Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Oleh: Margaretha, Dosen Psikologi Forensik

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

pawing_boss_9893076Data yang dihimpun International Labor Organization (Menakertrans & ILO, 2011), di dunia trend pelecehan seksual di tempat kerja terus meningkat (ILO, 2011). Di Uni Eropa, 30-50% perempuan dan 10% laki-laki mengalami pelecehan seksual di tempat kerja, di kawasan Asia Pasifik ada sebanyak 30-40% karyawan. Khusus di Asia, sebanyak 18% karyawan di Cina dan 16% tenaga kerja di Arab Saudi juga mengalami pelecehan seksual di tempat kerja (Hadi, 2010).

Di Indonesia, penelitian mengenai pelecehan seksual di tempat kerja saat ini sangatlah sedikit; bahkan hampir tidak cukup untuk menjelaskan bagaimana fenomena ditangani di Indonesia. Selama ini kasus-kasus pelecehan seksual yang dialami tenaga kerja perempuan tidak terungkap ke publik dan sulit diperoleh. Namun ada beberapa survei yang dapat digunakan sebagai indikasi fenomena kasus pelecehan seksual di tempat kerja di Indonesia. Kompas (2013) menuliskan bahwa di Jakarta, terdapat sekitar 80.000 orang tenaga kerja, dimana sebanyak 90% dari angka tersebut merupakan tenaga kerja wanita dan 75% tenaga kerja wanita yang ada di Jakarta melaporkan telah mengalami kekerasan seksual. Komnas Perempuan pada tahun 2012 menemukan terdapat 216.156 kasus kekerasan seksual di Indonesia; di antaranya diterima oleh tenaga kerja wanita sebanyak 2.521 kasus (Priharseno, 2013).

Kasus pelecehan seksual di tempat kerja yang paling sering dialami tenaga kerja perempuan berada di dalam pabrik yang dilakukan oleh atasan mereka, atau rekan tenaga kerja laki-laki (Priharseno, 2013). Salah satu ancaman yang digunakan oleh pelaku adalah kontrak kerjanya tidak akan diperpanjang jika tidak mau memenuhi permintaan seksual atasannya (Priharseno, 2013). Tidak hanya itu, para tenaga kerja juga dapat menjadi obyek pelecehan seksual di luar pabrik, seperti: ketika para tenaga kerja itu pulang pada malam hari karena lembur dan kantor tidak menyediakan transportasi yang aman sehingga rentan terkena pemerkosaan (Priharseno, 2013).

Pelecehan seksual yang terjadi pada tenaga kerja perempuan beragam modusnya, mulai dari pelecehan fisik yang mengarah ke perbuatan seksual (seperti mencium, mencubit, menepuk dan lain-lain), pelecehan secara lisan, pelecehan isyarat (seperti: bahasa tubuh yang mengarah hubungan seksual), pelecehan tertulis atau gambar porno, serta pelecehan psikologis misalnya ajakan berhubungan seksual secara terus menerus dan tidak diinginkan (Herdiyani, 2013).

Tenaga kerja perempuan masih banyak belum memahami bahwa tindakan pelecehan seksual adalah salah satu bentuk dari kekerasan terhadap perempuan (Herdiyani, 2013). Tenaga kerja perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual biasanya merasa terhina, malu dan takut melapor. Pada beberapa kasus, jika ia memutuskan untuk melapor, bisa jadi malah mendapatkan berbagai bentuk intimidasi bahkan ancaman dipecat oleh atasan dan pihak perusahaan karena dianggap merusak nama baik perusahaan (Herdiyani, 2013).

Lalu apakah yang dapat dilakukan oleh tenaga kerja dan perusahaan untuk mencegah pelecehan seksual di tempat kerja? Tulisan ini menguraikan persoalan pelecehan seksual di tempat kerja dengan menggunakan ulasan literatur.

Apa pelecehan seksual di tempat kerja?

Pelecehan seksual adalah segala tindakan seksual yang tidak diinginkan, permintaan untuk melakukan perbuatan seksual, tindakan lisan atau fisik atau isyarat yang bersifat seksual, atau perilaku lain apapun yang bersifat seksual, yang membuat seseorang merasa tersinggung, dipermalukan dan/atau terintimidasi dimana reaksi seperti itu adalah masuk akal dalam situasi dan kondisi yang ada, dan tindakan tersebut mengganggu kerja, dijadikan persyaratan kerja atau menciptakan lingkungan kerja yang mengintimidasi, bermusuhan atau tidak sopan.

Berikut adalah beberapa perilaku yang dapat tergolong pelecehan seksual (Menakertrans & ILO, 2011):

  1. pendekatan intim/seksual yang tidak diinginkan.
  2. permintaan hubungan intim/seksual yang tidak proporsional.
  3. pelecehan dengan kata-kata yang bermakna seksual.
  4. dijanjikan hadiah/promosi jika melayani permintaan seksual seseorang.
  5. diancam dipecat/dipermalukan jika tidak melayani permintaan seksual seseorang.

Pelecehan seksual memiliki berbagai bentuk. Secara luas, terdapat lima bentuk pelecehan seksual (Menakertrans & ILO, 2011), yaitu:

  1. Pelecehan fisik termasuk sentuhan yang tidak diinginkan mengarah ke perbuatan seksual seperti mencium, menepuk, mencubit, melirik atau menatap penuh nafsu.
  2. Pelecehan lisan termasuk ucapan verbal/ komentar yang tidak diinginkan tentang kehidupan pribadi atau bagian tubuh atau penampilan seseorang, lelucon dan komentar bernada seksual
  3. Pelecehan isyarat termasuk bahasa tubuh dan atau gerakan tubuh bernada seksual, kerlingan yang dilakukan berulang-ulang, isyarat dengan jari, dan menjilat bibir
  4. Pelecehan tertulis atau gambar termasuk menampilkan bahan pornografi, gambar, screensaver atau poster seksual, atau pelecehan lewat email dan moda komunikasi elektronik lainnya
  5. Pelecehan psikologis/emosional terdiri atas permintaan-permintaan dan ajakan-ajakan yang terus- menerus dan tidak diinginkan, ajakan kencan yang tidak diharapkan, penghinaan atau celaan yang bersifat seksual.

Equal Employment Opportunity Commission (EEOC) mendefinisikan pelecehan seksual sebagai pendekatan seksual, permintaan seksual, perilaku verbal dan fisik yang bertujuan seksual di lingkungan kerja (EEOC, 1980). Namun perlu dipahami, bahwa pelecehan seksual tidak harus hanya bertujuan seksual, namun juga dapat bertujuan merusak kinerja seseorang di tempat kerjanya atau menciptakan situasi kerja yang mengintimidasi, keras dan penuh ancaman. Misalkan: pelecehan seksual pada seorang perempuan dengan cara memberikan komentar merendahkan tentang perempuan secara umum.

Unsur utama dalam pelecehan seksual adalah adanya rasa tidak diinginkan oleh korban. Selain unsur “tidak diinginkan” tersebut, masih terdapat tindakan yang tidak sopan yang mengarah pada pelecehan seksual dan menurut kebiasaan di tempat kerja merupakan sesuatu yang dapat dikatakan sebagai tindakan pelecehan seksual. Sedangkan tindakan atau interaksi yang berlangsung atas dasar suka sama suka bukan sesuatu yang tidak diinginkan bukan merupakan pelecehan seksual (Menakertrans & ILO, 2011).

Pelecehan seksual di tempat kerja dan Hukum

Prinsip non diskriminasi sebagai hak dasar pekerja di tempat kerja dalam hubungan industrial ditujukan untuk memberikan kenyamanan bekerja diatur dalam Konvensi ILO No. 100 tentang Pengupahan yang Sama bagi Laki-Laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya dan Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan (Menakertrans & ILO, 2011). Salah satu hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam mewujudkan kenyamanan bekerja adalah adanya kondisi kerja tanpa diskriminasi termasuk pelecehan seksual di tempat kerja. Oleh karena itu, pelecehan seksual adalah pelanggaran Hukum.

Berikut adalah perangkat Hukum yang menjadi dasar penyelesaian persoalan pelecehan seksual di tempat kerja (Menakertrans & ILO, 2011).

  1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia;
  2. Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
  3. Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
  4. Undang-Undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
  5. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
  6. Undang-Undang No. 80 Tahun 1957 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 100 tahun 1951 tentang Pengupahan yang Sama bagi Pekerja Laki-laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya
  7. Undang-Undang No. 21 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 111 tahun 1958 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan.
  8. Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan/Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW);
  9. Surat Edaran No.SE.60/MEN/SJ-HK/II/2006 tentang Panduan Kesempatan dan Perlakuan Yang Sama dalam Pekerjaan di Indonesia (Equal Employment Opportunity).

Berbagai komponen Hukum ini dapat digunakan untuk menjadi acuan perusahaan untuk mengembangkan komitmen dan kebijakan mengenai pelecehan seksual di tempat kerja. Selain itu, Hukum Pidana Indonesia dapat digunakan untuk menjadi pedoman pelaksanaan upaya hukum bagi pelaku pelecehan seksual di ditempat kerja.

Pelecehan seksual sering diartikan juga sebagai kekerasan yang terjadi di lingkungan kerja. Pelecehan seksual apabila ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) merupakan delik aduan, sehingga harus ada pengaduan dari korban atau pihak yang mengetahui. Korban pelecehan seksual di tempat kerja berhak mengajukan tuntutan pidana dan/atau perdata terhadap pelakunya.

KUH Pidana tidak mengatur secara spesifik pelecehan seksual di tempat kerja, hanya mengatur tentang kekerasan dengan paksaaan untuk melakukan persetubuhan (Pasal 285) dan perbuatan cabul (Pasal 289 – Pasal 296). Secara khusus, KUH Pidana menjelaskan Perbuatan cabul di tempat kerja yang dilakukan oleh atasan diatur ketentuannya dalam Pasal 294 ayat (2) angka 1, yaitu diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun bagi pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya (Herdiyani, 2013). Korban perbuatan asusila berhak mengajukan tuntutan pidana dan/atau perdata terhadap pelakunya (Kemenakertrans & ILO, 2011).

Siapa pelaku dan korban?

Pelaku biasanya adalah orang yang merasa memiliki kekuasaan lebih atas orang yang lain (korban). Dalam kontek kerja, yang ditemukan sering melakukan pelecehan adalah atasan/orang dengan kekuasaan lebih pada bawahan/orang yang memiliki sedikit kekuasaan (Easteal & Judd, 2008).

Korban pelecehan seksual di tempat kerja dapat dibagi menjadi korban langsung dan korban sekunder. Korban langsung adalah orang yang langsung dikenakan pelecehan seksual. Ketika seseorang mengalami pelecehan seksual di tempat kerja, maka ia dapat mengalami kerugian. Walaupun yang paling banyak dilaporkan mengalami pelecehan seksual di tempat kerja adalah perempuan oleh tenaga kerja laki-laki (Wilson & Thompson, 2001; Yeater, & O’Donohue, 1999); namun pelaku dan korban tidak selalu berlainan jenis kelamin; contohnya: ditemukan pelecehan yang dilakukan antar sesama perempuan di tempat kerja.

Berikut adalah pengaruh psikologis, finansial, professional dan sosial yang dapat dialami korban pelecehan seksual di tempat kerja:

  1. Korban menjadi obyek pelecehan seksual di depan orang banyak. Kelompok sekitarnya berpandangan bahwa ia layak dijadikan obyek pelecehan seksual, atau layak mendapatkan konsekuensi tertentu pada karirnya (dipecat atau diturunkan pangkatnya).
  2. Korban digunjingkan, digosipkan atau diperlakukan buruk oleh lingkungannya.
  3. Korban mengalami penurunan kinerja dan stress, misalkan: lebih sering absen.
  4. Korban mengalami pencemaran nama baik di lingkungan kerja.
  5. Korban kehilangan sumber pendapatan atau karir.
  6. Kehidupan pribadi korban menjadi perbincangan orang banyak, maka kehidupan pribadinya terancam, misalkan: korban dan keluarga dicemooh pula di luar tempat kerja/komunitas.
  7. Korban kehilangan teman, rekan kerja dan relasi sosial di lingkungan kerja.
  8. Korban mengalami kehilangan kepercayaan pada komunitas dan tempat kerja.
  9. Korban mengalami gangguan psikologis yang akan mempengaruhi kondisi kesehatan fisik dan mental.

Namun perlu dipahami, bahwa yang menjadi korban bukan hanya orang yang dikenai pelecehan seksual, namun juga orang-orang di sekelilingnya di lingkungan kerja tersebut atau disebut sebagai korban sekunder. Korban sekunder merasakan ketidaknyamanan bekerja karena melihat rekan kerjanya mengalami kekerasan seksual; misalkan: melihat rekan perempuan dilecehkan oleh rekan-rekannya perempuan lain merasa risih dan tidak nyaman. Bahkan, akibat pelecehan seksual di lingkungan kerja juga turut merugikan mereka; misalkan, menurunnya kinerja tenaga kerja membuat produktivitas kerja perusahaan akan terganggu.

Lebih lanjut, nama baik instansi kerja juga terpengaruh jika peristiwa pelecehan seksual di tempat kerja diketahui orang-orang yang bekerja di dalamnya dan publik; misalkan: peristiwa pelecehan memberikan label negatif pada instansi dimana kejadian tersebut terjadi (Chan, Chow, Lam, & Cheung, 2008; Firestone & Harris, 2003).

Sering korban yang melaporkan kejadian pelecehan seksual justru tidak mendapatkan bantuan tapi malah dilabel pembuat onar (trouble maker). Akibatnya, si korban yang melaporkan justru dibungkam, diminta agar tidak mempersoalkan pelecehan seksual yang dialaminya karena takut merusak nama baik instansi. Pembungkaman dan pelabelan ini justru akan berpengaruh buruk. Pada korban, tidak mendapatkan keadilan dari tindak pelanggaran yang dialaminya, dan juga kejahatan yang telah terjadi justru dimaklumi/dibiarkan terjadi tanpa mendapatkan konsekuensi hukuman.

Instasi kerja yang tidak menyelesaikan persoalan pelecehan kerja di lingkungannya secara tuntas justru akan mengalami persoalan. Berikut adalah persoalan psikologis yang dapat terjadi di lingkungan kerja yang tidak tuntas menyelesaikan pelecehan seksual:

  1. menurunnya produktivitas kerja
  2. meningkatnya konflik antar orang/tim kerja
  3. menurunnya kepuasan kerja
  4. turn-over, atau kehilangan tenaga kerja
  5. meningkatnya absen tenaga kerja
  6. budaya kekerasan dan pelecehan seksual subur di lingkungan kerja
  7. mahalnya biaya yang harus ditanggung (pengacara-peradilan jika terjadi tuntutan pidana, perawatan gangguan kesehatan) karena masalah berlarut-larut

Situasi pelecehan seksual di tempat kerja

Pelecehan seksual dapat terjadi di berbagai konteks kerja, seperti: pabrik, sekolah/universitas, dan berbagai bidang bisnis. Industri jasa dan hiburan cukup menghadapi resiko pelecehan seksual yang cukup tinggi (Wikipedia, 2015; Yeater, & O’Donohue, 1999). Misalkan, demi bisa mendapatkan pekerjaan menjadi artis, harus mau melayani keinginan seksual calon Bos; atau pelayan diminta mau melayani keinginan seksual tamu karena dijanjikan uang/hadiah.

Pelecehan seksual di tempat kerja dapat terjadi dalam relasi antar pribadi di dalam konteks lingkungan kerja; artinya, pelaku dan korban biasanya saling mengenal satu dengan yang lain, misalkan: atasan-bawahan, antara kolega, pemberi layanan-pengguna layanan. Namun dapat juga dilakukan oleh orang yang tidak dikenal yang juga berada di lingkungan kerja, misalkan: tamu hotel.

Peristiwa pelecehan seksual di tempat kerja dapat terjadi karena kesalahan pemahaman (misunderstanding) dalam komunikasi.

  1. pelaku merasa telah menjelaskan maksud dan keinginannya , namun tidak dipahami jelas oleh korban, sehingga dipahami sebagai pelecehan seksual.
  2. Korban merasa telah menyatakan tidak menginginkan pelaku meneruskan lelucon/komentar/permintaannya, namun tidak jelas; akibatnya pelaku tidak memahami dan terus melakukan perilaku pelecehannya.
  3. Korban merasa lelucon seks tidak lucu dan merugikan, namun tidak mampu menjelaskan posisinya akhirnya bersikap pasrah. Hal ini malah dianggap penerimaan dan persetujuan korban oleh pelaku, maka pelaku malah berperilaku semakin menjadi.

Jika hal ini terjadi, maka yang perlu dilakukan adalah memperbaiki komunikasi di lingkungan kerja. Seluruh pekerja harus memahami isu-isu sensitif di bidang kerja yang beresiko menjadi pelecehan seksual. Lalu pekerja akan berusaha untuk mencegah agar faktor beresiko tidak berkembang menjadi perilaku pelecehan seksual yang akan merugikan korban dan nama baik institusi kerjanya.

Pengaruh konteks budaya dalam penanganan pelecehan seksual di tempat kerja

Kemunculan perilaku pelecehan seksual ditemukan sangat erat dipengaruhi oleh budaya. Sejak dulu perbedaan gender dijadikan alasan perilaku diskrimintif di lingkungan kerja dan membuat orang-orang tertentu rentan menjadi korban pelecehan seksual (Thornton, 2002). Akhirnya, berbagai modus pelecehan seksual di tempat kerja kerap dianggap sebagai hal yang wajar atau hanya sekedar candaan oleh sebagian besar tenaga kerja laki-laki dan pihak perusahaan. Padahal, dampak dari tindakan pelecehan seksual ini sangat serius bagi korbannya karena merasa harkat dan martabatnya sebagai perempuan dilecehkan. Korban akan merasa malu, takut, depresi, bahkan trauma seumur hidupnya.

Menurut kajian Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan Kalyanamitra (Herdiyani, 2013), relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara tenaga kerja perempuan dan atasannya menyebabkan korban takut melaporkan kasusnya terutama jika perusahaan tempatnya bekerja tidak memiliki serikat tenaga kerja. Lebih lanjut ditemukan, bahwa kalaupun ada serikat tenaga kerja mau mengadukan kasus pelecehan seksual yang dialaminya, belum tentu akan mendapatkan keadilan malah kasusnya hanya diabaikan karena dianggap remeh. Jika tenaga kerja perempuan berani melaporkan diri ke pihak perusahaan, belum tentu akan ditanggapi serius, atau malah menyalahkan korbannya karena dianggap mencemarkan nama baik atasan dan di pecat secara sepihak. Oleh karena itu, sering tenaga kerja perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual lebih memilih diam karena posisinya sangat lemah.

Berikut adalah beberapa persoalan budaya kontekstual yang dapat menyebabkan pelecehan seksual:

  1. Perbedaan kekuasaan antara atasan dan bawahan. Perbedaan kekuasaan yang sangat mencolok dan kurangnya sarana sosial untuk memberikan suara dan hak pekerja, membuat kekerasan menjadi cara menekan oleh pelaku pada korban, termasuk kekerasan seksual (Easteal & Judd, 2008).
  2. Budaya permisif terhadap lelucon seksual. Sikap membiarkan terjadinya lelucon dan komentar seks yang melecehkan orang lain secara seksual membuat perilaku-perilaku yang menyertai (misalkan sentuhan, pandangan) akan dimaklumkan, walaupun sudah tergolong merugikan/menyakiti/merendahkan orang lain (Samuels, 2003).

Berbagai persoalan budaya kontekstual ini dapat diperhatikan seksama sebagai faktor resiko yang juga perlu diintervensi di lingkungan kerja.

Simpulan

Pelecehan seksual di tempat kerja adalah problem yang banyak dihadapi perusahaan. Tren di dunia menunjukkan penambahan jumlah kasus pelecehan yang dilaporkan di tiap tahunnya; hal ini menunjukkan bahwa masyarakat mulai mengembangkan kepekaan terhadap isu ini. Data pelecehan seksual di tempat kerja di Indonesia belumlah jelas, oleh karena itu penting agar dilakukan kajian mengenai problem ini di tempat kerja agar dapat memahami dan cara-cara penanganannya yang paling efektif.

Perlu digarisbawahi bahwa pelecehan seksual bukan hanya mempengaruhi secara negatif pada korban langsung namun juga pada instansi kerjanya. Oleh karena itu, pemrosesan kasus pelecehan seksual seharusnya menjadi kepentingan baik untuk tenaga kerja namun juga perusahaan. Perusahaan perlu membangun sistem dan kebijakan yang menerangkan pelarangan pelecehan seksual di tempat kerja dan tata cara pemrosesan kasus pelecehan seksual di instansi tersebut.

Referensi

————-, 2009, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Bumi Aksara, Jakarta.

Bacchi, C., & Jose, J. (1994). Dealing with sexual harassment: Persuade, discipline or punish. Australian Journal of Law and Society 10, 1-13.

Barreiro, S. (2015). Preventing sexual harassment workplace. Diunduh dari http://www.nolo.com/legal-encyclopedia/preventing-sexual-harassment-workplace-29851.html.

Chan, D. K., Chow, S. Y., Lam, C. B., & Cheung, S. F. (2008). Examining the job-related, psychological and physical outcomes of workplace sexual harassment: A meta-analytic review. Psychology of Women Quarterly, 32, 362-376.

Equal Employment Opportunity Commission (2015). “Sexual Harassment”. Diunduh dari http://www.eeoc.gov/eeoc/publications/fs-sex.cfm.

Easteal, P., & Judd, K. (2008). “She said, he said”: Credibility and sexual harassment cases in Australia. Women’s Studies International Forum, 31, 336-344.

Firestone, J. M., & Harris, R. J. (2003). Perceptions of effectiveness of responses to sexual harassment in the US military, 1988 and 1995. Gender, Work and Organization, 10, 43-64.

Hadi, M.S. (2010). Tren pelecehan di tempat kerja meningkat. Tempo online. Diunduh dari http://www.tempo.co/read/news/2010/11/23/173293940/Tren-Pelecehan-di-Tempat-Kerja-Meningkat.

Herdiyani, R. (2013). Lindungi tenaga kerja perempuan Indonesia dari pelecehan seksual (1-2). Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan Kalyanamitra. Diunduh dari http://www.kalyanamitra.or.id/2013/04/lindungi-tenaga kerja-perempuan-indonesia-dari-pelecehan-seksual-1/.

Kemenakertrans & ILO (2011). Pedoman Pencegahan Pelecehan Sekual di Tempat Kerja. Diterbitkan berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE.03/MEN/IV/2011. Diunduh dari http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/—asia/—ro-bangkok/—ilo-jakarta/documents/publication/wcms_171328.pdf.

McDonald, P., Graham, T., & Martin, B. (2010). Outrage management in cases of sexual harassment as revealed in judicial decisions. Psychology of Women Quarterly, 34, 165-180.

Priharseno, Z.N. (2013). 75 Persen tenaga kerja wanita di Jakarta alami kekerasan seksual. Kompas online. Diunduh dari http://megapolitan.kompas.com/read/2013/04/19/16235648/75.Persen.Tenaga kerja.Wanita.di.Jakarta.Alami.Kekerasan.Seksual.

Samuels, H. (2003). Sexual harassment in the workplace: A feminist analysis of recent developments in the U.K. Women’s Studies International Forum, 26, 467-482.

Thornton, M. (2002). Sexual harassment losing sight of sex discrimination. Melbourne University Law Review, 26, 222-444.

Wikipedia (2015). Sexual harassment. Diunduh dari http://en.wikipedia.org/wiki/Sexual_harassment#cite_note-22.

Wilson, F., & Thompson, P. (2001). Sexual harassment as an exercise of power. Gender, Work & Organization, 8, 61-83.

Yeater, E.A., & O’Donohue, W. (1999). “Sexual assault prevention programs: Current issues, future directions, and the potential efficacy of interventions with women”. Clinical Psychology Review, 19, 739–71. doi:10.1016/S0272-7358(98)00075-0. PMID 10520434.

Zugelder, M. T., Champagne, P. J., & Maurer, S. D. (2006). An affirmative defense to sexual harassment by managers and supervisors: Analyzing employer liability and protecting employee rights in the United States. Employee Responsibilities and Rights Journal, 18. 111-122.

4 komentar di “Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

  1. Informasi yang berharga bu Retha. Mungkin bisa ditambahkan tentang apa saran praktis bagi para pekerja bagaimana mencegah dan menghindari terjadinya pelecehan plus bagaimana meminimalisir efeknya bagi korban jika pelecehan sudah benar terjadi.

    • Halo Andri,

      pertama, ajar semua pekerja untuk tahu hak-haknya di tempat kerja. Lalu ia perlu tahu bagaimana mengidentifikasi pelecehan seksual di tempat kerja dan bagaimana cara meresponnya.

      Kedua, bantu korban agar mendapatkan keamanan. Tidak lagi mendapatkan pelecehan dan kekerasan seksual. dan bantu dia memulihkan kepercayan dan harga dirinya. Gejala bisa saja berbeda, namun stress akibat pelecehan memiliki dampak pada korban pelecehan seksual di tempat kerja.

      ketiga, bangun lingkungan kerja yang saling menghormati satu sama lain. perempuan dan laki-laki.

      salam.

  2. Terima kasih bu untuk informasi yang sangat berharga ini, perkenalkan saya Eugenia mahasiswi akhir jurusan psikologi industri dan organisasi di Binus University. Kebetulan topik yang ingin saya angkat untuk skripsi saya sangat berkaitan dengan isi dari postingan ibu. Saya mau mohon izin untuk menggunakan postingan ibu ini sebagai salah satu referesi saya dalam penulisan proskripsi saya. Apakah ibu tidak keberatan dengan hal itu ? terima kasih sebelumnya bu 🙂

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s