Penjelasan perspektif Embodied Cognitive Development atas hubungan antara perkembangan gerak dan inderawi dengan kemampuan berpikir anak
Oleh: Margaretha, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya
Andi berusia 10 tahun, kelas 4 SD. Dengan berat 45kg dan tinggi 130cm, ia terlihat gemuk. Pada beberapa aktivitas gerak, ia sering terlihat kurang luwes. Pada kegiatan olah-raga, sangat tampak kesulitannya dalam menjaga keseimbangan gerak, dan kurang berkembangnya kekuatan otot tubuh serta kekuatan otot tangannya. Selama ini tulisan tangannya dinilai Gurunya kurang rapi, tidak seperti teman-teman seusianya. Walaupun nilai IQnya rata-rata, namun prestasi belajar di sekolahnya kurang optimal, bahkan cenderung pas-pasan. Pada pelajaran llmu Pengetahuan Alam (IPA), Bahasa dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) nilainya di bawah rata-rata kelas. Secara sosial, Andi tergolong tidak banyak bicara dan pasif; hanya merespon ajakan interaksi sosial dari rekan sekitarnya namun sangat sedikit inisiatifnya memulai kontak sosial dengan teman-teman sebayanya. Akhir-akhir ini Andi sering mengeluh lelah belajar dan turun motivasi ke sekolah.
Apa yang menyebabkan proses belajar Andi belum optimal? Lalu apa yang bisa dilakukan untuk membantu Andi lebih optimal belajar?
Tulisan ini mencoba menguraikan secara singkat bagaimana perspektif Embodied Cognitive Development menjelaskan kesulitan belajar yang dialami Andi.
Embodied Cognitive Development
Teori Embodied Cognitive Development (ECD) menyatakan bahwa kemampuan berpikir atau kognitif, lahir dari aktivitas sensori-motoris, hasil interaksi manusia dengan lingkungannya. Perkembangan kognitif tergantung pada tubuh sebagai agen perkembangan, penyusun dan pemrosesan mental manusia. Perkembangan kognisi dipandang justru sangat dipengaruhi oleh proses fisik terutama proses gerak atau motoris. Kemampuan motorik dibagi 2 macam, yaitu: motorik kasar seperti berlari, berjalan dan motorik halus seperti memungut, menempel.
Cara pandang ECD berbeda dengan pandangan kognitif tradisional, dimana kognisi dilihat sebagai hasil abstraksi dari proses sensasi dan persepsi, sedangkan proses gerak dinilai terpisah dari proses berpikir, serta tidak dilihat memberikan sumbangan besar pada proses berpikir manusia.
Dalam ECD, proses sensori-motoris, justru digunakan untuk mencoba memahami perkembangan kognitif anak. Jika ditemukan adanya problem perkembangan motoris, atau kesulitan motoris; maka ahli dapat memprediksi pengaruh problem motoris pada kemampuan berpikir-belajar anak. Dari pemahaman tersebut, ahli ECD dapat menyusun program intervensi gerak-kognitif yang dapat mengoptimalkan proses berpikir anak.
Robert Vallet (1969) mengungkapkan, bahwa aktivitas gerak dapat dipertimbangkan baik dalam pengukuran dan intervensi:
1. ECD dalam pengukuran. Mengevaluasi pemahaman kognitif anak kemampuan melalui tugas yang meliputi aktivitas sensori-motoris, contoh: melihat pemahaman anak dengan memintanya membaca, lalu mengulang bacaan tanpa melihat untuk melihat sejauhmana pemahaman bacaan masuk dalam proses kognisi.
2. ECD dalam intervensi. Terapi gerak cukup dikenal dan telah banyak diteliti bagaimana pengaruhnya pada perkembangan kognitif manusia. Nama yang cukup populer adalah terapi sensori-integrasi (sensory integration thrapy). Contohnya: intervensi motoris pada anak yang cadel maka anak akan diminta belajar bicara secara jelas. Perlu dipahami bahwa jika bicara kata anak terdengar kurang jelas pelafalannya (pronounciation), maka artinya si anak masih fokus pada persoalan mengeja dan belum memproses dan memahami informasi verbalnya secara optimal. Atau, kemampuan pemahaman tubuh (body awareness) berkaitan dengan daya abstraksi manusia.
Prinsip perkembangan dalam ECD
Lalu pertanyaan berikutnya, apa yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan kemampuan belajar anak?
Berikut adalah 6 prinsip perkembangan ECD telah diketahui dari hasil penelitian Psikologi Perkembangan (Smith & Gasser, 2005) yang dapat digunakan sebagai masukan orang tua dan guru dalam mendukung proses perkembangan gerak dan kemampuan belajar anak.
1. Perkembangan belajar manusia perlu dilakukan dengan cara multimodalitas atau penggunaan rangsang jamak (penglihatan, pembauan, peraba, perasa, pendengaran, penginderaan keseimbangan, dan penginderaan tekanan)
Pengalaman awal manusia sebagai adalah multimodal, misalkan: ketika anak melihat makanannya berbagai inderawi akan teraktivasi seperti pembauan, perasa dan juga penglihatan. Asumsinya, ketika anak berinteraksi dengan lingkungannya, maka setiap satuan pengalamannya akan berkaitan dengan berbagai rangsang inderawi. Maka untuk mengoptimalkan belajar anak, maka rangsang yang digunakan dalam belajar sebaiknya multimodal. Bukan hanya merangsang secara visual, namun juga taktil dan sebagainya; bukan hanya belajar dengan mendengarkan tapi anak juga dilatih melakukan apa yang sedang dipelajarinya
2. Perkembangan, termasuk proses belajar, secara alamiah terjadi secara bertahap-berkesinambungan (incrimental).
Suatu kemampuan belajar tidak hadir tiba-tiba. Akan tapi dibangun secara bertahap dan sesuai dengan perkembangan fisik dan psikisnya. Misalkan, tahapan belajar berjalan anak, dimulai awalnya dengan merangkak, dengan merangkak anak belajar memperkuat otot punggung dan kakinya; ketika otot punggung dan kakinya sudah lebih kuat maka anak mampu berdiri tegak. Oleh karena itu, juga penting dipertimbangkan dalam tahapan perkembangan kemampuan anak adalah tingkat kemampuan awal anak (basal) dan cara perkembangan yang dilakukannya (ways of development).
3. Belajar penting memiliki komponen fisik.
Bayi menghadapi dunia fisik yang banyak berisi pola yang ketika dipahami akan membantunyanya untuk mengelola persepsi, perilaku, dan berpikir. Maka kemampuan kognitif anak bukan hanya berasal dari dirinya saja, namun juga tersebar di berbagai interaksi dan pengalamannya di dunia fisik. Tidak semua pengetahuan disimpan dalam mekanisme representasi mental, beberapa informasi jauh lebih bisa dipahami dengan penghayatan kualitas fisik di tubuh manusia. Contohnya: anak akan lebih mudah mengingat benda jika memahami dimana letak benda itu sehari-hari. Pada beberapa penelitian ECD ditemukan bahwa perangsangan fisik dapat membantu belajar mental, misalkan: untuk membantu fokus anak, anak diminta menyebutkan bagian tubuh yang sedang dipegang oleh instruktur; hal ini didasarkan prinsip pemahaman tubuh akan mendukung fokus dan pemahaman lingkungannya.
4. Pentingnya proses eksplorasi dalam belajar.
Bagaimana seseorang bisa mempelajari sesuatu jika tidak tahu ap saja yang dapat dipelajari (How can a learner who does not know what there is to learn manage to learn anyway?). Dalam tahap pra-belajar, kegiatan eksplorasi membantu bayi untuk memahami apa yang perlu dipelajari dan solusi atas persoalan yang ditemuinya dalam pengalaman eksplorasinta. Perilaku eksplorasi anak terlihat acak dan seperti tak bertujuan karena anak menggerakkan bagian-bagian tubuhnya dan bergerak ke sana dan kemari tanpa kita, orang yang mengamatinyya, memahami apa tujuanny. Namun sebenarnya dalam proses eksplorasi itu anak menemukan banyak hal. Contohnya: tiba-tiba anak mengatakan “bandel” padahal orang tua merasa tidak pernah mengajarkan anaknya kata tersebut, kemungkinan anak telah melakukan eksplorasi dan mendengar kata tersebut diucapkan oleh orang di sekitarnta lalu pada suatu saat anak mengatakannya seakan-akan tiba dipelajarinya sendiri. Proses penemuan dalam eksplorasi dapat digunakan untuk membantu anak mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan persoalan dan proses kreatif.
5. Proses belajar adalah sosial.
Bayi bergerak dan belajar di dunia sosialnya dengan arahan dari orang-orang di sekitarnya serta dukungan struktur lingkungan (alat bantu) yang mendukung proses belajar. Peran orang dewasa di lingkungan belajar anak bukan sekedar merespon anak, namun juga memberikan contoh dan dukungan agar perilaku anak semakin sesuai dengan pola-pola perilaku yang sesuai dengan kesepakatan sosial. Contohnya: orang tua mencontohkan dan mengajari anak bahwa ketika bertemu dengan orang dewasa yang jauh lebih tua, anak perlu memberi salam dan mencium tangan, karena perilaku ini diharapkan secara sosial karena merupakan kesepakatan budaya. Selain itu, perlu dipertimbangkan menyediakan dukungan struktur lingkungan agar anak dapat melakukan belajar sosialnya secara lebih optimal. Beberapa struktur lingkungan, seperti: desain ruangan, penggunaan peralatan dan perlengkapan juga akan mendukung proses perkembangan anak. Misalkan, mengajari anak bermain sepak bola akan lebih mudah dilakukan bersama anak di ruang luas dan terbuka.
6. Penting mempelajari bahasa.
Bayi mempelajari bahasa, suatu sistem simbolis sehingga bisa dilakukan komunikasi atau bertukar informasi. Dengan mempelajari bahasa, anak dapat: 1) memahami pikiran/proses mental orang lain sehingga bisa mempelajari wawasan dari orang lain, 2) dengan bahasa anak dapat melakukan klasifikasi dan analogi, hal-hal ini penting untuk dasar kemampuan belajar dan penguasaan konsep, dan 3) bahasa adalah simbol, maka dengan bahasa anak dapat melakukan proses berpikir simbolis, yang akan membantunya untuk melakukan proses berpikir tingkat tinggi dan abstraksi. Simbol bahasa berupa angka-huruf, gerak tangan, dan satuan suara atau fonem.
Dengan bahasa, anak akan dapat melakukan berpikir tingkat tinggi. Kemampuan abstraksi akan didasari pada kemampuan berbahasa anak.
Hubungan perkembangan motoris dan perkembangan kognitif-sosial anak
Dalam tahun pertama perkembangan manusia, terdapat beberapa tahapan perkembangan yang penting terjadi, seperti kemampuan motoris, berbahasa dan interaksi sosial; dan ketiganya saling terkait. Berikut adalah tahapan perkembangan tahun pertama sebagai ilustrasi sederhana bagaimana keterkaitan perkembangan antara beberapa komponen perkembangan.
Tabel 1. Daftar perkembangan motorik kasar, motorik halus, bahasa dan sosial anak usia 1-12 bulan
Usia (bln) | Motorik kasar | Motorik halus | Bahasa | Sosial |
1 | Menggelengkan kepala ketika telungkup dengan perut di bawah | Pegangan tangan cukup kuat | Menatap tangan dan jemari | Mengikuti gerak benda dengan mata |
2 | Mengangkat kepala dan leher sebentar ketika bertumpu pada perut | Membuka dan menutup tangan | Mulai bermain dengan jemari | Merespon dengan senyuman |
3 | Meraih dan mengambil benda | Memegang benda di tangan | Berbisik | Meniru orang lain ketika menjulurkan lidah |
4 | Mendorong ke atas lengan ketika telungkup | Menarik dan menggenggam benda | Tertawa keras | Menikmati bermain dan menangis jika bermain dihentikan |
5 | Mulai berguling ke samping | Belajar memindahkan benda dari tangan satu ke tangan yang lain | Meniup gelembung dari ludah | Mencari pengasuhnya dan menangis jika tidak kelihatan |
6 | Berguling dari satu sisi dan ke sisi lain | Menggunakan tangan untuk mengambil benda kecil | Mengoceh | Mengenali wajah yang biasa dilihatnya |
7 | Bergerak ke sana kemari, dengan merangkak dan mengesot | Belajar menggunakan jempol dan jemari | Mengoceh lebih kompleks | Merespon emosi orang yang dilihatnya |
8 | Mampu duduk tanpa bantuan | Mulai mampu bertepuk tangan | Merespon pada kata yang familiar, menoleh ketika dipanggil namanya | Bermain interaktif, seperti main Cilukba |
9 | Mau berusaha memanjat atau merangkak di tangga | Mulai menggunakan jari untuk menjepit benda kecil | Mempelajari bahwa benda tetap ada walaupun tidak kelihatan (object permanence) | Cemas ketika berada bersama orang asing |
10 | Menarik badannya untuk berdiri sendiri | Menumpuk dan mengelompokkan mainan | Menggerakkan tangan untuk menyatakan selamat jalan (bye-bye) atau mengangkat tangan untuk menyatakan “naik atau ke atas” | Belajar sebab akibat, misalkan: saya menangis, mama akan datang |
11 | Menjelajah menggunakan furnitur | Membalikkan kertas ketika membaca | Mengucapkan mama atau papa untuk memanggil salah satu orang tua | Memanipulasi benda saat makan (mendorong makanan, memukul-mukul sendok) untuk mengetes reaksi pengasuh atau menunjukkan minatnya atas makanan |
12 | Berdiri tanpa dibantu bahkan melangkah awal | Membantu menggerakkan tubuh ketika dipakaikan baju (menyesuaikan tangannya ketika akan masuk lengan baju) | Mampu menyebutkan rata-rata 2-3 kata | Bermain meniru, misalkan berpura-pura sedang menelpon |
Pemeriksaan Sensori-Motoris dan Terapi Gerak
Dalam kasus di atas, Andi perlu diukur kemampuansensori-motoris dan kognitifnya melalui berbagai tugas fisik. Dan intervensinya pun, harus dipertimbangkan kapasitas perkembangan sensori-motoris Andi. Dalam perspektif ECD, kesulitan belajar Andi disebabkan kurang optimalnya perkembangan sensori-motorisnya, terutama kelemahan dalam aspek keseimbangan, pemahaman tubuh dan kekuatan otot. Kelemahan-kelemahan ini adalah beberapa hal yang membuat kesiapan belajar Andi masih belum optimal selama ini. Otot tubuhnya yang kurang kuat memunculkan sikap tubuh duduk yang buruk sehingga membuatnya cepat lelah dan menyulitkan konsentrasi belajar. Lalu otot lengannya yang lemah membuat tangannya cepat capek dalam menulis dan akhirnya tulisannya kurang rapi. Kemampuan pemahaman tubuhnya yang kurang optimal tampak pada kesulitannya mengelola harmonisasi gerak tubuh, hal ini pun dianggap berkaitan dengan kesulitannya belajar abstraksi di mata pelajaran IPA, Bahasa dan PKn. Dan disertai kurang optimalnya perkembangan interaksi sosialnya di sekolah, sehingga motivasi belajarnya pun menjadi belum optimal.
Dalam program intervensi gerak, Andi perlu didukung perkembangan motorisnya untuk mengelola keseimbangan, misalkan: berjalan lurus dengan kedua tangan diangkat dan pandangan lurus ke depan. Juga perangsangan kemampuan abstraksi dapat dilakukan dengan cara berlatih mengenali sensasi dan gerak pada bagian-bagian tubuhnya sendiri. Kekuatan lengan dirangsang dengan aktivitas dribble bola basket atau push-ups.
Selain itu, proses perangsangan kognitif dalam belajar juga perlu dilakukan dengan pengulangan materi (remediasi) untuk memberikan dukungan dalam latihan pengembangan pemahaman anak atas materi belajarnya.
Namun perlu dipahami, kasus Andi adalah suatu contoh ilustrasi, kasus problem anak akan membutuhkan serangkaian proses pengamatan dan penggalian data yang cukup membutuhkan waktu. Begitupula intervensinya akan disusun secara seksama sesuai dengan kebutuhan anak. Serta dibutuhkan dukungan orang tua dan pendidik agar upaya perangsangan sensori-motorisnya menjadi lebih optimal.
Referensi:
Berbagai catatan mengenai Embodied Cognitive Development di internet dan diskusi dalam workshop Terapi Gerak oleh Dr. Indun Lestari pada 22-23 Maret 2014 di Untag, Surabaya
Saya tertarik sekali membaca artikel ini, kebetulan saya mempunyai background master degrees pendidikan olahraga, saya tertarik terutama mengenai hubungan sensorik motorik terhadap pengkembangan kognitif dan sosialnya.
Terima kasih, semoga bisa membahas lebih dalam lagi mengenai hubungan sensorik motorik terhadap perkembangan kognitig dan sosial