Apa yang salah dengan “say no to drugs”

Apa yang salah dengan “say no to drugs”

Margaretha, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Gambar

“Say no to drugs!” Sering mendengar kalimat ini? Say No to Drugs adalah kampanye tentang zat dan obat terlarang serta pencegahan penyalahgunaan zat dan obat-obatan.  Dari mana asalnya? Apakah yang sudah kita ketahui mengenai kefektifannya dalam menurunkan tingkat penyalahgunaan zat dan obat-obatan di Indonesia?

Just say no!” danSay no to drugs!“, Apa artinya?

Kalimat ini sering terdengar dan terlihat di berbagai sudut tempat di Indonesia. Dari mana asalnya? Kemungkinan besar ada kaitannya dengan kampanye “Just say no” yang dilakukan oleh Nancy Reagen, isteri dari Presiden Amerika Serikat Ronald Reagen, pada tahun 1980 hingga 1990an. Pada waktu itu, dilakukan kampanye untuk mencegah keterlibatan anak dan remaja dalam perilaku penyalahgunaan zat dan obat terlarang. Pada saat itu juga, kampanye ini digunakan untuk menghadapi persoalan kekerasan dan seks sebelum menikah. Akhirnya slogan “just say no” diberlakukan pada perilaku penyalahgunaan zat dan obat-obatan, kekerasan dan seks pra-nikah. Kampanye ini banyak beredar di Amerika Serikat dan berbagai negara lain. Beberapa penelitian juga menemukan bahwa kampanye ini cukup dapat meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat mengenai zat terlarang. Namun ada juga yang mengkritik bahwa slogan ini terlalu menyederhanakan persoalan penyalahgunaan, karena kampanye ini tidak menyentuh faktor-faktor yang menyebabkan anak terlibat dengan penyalahgunaan zat dan obat terlarang, seperti kemiskinan, persoalan keluarga, dan persoalan kelompok sosial.

Bagaimana “Say no to drugs“di Indonesia

Lalu bagaimana di Indonesia? Kampanye anti penyalahgunaan zat dan obat-obatan (Narkoba) biasanya berisi informasi mengenai berbagai jenis zat terlarang yang telah diatur dalam Undang-Undang, bagaimana bahaya efek negatifnya (fisik, psikis dan sosial) dan larangan perilaku narkoba. Program ini banyak dilakukan di sekolah, masyarakat dan serta digalakkan oleh Badan Narkotika Nasional, sekolah, Rumah Sakit, Universitas, Lembaga Sosial dan Masyarakat (LSM) dan berbagai komponen masyarakat lainnya. Bisa dibayangkan betapa besar investasi masyarakat dan negara dalam program ini. Harapannya setelah mengikuti kampanye akan mencegah anak untuk terlibat dengan narkoba. Narkoba dipotret sebagai suatu yang terlarang, maka sebaiknya setiap melihat, mendengar ajakan, anak diminta untuk mengatakan “tidak”.

Pendekatan informatif, moralistik dan “menakut-nakuti”ini dianggap menjadi suatu pendekatan yang paling bisa dilakukan. Ada sedikit diskusi di masyarakat Indonesia mengenai pendekatan pengurangan efek negatif pada pelaku penyalahgunaan zat (harm reduction). Harm reduction dilakukan agar konsekuensi negatifnya tidak terlalu besar, contohnya: pengawasan jarum suntik pada para pecandu. Namun masyarakat lebih banyak memberikan sikap menolak, karena takut dengan pendekatan harm reduction seperti memberikan pengakuan dan persetujuan pada penyalahgunaan zat.

Kampanye anti narkoba selayaknya bukan untuk mengembangkan sikap dikotomis yang sempit, yang justru akan memberikan efek boomerang. Karena jika akhirnya kampanye hanya membuat orang menistakan penyalahgunaan narkoba maka sikap ekstreem menjauhi justru membuat seseorang tidak akan memahami apa seluk beluk narkoba dan efeknya. Bagaimana bisa kita menyatakan tidak pada sesuatu yang tidak kita pahami sungguh-sungguh. Lebih lanjut, hal ini dapat menciptakan sikap negatif dan stereotipe dalam menghadapi orang yang terlanjur terkena akibat negatif narkoba. Tentu saja, hal-hal ini malah dapat menjadi hambatan dalam usaha menghadapi persoalan narkoba secara menyeluruh.

Lalu, apakah pernah dievaluasi keefektifan pendekatan ini? Kenyataannya tidak banyak yang kita ketahui tentang kesuksesan pendekatan kampanye “say no to drugs”ini. Mungkin juga dengan begitu massive-nya kampanye paling tidak slogan ini juga turut didengar oleh orang tua dan sekolah dan cukup mampu meningkatkan wawasan masyarakat tentang narkoba. Lebih lanjut, orang tua dan sekolah mulai secara terbuka membicarakan masalah ini. Namun hal-hal ini masih perlu dibuktikan secara empiris. Terutama pada anak, belum banyak diketahui secara empiris tentang efektivitas kampanye anti narkoba ini dalam menurunkan jumlah penyalahguna narkoba; karena kenyataannya jumlah penyalahguna semakin meningkat dari tahun ke tahun. Masyarakat Indonesia sebaiknya mengevaluasi keefektifan kampanye ini, jika memang ditemukan kurang berhasil maka perlu segera dicari cara yang terbaik untuk menghadapi persoalan penyalahgunaan narkoba.

Apa yang salah dengan “Say no to drugs!

Kampanye moralistik biasanya dilandasi oleh asumsi bahwa pemahaman mengenai informasi narkoba membuat seseorang lebih mampu mengendalikan diri dan menolak narkoba. Kenyataannya, di berbagai penelitian ditemukan bahwa perilaku penyalahgunaan narkoba pada masa kanak dan remaja bukan hanya sekedar persoalan kemampuan pribadi namun lebih banyak dipengaruhi oleh pengaruh sosial teman sebaya. Ketika masa remaja, pengakuan kelompok menjadi sangat penting bagi remaja, karena mereka ingin diterima; maka mereka dapat melakukan apapun yang dibutuhkan supaya mendapatkan keanggotaan. Hal inilah yang disebut tekanan kelompok. Penelitian payung perilaku beresiko remaja Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya menemukan bahwa diantara 106 siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Surabaya Timur, bahwa pengaruh tekanan teman sebaya adalah 30 kali lipat dari pada kemampuan pengendalian diri pada remaja yang beresiko menyalahgunakan marijuana (ganja). Ternyata remaja menggunakan ganja bukan karena mereka tidak tahu bahaya narkoba, namun lebih karena mereka remaja yang lebih mudah dipengaruhi oleh teman sebayanya. Artinya remaja perlu dibantu untuk menyusun strategi menahan tekanan sebaya dalam penggunaan narkoba. Maka penyalahgunaan narkoba tidak bisa dicegah hanya dengan meningkatkan pemahaman dan pengendalian diri menolak narkoba, namun juga penting memberikan intervensi relasi remaja dengan teman sebayanya.

Berbagai promosi kesehatan mental dilakukan untuk menghadapi persoalan narkoba, yang dilakukan dengan menitikberatkan pada upaya-upaya konstruktif pembangunan diri remaja. Remaja dengan harga diri dan keyakinan diri, prestasi akademis, keterlibatan sosial, telah diketahui memiliki tingkat penyalahgunaan yang lebih rendah. Artinya menolak narkoba perlu dilakukan dengan membangun remaja-remaja yang sehat secara pribadi. Dengan mendukung perkembangan diri remaa baik dalam kegiatan akademis, seni dan pengembangan diri serta relasi interpersonal, artinya kita juga membangun kekuatan atau faktor protektif yang dapat mencegah atau menghambat keterlibatan remaja dalam perilaku-perilaku beresiko membahayakan dirinya. Karena anak yang menghargai dirinya akan lebih memilih kehidupan yang positif atau menjadi pro terhadap kehidupan. Atau dengan kata lain, kampanye “say no to drugs”mungkin perlu digeser menjadi menjadi pembekalan pengembangan diri remaja “how to say yes to life”. Jika masyarakat Indonesia mau memberikan investasi pada program-program pengembangan pribadi remaja, maka akan menarik untuk melihat pengaruh dan efektivitasnya secara terukur di masa depan.

Simpulan

Remaja menyalahgunakan narkoba bukan hanya karena persoalan tidak tahu bahaya narkoba, tapi persoalan bagaimana menghadapi tantangan hidup sebagai remaja. Jika kita tidak mengevaluasi peran kampanye “say no to drugs”dalam mencegah narkoba; kita dapat saja melakukan sesuatu yang tidak bermakna dan segala investasi masyarakat dalam program anti-narkoba dapat menjadi sesuatu hal yang percuma. Perlu dilakukan pula penyegaran pendekatan anti narkoba agar remaja tidak melihat kampanye anti-narkoba sebagai pendekatan orang tua yang kaku, moralistik dan tidak relevan dengan dunia nyata remaja saat ini.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s