Dinamika Psikologi Korban dan Saksi dalam Memberikan Kesaksian di Peradilan

Dinamika Psikologi Korban dan Saksi dalam Memberikan Kesaksian di Peradilan

Margaretha, Dosen Psikologi Forensik

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya

 Image

Apakah memberikan kesaksian atas tindakan kejahatan yang dialaminya di peradilan memberikan efek kelegaan pada korban, terutama ketika melihat pelaku kejahatan diadili atas perbuatannya? Apakah bersaksi di peradilan membuat korban menjadi tidak lagi menyimpan dendam atau menurunkan kemungkinan membalas dendam? Atau, apakah pengalaman memberikan kesaksian di peradilan justru memperdalam luka emosional dan psikologis korban karena seperti mengulang kembali penderitaan yang pernah dialaminya? Tulisan ini akan menjelaskan efek pemberian kesaksian oleh korban di peradilan berdasarkan penelitian empiris dalam ilmu Psikologi.

Dalam pandangan hukum, logika pemberian keterangan dalam peradilan adalah korban kejahatan yang memberikan kesaksian (korban-saksi) menginginkan tercapainya kebenaran dan keadilan; sehingga proses memberikan kesaksian akan memberikan perasaan dan keadaan psikologis yang positif, seperti kepuasan. Namun ternyata selain kepuasan, ditemukan pula bahwa memberikan kesaksian di peradilan memberikan efek negatif bagi keadaan emosional dan psikologis korban-saksi, seperti: munculnya perasaan cemas dan malu karena berhadapan dengan proses hukum dan masyarakat. Pada kenyataannya, sedikit yang kita ketahui tentang apa dan bagaimana pengaruh memberikan kesaksian di peradilan di konteks Indonesia.

Kesaksian dan memori

Kesaksian mengacu pada ingatan saksi dan korban mengenai suatu peristiwa tindak pidana yang telah terjadi. Karena sebagian besar kesaksian korban atau saksi berdasarkan ingatan mereka mengenai peristiwa kejahatan yang telah dialami sebelumnya, maka penting untuk memahami faktor ketepatan dan kelengkapan kesaksian saksi dan korban, serta turut mempertimbangkan kesalahan atau bias (Yarmey 2009).

Brewin (2007 dalam Brown, 2010) menyatakan bahwa ingatan merupakan bangunan mental catatan pengalaman yang berisi pikiran dan perasaan seseorang yang telah melalui proses interaksi dinamis dengan pengalaman hidup dan lingkungan manusia. Berbagai penelitian psikologi telah menunjukkan bahwa ingatan itu bisa saja benar, atau salah, bahkan keseluruhannya salah, atau benar dan salah dalam waktu yang bersamaan. Hanya karena seseorang mengaku mengingat telah melihat sesuatu, tidak berarti bahwa apa yang mereka ingat benar-benar terjadi. Oleh karena itu, dalam menerima kesaksian, peradilan perlu mempertimbangkan kompetensi dan kredibilitas individu dalam memberikan kesaksian. Untuk hanya menjadi saksi yang kompeten dan kredibel, seseorang harus memiliki kapasitas persepsi yang memadai, mampu mengingat dan melaporkan dengan baik, serta mampu dan mau mengatakan yang sebenarnya.

Kesaksian dan trauma

Memberikan kesaksian mengenai peristiwa yang menyakitkan atau traumatis dapat menempatkan seorang manusia mengalami tekanan atau stress, bahkan seperti mengalami trauma kembali. Berbagai penelitian di Psikologi Klinis mengenai efek trauma telah menemukan bahwa mengingat kembali pengalaman traumatis memberikan tekanan yang cukup besar bahkan hampir mirip seperti efek negatif pengalaman traumatis yang sesungguhnya (Orth & Maercker, 2004). Kesaksian akan membuat korban mengingat kembali peristiwa kejahatan yang menimpanya, mengungkapkannya pada berbagai orang, dari proses penyelidikan dan penyidikan oleh Kepolisian, persiapan pembuatan kasus perkara dan hingga harus bercerita di depan orang banyak di peradilan. Keseluruhan pengalaman kesaksian ini pada akhirnya adalah mengulang berkali-kali penderitaan yang telah dialaminya sepanjang rangkaian proses hukum.

Berbagai penelitian psikologi juga menemukan bahwa perubahan ingatan (memory alteration) banyak terjadi di individu yang mengalami trauma. Penelitian Elizabeth Loftus (1978 dalam Brown, 2010) pada korban perampokan menggunakan senjata tajam atau senjata api mengungkapkan bahwa selama peristiwa kejadian korban biasanya lebih fokus pada senjata karena rasa takutnya, sehingga menjadi kurang fokus pada hal-hal lain secara mendetail bahkan juga kurang dapat menceritakan secara akurat mengenai pelaku kejahatannya. Akibatnya, menurut Loftus, kesaksian korban yang mengalami trauma tidak bisa langsung diterima begitu saja, namun perlu diverifikasi atau diuji keakuratannya.

Lebih lanjut perlu pula dipahami bagaimana dinamika psikologis seseorang setelah memberikan kesaksian. Karena proses peradilan dan memberikan kesaksian dapat menjadi suatu pengalaman dramatis bagi seseorang. Contohnya: pada kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tindak kekerasan biasanya disembunyikan dari orang lain. Kemungkinan saksi dan korban adalah anak-anak sedangkan pelakunya adalah Ayah atau Ibu mereka. Dapat dibayangkan tekanan batin yang harus dilalui saksi atau korban anak KDRT yang harus memberikan kesaksian mengenai tindak kejahatan yang dilakukan orang tuanya di depan orang banyak dalam proses peradilan. Maka dapat dipahami bahwa pada beberapa orang, proses memberikan kesaksian dapat menjadi suatu peristiwa traumatis.

Kesaksian dan anak

Salah satu studi pertama yang meneliti efek dari keterlibatan hukum pada anak dilakukan di Australia oleh Oates dan Tong (1987). Dalam studi ini, pengasuh dan 46 anak yang telah mengalami pelecehan seksual diwawancarai selama sekitar dua setengah tahun sejak mereka melaporkan peristiwa pelecehan yang mereka alami. Dua puluh satu dari 46 kasus melanjutkan kasus hingga ke pengadilan, dan anak-anak tersebut diminta untuk bersaksi. Lalu setelah persidangan selesai orang tua ditanya tentang reaksi anak mereka ketika berhadapan dengan sistem hukum, sekitar 86% anak dinilai oleh orang tua mereka menunjukkan respon sangat marah segera setelah sidang. Bahkan hingga 2,5 tahun kemudian, sekitar 57% anak dilaporkan oleh orang tua masih memiliki kemarahan atas kasus hukum yang pernah dialaminya serta menunjukkan masalah perilaku. Jika dibandingkan dengan anak yang tidak pergi melanjutkan kasus ke pengadilan, jumlah gangguan perilaku yang muncul jauh lebih sedikit, hanya sekitar 12%. Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan pengadilan dapat terus menjadi sumber kesulitan psikologis bagi anak, bahkan efek negatifnya bisa bertahan hingga beberapa tahun setelah kasus berakhir.

Usia saksi juga merupakan faktor penting dalam menentukan baik kuantitas dan kualitas kesaksian (Davies, Holling, & Bull, 2008). Jumlah infomasi yang dapat disampaikan dalam kesaksian anak yang sangat muda cenderung kecil, dan jumlah informasi yang dapat diingat akan meningkat seiring dengan pertambahan usia. Jika anak-anak diberi kesempatan untuk bebas mengingat dan melaporkan informasi tentang sebuah peristiwa, kesaksian mereka bisa sangat akurat; tetapi jika anak-anak menerima pertanyaan berarah (leading questions) maka informasi yang disampaikan bisa menjadi tidak akurat. Begitupula dengan saksi yang berusia lanjut, mereka cenderung mengingat informasi dalam jumlah yang sedikit, dan tingkat keakuratannya pun cenderung kurang akurat.

Simpulan

Proses memberikan keterangan di peradilan bagi korban-saksi kejahatan merupakan pengalaman yang cukup emosional dan bermakna. Oleh karena itu, yang perlu diperhatikan bukan sekedar pemenuhan rasa keadilan, namun penting memperhatikan bagaimana keadaan emosionalnya, kemungkinan untuk meminimalisir bias, serta turut membantu meringankan penderitaan psikologis yang mungkin timbul pada korban-saksi ketika berhadapan dengan proses persidangan.

Referensi

Brown, J.M. & Campbell, E.A. (2010). The Cambridge handbook of Forensic Psychology. Cambridge; London.

Davies, G., Holling, C., & Bull, R. (2008). Forensic Psychology. John Wiley & Sons; West Sussex.

Oates, R.K., & Tong, L. (1987). Sexual abuse ofchildren: An area with room for professional reforms. The Medical Journal of Australia, 147, 544-548.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s