Psikologi Moralitas: Mengapa menjadi benar dan salah bisa berujung pada kejahatan (Bagian II)

Psikologi Moralitas: Mengapa menjadi benar dan salah bisa berujung pada kejahatan (Bagian II)

Oleh: Margaretha

Pengajar Psikologi Forensik

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Moral-Emotions-300x260

Marah dan jijik

Marah dan jijik juga tergolong emosi negatif, namun biasanya muncul karena adanya suatu faktor di luar diri. Marah bisa terjadi ketika seseorang tersinggung atas perilaku orang lain, merasa dilanggar/dirugikan, frustasi atau adanya tindakan orang lain yang melanggar standar moral yang dianutnya. Sedangkan perasaan jijik terkait dengan reaksi atas penolakan terhadap sesuatu yang berpotensi menular atau sesuatu yang dianggap ofensif, tidak menyenangkan, serta pelanggaran etika keilahian/kesucian (mengingatkan pada sifat hewan yang dianggap lebih rendah, seperti buang air besar atau barang yang kotor/jorok).

Marah dan jijik bisa menyebabkan orang lebih mungkin terlibat dalam perilaku imoral. Marah tentu saja lebih bisa dipahami dipahami sebagai penyebab munculnya perilaku agresif, menyerang dan merusak. Kemarahan yang tidak dikelola akan menyebabkan orang dapat melakukan pelanggaran atau perilaku buruk. Namun, penelitian juga menemukan bahwa emosi jijik juga bisa menjadi akar emosi yang memunculkan kejahatan. Jijik ditemukan sebagai awal emosi munculnya pengabaian hak orang lain dan merendahkan martabat manusia lain, seperti rasisme dan pelecehan/kekerasan (Vartanian, Trewartha, & Vanman, 2016). Baca lebih lanjut

Pengasuhan positif bagi anak: Video Feedback for Positive Parenting and Sensitive Discipline (VIPP-SD)

Pengasuhan positive dan Disiplin sensitif bagi anak: Video Feedback for Positive Parenting and Sensitive Discipline (VIPP-SD)

Oleh: Margaretha

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

training-italiano-certificato-vipp-sd-00230468-001

Dalam seminggu terakhir saya menikmati waktu belajar mengenai pendekatan intervensi pada relasi antara orang-tua dan anak, Video Feedback for Positive Parenting and Sensitive Discipline (VIPP-SD) di Leiden University, Belanda. Saya mengikuti pelatihan untuk menjadi pelaksana intervensi (intervener) VIPP-SD ini karena saya telah jatuh cinta dengan teori Kelekatan (attachment).

VIPP-SD adalah intervensi yang menggunakan pendekatan teori kelekatan. Teori kelekatan menjelaskan bahwa dasar dari perkembangan pribadi dan interaksi sosial manusia dibangun dari pengalaman awal hidup manusia dengan pengasuhnya (caregiver – yang sering adalah orang tua atau Ibu). Berbagai penelitian telah menemukan bahwa kelekatan aman pada masa kanak dapat memprediksi perkembangan dan kompetensi sosial individu di masa dewasa. Dimana individu yang memiliki hubungan yang aman dan nyaman dengan pengasuhnya pada masa kanak ditemukan memiliki harga diri yang positif, mampu mempercayai orang lain, kemampuan sosial yang cukup berkembang, mampu menjalin persahabatan, serta mendapatkan dukungan sosial yang memadai pada masa dewasanya (Juffer, van Ijzendoorn, & Bakermans-Kranenburg, 2007). Oleh karena itu, intervensi yang berdasarkan kelekatan akan berusaha untuk membangun relasi kelekatan yang aman. Usaha intervensi dilakukan untuk meningkatkan kelekatan aman atau merubah dari pola kelekatan tidak teroganisir menjadi kelekatan yang aman/terorganisir.

Intervensi kelekatan dikembangkan untuk membantu terbentuknya kelekatan yang aman antara orang tua dan anak. Kajian intervensi kelekatan selama ini menunjukkan bahwa kelekatan aman dapat dibangun oleh orang tua/pengasuh yang memiliki kepekaan. Oleh karena itu, adalah penting mempelajari bagaimana intervensi kelekatan meningkatkan kepekaan orang tua dalam memberikan pengasuhan dan disiplin bagi anaknya. Pengasuhan yang peka dan disiplin yang sensitif diharapkan dapat mendukung perkembangan anak yang lebih optimal. Hal ini akan bermakna sekali bagi saya, yang sering bekerja dengan anak dan orang tua yang sedang mengalami persoalan psikologis sehingga relasi orang tua-anaknya tidak optimal mendukung kesehatan mental.

Baca lebih lanjut