Koreksi Pelaku Kejahatan

Koreksi Pelaku Kejahatan

Oleh: Duratun Nasikhah, Hidayatul Masruroh, Trifosa Satya

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

http://madnessorgenius.wordpress.com/2010/11/08/overhauling-the-penal-system/

Koreksi

Secara harafiah, koreksi berarti membetulkan atau memperbaiki sesuatu yang dianggap salah, yang mana sesuatu tersebut diharapkan tidak akan diulangi dikemudian hari. Istilah koreksi di sini memiliki dua konsep, yaitu konsep Tindakan Koreksi dan Lembaga Koreksi. Tindakan koreksi adalah kegiatan untuk membuat sesorang jera dan tidak melakukan kejahatannya lagi. Lembaga koreksi pertama kali muncul pada abad ke 17 di Inggris. Saat itu London membangun prototipe bangunan yang diberi nama “The London Bridewall” untuk rumah koreksi pelaku kejahatan.

Dalam proses koreksi terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain:

  1. Kemanusiaan: pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim tetap menjunjung tinggi harkat dan martabat para pelakunya.
  2. Edukatif: pemidanaan tersebut mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang telah dilakukan dan menjadikan pelaku mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan
  3. Keadilan: Pemidanaan tersebut dirasakan adil oleh semua pihak baik itu terhukum,  korban ataupun masyarakat.

 

Rehabilitasi Pelaku Kejahatan

Dalam dunia peradilan pidana istilah “rehabilitasi” memiliki dua makna. Pada awalnya istilah rehabilitasi merujuk pada resettlement, reintegrasi atau re-entry yang didasarkan pada proses untuk individu yang pernah melanggar hukum. Rehabilitasi lebih kepada bagaimana menyiapkan  dan memberi dukungan kepada pelaku kejahatan dapat kembali dan diterima oleh masyarakat setelah dibebaskan. Serta untuk pencegahan tersier yaitu untuk menghindari terulangnya perilaku kejahatan.

Setelah penelitian mendalam selama 30 tahun para psikologi kriminologi dan forensik menemukan bahwa penerapan metode kerja mampu mengurangi terulangnya tindak kejahatan. Gaes (1998 dalam Brown & Campbell, 2010) telah menggambarkan tentang bagaimana “merubah pelaku” pada konsep sentral peradilan pidana sejak munculnya konsep penjara pada awal abad sembilan belas. Hal itu menjadi konsep dominan yang membimbing asumsi dan praktek dari berbagai lembaga dan bagaimana layanan mereka diorganisir. Berdasarkan meta-analisis serta bukti statistik yang ada sejak tahun 1985 hingga seterusnya menunjukkan bahwa intervensi rehabilitasi berhasil mengurangi jumlah residivis. Yang di dalamnya termasuk pemeriksaan: jenis pelanggaran, kategori pelanggar, metode, level individu, aspek, setting dan sanksi pencegahan.

Efektivitas koreksi dan rehabilitasi

Berdasarkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa intervensi yang diberikan kepada pelaku kriminal memiliki dampak positif dalam hal pengurangan jumlah terulangnya suatu tindak kejahatan. Temuan rata-rata berdasarkan meta-analisis menunjukkan bahwa tingkat residivisme pada kelompok eksperimen sebesar 45% sedangkan pada kelompok kontrol sebesar 55%. Meskipun rendah, angka tersebut telah menunjukkan signifikansinya secara statistik. Sedangkan, pemberian intervensi psikososial seperti pemberian terapi komunitas rata-rata memberikan efek positif dalam mereduksi terulangnya tindak pidana. Berikut ini hal-hal informatif yang membantu memperjelas atribut intervensi paling reliabel yang dihubungkan dengan hasil yang lebih baik diantaranya:

  1. Efek ukuran rehabilitasi yang tebih besar untuk remaja (dibawah 15 tahun) dan untuk pelaku kejahatan dewasa (diatas 18 tahun).
  2. Intervensi berdasarkan komunitas yang memiliki efek ukuran yang lebih besar daripada mereka dikirim ke suatu lembaga.
  3. Adanya efek interaksi komplek antara setting pengadilan kriminal, tipe intervensi serta kualitas pemberian intervensi. Bahkan jika intervensi yang diberikan cukup hati-hati tetap dapat menimbulkan efek negatif bagi pelaku kejahatan.

Prinsip-prinsip yang menjadi temuan di atas tersebut menjadi bahan dan metode dalam membentuk sebuah program rehabilitasi. Program ini terdiri dari serangkaian urutan yang telah direncanakan dengan melihat kesempatan yang ada, biasanya disusun secara manual dan diadaptasi sesuai dengan keperluan. Program-program yang telah dibuat, harus melibatkan penilaian dari tim independen, dan secara terus-menerus dipantau kualitasnya. Untuk saat ini, sebagian besar program rehabilitasi dirancang dengan menggunakan metode intervensi cognitive-behavioral, seperti pelatihan dalam pemecahan masalah sosial, keterampilan interpersonal, pengaturan emosi, dan penalaran moral (Garrido and Morales 2007; Lipsey, Landenberger dan Wilson 2007; Wilson 2005).

Prinsip rehabilitasi efektif

Dengan adanya program-program rehabilitasi tersebut, menimbulkan penurunan yang cukup besar terhadap tindak kejahatan. Agar progam-program dari rehabilitasi dapat lebih efektif maka perlulah diperhatikan hal-hal berikut ini:

  1. Upaya rehabilitatif akan dapat berhasil ketika didasarkan pada teori perilaku kriminal.
  2. Harus memahami perbedaan individu yang menjalani rehabilitasi sehingga akan efektif dalam memberikan intervensi.
  3. Kenakalan pada remaja dan berlanjut hingga kriminalitas pada dewasa menunjukkan pola-pola tertentu pada interaksi sosial, rendahnya tingkat interpersonal atau keterampilan kognitif, sikap antisosial, pengaruh dari kelompok lain, dan lainnya.
  4. Program rehabilitasi yang efektif adalah dengan menggabungkan beberapa jenis metode intervensi.
  5. Upaya rehabilitatif yang efektif akan lebih baik jika memiliki tujuan yang jelas, isi yang terstruktur, dan tidak fokus hanya pada aktivitas dan pengembangan keterampilan. Tetapi juga orang-orang yang terlibat dalam proses rehabilitasi harus mempunyai kemampuan relasional yang baik, dapat memberikan dukungan, dan juga dapat bekerjasama.

Selain pendapat di atas, agar program rehabilitasi dapat efektif maka harus diperhatikan hal-hal berikut ini:

  1. Program rehabilitasi harus mempunyai tujuan yang spesifik.
  2. Mengindentifikasikan pidana berdasarkan faktor resiko.
  3. Prinsip kebutuhan. Program rehabilitasi hendaknya didesain sesuai dengan kebutuhan oleh pelaku tindak pidana
  4. Prinsip responsivitas. Frekuensi program rehabilitasi juga harus disesuaikan dengan kebutuhan pelaku tindak pidana.
  5. Staf mempunyai keterampilan. Yang tidak kalah penting adalah keterampilan yang harus dimiliki oleh para staf yang terlibat dalam proses rehabilitasi pelaku tindak kriminal.
  6. Memberikan penguatan. Jika pelaku tindak kriminal berkelakuan baik ada baiknya dideri reward.
  7. Memberikan tindak lanjut setelah intervensi.
  8. Mengevaluasi apakah program yang dijalankan sudah efektif, apa hambatan yang muncul kemudian memperbaiki program rehabilitasi agar lebih efektif.

Rehabilitasi di Indonesia

Di Indonesia tempat rehabilitasi bagi pelaku tindak kriminal adalah di Lembaga Pemasyarakatan (LP). Dengan adanya lembaga tersebut diharapkan para pelaku tindak kriminal tidak mengulangi perbuatannya lagi. Mantan Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaludin mengatakan bahwa LP bukanlah sekedar untuk menghukum atau menjaga narapidana tetapi mencakup proses pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan. namun, kehidupan keras (kekerasan) sering terjadi di lembaga pemasyarakatan. Padahal kekerasan tersebut dapat menghambat tercapainya tujuan awal dari program rehabilitasi. Namun, hampir semua lapas di Indonesia terjadi  tindak kekerasan, hal tersebut dipicu oleh kondisi penjara yang overload, perbandingan petugas jaga dengan tahanan yang tak seimbang, sanitasi dan keadaan di dalam tahanan yang amat buruk. Akibatnya memicu kompetisi hubungan sosial antarsesama tahanan (kericuhan, perdagangan Narkoba, hingga penyimpangan perilaku seks, atau sodomi).

Pada kasus-kasus kriminal yang dilakukan anak-anak Yayasan pemantau hak anak mengungkapkan bahwa  karakteristik sistem peradilan pidana anak (the juvenile justice system) di Indonesia masih diwarnai dengan fenomena-fenomena seperti penanganan perkara anak melalui jalur hukum formal, usia pertanggungjawaban pidana terlalu rendah, penggunaan KUHP dan KUHAP, perlakuan sama dengan orang dewasa, bercampur dengan orang dewasa, dan fasilitas yang tidak layak dan tidak manusiawi.

Kemudian berkenaan dengan penahanan anak-anak yang melakukan tindak kriminal. Pada tahun 2009,  Ketua Mahkamah Agung R.I; Jaksa Agung R.I; Kepala Kepolisian Negara R.I; Menteri Hukum dan HAM R.I; Menteri Sosial R.I; Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak R.I membuat keputusan bersama tentang penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. Salah satu pasal dalam putusan tersebut menyebutkan bahwa dalam hal anak ditahan maka penempatannya dipisahkan dengan tahanan orang dewasa atau dititipkan di Rumah Tahanan khusus anak (pasal 13c). Tetapi pada kenyataannya masih banyak dijumpai anak-anak yang ditempatkan bercampur dengan orang dewasa. Data oleh Ditjen Pemasyarakatan Kementerian  Hukum dan HAM RI mnyebutkan bahwa  pada tahun 2009 jumlah anak didik pemasyarakatan sebanyak 3.197 anak yang terdiri dari 2.842 laki-laki dan 355 perempuan. Terdapat sebanyak 1.610 anak yang menjalani pembinaan di 16 lapas anak yang tersebar di 14 provinsi di Indonesia. Sisanya berada di lapas orang dewasa. Data dari Dirjenpas juga menyebutkan bahwa pada bulan Juli 2010  terdapat  6.273 anak yang berada di Tahanan dan lapas di seluruh  Indonesia. Dari 6.273 anak  tersebut diatas ,  2.357 anak ditempatkan di Lapas Anak, sedangkan sisanya  sebanyak 3.916 anak ditempatkan di Lapas Dewasa. KPAI juga menyebutkan bahwa lebih dari 50 % anak di tahan dan menjalani pidana ditempatkan di tahanan dan lapas orang dewasa. Indonesia baru memiliki 16 lapas anak.

Simpulan

Koreksi pelaku kejahatan, adalah suatu pendekatan untuk memperbaiki atau membetulkan sesuatu yang dianggap salah, dalam hal ini: perilaku kejahatan. Kesemuanya itu diatur oleh undang-undang. Rehabilitasi pelaku kejahatan, adalah pendekatan yang bertujuan untuk merestorasi atau memulihkan pelaku kejahatan agar dapat berguna dan berperan efektif kembali di dalam masyarakat. Rehabilitasi tidak bisa dipisahkan dari koreksi, oleh karena itu perlu dilakukan secara integratif. Lebih lanjut, program rehabilitasi akan semakin efektif jika kita bisa memahami perbedaan individu, menggabungkan beberapa jenis metode intervensi, memiliki tujuan yang jelas dan terstruktur, selalu memberi dukungan, dan tidak hanya fokus pada aktivitas dan pengembangan keterampilan saja, tetapi juga tentang bagaimana menyiapkan individu agar bisa diterima lagi oleh masyarakat.

Referensi

Brown, J.M. & Campbell, E.A. (2010). The Cambridge Handbook of Forensic Psychology. London: Cambridge.

Hamzah, A. (2006). KUHP dan KUHAP. Jakarta: Penerbit RINEKA CIPTA.

Maryam, S. (2012, Februari 24). Pidana Tutupan. Kompasiana [online]. Diakses pada tanggal 19 Maret 2012 dari http://hukum.kompasiana.com/2012/02/24/pidana-tutupan/

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s