Margaretha, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya
Repost 12 September 2012
Seorang laki-laki membujuk berkata: “Maaf, Saya minta maaf, saya tidak akan memukul, meludahi atau menghinamu lagi, tidak akan terjadi lagi”. Si perempuan melihat sambil menangis, memegangi tubuhnya yang masih kesakitan. Perasaannya masih sakit, di dalam pikirannya terbersit harapan semua akan membaik tapi juga muncul perasaan takut jika suatu saat peristiwa kekerasan ini akan terjadi lagi.
Potongan cerita itu mungkin terjadi setelah peristiwa kekerasan dalam relasi intim atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada seorang perempuan. Data dari berbagai negara menunjukkan bahwa kasus KDRT paling banyak terjadi pada perempuan sebagai korban dan suami sebagai pelaku. Korban perempuan dapat mengalami berbagai konsekuensi fisik (luka di tubuh), psikologis (gangguan psikis), sosial dan budaya (penerimaan sosial dan intervensi masyarakat) dari sebuah aksi kekerasan.
Luka
Jika disertai dengan kekerasan fisik, maka luka akan lebih mudah dikenali. Luka di leher, tangan, kepala dan bagian tubuh lainnya. Dari goresan, memar hingga luka berdarah bisa dilihat sebagai bukti fisik telah terjadi. Namun ada luka yang tidak dapat dilihat oleh mata. Terkejut, sedih, takut, malu, marah dan tidak terima. Mungkin itulah sebagian luka emosional yang dialami korban setelah mengalami KDRT. Rasa sakit dan emosi negatif yang ditimbulkan bisa menjadi sangat kuat yang karena hal itu dilakukan oleh suaminya sendiri, orang yang seharusnya melindunginya.
Ada beberapa contoh perilaku kekerasan psikologis yang sering dilakukan oleh seorang pelaku kekerasan dalam relasi intim:
- Menghina, menggunakan nama panggilan yang merendahkan harga diri seperti: “bodoh”, “murahan”, “pelacur”, dan lainnya;
- Perilaku cemburu berat atau posesif dan terus menerus menuduh korban selingkuh atau tidak setia;
- Menghalang-halangi bekerja atau sekolah, menghambat karir dan karya prestatif;
- Meludahi, intimidasi dan mengancam dengan kekerasan atau meninggalkan;
- Merusak barang pribadi korban;
- Menyangkal telah melakukan kekerasan dan menyangkal luka pada korban;
- Menyalahkan korban telah memprovokasi munculnya perilaku kekerasan yang dilakukannya, atau menyatakan korban layak diperlakukan kasar;
- Berusaha merusak atau menghambat hubungan korban dengan keluarga atau teman
- Mengontrol pengeluaran keuangan;
- Memaksakan perilaku seksual walau korban tidak menginginkannya;
- Mudah marah dan agresif jika sedang menggunakan alkohol atau narkoba.
Kekerasan psikologis dilakukan untuk merendahkan harkat dan martabat, serta meruntuhkan harga diri korban. Pelaku mempertahankan kontrol untuk terus melakukan kekerasan dengan cara membuat korban berpikir bahwa dirinya rendah dan tidak berdaya. Korban juga akan dikondisikan dalam isolasi agar jauh dari dukungan sosial orang-orang terdekatnya dan menjadi. Monitor dan kontrol perilaku berlebihan dilakukan pelaku dengan motif membuat korban menuruti semua kehendak pelaku. Tekanan menggunakan kekerasan maupun ancaman penelantaran akan dilakukan pelaku agar korban berpikir bahwa tidak ada jalan keluar dari masalahnya.
Berpikir
Mengapa pria mampu melakukan KDRT terhadap istri, pendamping hidupnya, ibu dari anak-anaknya? Di dalam pemikirannya, terdapat kesalahan berpikir. Pelaku sering meyakini bahwa mereka memiliki hak untuk berperilaku dengan cara apa pun yang mereka pilih sebagai kepala rumah tangga. Ia merasa harus kuat, berkuasa mengambil semua keputusan, dan berhak menuntut kepatuhan dari pasangannya. Jika terjadi ketidakpatuhan maka pelaku merasa berhak memberikan hukuman dan peringatan keras pada korban. Di saat orang-orang di sekitar mulai mencurigai kejadian KDRT, maka pelaku akan alasan mengenai kekerasan yang dilakukannya, seperti menyalahkan alkohol atau stres karena pekerjaan. Pelaku dapat mengaku kehilangan kontrol ketika sedang marah kepada isterinya tetapi mampu mengontrol kemarahannya ketika berada di antara orang lain. Kekerasan hanya terjadi karena provokasi isterinya. Jika cara pandang seperti ini yang mengemuka di dalam persepsi di pelaku maka korban dilihat sebagai makhluk yang lebih rendah yang harus dimiliki dan dikuasai, sehingga pelaku tidak merasa perlu memberikan perhatian, penghargaan atau respek atas kebutuhan emosional korbannya.
Mengapa perempuan memilih bertahan dalam KDRT? Sama dengan pelaku, terdapat kesalahan berpikir pada korban. Dalam persepsinya, korban memiliki cara pandang negatif atas dirinya. Internalisasi nilai negatif ini berkembang dari hasil interaksinya dengan pelaku. Segala kekerasan yang telah dilakukan pelaku padanya telah membuat korban percaya bahwa dirinya harus menerima kekerasan ini. Ada korban yang berpikir bahwa dirinya pantas diperlakukan buruk oleh pelaku, karena itu adalah konsekuensi dari kesalahan yang dibuatnya sendiri. Ada yang berpikir bertahan untuk memperbaiki situasi. Ada pula yang sungguh merasa takut dengan ancaman pelaku atas dirinya. Apalagi jika ditambah dengan karakter kepribadian tergantung dan harga diri yang rendah, maka keterpurukan akan membuat korban mempunyai kecemasan dalam menghadapi keterpisahan dan problem dalam menghadapi penyiksaan, serta merasa diri tidak layak dicintai. Kerentanan dan kesalahan berpikir ini membuat korban mudah diperdaya oleh pelaku dengan siklus kekerasan.
Pelaku akan menunjukkan sikap menyesal dan pernyataan maaf. Korban akan berharap inilah akhir semuanya. Tapi itu hanyalah suatu fase “reda” dari suatu siklus kekerasan. Biasanya setelah fase ini, pelaku akan tampak tenang, seolah-olah telah berubah dan kembali bersikap baik. Namun lama-kelamaan akan muncul masa tegang, dimana mulai ada keributan kecil antara pelaku dan korban.
Dalam kerentanannya, korban akan meminimalisir persoalan dan berusaha berubah atau mengendalikan keaadan agar pelaku tidak perlu marah. Tapi pada akhirnya timbul konflik yang menyulut emosi pelaku, dan kekerasan akan terjadi lagi. Korban kecewa karena kekerasan harus dialaminya lagi. Akhirnya korban akan mencari rasionalisasi atas keadaannya. Demi anak, demi karir, demi keuangan keluarga, demi kedamaian keluarga, demi martabat keluarga, hal-hal itu dijadikan alasan untuk menunda mencari bantuan. Korban akhirnya rela melakukan apapun agar tidak ditinggalkan oleh pelaku.
Bergerak
Ada waktu dimana korban tidak lagi merasa kuat menanggung kekerasan dan akhirnya mencari bantuan. Bantuan yang terdekat diharapkan adalah keluarga. Tapi belum tentu keluarga dapat memberikan bantuan yang dibutuhkan. Justru banyak peristiwa KDRT di masyarakat yang belum terkuak dari tirai keluarga. KDRT masih dianggap sebagai urusan internal keluarga saja. Bahkan tidak jarang keluarga bersikap menutup-nutupi karena menilai KDRT adalah hal yang memalukan jika diketahui oleh orang lain. Terlebih lagi jika ungkapan dari pelaku cukup meyakinkan, maka keluarga akan berpendapat peristiwa ini adalah kesalahan korban juga. Maka keluarga meminta baik korban dan pelaku diminta untuk berdamai. Keluarga dapat berusaha meminimalisir kerusakan, namun hal ini malah semakin menyakiti perasaan korban karena merasa dirinya tidak didengarkan dan tidak dipahami. Merasa tidak dipercaya dan tidak mendapat jalan keluar; korban makin jatuh dalam keterpurukannya.
Luka fisik telah sembuh atau hilang tapi luka psikis tetap ada. Korban KDRT yang mengalami kekerasan dari pasangan intim atau keluarga dapat memunculkan gejala-gejala gangguan psikologis seperti: trauma, depresi, kecemasan, kemarahan, agresi, sensitif terhadap penolakan, perasaan diabaikan, gangguan tidur, mimpi buruk, ketidakmampuan menjalin relasi sosial dan bekerja, serta penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Jika konflik terhadap peristiwa kekerasan dalam keluarga belum benar-benar terselesaikan oleh korban, maka selain mucul gangguan-gangguan ini dapat timbul secara berkelanjutan bahkan hingga jauh setelah peristiwa KDRT terjadi.
Mencari bantuan
Ketika sudah sangat terdesak, korban akan juga mencari bantuan di hukum. Bukti-bukti fisik dan saksi akan dikumpulkan sebagai dasar penyusunan kasus pidana. Dalam hal ini pihak korban harus bekerjasama dengan Kepolisian agar lancarnya pengumpulan alat bukti. Penyusunan kasus KDRT perlu mempertimbangkan bukti (luka fisik, ancaman yang tersurat, dan sebagainya), dan juga saksi-saksi yang mengetahui tentang kejadian kekerasan tersebut.
Namun, dalam masyarakat ini, masih sering ditemukan kasus KDRT yang dilaporkan ke polisi hanya berujung pada bercerai atau penyelesaian kekeluargaan. Sesungguhnya perceraian tidak dapat dijadikan solusi utama dalam penanganan KDRT. Proses hukum sebagai awal jelas harus dilakukan untuk menegakkan azas kebenaran dan rasa keadilan. Tapi di samping itu, penyembuhan psikologis pelaku dan korban juga sangat penting dilakukan dalam penyelesaian masalah KDRT secara tuntas. Pelaku seharusnya mendapatkan ganjaran hukum dan rehabilitasi psikologis yang intensif, karena adalah sangat mungkin selepas persoalan kekerasan pada korban, ia akan dapat melakukan kekerasan pada pasangan berikutnya; karena pelaku belum keluar dari siklus perilaku kekerasannya.
Begitu juga korban, pada saat ini, tidak hanya bantuan legal yang dibutuhkan oleh korban namun juga bantuan psikologis. Korban perlu merasa didengarkan, didampingi di tempat yang aman serta diyakinkan bahwa mereka tidak sendirian menghadapi persoalan ini. Sebaiknya korban didampingi oleh profesional maupun mediator yang netral untuk dapat menyelesaikan persoalan KDRT secara konstruktif. Korban perlu mendapatkan rasa aman dan kekerasan harus diakhiri. Korban biasanya telah memiliki perasaan dan sikap negatif tentang dirnya sendiri karena selama beberapa waktu telah hidup dalam kepahitan dan sedikit banyaknya pula telah menginternalisasi nilai-nilai negatif yang dialaminya dari tekanan, penyiksaan dan hinaan pelaku. Korban perlu dilindungi dari siklus membenci diri dan perasaan tidak berdaya; agar korban mampu bergerak melampaui masa-masa setelah kekerasan.
Setelah kekerasan
Setelah kekerasan, korban harus dapat merasa aman dan nyaman akan dirinya sendiri. Setelah kekerasan, korban perlu mengambil keputusan tentang bagaimana menghadapi persoalan KDRT-nya dengan pasangannya. Dan pada waktunya, korban dalam keadaan tenang akan menentukan langkah yang terbaik yang akan diambil untuk melanjutkan hidupnya di masa depan.
Sumber bacaan
Intimate Partner Abuse and Relationship Violence Working Group (2001). Intimate Partner Abuse and Relationship Violence. American Psychological Association.
Domestic Violence: Time to shift the blame from victims to perpetrators. Whether we like to admit it or not, society’s attitudes are just as poor. We are all guilty of asking the victim-blaming questions: Why does she stay with him? Or how can she keep going back to him? The vital questions are ignored: What causes a man to inflict violence on someone he is supposed to be in a loving relationship with? And why does domestic violence and abuse continue to be so prevalent in our society? (Charlotte McLeod, 2014 from http://www.policyexchange.org.uk/media-centre/blogs/category/item/domestic-violence-time-to-shift-the-blame-from-victims-to-perpetrators)