Oleh: Denda Prayogo
Mahasiswa Peserta Mata Kuliah Psikologi Forensik Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Kasus Jakarta International School (JIS) adalah kasus yang cukup menyita perhatian di pertengahan tahun 2014. Kasus ini merupakan salah satu dari beberapa kasus kekerasan seksual pada anak yang terjadi di Indonesia. Kasus kekerasan seksual yang tejadi di lingkungan sekolah yang mana merupakan institusi yang seharusnya dipercaya para wali murid sebagai tempat belajar anak anak mereka namun seakan menjadi neraka untuk anak.
Kasus JIS terjadi di sebuah institusi pendidikan yang berkelas internasional yang mana cukup membuat banyak orang terheran heran mengapa kejadian semacam kekerasan seksual bisa terjadi di sebuah sekolah tersebut. Dan yang sangat disesalkan adalah mengapa baru sekarang terkuak kejadian kekerasan seksual tersebut. Padahal kekerasan seksual pada anak cukup memiliki dampak psikologis yang berat dan nantinya akan berdampak pada perilaku keseharian, kepribadian, bahkan preferensi seksual para korban yang mengalami kekerasan seksual tersebut.
Kasus kekerasan seksual JIS pada awalnya terungkap melalui orang tua murid yang melapor bahwa anaknya telah menjadi korban kekerasan seksual. Belakangan terungkap bahwa pelaku kekerasan seksual JIS melibatkan guru JIS dan cleaning service yang mana berjumlah dua belas orang sebagai berikut:
Guru JIS, yaitu ;
- Neil Bantleman (learning leader)
- Ferdi Tjiong (asisten guru kelas I)
- William James Vahey, 64 tahun (bunuh diri)
Cleaning Service JIS, yaitu ;
- Agun Iskandar, 25 tahun
- Virgiawan Amin, 20 tahun
- Afriska Setiani, 24 tahun
- Zainal Abidin, 28 tahun
- Syaiful, 20 tahun
- Azwar, 28 tahun (meninggal karena bunuh diri)
Pelaku Kekerasan Seksual JIS
Pada review ini penulis akan lebih memfokuskan pada dinamika perilaku penyimpangan prefernsi seksual pada Zainal Abidin (ZA). Diketahui dari berita yang ada menyatakan bahwa Zainal Abidin selain melakukan kekerasan seksual pada anak, pelaku juga merupakan seorang homoseksual yang memiliki hubungan kusus dengan salah satu pelaku lain yang juga melakukan kekerasan seksual pada anak di JIS (megapolitan.kompas.com). Dari hasil penyelidikan diketahui bahwa Zainal Abidin berpacaran dengan salah seorang pria yang juga pelaku kekerasan seksual di JIS dan sering malakukan hubungan intim berupa melakukan saling sodomi dengan orang tersebut. Selain itu diketahui pula bahwa pelaku juga merupakan salah satu korban dari salah satu guru JIS yaitu William James Vahey (tribunnews.com). dijelaskan dalam berita yang dimuat, ZA pada usia 14 tahun mengaku pernah mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh William James Vahey di lingkungan rumah tempat tinggal ZA. Dari pengakuan ZA ini dapat diketahui bahwa pelaku William James Vahey ini telah melakukan kekerasan seksual kepada korbannya sejak lama dan melakukan kekerasan seksual di tempat yang menurut kebanyakan orang merupakan tempat yang aman bagi anak. Selain itu nampak juga gambaran tentang bagaimana dampak dari kekerasan seksual yang dialami oleh seorang anak. ZA yang mana diselidiki memiliki latar belakang keluarga yang baik telah berani melakukan kejahatan kekerasan seksual pada anak salah satunya dikarenakan ZA pada masa anak anak merupakan korban dari hal yang sama yaitu kekerasan seksual yang dilakukan oleh William James Vahey yang mana belakangan diketahui bahwa dia merupakan buronan FBI yang mana telah melakukan kejahatan seksual pada anak di beberapa negara selama dua dekade.
Dilihat dari paparan latar belakang salah satu pelaku kekerasan seksual JIS maka akan terlihah pola perilaku menyimpang yang dilakukan oleh pelaku. Pelaku yang notabene pada masa kanak kanak merupakan korban kekerasan seksual, pada masa dewasa memiliki kecenderungan melakukan hal yang sama. Dapat dibayangkan jika hal tersebut terus terulang dengan lebih banyak korban anak anak yang mengalami kekerasan seksual. Oleh karena itu sangat dibutuhkan penanganan yang tepat untuk pelaku kekerasan seksual pada anak maupun anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Pada review ini akan lebih fokus menjelasankan mengenai treatment apa yang bisa diberikan untuk para pelaku kekerasan seksual maupun yang memiliki kecenderungan untuk menjadi pelaku kekerasan seksual.
Etiologi Perilaku Pelaku JIS
Sampai sekarang ini etiologi pedofilia masih menjadi perdebatan di antara para ahli klinis. Adapun beberapa teori yang dibicarakan oleh para ahli,adalah:
1. Teori Psikodinamika
Dalam teori psikodinamika banyak menekankan mengenai pengalaman masa kanak yang dapat mempengaruhi perilaku manusia pada masa dewasa melalui pola ketidaksadaran. Pengalaman seksual yang tejadi pada masa anak yang tidak menyenangkan atau traumatik akan direpres kedalam pola ketidaksadaran. Adanya kejadian yang tidak menyenangkan seperti dilecehkan secara seksual oleh seorang dewasa pada masa kecil seorang pedofil menyebabkan adanya persepsi buruk yang memandang hubungan seks dengan orang seusianya atau dengan orang yang lebih dewasa menjadi menakutkan.
2. Teori Behavioral Cognitive
Pada teori behavioral memandang bahwa perilaku manusia adalah hasil dari kumpulan respon dari stimulus yang selama ini dipelajari oleh manusia. Perilaku yang tidak menyenangkan yang diulang akan membuat seseorang membentuk respon bertahan dan berusaha untuk menikmati stimulus tersebut sebagai stimulus yang biasa walaupun sebenarnya stimulus tersebut pada dasarnya merupakan stimulus yang tidak menyenangkan. Manusia akan belajar menerima stimulus yang ada dan membentuk pola pemahaman kognitif baru mengenai stimulus yang dia terima tersebut.
Dalam kasus JIS nampak pelaku AZ telah mendapat perlakuan kekerasan seksual yang dilakukan oleh William James Vahey yang mana hal tersebut mestinya merupakan stimulus yang tidak menyenangkan, namun dikarenakan pola respon manusia yang akan beradaptasi dengan keadaan akan menyebabkan AZ mencoba menerima stimulus yang ada dan mempersepsikannya menjadi stimulus yang netral. Hal ini yang pada akhirnya membentuk pola pemahaman bahwa perilaku seksual yang benar menurut AZ adalah perilaku seksual dengan sesama jenis dan lebih baik lagi dilakukan dengan anak anak.
Selain itu dapat dijelaskan pula dampak dari adanya kejadian yang tidak menyenangkan seperti adanya pelecehan seksual di masa kecil seorang pedofil menyebabkan ia beranggapan bahwa aktivitas seksual yang menyenangkan dilakukan dengan anak kecil. Selain itu,rendahnya self-esteem membuat seorang pedofil mencari sosok yang lebih lemah, yakni mereka, anak-anak prapubertas.
Namun secara umum teori yang sering dijadikan sebagai dasar adalah teori psikoanalis dimana teori ini mengungkapkan bahwa adanya kejadian di masa lalu seorang pedofil saat dia dalam masa kecil. Keberadaan yang dominan dari sosok yang lebih tua yang terlalu mengontrol dimana dapat dilihat sebagai kompensasi mereka atas ketidakberdayaan mereka di masa kecilnya. Selain itu, adanya kejadian traumatis atau pengalaman yang tidak menyenangkan dengan orang dewasa, sehingga mengakibatkan adanya persepsi buruk terhadap diri mereka. Faktor-faktor ini yang dapat memicu penyimpangan seksual pada kasus pedofilia.
Intervensi Pelaku Kekerasan Seksual Pada Anak
Intervensi klinis adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengubah perilaku atau keadaan sosial dengan sengaja sesuai dengan tujuan yang dikehendaki (Nietzel,1998). Dalam pelaksanaannya, terdapat berbagai bentuk intervensi psikologis yang biasa dilakukan oleh seorang psikolog seperti psikoterapi, rehabilitasi psikososial, intervensi preventif.
Dalam kasus Jakarta International School (JIS), pelaku kekerasan seksual pada anak kemungkinan dapat dimasukkan kedalam gangguan pedofilia dan ada beberapa pelaku yang disertai dengan homoseksual. Orang dengan gangguan pedofilia memiliki ketertarikan seksual secara berlebih pada anak anak. Pada kriteria pedhofilia, seseorang dengan gangguan pedhofilia memiliki ketertarikan pada anak anak secara umum. Pada kasus JIS diketahui bahwa banyak korban yang mengalami kekerasan seksual merupakan anak laki laki. Hal ini mungkin dikarenakan pelaku kekerasan seksual memiliki pemahaman yang menyimpang mengenai perilaku seksual yang diperoleh pelaku seperti Zainal di masa lalu (Frank, 1999). Seperti yang dijelas di atas, salah satu pelaku kekerasan seksual di JIS yaitu Zanial dahulunya juga merupakan korban dari kasus kekerasan seksual. Oleh sebab itu dikhawatirkan jika anak yang telah mengalami kekerasan seksual pada masa dewasa memiliki kemungkinan yang cukup besar akan mengulangi hal yang sama yang pernah dialaminya ketika pada masa kanak kanak (Berlin, 1994; Frank, 1999).
Hal ini yang kemudian menjadikan intervensi klinis hal yang penting dalam penanggulangan permasalahan pada kasus kekerasan seksual semacam ini. Intervensi klinis sebenarnya tidak cukup hanya dilakukan kepada korban kekerasan seksual, tetapi juga harus dilakukan kepada pelaku kekerasan seksual sehingga mata rantai kasus kekerasan seksuala akan terputus. Dan perlu diketahui bahwa intervensi tidak akan memiliki hasil yang maksimal jika tidak didukung oleh keluarga ataupun masyarakat disekitar pelaku maupun korban dari kekerasan seksual.
Intervensi untuk gangguan pedhofilia dirasa cukup penting dikarenakan banyak kasus yang terjadi yang akhirnya membuat trauma para korban dari pedhofilia ini. Hal yang dikhawatirkan adalah efek yang dialami oleh para korban yang kemungkinan akan membentuk perilaku yang sama dikemudian hari. Intervensi untuk pedhofilia ini sangat berguna untuk mengurangi jumlah pelaku kejahatan seksual pada anak serta melindungi sebagai tindakan preventif untuk melindungi anak anak dari pelaku pedhofilia itu sendiri.
Dalam melakukan intervensi, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu etiologi dari gangguan phedhofilia yang ada guna lebih tepat dalam pemilihan model intervensi. Ketika kita mengetahu etiologi dari gangguan pedhofila maka kita akan dapat dengan mudah menentukan intervensi yang tepat. Pada pembahasan ini akan dijelaskan beberapa intervensi yang dapat diusulkan untuk digunakan dalam penganganan pelaku kekerasan seksual. Bentuk intervensi berdasarkan pada Camillery (2008) yang dapat disarankan untuk pelaku pada kasus JIS antara lain dengan:
1. Terapi kognitif behavioral dan relapse prevention.
Terapi kognitif behavioral adalah terapi yang mengajarkan tentang cara untuk mengenal suatu keadaan sebagaimana keadaan yang sesungguhnya dengan mengubah cara berpikir sehingga bisa melihat sesuatu secara lebih seimbang dan terhindar dari dampak negatif dari pemikiran negatif (Tirtojiwo, 2012). CBT menganggap bahwa pola pemikiran terbentuk melalui stimulus-kognisi-respon yang saling berkaitan membentuk semacam jaringan dalam otak. Proses kognitif merupakan faktor penentu bagi pikiran, perasaan, dan perilaku. Semua kejadian yang dialami berlaku sebagai stimulus yang dapat dipersepsikan secara positif ataupun negatif (Sudiyanto, dalam Ambarwati, 2009).
Terapi kognitif didasarkan pada pemahaman yang salah dari pelaku mengenai perilaku seksual yang biasa pelaku lakukan kepada anak anak (Camillery, 2008). Fokus dari CBT adalah memperbaiki perilaku kini dan saat ini. CBT membantu seseorang untuk melihat bagaimana seseorang menginterpretasikan dan mengevaluasi apa yang terjadi di sekitarnya dan dampak dari persepsi pada pengalaman emosional seseorang (Rector, 2010). Dalam terapi CBT ini seseorang diarahkan oleh terapis untuk merubah kepercayaan (belive) yang kurang adaptif menjadi lebih adaptif. CBT biasanya dilakukan dengan menggabungkan intervensi perilaku dan terapi kognitif. Porsi behavioral berfokus pada pengubahan preferensi seksual sedangkan porsi kognitif berfokus pada distorsi kognitif, atitude, kesalahan berfikir yang menebabkan perilaku yang mana kebanyakan dipengaruhi oleh social learning. Standart dari CBT dalam mengubah perilaku diantaranya (Camillery, 2008):
- Mengajarkan kepada pelaku tentang bagaimana kognisi mempengaruhi perilaku agresi seksual pada individu,
- Menginformasikan kepada pelaku tentang seberapa merusaknya perilaku pelaku pada para korban.
- Melatih para pelaku tentang bagaimana mengidentifikasi distorsi kognitf yang mereka alami.
- Menggunakan berbagai peralatan pedagogi guna membantu memberi pengertian pada para pelaku sehingga mereka dapat bekerja.
2. Conditioning
Camillery (2008) menjelaskan bahwa pada dasarnya, treatment conditioning ini didasarkan pada teori behavioral yang mana memandang perilaku pedhofial merupakan hasil dari respon adaptif dari stimuls yang tidak menyenangkan yang kemudian membentuk perilaku pedhofilia itu sendiri. Prinsip conditioning pada treatment ini didasarkan pada pencocokan antara stimulus aversif dengan stimulus perilaku pedofilia pada pelaku. Variasi dalam metode ini dapat berupa classical aversive conditioning, classical discriminative conditioning, covert sensitization, satiation, dan signaled punishment.
Pada classical aversive conditioning, sebuah unconditioning stimulus seperti shock atau sengatan listrik harus didahului oleh conditioning stimulus guna mengurangi keinginan dari stimulus deviant. Pada treatment ini pelaku akan diberikan stimulus berupa gambar atau video yang berisikan anak anak dan kemudian ketika pelaku mengalami ejakulasi maka akan diberika sebuah shock sebagai stimulus aversive. kegiatan ini diulang ulang hingga pelaku akan beranggapan bahwa ketika pelaku merasa terangsang secara seksual ketika melihat anak anak maka pelaku akan mendapatkan stimulus yang tidak menyenangkan, hingga kemudian pelaku akan menggeneralisasikan bahwa anak anak itu merupakan hal yang tidak menyenangkan. Conditioning tipe ini cukup memberikan rasa takut pada pelaku pedhofilia, namun hal yang negatif yang mungkin timbul adalah pelaku akan mengalami phobia.
Covert sensitization merupakan metode yang mana meminta para pedhofilia membayangkan seorang anak namun disertai dengan membayangkan hal yang menjijikkan kemudian merasa bebas ketika keluar dari situasi yang dibayangkan. Dalam treatment memiliki kekurangan yaitu ketika pelaku pedhofilia tidak memiliki komitmen dalam melakukan treatmen maka kemungkinan besar treatment ini tidak akan berhasil, dikarenakan selama treatment terapis tidak dapat mengetahui secara pasti apakah pelaku telah melakukan apa yang diperintahkan oleh terapis sehingga terkadang treatment ini kurang memiliki efek pada pelaku yang belum memiliki keinginan untuk merubah dirinya menjadi seseorang yang terbebas dari pedhofilia.
Satiasi dapat dilakukan berupa verbal maupun mastubatori, individu diminta untuk melakukan masturbasi hingga ejakulasi sambil membayangkan perilaku seksual yang tepat, kemudian setelah ejakulakulasi individu diminta untuk ejakulasi lagi dengan membayangkan perilaku seksual yang kurang tepat. Ejakulasi kedua yang dipaksakan akan menjadi stimulus yang tidak menyenangkan bagi pelaku. Pada treatment conditioning tipe ini pada prinsipnya pelaku akan secara tidak sadar melakukan perbandingan. Pada ejakulasi pertama yang dilakukan, terapis akan meminta pelaku untuk membayangkan perilaku seksual yang normal. Kemudian setelah itu, pelaku diminta ereksi dan diminta untuk membayangkan perilaku seksual yang biasa dial lakukan yang menyimpang. Dari proses ini pelaku dibawa untuk memahami bahwa perilaku seksual yang normal memiliki efek yang lebih menyenangkan daripada perilaku seksual yang menyimpang.
Signaled punishment biasanya menggunakan lampu indikator dalam pproses treatment, ketika individu dihadirkan stimulus deviant dan individu tersebut mengalami pembengkakan penile maka lampu indikator merah akan menyala dan pemberian kejutan listrik dilakukan dan sebaliknya. Pada jenis conditioning ini memakai prinsip yang hampir sama dengan prinsip classical conditioning.
3. General psikoterapi.
Psikoterapi yang berlandaskan dasar dari teori humanistik maupun psikodinamik. Pada terai jenis ini, pelaku diajak untuk mengekplorasi pengalaman seksual yang pernah terjadi pada pelaku. Kemudian pelaku akan diberikan pemahaman pemahaman yang benar atas apa yang telah terjadi pada pelaku. Terapi ini merupakan terapi yang harus didampingi dengan terapi terapi lain guna memberikan perubahan yang lebih signifikan dalam merubah perilaku pelaku.
4. Terapi kelompok
Terapi kelompok ini biasanya dilakukan pada tahap akhir terapi untuk pelaku pedhofilia. Terapi ini dilakukan untuk mengeksplorasi permasalahan yang pelaku miliki kemudian didiskusikan bersama kelompok supaya memperoleh penyelesaian terbaik menurut kelompok. Pada terapi ini pelaku akan dikumpulkan secara berkelompok dan duduk secara melingkar. Dalam satu kelompok akan dicampur antara orang dengan pedhofilia dan orang normal, hal ini bertujuan untuk membawa pemahaman pelaku pedhofilia kepada pemahaman yang benar dengan membandingkan pemahaman yang mereka miliki dengan pemahaman yang orang normal pada umumnya miliki.
5. Multisistemik terapi.
Terapi ini dilakukan dengan community bassed treatment. Intervensi ini melibatkan keluarga, teman sebaya, tetangga, dan orang disekitar pelaku. Pada treatment ini sangat dibutuhkan bantuan serta dari keluarga dan orang di sekitar pelaku. Sebelum pelaku dikembalikan kepada keluarga dan masyarakat, para terapis akan terlebih dulu mendatangi keluarga pelaku dan tetangga maupun masyarakat di sekitar pelaku untuk memberikan pemahaman mengenai pedhofilia dan memberikan mereka pelatihan guna meminimalisir kemungkinan pelaku akan kembali menjadi pedhofilia. Setelah semua itu dilakukan, maka pelaku pedhofilia akan dikembalikan ke keluarganya.
6. Terapi medik.
Pemberian terapi ini bertujuan untuk mengatur aktivitas otak dan regulasi hormonal untuk menekan perilaku seksual pada pelaku pedofilia. Salah satu metodenya menggunakan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) untuk memblok reuptake of serotonin, sebuah neurotransmiter yang memiliki fungsi mengatur fungsi seksual pada individu. Terapi ini terkadang merupakan jalan terakhir yang bisa dilakukan guna menghilangkan perilaku phedhofilia itu sendiri. Terapi ini sudah diterapkan di beberapa negara dan cukup efektif untuk mengurangi jumlah angka kejahatan seksual pada anak. Namun di Indonesia, terapi ini masih menuai pro dan kontra dikarenakan memiliki efek yang permanen pada pelaku. Pelaku tidak akan memliki hasrat secara seksual.
Diskusi
Dalam kasus yang terjadi di JIS terdapat suatu permasalahan yang sebenarnya merupakan hasil dari permasalahan yang dulunya ada. Kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Zainal Abidin, seorang homoseksual yang melakukan kekerasan seksual pada murid JIS. Zainal Abidin yang belakangan diketahui bahwa dirinya dulunya pernah menjadi korban dari William James ternyata melakukan kekerasan seksual pada murid di JIS. Terdapat dinamika pembentukan kepribadian yang menyimpang yang terjadi dalam diri Zainal Abidin. Pembentukan kepribadian yang memungkinkan menyebabkan perilaku yang sebenarnya dia dulunya merupakan korban dari perilaku yang sama pada masa sekarang dia melakkukan hal yang sama kepada korbannya. Dari uraian yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya kita dapat membuat dugaan bahwa perilaku kekerasan seksual yang dilakukan oleh Zainal Abidin berasal dari perlakuan yang kurang menyenangkan terhadap dirinya pada masa lalu. Perilaku yang tidak nyaman dan tidak menyenangkan di masa lalu sebenarnya ditolak oleh Zainal, namun dikarenakan Zainal tidak mengetahui atau bahkan terpaksa beradaptasi maka ketidak nyamanan itu akan direpresikan oleh seseorang ke alam bawah sadar atau alam ketidaksadaran. Begitulah pendapat dari psikodinamik. Sedangkan menurut teori behavioris menyatakan bahwa perilaku penyimpangan seksual pada Zainal Abidin merupakan hasil dari belajar dari stimulus yang dialami oleh Zainal Abidin di masa sebelumnya. Oelh karena itu saran yang tepat yang dapat digunakan untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan perilaku pada Zainal dapat digunakan motode CBT yang mana berfungsi untuk memperbaiki pola pikir Zainal akan perilaku seks yang benar. Berangkat dari pemahaman yang benar mengenai perilaku seksual akan membawa pelaku kejahatan seksual pada anak kepada perilaku yang lebih baik.
Kenyataannya memang banyak faktor yang sangat mempengaruhi pelaku kekerasan seksual melakukan perilaku menyimpangnya. Menentukan dasar dari motif seseorang hingga melakukan perbuatan yang menyimpang memang tidaklah gampang, ada banyak hal yang harus digali dengan seksama sehingga mendapatkan gambaran mengenai latar belakang motif dari seseorang melakukan suatu penyimpangan. Menurut pendapat penulis, pada kasus Zainal dan JIS ini Zainal merupakan contoh dari korban yang tidak memperoleh penanganan yang tepat sehingga memunculkan perilaku menyimpang. Stimulus yang pernah diterima oleh Zainal ketika ia menjadi korban dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh William mungkin diterima sebagai stimulus yang tidak menyenangkan, namun dikarenakan mungkin tidak ada seseorang yang didekatnya yang menyadari apa yang terjadi pada Zainal inilah yang menyebabkan Zainal beradaptasi atas stimulus yang ada dan membentuk anggapan baru yang menyimpang yaitu jika seks yang benar adalah seks dengan menyodomi orang lain, terutama anak kecil. Pola pemahaman yang yang tidak terarah ini kemudian menjadi pemahaman yang menyimpang dalam diri Zainal.
Ketika memang kasus ini terjadi maka seharusnya ada penanganan yang tepat guna tidak ada lagi Zainal yang lain. Setidaknya mata rantai kekerasan seksual yang terjadi pada anak harus segera diputus. Penanganan yang tepat yang bisa dilakukan seperti pemberian konseling, dan terapi yang mana telah dijelaskan oleh penulis pada BAB sebelumnya.
Sebagai point diskusi untuk kita dalam memandang perilaku penyimpangan seksual (pedhofilia) disebabkan oleh apa dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi? Sedangkan intervensi yang tepat menutut pembaca seperti apa?
Simpulan
Dari uraian di atas nampak bahwa perilaku kekerasan seksual yang mana memiliki dampak yang negatif pada perilaku korban sebenarnya merupakan sebuah mata rantai kasus kekerasan seksual yang terjadi secara berulang. Fakta yang terungkap dalam kasus JIS yang mana salah satu pelaku kekerasan seksual di JIS ternyata juga merupakan korban kekerasan seksual pada saat pelaku masih anak anak. Perilaku kekerasan seksual ternyata memiliki dampak langsung maupun dampak tidak langsung. Dampak langsung bisa berupa perubahan sikap, perilaku korban yang mengalami kekerasan seksual, serta rasa yang tidak nyaman yang dirasakan oleh korban. Dampak tidak langsung yang berupa perubahan persepsi mengenai perilaku seks yang benar yang mana dapat membuat korban menjadi seorang homoseksual, atau bahkan melakukan kekerasan seksual kepada anak di bawahnya yang akan menjadi sebuah siklus. Yang dulunya menjadi korban kekerasn seksual pada masa kanak kanak, ketika dewasa menjadi seorang pelaku kekerasan seksual.
Jika hal ini tidak segera diatasi maka dapat dibayangkan bagaimana dampak dari kasus ini kepada generasi muda yang ada. Kita tidak dapat menyalahkan pihak mana yang paling salah dalam kasus ini, karena banyak faktor yang membuat kekerasan seksual pada anak seakan menjadi hal yang kadang sulit terangkat di permukaan. Hal yang mungkin bisa kita usahakan adalah mencegah supaya kejadian semacam ini terulang kembali di masa yag akan datang.
Ada banyak hal yang sebenarnya bisa kita lakukan untuk mencegah kejadian serupa terulang kembali. Hal yang bisa dilakukan untuk anak korban perilaku kekerasan seksual adalah dengan melakukan trauma healing dengan bantuan psikolog untuk meminimalisir dampak psikologis yang ditimbulkan. Dan untuk para pelaku kekerasan seksual dapat dilakukan beberapa treatment yang telah diuraikan pada pembahasan, seperti terapi terapi kognitif, conditioning, terapi multisistemik, serta dengan pengobatan yang mana semua hal tersebut bertujuan untuk mengurangi kejadian demi kejadian kekerasan seksual pada anak.
Daftar Pustaka :
4 Kisah Zaenal, Saat Kecil Disodomi, Sudah Dewasa Menyodomi Anak (2014, 28 April) diakses pada 28 Desember 2014 dari https://id.berita.yahoo.com/4-kisah-zaenal-saat-kecil-disodomi-sudah-dewasa-194308368.html
Ambarwati, C. N. (2009). Keefektifan Cognitive Behaviour Therapy Sebagai Terapi Tambahan Pasien Skizofrenia Kronis Di Panti Rehabilitasi Budi Makarti Boyolali. Tesis PPDS. Surakarta: Universitas Sebelas Maret
Berlin, Fred. S., Krout, Edgar. (1994). Pedophilia: Diagnostic Concepts Treatment, And Ethical Considerations. diakses pada tanggal 07 Januari 2015 dari http://www.bishop-accountability.org/reports/1994-11-RestoringTrust/rt94-03-berlin.pdf
Camilleri, J. A. (2008). Pedophilia: Assessment and Treatment. In D.R. Law & W. T. O’Donohue (Eds), Sexual Deviance: Theory, Assessment, And Treatment (2nd ed, page 183-212). New York: Guilford
- W. Ryan., C.W. Richard. (2007). A Profile of Pedophilia: Definition, Characteristics of Offenders, Recidivism, Treatment Outcomes, and Forensic Issues. Mayo Foundation for Medical Education and Research 82(4):457-471
Pelaku Sodomi Murid TK Internasional Berkomplot (2014, 15 April) diakses pada 28 desember 2014 dari http://www.tempo.co/read/news/2014/04/15/064570716/Pelaku-Sodomi-Murid-TK-Internasional-Berkomplot
Rector, Neil. A. (2010). Cognitive Behavioural Therapy: An Information Guide. Toronto: Centre for Addiction and Mental Health
Tersangka Kasus JIS Awan dan Zainal Berpacaran (2014, 28 April 2014) diakses pada 28 Desember 2014 dari http://megapolitan.kompas.com/read/2014/04/28/1448119/Tersangka.Kasus.JIS.Awan.dan.Zainal.Berpacaran
Tirtojiwo. (2012). Terapi Kognitif dan Perilaku Untuk Penderita Depresi. Diakses pada tanggal 6 Januari 2015 dari http://tirtojiwo.org/wp-content/uploads/2012/06/kuliah-CBT-depresi.pdf
V, Frank., Knight, Robert. H. (1999). Homosexual Behavior & Pedophilia. diakses pada tanggal 7 Januari 2015 dari http://us2000.org/cfmc/Pedophilia.pdf
Weiner, Irving. B. (2003). Handbook of Psichologi Vol 11: Forensic Psychology. New Jersey: John Willey & Son. Inc