Trauma Menyaksikan Kekerasan dalam Rumah Tangga pada Masa Kanak-Kanak dan Keterlibatan dalam Kekerasan dalam Relasi Intim di Masa Remaja-Dewasa

Trauma Menyaksikan Kekerasan dalam Rumah Tangga pada Masa Kanak-Kanak dan Keterlibatan dalam Kekerasan dalam Relasi Intim di Masa Remaja-Dewasa

korban KDRT tidak langsung

Oleh: Margaretha, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Trauma dan perilaku kekerasan

Anak-anak yang tinggal dalam lingkup keluarga yang mengalami KDRT memiliki resiko yang tinggi mengalami penelataran, menjadi korban penganiayaan secara langsung, dan juga resiko kehilangan orang tua sebagai tonggak penyelenggaraan kehidupan mereka selama ini (Dauvergne & Johnson, 2001). Pengalaman menyaksikan, mendengar, mengalami kekerasan dalam lingkup keluarga dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh negatif pada keamanan, stabilitas hidup dan kesejahteraan anak (Carlson, 2000; McKay, 1994). Dalam hal ini, posisi anak dapat dilihat sebagai korban secara tidak langsung atau dapat disebut sebagai korban laten (latent victim).

Anak yang melihat perilaku kekerasan setiap hari di lingkungan rumah, dapat mengalami gangguan fisik (Bair-Merritt, Blackstone & Feudtner, 2006), mental dan emosional (Edleson, 1999; Emery, 2011). Carlson (2000) mengklasifikasi 3 kategori pengaruh negatif KDRT yang dapat terjadi dalam kehidupan anak yang menjadi saksi kekerasan dalam lingkup keluarga, yaitu: 1) problem emosional, perilaku dan sosial; 2) problem kognitif dan sikap; serta 3) problem jangka panjang. Gangguan perilaku dan sosial dapat dimanifestasikan dalam bentuk meningkatnya perilaku agresif, kemarahan, kekasaran, perilaku menentang dan ketidakpatuhan; juga munculnya gangguan emosional dalam diri anak, seperti: meningkatnya rasa takut, kecemasan, relasi yang buruk dengan saudara kandung, teman bahkan orang tua, serta menurunnya self esteem anak. Bukan hanya itu, problem personal anak juga dapat turut mempengaruhi kemampuan kognitif dan sikapnya. Hal ini dapat terlihat dari menurunnya prestasi anak di sekolah, terbatasnya kemampuan problem solving, kecenderungan sikap yang mendukung perilaku kekerasan, bahkan hingga terbentuknya pemahaman nilai-nilai yang negatif. Pada jangka panjang, problem-problem ini juga akan menunjukkan pengaruhnya pada masa dewasa, yaitu ketidakmampuan mengembangkan kemampuan coping yang efektif. Kebanyakan anak-anak ini akan menjadi orang-orang dewasa yang rentan terhadap depresi dan menunjukkan gejala-gejala traumatis, bahkan beresiko tinggi menjadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga mereka sendiri ketika dewasa (McKay, 1994; Kerig, 1999; Robinson, 2007).

Berbagai penelitian sebelumnya juga menemukan bahwa pengalaman anak menyaksikan KDRT adalah faktor penting yang menentukan munculnya problem psikologis di masa depan, seperti: penelantaran dan pelecehan secara fisik dan psikologis kepada orang-orang di sekitarnya (McGuigan & Pratt, 2001); problem perilaku eksternal dan internal (Kitzmann dkk., 2003; Skopp, McDonald, Jouriles, & Rosenfield, 2007); berbagai perilaku beresiko seperti merokok, penyalahgunaan zat dan perilaku seks beresiko (Felitti dkk., 1998). Anak yang terekspos KDRT memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk terlibat dalam siklus kekerasan melalui menjadi pelaku kekerasan di masa depan (Edelson dkk., 2003).

Anak korban utama kekerasan (pelecehan dan pengabaian) dan korban tidak langsung dari KDRT memiliki kerentanan terlibat dalam kekerasan pasangan di masa dewasa (Appel & Holden, 1998; Capaldi dkk., 2001; Dauvergnme & Johnson, 2001). Trauma masa kecil mengarahkan pada pengembangan gejala trauma kronis pada saat dia dewasa, hal ini akan meningkatkan resiko mereka untuk menyerang pasangan dalam hubungan mereka (Dutton, 2005; Margolin & Gordis, 2000). Berbagai penelitian mengindikasikan adanya hubungan antara pengalaman menyaksikan KDRT pada masa lalu, tingkat perilaku kasar saat ini, dan psikopatologi dalam sampel klinis pelaku laki-laki (Arrigo, 2005). Laki-laki yang menyerang atau berlaku agresif pada pasangannya memiliki kemungkinan yang lebih tinggi melaporkan pernah mengalami kekerasan fisik maupun pelecehan fisik pada masa kanak-kanak di lingkungan keluarganya (Arrigo, 2005). Anak laki-laki yang tumbuh dalam keluarga yang mengalami kekerasan memiliki resiko tiga kali lipat menjadi pelaku kekerasan terhadap isteri dan keluarga mereka di masa mendatang; sedangkan anak perempuan saksi KDRT akan berkembang menjadi perempuan  dewasa yang cenderung bersikap pasif dan memiliki resiko tinggi menjadi korban kekerasan di keluarga mereka nantinya (Kerig, 1999). Penelitian jangka panjang yang dilakukan oleh Dauvergne dan Johnson (2001) menjelaskan bagaimana efek trauma terjadi pada anak-anak yang menyaksikan KDRT. Pengalaman KDRT dapat membuat anak-anak saksi KDRT mengembangkan persepsi yang salah tentang kekerasan; bahwa kekerasan adalah salah satu cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah.

Trauma dan resiliensi

Penting dipahami bahwa tidak semua anak saksi KDRT akan melakukan kekerasan dalam relasi intim di masa depannya. Carlson (2000) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa reaksi anak-anak terhadap pengalaman menyaksikan KDRT terbentang dalam suatu kontinum, dimana beberapa anak menunjukkan resiliensi yang cukup tinggi, sedangkan beberapa anak menunjukkan gangguan perilaku. Anak-anak yang memiliki ketahanan diri yang kuat dapat mengembangkan pemahaman yang tepat atas peristiwa kekerasan yang disaksikannya dalam keluarga; dimana dengan dukungan lingkungan sekitarnya, anak akan dapat melanjutkan hidupnya tanpa mengalami gangguan emosional maupun perilaku yang signifikan pada kehidupan selanjutnya. Respon dan ketahanan anak menghadapi KDRT sangat dipengaruhi oleh karakter pribadi anak, seperti: kapasitas intelektual, kemampuan sosial, dan rasa percaya diri; dan juga dukungan sosial yang tersedia bagi mereka, seperti: hubungan dengan saudara kandung, keluarga dan teman sebaya yang erat. Relasi dan dukungan dari orang-orang dewasa di sekitar anak merupakan faktor yang sangat penting untuk menekan efek negatif yang dapat muncul dari pengalaman menyaksikan KDRT.

Lebih lanjut, penelitian longitudinal oleh Emery (2011) menemukan bahwa hubungan antara trauma menyaksikan KDRT dengan munculnya problem psikologis melemah seiring meningkatnya usia anak pada saat menyaksikan KDRT pertama kali. Usia anak pada saat terekspos KDRT menjadi moderator hubungan antara KDRT dan problem perilaku, atau dengan kata lain probabilitas munculnya problem perilaku akibat terekspos KDRT menjadi lebih rendah jika anak menyaksikan KDRT pada usia yang lebih tua. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa dalam mengkaji hubungan antara pengalaman trauma menyaksikan KDRT pada masa kanak-kanak dengan kekerasan dalam relasi intim di masa datang maka perlu dipertimbangkan berbagai faktor demografis yang dapat mempengaruhi hubungan tersebut. Pemahaman akan berbagai faktor yang memperngaruhi hubungan antara trauma masa kanak menyaksikan KDRT dan kekerasan dalam relasi intim dapat digunakan dalam upaya untuk mengidentifikasi kasus kekerasan dalam relasi intim, dan mengembangkan intervensi bagi pelaku, korban langsung dan korban tidak langsung KDRT.

Secara khusus, pemahaman anak atas apa dan bagaimana efek menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga pada anak adalah sangat penting untuk menghadapi efek-efek negatif KDRT dalam perkembangan anak. Namun, hingga saat ini di Indonesia belum banyak diketahui bagaimana efek menyaksikan KDRT pada perkembangan anak dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Penelitian sebelumnya yang kebanyakan terjadi di populasi di komunitas di Barat pun lebih banyak fokus menjelaskan efek jangka pendek KDRT dan lebih banyak mengulas akibat KDRT pada korban yang mengalami kekerasan secara langsung. Hanya sedikit yang kita ketahui secara empiris mengenai bagaimana pengalaman anak menyaksikan peristiwa KDRT (korban tidak langsung) dapat berpengaruh pada perilakunya dalam jangka panjang.

Penelitian ke depan

Berbagai pertanyaan masih terbuka untuk dijawab mengenai trauma KDRT. Oleh karena itu masih perlu diteliti lebih lanjut hubungan trauma sebagai korban KDRT dengan perilaku pelaku dan korban KDRT dengan menggunakan analisis siklus kekerasan dalam keluarga. Studi lebih lanjut terhadap anak-anak yang pernah menyaksikan KDRT sangat dibutuhkan, agar dapat diketahui gambaran mengenai pengaruh trauma menyaksikan KDRT terhadap pembentukan perilaku bermasalah di masa depannya. Lebih lanjut perlu dikaji pula bagaimana mekanisme intensitas, durasi dan frekuensi pengalaman menyaksikan KDRT pada masa kanak dapat mempengaruhi perkembangan psikologis anak serta bagaimana trauma KDRT dapat meningkatkan kemungkinan anak terkait dalam KDRT di masa depannya. Penelitian ke depan perlu juga mengetahui kontribusi berbagai faktor yang mempengaruhi hubungan antara pengalaman traumatis terhadap tingkat agresivitas pelaku kekerasan, tingkat kekerasan yang dialami korban di dalam suatu relasi intim dan berbagai aspek psikologis lainnya, beberapa faktor di antaranya adalah: usia, jenis kelamin, status sosio-ekonomi, etnis dan berbagai faktor demografis-kontekstual lainnya.

Beberapa penelitian yang dapat dilakukan diantaranya adalah: gambaran pengaruh trauma menyaksikan KDRT terhadap agresi pelaku, gambaran pengaruh trauma menyaksikan KDRT terhadap berbagai persoalan psikologis dan perilaku beresiko korban langsung dan korban tidak langsung, gambaran persoalan psikologis korban langsung dan korban tidak langsung KDRT, faktor protektif dan faktor resiko atas hubungan trauma menyaksikan KDRT dengan kekerasan dalam relasi intim, gambaran psikologis pelaku KDRT, dan intervensi individual dan kelompok pada pelaku, korban langsung dan korban tidak langsung.

Penelitian trauma KDRT dapat menjadi pijakan awal pengembangan studi longitudinal efek trauma terhadap fungsi psikofisik manusia, dimana selanjutnya pemahaman atas gambaran psikologis baik korban dan pelaku KDRT yang didapat dari penemuan dari penelitian seperti ini dapat digunakan untuk mengembangkan intervensi bagi orang-orang yang terkait dengan peristiwa traumatis KDRT. Pemahaman ini akan dapat digunakan untuk menyusun intervensi untuk kasus-kasus KDRT, terutama pada anak-anak yang mengalami dan menyaksikan KDRT dalam rangka mencegah gangguan lebih lanjut.

Referensi

Arrigo, B.A. & Shipley, S.L. (2005). Introduction to Forensic Psychology Issues and Controversies in Crime and Justice. Elsevier. New York.

Bair-Merritt, M.H., Blackstone, M., & Feudtner, C. (2006). A systematic review physical health outcomes of childhood exposure to intimate partner violence. Pediatrics, 117, 278-290.

Carlson, B.E. (2000). Children exposed to intimate partner violence: Research findings and implications for intervention. Trauma, Violence and Abuse, 1, 321-340.

Edleson, J.L. (1999). Children’s Witnessing of Adult Domestic Violence. Journal Interpersonal Violence, 14, 839-870.

Margolin, G., & Gordis, E.B. (2000). The effects of family and community violence on children. Annual Review of Psychology, 51, 445-479.

McKay, M.M. (1994). The link between domestic violence and child abuse: Assessment and Treatment Considerations. Child Welfare, 73, 29-39.

Straus, M.A., Hamby, S., Boney-McCoy, S., & Sugarman, D., 1996. The Revised Conflict Tactics Scales (CTS2). Journal of Family Issues, 17, 283-316.

Van der Kolk, B.A. (2005). Developmental Trauma Disorder: Toward a rational diagnosis for children with complex trauma histories. Psychiatric Annuals, 35, 401-408.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s