Siapakah Pelaku dan Korban Terorisme?

Siapakah Pelaku dan Korban Terorisme?

Oleh: Andi Maulida R., Quindhira Maharani R.,

Grace Susilowati M., & Kardinal Leksono

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

http://www.google.co.id/imgres?q=terrorism&hl=id&client=firefox-a&hs=yN9&sa=X&rls=org.mozilla:en-US:official&biw=1525&bih=697&tbm=isch&prmd=imvnsbl&tbnid=xtCTpNMb-CJ_TM:&imgrefurl=http://innocentsmithjournal.wordpress.com/2010/02/20/exaggerating-the-global-terrorism-threat-2005-2008/&docid=WxqLDgKNjmxd9M&imgurl=http://innocentsmithjournal.files.wordpress.com/2010/02/terrorist-main_full.jpg&w=315&h=480&ei=iRAJUP-yHIK4rAf80MTICA&zoom=1&iact=hc&vpx=372&vpy=307&dur=1865&hovh=277&hovw=182&tx=97&ty=123&sig=110985963715002219619&page=1&tbnh=154&tbnw=101&start=0&ndsp=19&ved=1t:429,r:13,s:0,i:109

Berbagai fenomena terorisme di Indonesia memunculkan berbagai pertanyaan. Tulisan ini akan menyoroti dua aspek besar dari terorisme, yaitu pelaku terorisme dan korban terorisme. Dari sisi pelaku, akan dibahas bagaimana fanatisme dan keyakinan seseorang dapat mempengaruhinya menjadi seorang teroris. Dari sisi korban terorisme sendiri perlu diketahui siapa yang dapat menjadi korban, apakah hanya orang yang terkena dampak secara langsung dari terorisme? Akan dibahas pula dampak psikologis yang dialami oleh masyarakat luas akibat dari pemberitaan media masa sebagai korban tidak langsung.

Terorisme

Kata teror pada terorisme, berasal dari bahasa Latin yang artinya to frighten atau untuk menakuti. Pada jaman modern ini, terorisme digunakan sebagai  istilah untuk menyebut tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap orang yang tidak bersalah untuk mendapatkan perhatian media. Terorisme sendiri juga merupakan wujud dari penggunanan teror, kekerasan atau perilaku dekstruktif secara sistematis yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan tujuan untuk mengintimidasi populasi ataupun pemerintahan agar tuntutan mereka dipenuhi (Singh, Goyal, & Gupta, 2012).

Terorisme yang paling sering terjadi di Indonesia adalah terorisme non politikal. Terorisme ini bertujuan untuk mencapai golongan tertentu saja, bukan hal-hal yang berhubungan dengan politik. Berikut ini merupakan data-data terorisme yang terjadi di Indonesia

No Tanggal Tempat Korban
  1. 1.       
1 Agustus 2000 Kedutaan Besar Filipina, Jakarta 2 orang tewas, 21 orang terluka
  1. 2.       
27 Agustus 2000 Kedutaan Besar Malaysia, Jakarta Tidak ada korban jiwa
  1. 3.       
13 Sepetember 2000 Gedung Bursa Efek Jakarta 10 orang tewas, 90 orang terluka, 104 mobil rusak berat, 57 rusak ringan
  1. 4.       
24 Desember 2000 Beberapa tempat di Indonesia ( Jakarta, Bekasi, Sukabumi, Mataram, Pematangsiantar, Medan, Batam dan Pekanbaru) 16 orang tewas, 96 orang terluka, 37 mobil rusak
  1. 5.       
22 Juli 2001 Gereja Santa Anna dan HKBP, Jakarta Timur Lima orang tewas
  1. 6.       
23 September 2001 Bom Plaza Atrium Senen Jakarta Lima orang cedera
  1. 7.       
12 Oktober 2001 Bom restoran KFC, Makassar Tidak ada korban jiwa
  1. 8.       
6 November 2001 Australian International School (AIS), Pejaten, Jakarta Tidak ada korban jiwa
  1. 9.       
1 Januari 2002 rumah makan ayam Bulungan Satu orang tewas dan seorang lainnya luka-luka.
  1. 10.   
1 Januari 2002 Empat gereja di Palu, Sulawesi Tengah Tidak ada korban jiwa
  1. 11.   
12 Oktober 2002 Paddy’s Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali (Bom Bali I) 202 orang tewas, 300 terluka
  1. 12.   
12 Oktober 2002 Konjen Filipina, Menado, Sulawesi Utara Tidak ada korban tewas
  1. 13.   
5 Desember 2002 Mc Donald’s, Makassar Tiga orang tewas dan 11 luka-luka.
  1. 14.   
3 Februari 2003, Wisma Bhayangkari, Mabes Polri Jakarta Tidak ada korban jiwa
  1. 15.   
27 April 2003. Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, Dua orang luka berat dan delapan lainnya luka sedang dan ringan.
  1. 16.   
5 Agustus 2003 Hotel JW Marriott 14 orang meninggal, dan 152 orang lainnya mengalami luka-luka
  1. 17.   
10 Januari 2004 Palopo, Sulawesi Empat orang tewas
  1. 18.   
9 Sepetember 2004 Kedutaan Besar Australia Enam orang tewas, ratusan luka-luka
  1. 19.   
12 Desember 2004. Gereja Immanuel, Palu, Sulawesi Tengah Tidak ada korban jiwa
  1. 20.   
21 Maret 2005 Ambon
  1. 21.   
28 Mei 2005 Tentena, Poso, Sulawesi Tengah 22 orang tewas
  1. 22.   
8 Juni 2005 Rumah Ahli Dewan Pemutus Kebijakan Majelis Mujahidin Indonesia Abu Jibril alias M IqbalPamulang, Tangerang Tidak ada korban jiwa
  1. 23.   
1 Oktober 2005 Raja’s Bar and Restaurant, Kuta Square, daerah Pantai Kuta dan di Nyoman Café Jimbaran, Bali (Bom Bali II) 22 orang tewas, 105 luka-luka
  1. 24.   
31 Desember 2005 Palu, Sulawesi Tengah Delapan orang tewas, 45 orang luka-luka
  1. 25.   
10 Maret 2006 Rumah penjaga Kompleks Pura Agung Setana Narayana, Desa Toini, Poso Tidak ada korban jiwa
  1. 26.   
22 Maret 2006 Pos Kamling Dusun Landangan Desa Toini, Kecamatan Poso Pesisir Tidak ada korban jiwa
  1. 27.   
1 Juli 2006 Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) Eklesia Jalan Pulau Seram, Poso Tidak ada korban jiwa

Pelaku terorisme

Dibalik aksi-aksi terorisme yang terjadi di negeri ini, sebenarnya terdapat tujuan tertentu yang hanya diketahui oleh otak para terorisme. Hal ini dikarenakan terorisme merupakan sebuah cara mempengaruhi masyarakat untuk mengikuti perintah tertentu. Para otak terorisme tersebut memanfaatkan suatu keadaan untuk merekrut pelaku-pelaku lapangan yang akan dijadikan kambing hitam. Mereka memanfaatkan ketidakseimbangan otak dan besarnya keyakinan sesorang untuk sesuatu dengan mengombang-ambingkan pemikiran dan meracuninya dengan hal-hal yang jahat. Leon Festinger pakar terkemuka dan perintis dalam penerapan teori Ketidakselarasan Kognitif. Dalam bukunya yang berjudul A theory of Cognitive Dissonance (Teori Ketidakselarasan Kognitif), Festinger menjelaskan bahwa manusia biasanya berjuang untuk mencapai konsistensi (atau keselarasan) dalam keyakinan mereka (kognisi).

Dari teori tersebut dapat dijelaskan bahwa disaat kita  mengakui atau melakukan sesuatu yang tidak konsisten dengan keyakinan pribadi kita, biasanya kita mencari dalih atas ketidak-konsistenan (atau ketidakselarasan) itu sehingga ketidakselarasan tersebut menjadi selaras dengan keyakinan-keyakinan itu ketimbang mencoba menerima ketidakselarasan tersebut begitu saja. Pada dasarnya manusia memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan perilakunya namun dalam perjalanan hidupnya terkadang manusia menemui beberapa realita yang tidak sesuai dengan keyakinan yang selama ini diyakininya, ketidak konsistenan tersebut memunculkan yang merupakan hasil dari inkonsistensi psikologis. Disonansi tersebut akan mendorong usaha untuk memperoleh konsonansi dan usaha untuk mengurangi disonansi atau bias siebut proses pembenaran.

Apabila proses pembenaran tidak berhasil dan ketidakselarasan masih terjadi, rasa tidak nyaman (gelisah) mulai muncul. Untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman ini, kita berusaha keras untuk mengurangi atau menekan ketidakselarasan itu dengan menghindari apa saja yang akan meningkatkan ketegangan; tarik menarik antara keyakinan dan fakta-realitas. Jadi para otak terorisme tersebut sengaja membiarkan ketidak seimbangan otak para pelaku terorisme sehingga dengan sendirinya mereka akan, mencari pembenaran atas segala tindakannya

Festinger mengemukakan lima persyaratan yang memungkinkan terjadinya fenomena Cognitive Dissonance ini dapat muncul:

  1. Suatu keyakinan harus dipegang dengan iman yang kuat, dan keyakinan tersebut harus memiliki kaitan tertentu dengan tindakan, yaitu apa yang dilakukan oleh si pemegang keyakinan tersebut atau cara dia bertingkah laku.
  2. Orang yang memegang keyakinan tersebut harus bersumpah untuk memberikan kesetiaan pada keyakinan tersebut; yaitu demi keyakinan (agama), dia harus mengambil tindakan penting tertentu yang sulit untuk dibatalkan. Secara umum semakin penting tindakan-tindakan seperti itu dan semakin sulit tindakan-tindakan itu dibatalkan, semakin besarlah kesetiaan orang tersebut pada keyakinannya.
  3. Keyakinan tersebut harus secara memadai bersifat khusus dan berkaitan dengan peristiwa dengan dunia nyata sehinga peristiwa-peristiwa dapat secara jelas membuktikan kesalahan keyakinan tersebut.
  4. Bukti yang tidak dapat disangkal dan membuktikan kesalahan kesalahan keyakinan tersebut harus terjadi dan harus diakui oleh orang yang memegang keyakinan itu.

Dengan memperimbangkan empat keadaan itu, kita mungkin memperkirakan bahwa orang-orang itu akan meninggalkan keyakinan mereka, Hal ini akan terjadi dalam banyak kasus, tetapi satu keadaan lainnya lagi harus ada sebelum orang mempertahankan suatu keyakinan yang terbukti salah.

  1. Orang yang memegang keyakinan tersebut harus menerima dukungan sosial. Jika si pemegang keyakinan tersebut adalah anggota suatu kelompok yang berpandangan sama dengannya dan dapat saling mendukung, kita akan memperkirakan bahwa keyakinan tersebut akan dipertahankan dan mereka akan berusaha mempengaruhi atau membujuk orang-orang yang bukan anggota kelompok mereka bahwa keyakinan mereka benar.

Korban terorisme

Terorisme membawa berbagai dampak negatif. Yang nampak jelas merupakan kerusakan infrastruktur juga jatuhnya korban-korban terorisme. Korban terorisme ini dibagi menjadi tiga golongan, yaitu korban langsung, korban sekunder dan korban tidak langsung. Korban langsung merupakan korban yang hadir dan menyaksikan peristiwa tersebut secara langsung. Sedangkan korban sekunder merupakan keluarga korban langsung serta berbagai ahli yang turut menangani peristiwa terorisme tersebut. golongan ketiga merupakan korban tidak langsung. Korban tidak langsung ini terdiri dari masyarakat yang merasakan dampak sekunder dari peristiwa terorisme tersebut (Silke, 2003).

Para korban lansung dan sekunder dari peristiwa terorisme tentu sulit untu melupakan peristiwa tersebut dan mengalami berbagai kerugian. Terluka atau tidak, cacat maupun sehat wal’afiat, para korban memiliki satu hal yang tidak akan pernah atau mungkin membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh: Luka Psikologis.

The International Society for Traumatic Stress Studies mengatakan bahwa serangan teroris dapat menyebabkan ketegangan dan penderitaan secara psikologis. Penelitian tersebut mengindikasikan adanya hubungan antara pengalaman kejadian traumatis seperti misalnya serangan bom dengan masalah kesehatan mental di kemudian hari, terutama bagi mereka yang terluka, yang menyaksikan kematian secara langsung anggota keluarga atau temannya.

Reaksi seseorang terhadap peristiwa kekerasan yang mengancam hidup sangat berbeda-beda. Reaksi umum saat awal mengalami trauma adalah ketakutan, perasaan tidak percaya dan tidak berdaya. Simtom selanjutnya bisa termasuk perasaan horor, kecemasan, depresi, dan dan bahkan kebekuan emosional atau hilangnya perasaan. Seseorang mungkin tetap menghidupkan kembali gambaran-gambaran kejadian melalui mimpi buruk atau flashback, mengalami kesulitan konsentrasi, menjadi tidak dekat dengan pasangan, dan mengalami peningkatan ketegangan fisik atau masalah kesehatan fisik.

Sebagai suatu kejahatan multi dimensional , terorisme seringkali hanya dipandang dari perspektif pelaku, motif, dan modus tindakannya. Sangat sedikit sekali terorisme ditinjau dari perspektif korban. Kalaupun ada, hanya terkait dengan kisah-kisah mengenai korban suatu tindakan yang dikategorikan teror, dan pada umumnya digambarkan melalui data statistik jumlah korban, atau kisah – kisah tragedi kemanusiaan pada saat terjadi aksi teror. Fokus pemberitaan pun didominasi pada pengungkapan perkara yang bertujuan untuk mengetahui siapa pelaku yang menjadi dalang dari aksi terorisme tersebut, dan kurang memberi perhatian lebih pada masalah tragedi teror itu dari sisi korban dan keluarganya.

Dari berbagai penyebab sehingga timbulnya kenyataan seperti tersebut di atas, diantaranya adalah karena adanya pendapat bahwa peran korban kejahatan dalam suatu peristiwa kejahatan adalah semata-mata sebagai penderita saja. Sehingga terkadang hak–hak korban kejahatan terabaikan sebagai akibat suatu kelalaian atau ketidakmampuan Negara dalam mengelola kebutuhan warga Negaranya sendiri termasuk pemulihan pasca trauma bagi para korban.

Selain korban langsung dan korban sekunder, dampak psikologis juga muncul pada korban tidak langsung. Salah satu penyebab munculnya korban tidak langsung ini adalah adanya pemberitaan dari media masa.

Media merupakan pedang bermata dua. Media dapat digunakan demi kesejahteraan bersama sedangkan penyalahgunaan terhadap media dapat mengakibatkan efek yang negatif pada masyarakat (Singh, Goyal, & Gupta, 2012)

Setiap kali terdapat peristiwa terorisme, media Indonesia selalu meliput peristiwa tersebut. Pada saat peristiwa Bom Bali I yang menewaskan 202 orang dan 300 orang luka-luka, media memberitakan tentang jumlah korban, jenis bahan peledak yang digunakan, berbagai teror bom yang mirip di seluruh dunia (Anonim, 2002), gambar kerusakan tempat kejadian perkara (Al-Anshari, 2008), pernyataan adanya terorisme di Indonesia, serta munculnya stereotipe negatif terhadap kaum Muslim terutama di Amerika (Husaini, 2002).  Bahkan setelah sepuluh tahun berlalu, media masih memuat peristiwa Bom Bali I ini. Tema pemuatan kali ini berfokus pada persidangan tersangka Bom Bali I, Umar Patek serta penjelasan tentang kronologis Bom Bali I (Setiawan & Yulika, 2012; Suhendi 2012). Berbagai pemuatan berita ini seakan tidak mengalami sensor tertentu. Ini hanya sebagian kecil tema berita yang dimuat di media masa melalui internet. Media berusaha menyajikan data apa adanya tanpa memikirkan dampak yang terjadi pada masyarakat yang membaca maupun melihat gambar-gambar yang disajikan.

Dari sudut pandang media, mereka menyatakan bahwa sebagai masyarakat yang bebas, media bertanggung jawab untuk memberitahukan berita tentang terorisme yang ada. Proses sensor terhadap terorisme dianggap sebagai pembatasan hak publik untuk mengetahui dan bereaksi terhadap peristiwa yang ada. Dengan memuat berita terorisme melalui media masa, bukan berarti media masa turut mensukseskan tujuan dari terorisme (menyebarkan ketakutan kepada masyarakat) (Perl,1997; Protheroe,1990 dalam Singh, Goyal, & Gupta, 2012). Hal ini tidak dapat secara instan menjadi legitimasi bagi media untuk menyajikan berbagai informasi yang justru menyebarkan teror pada masyarakat dan mendukung tercapainya salah satu tujuan terorisme. Jika hal ini tidak diperhatikan, apa bedanya media masa dengan terorisme itu sendiri? Hendaknya media masa menetapkan suatu standar tertentu untuk menyajikan informasi mengenai terorisme. Salah satu media masa nasional menerapkan ketentuan tidak akan menampilkan gambar tentang jenazah korban secara utuh di media masa. Misalnya saja, gambar mayat hanya ditunjukkan dengan salah satu bagian tubuh korban yang ditandai dengan tanda medis (seperti label berkaret yang diikatkan pada kaki jenazah).

Selain korban langsung dan korban tidak langsung korban sekunder dari terorisme adalah anak-anak dari tersangka teroris. Tersangka teroris biasanya mendapatkan perlakukan khusus dari masyarakat yang tinggal di daerah tempat tinggalnya. Perlakuan khusus tersebut misalnya menolak pemakaman jenazah tersangka teroris di desa tempat tersangka teroris tersebut tinggal dengan alasan tidak mau desa tersebut di cap sebagai desa atau kampung teroris. Seperti yang terjadi pada tersangka pemboman di hotel JW Marriot dan Ritz Carlton, tersangka tersebut adalah Ibrohim, Air Setiawan dan Eko Sarjini, jenazah ketiganya ditolak oleh warga di desa mereka tinggal (“Keluarga Teroris, 2009). Bagaimana perlakuan masyarakat terhadap keluarga teroris? Hal tersebut masih perlu dikaji lebih lanjut. Dalam salah satu artikel berita online (“Keluarga Teroris, 2009), keluarga teroris menyebutkan kami berharap nantinya istri dan putra-putri Ibrohim tidak dikucilkan dalam kehidupan sehari-hari.

Simpulan

Masyarakat luas perlu mengetahui fakta-fakta yang terdapat pada peristiwa terorisme. Siapa dan bagaimana seorang pelaku teror dapat terbentuk dari suatu proses psikososial yang cukup kompleks. Terlebih lagi, kepekaan masyarakat Indonesia mengenai siapa korban juga perlu diperhatikan, bahwa bukan hanya korban primer, namun juga ada korban sekunder dan tersier. Hal ini penting agar tidak lagi kita terjebak dalam siklus kekerasan akibat teror yang dapat terus menghantui berbagai lapisan masyarakat.

Daftar Pustaka

Al-Anshari, F. (2008, Nopember 21). Kilas Balik Fakta Bom Bali I – 12 Oktober 2002 (bagian 1 dari 2). Retrieved April 15, 2012, from Yahoo Groups: http://dir.groups.yahoo.com/group/HIMAJA_BOGOR/message/7

Anonim. (2002, Oktober 15). FBI Bantu Ungkap Kasus Bom Bali. Retrieved April 15, 2012, from Departemen Pertahanan RI: http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=print&sid=3325

Bali Post. (2005, Oktober 3). Enam Pelaku Bom Bali II. Retrieved April 15, 2012, from Bali Post: http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/10/3/b29.htm

http://supriyatno.blogdetik.com/2011/04/17/dampak-psikologis-terorisme/

Klik untuk mengakses file

Husaini, A. (2002, Oktober 27). Mencari Teroris yang Sesungguhnya! Retrieved April 15, 2012, from Departemen Pertahanan RI: http://www.dephan.go.id/modules.php?name=Feedback&op=printpage&opid=10

Leon Festinger, A Theory of Cognitive Dissonance (Stanford: Stanford University Press, 19570)

Leon Festinger, Henry W. Riecken, and Stanley Schachter, When Prophecy Fail (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1956)

Santrock, J.W. (2008).Adolescence: Perkembangan AnakTerjemahan. Jakarta : Penerbit Erlangga

Sarwono, Sarlito. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Himanika Severin, Werner J., Teori Komunikasi “Sejarah, Metode Dan Terapan Dalam Media Massa”, terj. Sugeng Hariyanto, Jakarta : Kencana, 2005.

Silke, A. (2003). Terrorists, Victims and Society: Psychological Perspectives on Terrorism and its Consequences. Chichester: John Wiley & Son Ltd.

Singh, J., Goyal, S., & Gupta, V. (2012). Terrorism and Role of Media. International Affairs and Global Strategy , 23-28.

Tinggalkan komentar