dan melakukan kekerasan secara gamblang. Kebalikannya, sebagian besar psikopat justru adalah orang yang pandai memanipulasi penampilan publiknya. Psikopat bisa tampil di lingkungannya sebagai orang yang suntan dan humanis walaupun di dalam relasi pribadinya merupakan orang yang sangat agresif dan kasar. Psikopat dapat menggunakan inteleknya untuk menulis ide-ide tentang kemanusiaan namun dibaliknya sering melakukan kekerasan dan menyakiti pasangannya. Psikopat lihai menampilkan diri sosial yang sama sekali berbeda dengan inti diri pribadinya.

Bagaimana cara mengidentifikasi psikopat? Salah satu usaha dalam ilmu psikologi adalah menggunakan interview klinis dan skala check-list yang terdiri 20 aitem tentang sifat-sifat psikopati (Hare, 1991). Skala dilakukan oleh seorang professional dan menilai karakter gangguan kepribadian yang muncul pada diri seseorang (lihat tabel 1). Semakin banyak karakter psikopati yang muncul artinya semakin kuat gangguan kepribadian yang dimiliki seseorang.

Tabel 1. Karakter psikopati

Relasi interpersonal Emosional Gaya hidup Antisosial
·    Pesona simpatik yang dangkal/relasi akrab tapi tidak mendalam

·      Merasa diri hebat/besar

·      Pembohong patologis

·      Penipu/ manipulatif

·      Tidak ada/kurangnya rasa bersalah

·      Emosi dangkal

·      Kejam/kurangnya empatik

·      Tidak mampu bertanggungjawab atas tindakannya sendiri

·      Mudah bosan/selalu merasa butuh mencari stimulus baru

·      Hidup parasite/menggunakan orang lain

·      Tujuan hidup biasanya tidak masuk akal

·      Impulsif

·      Tidak bertanggungjawab

·      Kesulitan mengelola diri

·      Terlibat dg kenakalan remaja

·      Memiliki problem perilaku pada awal masa remaja

·      Pernah melakukan kejahatan namun dibebaskan/lepas dari tuntutan hukum

·      Mampu beradaptasi/ belajar perilaku kriminal

74903021da1aa8a2c54ddd7b27a48d24

Psikopat dalam relasi intim

Psikopat akan melakukan apapun, termasuk melanggar peraturan, dan menyakiti orang lain demi mencapai tujuan pribadinya, dimana semua itu dilakukannya tanpa perasaan bersalah. Dalam konteks organisasi, psikopat dapat membuat konflik, memecah kelompok atau mengadu-domba orang-orang (Freeman, 2015). Dalam relasi intim, psikopat dapat menyakiti pasangannya/istrinya, menelantarkan/meninggalkan begitu saja keluarganya, berselingkuh, melakukan kekerasan dan penganiayaan, dan hal ini bisa dilakukannya selama bertahun-tahun.

Sekitar 1-2% populasi mengalami psikopati klinis, baik pada perempuan dan laki-laki; namun data menunjukkan lebih banyak pada laki-laki (Freeman, 2015). Individu dengan psikopati klinis, biasanya bekerja di dunia kriminal atau penjahat, sehingga banyak populasi psikopat ditemukan di penjara atau pusat rehabilitasi. Namun, ditemukan juga gejala psikopati sub-klinis atau psikopat yang tidak terlalu parah sehingga sulit dideteksi secara klinis. Psikopat sub-klinis terlihat normal namun memiliki problem perilaku yang merugikan orang lain. Prevalensi psikopat sub-klinis adalah sekitar 5-15% dari populasi Amerika Serikat dan juga di Swedia (Barker, 2016). Artinya, dari 20 orang yang kita temui, maka bisa jadi ada 3 orang yang memiliki karakter psikopati sub-klinis. Individu dengan psikopati sub-klinis juga manipulatif, egosentris, dan kejam, sama seperti psikopat pada umumnya. Namun yang membedakan adalah psikopat sub-klinis memiliki intelegensi, latar belakang keluarga, kemampuan sosial dan konteks lingkungan yang membuat mereka bisa menampilkan kesan “normal”. Hal inilah yang memperkuat kapasitas psikopat untuk menjebak korban-korbannya.

Psikopati adalah gangguan yang cukup kompleks yang ditandai beberapa kondisi:

  1. Memiliki dasar genetik

Gangguan kepribadian psikopati diturunkan dalam keluarga (Neuman & Hare, 2008; Viding, Blair, Moffitt, & Plomin, 2005), yang menyebabkan individu mengalami kesulitan untuk peka pada perasaan orang lain.

  1. Memiliki rentang kontinuum

Psikopati memiliki tingkat atau derajat keberatan gejala (severity level). Ada individu dengan gejala dari ringan hingga gejala yang berat/parah.

  1. Memiliki gejala positif

Walaupun gejala utamanya adalah kurangnya empati, namun mereka juga bisa menunjukkan hal-hal yang tampaknya positif, sehingga psikopat sering terlihat memiliki berbagai wajah/topeng. Misalkan: di depan umum, psikopat dapat menampilkan diri sebagai intelek, berkarisma dan bijak dalam kata-kata dan tulisannya, sehingga orang tertarik dan memujanya; namun di rumah mereka akan menjadi orang yang menakutkan, yang membuat pasangannya selalu harus berhati-hati agar tidak melakukan kesalahan karena akan memunculkan ledakan amarah yang mengerikan.

  1. Ada sub-tipe

Berbagai kajian menemukan ada 2 tipe psikopati: 1) primer dan 2) sekunder. Tipe primer ditandai dengan kekurang-tanggapan emosi, kurangnya kecemasan dan tinggi di gejala narsisistik; tipe ini memiliki dasar genetik yang kuat sehingga trauma atau kekerasan masa kecil bukan faktor yang memunculkan gangguan ini (Hicks, Carlson, Blonigen, Patric, Iacono, & MGue, 2012; Neuman & Hare, 2008; Viding, Blair, Moffitt, & Plomin, 2005). Tipe sekunder adalah individu yang reaktif, ditunjukkan dengan ketidakmampuan mengelola emosi sehingga meledak-ledak, dan pencemas. Kajian penelitian menemukan bahwa tipe sekunder terkait dengan pola asuh orang tua atau pengaruh lingkungan yang salah, dan mengalami trauma kekerasan pada masa kecil (Hicks dkk., 2012)

Siapa korbannya?

Psikopat akan berhati-hati memilih korbannya. Dalam tahapan awal, psikopat akan melakukan perilaku simpatik untuk mendekati calon korbannya. Psikopat akan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang calon korbannya, yang nantinya akan digunakan untuk melakukan kontrol, manipulasi dan kekerasan yang paling tepat agar calon korbannya tunduk padanya.

Kecenderungannya, psikopat akan memilih korbannya yang memiliki beberapa karakteristik, yaitu:

  1. Korban takut atau tidak mampu menceritakan pengalaman kekerasannya, misalkan: seorang korban kekerasan dalam relasi sebelumnya (Garrod, 2016). Psikopat juga dapat mencari pasangan yang intelek, profesional yang kemungkinan takut menceritakan pengalamannya karena malu atau takut reputasinya hancur.
  2. Korban dipilih psikopat karena dianggap mampu memberikan kebutuhannya, seperti: uang, properti/harta, ketenaran, status sosial, dan seks. Koran biasanya adalah orang yang dapat dimanipulasi, dikontrol sesuai dengan kepentingan psikopat (Garrod, 2016).
  3. Korban memiliki komitmen yang kuat dalam relasi. Orang dengan komitmen yang tinggi akan berusaha mempertahankan relasi walaupun mengalami kerugian dan tersakiti. Ini menjadi celah psikopat untuk terus melakukan kekerasan karena akan dimaklumi karena korban sedang berupaya mempertahankan relasinya.
  4. Korban adalah individu tangguh, seperti: mudah percaya, penuh kasih dan memafkan, memiliki kemampuan untuk melekatkan diri dan menyediakan diri untuk menjadi sumber kelekatan, penuh toleransi, dan tidak takut pada kesulitan hidup. Hal-hal ini membuat individu yang harusnya memiliki kekuatan karakter malah menjadi korban karena tidak peka terhadap tanda-tanda masalah sejak awal. Orang tangguh tidak akan menyerah kecuali sudah disakiti berkali-kali.
  5. Korban adalah perempuan ekstrovert. Kebanyakan orang berpikir bahwa korban psikopat pasti seorang yang lemah, namun ini bisa menjadi salah. Sebagian korban psikopat adalah perempuan ekstrovert dan cukup ambisius dalam karir (kebanyakan psikopat adalah laki-laki dan korban perempuan). Sifat ekstrovert justru menjadi magnet bagi psikopat yang biasa tampil meyakinkan. Hal ini berbeda dengan laki-laki pada umumnya yang merasa terancam dengan perempuan ambisius. Awalnya di perempuan ekstrovert merasa menemukan pasangannya yang setara, namun pada akhirnya tidak akan ada yang bisa bertahan dengan psikopat.
  6. Korban adalah perempuan memiliki relasi yang kuat dengan ayahnya. Kebanyakan orang berpikir bahwa korban psikopat pasti perempuan yang berasal dari keluarga berantakan, dan mereka tidak pernah mengalami relasi yang sehat. Hal ini salah. Korban bisa saja justru memiliki relasi yang kuat dengan ayahnya yang dianggapnya ideal, baik dan selalu ada untuk anak perempuannya. Akibatnya, si perempuan sulit menerima keadaan dan percaya bahwa ada laki-laki yang bisa melakukan hal jahat, menipu dan selingkuh seperti seorang psikopat.

Memahami hal-hal di atas, maka penting agar calon korban (perempuan) melakukan refleksi atas pengalamannya berelasi dengan psikopat, misalkan: ketidaksetiaan, kekerasan dan berbohong. Jikalau muncul perilaku menyimpang yang menimbulkan perasaan tidak enak, maka baiknya segera dibuat batasan, apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan psikopat padanya. Janganlah ditutupi dengan niat selalu ingin menyenangkan orang lain atau berusaha merubah pasangan psikopatnya karena justru akan memperburuk keadaan. Hal ini penting agar psikopat tidak terus melanjutkan menyakiti hingga menjadi relasi yang sangat tidak sehat. Selain itu, korban juga penting untuk memahami bahwa dia tidak bisa merubah siapapun. Salah tugas penting manusia adalah bertahan hidup, maka jauh lebih baik korban fokus pada membuat dirinya sehat fisik dan rohani daripada mempertahankan hubungan yang tidak sehat.

images-4

Tahapan relasi intim dengan psikopat

Menurut Birch (2013) psikopat akan melakukan relasi intim dalam 3 tahapan, yaitu: idealisasi (idealize), devaluasi (devalue) dan membuang/penolakan (discard).

  1. Idealisasi

Psikopat akan merayu, berbohong dan membuat cerita yang sangat indah, hingga menjadi terlalu bagus/ideal, untuk mendapatkan hati dan kepercayaan pasangannya. Si pasangan akan melambung, tergoda dan jatuh dengan rayuan yang luar biasa indah dan sangat intensif. Psikopat dapat berbohong dengan mudah karena mereka tidak punya empati.

  1. Devaluasi

Sebelumnya, psikopat membanjiri pasangan dengan perhatian dan rayuan. Lalu masuk dalam tahap dua dimana ia akan berubah menjadi panas-dingin (hot and cold) dalam memberikan kasih dan perhatian. Kadang dia menarik diri dan kadang mereka memberikan perhatian secara berlebih-lebih. Hal ini adalah penguatan tidak teratur (intermittent reinforcement), yaitu proses pengkondisian dimana pasangan dibuat berada dalam roller-coaster emosional (melambung ketika penuh cinta dan jatuh ketika diacuhkan atau dimarahi). Pasangan mulai mentoleransi perilaku jahat dan kasar pelaku pada fase dingin, karena menantikan fase hangat. Proses inilah yang membuat pasangan menjadi ketergantungan pada psikopat. Lebih lanjut, psikopat juga akan melakukan perilaku yang bertujuan mengikis harga diri pasangannya, agar pasangannya tidak bisa pergi darinya (membentuk trauma bond).

  1. Membuang/penolakan

Psikopat tidak /kurang memiliki empati, maka mereka cenderung mengobyektivikasi orang lain. Orang lain adalah alat untuk mencapai sesuatu. Maka pasangan intimnya tidak pernah dipandang sebagai subyek dengan segenap perasaan dan keunikan pribadi, namun hanya sebagai obyek hasrat. Hasrat pada psikopat hanya bertahan dalam jangka pendek dan pada waktunya, psikopat akan bosan. Psikopat akan segera menginginkan untuk bergerak ke pemuas hasrat yang baru. Kebosanan dan keinginan untuk mendapatkan obyek baru inilah yang akan membuat psikopat merendahkan dan melakukan kekerasan terhadap pasangan lamanya.

Setelah mengalami ketiga hal ini, korban akan mengalami perasaan kehilangan, marah, sedih, menyalah diri, kecewa, malu, kebingungan dan rasa tidak percaya. Kebanyakan korban telah melakukan pengorbanan dan mengalami kekerasan (emosional, fisik, psikis, ekonomi, dan seksual). Pengalaman emosi kompleks inilah yang membuat korban perlu mendapatkan bantuan dari orang-orang di sekitarnya.

Sayangnya, ketika korban berani berbicara tentang kekerasan yang dialaminya dari seorang psikopat, kebanyakan cerita pengalamannya tersebut tidak langsung dipercaya. Sikap meyakinkan, simpatik yang ditampilkan seorang psikopat dapat mengelabui orang-orang di sekitarnya. Orang akan meihat psikopat sebagai orang yang baik, bijak tanpa cela, sehingga memilih untuk tidak percaya pada korban.

Psikopat dalam kekerasan di relasi intim

Dalam relasi intim alamiah, antar pasangan akan melakukan usaha menerima, mengasihi dan mengikatkan diri satu sama lain (komitmen). Namun, pada psikopat, hal ini akan sulit terjadi. Freeman (2015) menjelaskan bagaimana karakteristik relasi intim seorang psikopat:

  1. Kemampuan membentuk ikatan/keintiman sangat terbatas

Di tahap awal relasi intim, mereka tampak bersemangat mengejar pasangannya sehingga dapat disalahartikan sebagai keinginan untuk menyayangi dan berkomitmen pada pasangannya. Namun, sebenarnya ini adalah tahapan awal mengejar keinginannya yang dimotori oleh mengalirnya dopamine di otaknya, mirip seperti orang kecanduan yang sedang mengejar bahan adiksi yang diinginkannya. Dalam berperilaku, psikopat akan diarahkan oleh kebutuhan dirinya, atau dengan kata lain ia akan mengejar pasangan yang dipikirnya mampu memenuhi kebutuhannya. Setelah hasratnya pudar, maka semangatnya untuk mempertahankan relasi pun punah. Pada tahap ini, psikopat bisa meninggalkan pasangannya begitu saja.

  1. Munculnya siklus relasi intim yang tidak sehat/disfungsional

Biasanya akan muncul suatu siklus dengan pola yang bisa diprediksi, diawali dari masa menyenangkan, masa konflik, dan masa meninggalkan pasangan/penelantaran. Psikopat awalnya akan mengagung-agungkan relasi intim dan pasangannya, lalu muncul konflik yang membuat mereka akan merendahkan pasangan/relasi intimnya sehingga menjadi tidak berharga. Lalu, psikopat akan meninggalkan pasangannya begitu saja, tanpa memperhatikan luka dan perasan sakit pasangannya. Hal ini terjadi karena sejak awal mereka tidak sungguh-sungguh membuat ikatan/komitmen dengan pasangannya, sehingga mudah bagi mereka untuk meninggalkan/menelantarkan pasangannya tanpa rasa bersalah. Lalu, mereka akan dengan bersemangat mencari target baru, dan mulai memanipulasi cerita dan menyampaikan ke orang-orang baru bahwa pasangan lamanya bermasalah/atau pihak yang salah sehingga ia harus meninggalkannya.

  1. Tidak mampu meminta maaf secara tulus

Psikopat tidak mampu merasakan perasaan bersalah karena penyimpangan pemrosesan informasi emosional di otaknya. Oleh karena itu, psikopat sangat mudah terlibat dalam perilaku amoral. Jika mereka ketahuan menyakiti orang lain, maka mereka akan menyampaikan kalimat yang seakan-akan meminta maaf tapi sebenarnya bukan. Biasanya kalimat meminta maaf tidak tulus dibentuk dalam kalimat berjarak atau mereduksi kesalahan, misalkan: “Saya membuat kesalahan marah-marah padamu karena kamu kurang memahami saya” atau “Maaf, saya tidak bermaksud demikian” (tidak menyebutkan perilaku salahnya, sehingga seakan-akan kesalahannya tereduksi). Kalimat-kalimat itu terasa tidak tulus karena tidak adanya perasaan menyesal dan merasa bersalah. Biasanya diikuti dengan kalimat yang menetralisir, seperti: “sudahlah, kamu kok sensitif banget kayak pantat bayi”, “itu semua di masa lalu, saya tidak ingat lagi”, “ayo kita ngomong hal tentang saat ini, jangan terjebak di masa lalu.”

  1. Munculnya sikap narsisistik yang menonjol

Dalam relasi sosial, psikopat bisa memiliki keyakinan diri yang berlebihan (grandiose sense of self). Mereka merasa sangat berdaya, hebat dan sangat berbakat, sehingga harus dipuja orang-orang lain. Mereka juga menunjukkan keinginan untuk mengambilalih kekuasaan supaya bisa mengendalikan banyak orang. Hal ini sering muncul dengan cara menjelek-jelekkan atasannya. Dalam berteman, niat mereka juga tidak tulus, hanya untuk mencapai kebutuhan pribadinya saja.

  1. Munculnya keinginan menguasai dan mengatur manusia lain, seakan-akan menjadi obyek kekuasaannya

Psikopat membutuhkan perasaan berdaya dengan menggunakan kontrol atas orang di sekitarnya yang dianggap lemah. Mereka akan menggunakan orang-orang yang dianggap rendah atau lemah ini untuk mengerjakan hal-hal yang diinginkannya. Orang-orang di sekelilingnya dianggap boneka yang harus bergerak sesuai keinginannya, dari digerakkan untuk melayani kebutuhan si psikopat, melindungi imagenya si psikopat, hingga mengorbankan diri demi kepentingan si psikopat. Pada banyak psikopat, biasanya menggunakan pasangannya sebagai “boneka”-nya.

  1. Amoral

Psikopat akan memiliki perilaku dan sikap amoral, baik ditunjukkan secara terbuka atau ditutupi dengan topeng publik yang kontras. Biasanya, psikopat seperti memiliki dua kehidupan yang bertolakbelakang, di satu sisi publik akan tampak sangat karismatik, namun di sisi lain sangat mengerikan dan amoral, seperti: psikopat menulis banyak tentang kemanusiaan di website dan memberikan seminar tentang hak manusia, namun di rumahnya ia mengeksploitasi pembantu yang tidak pernah dibayar di rumahnya selama bertahun-tahun. Psikopat bisa memiliki niat yang sangat jahat pada seseorang (misalkan: “gua ingin bunuh mantan istri gua, lalu gua potong-potong dia”) atau perilaku melanggar aturan sosial (misalkan: memaksa pasanganya untuk melakukan seks dengannya).

Sangat sulit untuk membentuk hubungan intim yang sehat dengan psikopat karena mereka tidak memiliki kapasitas untuk membentuk ikatan emosional dengan pasangannya. Jika dilanjutkan, maka yang terjadi adalah dinamika kekuasaan, dimana psikopat akan menjadi pihak dominan dan pasangannya menjadi orang yang tergantung (co-dependent), hal ini akan membentuk ikatan trauma (trauma bond). Jika korban telah mengalami kekerasan dan dihancurkan ego serta harga dirinya oleh psikopat selama bertahun-tahun, maka korban akan menjadi sangat terikat dengan psikopat. Bentuk ikatan ini sangat intensif, sulit dipatahkan karena begitu mengikat korban dan menumpulkan rasionalitas dan kekuatannya untuk mempertahankan diri.

Seks dengan Psikopat

Psikopat tidak mampu membuat ikatan emosional yang mendalam dengan pasangannya. Sikap baik yang dibuatnya di awal relasi, sebenarnya hanya di permukaan dan dilakukan dalam rangka mengikat dan mengambil kendali atas pasangannya. Karena itu, seks dengan psikopat tidak akan menjadi pengalaman yang memberikan kepuasan emosional bagi pasangannya. Bagi psikopat, seks sering hanya dilihat sebagai permainan untuk mendapatkan seseorang atau sebagai pemenuhan kebutuhan dirinya semata, bukan demi membangun ikatan emosional jangka panjang.

Tidak jarang, psikopat bisa bercerita tentang fantasi seksualnya yang cenderung menyimpang, seperti: anal seks, seks sesama jenis, orgy/seks dengan beberapa orang dan sadisme-masokisme. Pada titik tertentu, psikopat dapat memaksa pasangannya untuk menghidupkan fantasi seksual menyimpangnya ini.

Bagi psikopat, seks dilakukan dengan dasar kekuasaan. Hubungan seksual digunakan untuk mengambil kendali atas pasangannya, agar pasangan percaya dan tergantung padanya, atau agar si pasangan dapat memberikannya hal-hal yang dia butuhkan, seperti: uang, dan status. Untuk mendapatkan kebutuhannya tersebut, psikopat akan melakukan performa seks yang berlebihan agar tampak hebat di depan pasangannya. Pada beberapa psikopat, mereka akan memberikan performa seks yang hebat dan meminta uang dari pasangannya karena mereka telah melayani secara seksual. Pada beberapa psikopat, seks juga bisa dilakukan secara kasar sebagai sarana untuk melepaskan energi agresifnya dalam kegiatan seks.

Psikopat sering terlibat dalam perselingkuhan atau memiliki beberapa pasangan dalam satu waktu (promiscuous) atau bisa menikah beberapa kali namun hanya bertahan dalam jangka pendek (short-term marriages) (Meyer, 2014). Ali & Chamorro-Premuzic (2010) menemukan bahwa psikopat cenderung sulit membentuk komitmen dan banyak melakukan perselingkuhan. Bagi psikopat, seks adalah kekuasaan dan cara untuk memperkuat ego mereka. Seks akan dilakukan terutama jika mereka merasa bosan, atau tertolak oleh seseorang, maka psikopat akan menggunakan seks untuk mendapatkan kekuasaan atas seseorang yang lain. Maka, psikopat dapat dengan mudah melakukan hubungan seks dengan orang asing/baru dikenalnya karena psikopat menikmati akses mudah untuk menguasai tubuh seseorang dalam keadaan rentan dan intim melalui aktivitas seks (Meyer, 2014).

Selanjutnya, dinamika hubungan seks antara psikopat dan pasangannya akan menuju fase kebosanan. Psikopat sangat mudah bosan dan akhirnya membuang atau menelantarkan pasangannya begitu saja. Psikopat akan mencari pasangan baru, atau berselingkuh dengan orang baru yang dianggapnya bisa memenuhi kebutuhannya.

istock_000025088076small_sq-8df9e492e736f982596643b2b255ddb28dd70095-s300-c85

Psikopat dan lingkungan sosial yang memaklumkan kekerasan

Psikopat dapat menggunakan dukungan sosial dari orang-orang di sekelilingnya untuk bisa melakukan kekerasan pada pasangannya, misalkan: keluarga, teman, rekan kerja, dan komunitas. Psikopat akan memilih berteman dan membangun relasi dengan orang atau komunitas yang mendukung/membiarkan kekerasan terus terjadi.

Keluarga psikopat kemungkinan adalah salah satu faktor terciptanya seorang psikopat. Trauma masa kecil dan pengasuhan yang diwarnai dengan kekerasan serta penelantaran dapat menciptakan seorang psikopat. Artinya, dalam keluarga yang tidak sehat tersebut terjadi kesalahan nilai dan persepsi terhadap kekerasan yang mengakibatkan kekerasan dipermaklumkan. Keluarga psikopat bisa saja merasionalisasi penggunaan kekerasan yang dilakukan psikopat pada pasangannya. Seperti kasus di atas, si Ibu psikopat malah menjadi bagian komplotan yang berusaha merubah cara pandang calon pasangan anaknya agar mau menjadi korban kekerasan, dengan dalih cinta.

Dapat juga terjadi, dimana psikopat hidup dalam lingkungan yang tidak peka dan tidak peduli terhadap kekerasan. Psikopat menggunakan sikap acuh dan tidak mau peduli lingkungannya agar leluasa melakukan kekerasan. Banyak orang dalam komunitas yang menganggap persoalan kekerasan dalam relasi intim sebagai urusan pribadi yang tidak boleh dicampuri. Hal ini adalah kesempatan yang digunakan oleh psikopat, untuk melakukan kekerasan di dalam ruang pribadi, dan memastikan bahwa komunitasnya tahu bahwa mereka tidak boleh ikut campur. Psikopat akan melakukan kekerasan dalam ruang pribadi untuk memastikan tidak akan ada yang turut campur.

Sering ditemukan pula, adanya nilai-nilai yang salah di masyarakat yang semakin memperburuk kondisi kekerasan dan semakin mendukung psikopat melakukan kekerasan, misalnya: cara pandang perbedaan gender yang salah. Masyarakat yang menilai bahwa suami boleh mendisiplinkan istrinya dengan kekerasan maka cenderung akan memperbolehkan atau membiarkan kekerasan terjadi di dalam komunitasnya. Lebih lanjut, komunitas dengan nilai yang salah ini, bisa mereduksi kekerasan dengan merubahnya menjadi sesuatu problem yang lebih kecil/remeh, misalkan: “apakah memukul dan bertengkar itu bukannya hanya sekedar emosi semata? Kan emosi dalam keluarga adalah wajar ya.”

Memahami hal ini, maka korban perlu menyadari siapa saja kaki-tangan psikopat yang ada di sekitarnya, lalu forban perlu segera menjauh dari orang-orang itu. Sekali lagi perlu ditekankan, bahwa salah tugas penting manusia adalah bertahan hidup, maka jauh lebih baik korban fokus pada membuat dirinya sehat fisik dan rohani daripada mempertahankan hubungan yang tidak sehat.

(bersambung)

* Kasus ini adalah sebuah ilustrasi yang terinspirasi dari kisah nyata tentang seorang psikopat yang telah berulang melakukan kekerasan dalam relasi intim.

Referensi:

Ali, F., & Chamorro-Premuzic, T. (2010). The dark side of love and life satisfaction: Associations with intimate relationships, psychopathy and Machiavellianism. Personality and Individual Differences, 48, 228-233.

Blackburn, R., & Fawcett, D.J. (1999). The Antisocial Personality Questionnaire: An inventory for assessing deviant traits in offender populations. European Journal of Psychological Assessment, 15, 14-24.

Barker, E. (2016). 5 Ways to deal with psychopaths. Diunduh dari http://time.com/4533133/5-ways-to-deal-with-a-psychopath/

Birch, A. (2013). Stages of the psychopathic bond. Diunduh dari http://psychopathsandlove.com/stages-of-the-psychopathic-relationship/

Freeman, R. (2015). 6 obstacles to a relation with a psychopath: The real reason why those who have tried failed to bond. Diunduh dari https://www.psychologytoday.com/blog/neurosagacity/201506/6-obstacles-relationship-psychopath

Garrod, H. (2016). Domestic violence: The emergence of the male psychopath. Diunduh dari http://www.hiddenhurt.co.uk/male_psychopath.html

Hare, R. D. (1991). The Hare Psychopathy Checklist – Revised. North Tonawanda, NY: Multi-Health Systems.

Hicks, B.M., Carlson, M.D., Blonigen, D.M., Patrick, C.J., Iacono, W.G., & Mgue, M. (2012). Psychopathic personality traits and environmental contexts: Differential correlates, gender differences, and genetic mediation. Personality Disorders, 3, 209-227.

Meyer, S. (2014). Sex and the psychopaths: Why so many fall for psychopaths, and how they can begin to heal. Diunduh dari https://www.psychologytoday.com/blog/insight-is-2020/201410/sex-and-the-psychopath

Neumann, C.S. & Hare, R.D. (2008). Psychopathic traits in a large community sample: links to violence, alcohol use, and intelligence. Journal of Consulting Clinical Psychology, 76, 893-899.

Stout, M. (2005). The sociopath next door: The ruthless vs. the rest of us. New York: Broadway Books.

Viding, E., Blair, R.J., Moffitt, T.E., & Plomin, R. (2005). Evidence for substantial genetic risk for psychopathy in 7-year-olds. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 46, 592-597.

6 komentar di “Menangkap Psikopat (1) Mengenali psikopat dalam kekerasan di relasi intim

    • Hi Anna. Jika betul psikopat (perlu telah didiagnosa oleh ahli psikologi/psikiatri/perilaku manusia), maka proses berikutnya adalah menentukan langkah-langkah solutif mengamankan diri dan anak (jika ada). Psikopat sulit berubah, kecuali ada aturan/hukum yang menjerat mereka untuk segera merubah perilaku menindas orang lain. Jika tidak ada, mereka akan tetap ingin mencapai kepentingan mereka sendiri. Maka, sebaiknya pasangannya segera mencari bantuan profesional dan hukum yang bisa diaksesnya. Jika ke konselor/psikolog pernikahan, pastikan adalah profesional yang menguasai kasus KDRT ya. Jika tidak, bisa jadi malah mendapatkan penanganan yang salah/kurang tepat, yang justru malah menjustifikasi perilaku kekerasan si antisosial (laki-laki) dalam relasi intim.

Tinggalkan komentar