Trauma Masa Kanak dan Masalah Kesehatan Manusia

Trauma Masa Kanak dan Masalah Kesehatan Manusia
Oleh: Margaretha

Dosen Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

117trauma

Berbagai kasus persoalan perilaku dan gangguan psikologis berkembang marak di masyarakat. Dari persoalan kekerasan dalam rumah tangga dan penelantaran, baik pada anak dan orang dewasa; baik menjadi korban secara langsung maupun korban yang menyaksikan kekerasan di keluarga dan di masyarakat sehari-hari. Selain itu berbagai persoalan anak dan remaja juga berkembang sangat cepat di masyarakat, seperti: penyalahgunaan zat dan non-zat, kenakalan remaja dan kriminalitas, seks beresiko, bullying dan tawuran.

Jika menilik pada kesehatan manusia Indonesia secara umum, juga tampak bertambahnya berbagai persoalan psikis dan fisik. Pada 2010, Badan Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan angka bunuh diri di Indonesia mencapai 1,6 hingga 1,8 per 100.000 jiwa. Begitu juga persoalan kesehatan fisik yang dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan beberapa gangguan kesehatan, seperti: gizi buruk dan obesitas, penyakit paru, kanker, hipertensi dan gangguan kardiovaskuler, Human Immuno-deficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndromes (AIDS).

Apakah ada hubungan antara berbagai problem kesehatan tersebut? Berbagai penelitian telah menemukan bahwa pengalaman traumatis selama kehidupan awal mempengaruhi kondisi kesehatan manusia (Center for Desease Control and Prevention; CDC, 2014). Bahkan penelitian menemukan bahwa semakin banyak trauma masa kanak yang pernah dialami seseorang pada masa kanak maka semakin besar resiko kesehatan baik fisik dan psikis yang dapat terjadi di masa berikutnya (CDC, 2014).

Ada apa dengan kesehatan manusia saat ini? Apakah ada hubungan antara berbagai problem kesehatan dengan trauma masa kanak? Lalu apakah yang dapat dilakukan? Tulisan ini akan mencoba menguraikan pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan menggunakan perspektif trauma dan kesehatan.

Data Kesehatan Indonesia: Ada apa dengan kesehatan manusia Indonesia?

Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), jumlah perilaku bermasalah pada anak dan remaja meningkat. Kekerasan dengan pelaku anak meningkat, bahkan diprediksi akan naik 12-18% di tahun 2015 (Keteng, 2014). Begitupula kasus anak yang berhadapan dengan hukum di tahun ini naik 10% dari tahun lalu menjadi 26%, dengan rentang usia pelaku 6-14 tahun (Keteng, 2014).

Kekerasan di sekolah meningkat dari tahun ke tahun. Menurut KPAI kasus bullying menduduki peringkat teratas pengaduan masyarakat, mengalahkan tawuran pelajar, diskriminasi pendidikan, ataupun aduan pungutan liar. Dari 2011 hingga agustus 2014, KPAI mencatat 369 pengaduan terkait masalah tersebut, dimana jumlah itu hanyalah sekitar 25% dari total pengaduan di bidang pendidikan sebanyak 1.480 kasus (Setyawan, 2014).

Perilaku seks beresiko pada anak dan remaja juga meningkat. Seks beresiko adalah berbagai perilaku seks yang dapat mengancam kehidupan anak kelak, seperti: seks di bawah usia pubertas, seks dengan berganti-ganti pasangan, seks tanpa kontrasepsi pengaman dan resiko kehamilan yang tidak direncanakan. Berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, seks pranikah sebagai perilaku seks berisiko dilakukan oleh anak atau remaja usia 10-24 tahun (Maharani, 2015).

Jika menilik pada kesehatan manusia Indonesia secara umum, juga tampak peningkatan persoalan fisik dan psikis. Pada 2010, Badan Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan angka bunuh diri di Indonesia mencapai 1,6 hingga 1,8 per 100.000 jiwa (Windratie, 2014). Bunuh diri memang seringkali dikaitkan dengan gangguan jiwa seperti depresi. Pada kondisi depresi berat, individu memiliki pemikiran pesimis, serta tidak bisa berpikir adanya upaya alternatif untuk menyelesaikan masalahnya, sehingga dapat berpikir dan bertindak mengakhiri hidupnya sendiri. Begitupula dengan kasus pada anak dan remaja; KPAI mengungkapkan kasus bunuh diri di Indonesia terus meningkat, dimana sebanyak 89 anak meninggal pada tahun 2014. Namun, yang memprihatinkan, 9 dari kasus tersebut dilakukan anak usia 5-10 tahun, sedangkan sisanya dilakukan oleh remaja; hal inilah yang membuat Indonesia tergolong sebagai negara darurat kasus bunuh diri anak (Ridho, 2015).

Walaupun belum ada data mengenai gejala stress and depresi pada anak di Indonesia, namun kasus bunuh diri yang berkembang pada anak dan remaja adalah gambaran mengenai berkembangkan persoalan psikologis pada anak dan remaja di Indonesia. Problem perilaku pada anak juga meningkat, dari stress ujian, kesulitan belajar, kesulitan fokus, gejala ADHD dan lain sebagainya. Namun sayangnya data mengenai berbagai persoalan perilaku anak dan remaja di Indonesia belum dikumpulkan secara sistematis.

Dalam hal kesehatan fisik, beberapa temuan problem kesehatan medis juga ditemukan. Riskesdas tahun 2013, prevalensi gizi kurang pada balita menunjukkan pola fluktuatif dari 18,4% (2007) menurun menjadi 17,9% (2010) dan kini meningkat lagi menjadi 19,6% (2013). Namun selain kurang gizi, fenomena masalah gizi Obesitas juga muncul, dimana secara nasional prevalensi obesitas tahun 2014 adalah 26,6%, lebih tinggi dari prevalensi pada tahun 2007 dengan 18,8% (Kementerian Kesehatan Nasional Indonesia, 2015).

Trend peningkatan persoalan kesehatan ini juga terjadi di berbagai negara lain. Jika membandingkan data dari Kementerian Kesehatan Amerika Serikat, mereka mengetahu bahwa bukan hanya terjadi peningkatan jumlah gangguan psikologis anak, namun juga menyadari bahwa sekitar 46% anak usia dini sudah mendapatkan perawatan medis, yaitu obat-obatan dan psikoterapi karena telah mendapatkan diagnosa klinis di usia kanak awal (Bernstein, 2015). Hal ini sangat mencengangkan, karena walaupun efek penggunaan obat jangka panjang pada otak anak yang masih berkembang belum banyak diketahui masyarakat, namun penggunaan obat-obatan pada masalah kesehatan dini ternyata telah banyak dilakukan.

Di Indonesia sendiri, persoalan-persoalan di atas masih dilihat sebagai fenomena yang terpisah-pisah, dan ditangani secara terpisah. Problem kesehatan fisik akan diberikan penanganan medis, sedangkan problem perilaku dan gangguan psikologis akan diberikan upaya penanganan psikologis. Namun apakah ini tepat?

Berbagai obat bisa diberikan ke berbagai gangguan medis dan berbagai psikoterapi dapat diberikan pada masing-masing persoalan psikologis, namun jika tenaga kesehatan mental dapat bekerja menemukan dasar atau akar persoalan fisik dan psikis ini, maka intervensi akan menjadi sangat efektif. Yang dibutuhkan juga penting adalah intervensi yang menyentuh akar persoalan kesehatan manusia, yaitu: trauma masa kanak.

Trauma masa kanak

Anak-anak yang menjadi saksi peristiwa kekerasan dan penelantaran dalam lingkup keluarga dapat mengalami gangguan fisik, mental dan emosional atau disebut sebagai trauma masa kanak. Ekspos kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada anak dapat menimbulkan trauma dan berbagai persoalan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek seperti: ancaman terhadap keselamatan hidup anak, merusak struktur keluarga, munculnya berbagai gangguan mental. Sedangkan dalam jangka panjang memunculkan potensi anak terlibat dalam perilaku kekerasan dan pelecehan di masa depan, baik sebagai pelaku maupun korbannya.

Penelitian oleh Margaretha, Nuringtyas, dan Rachim (2013) menemukan bahwa baik korban maupun pelaku KDRT mengalami trauma KDRT pada masa lalunya. Korban maupun pelaku KDRT terjerat dalam rantai kekerasan karena mengalami trauma KDRT pada masa kanaknya, sehingga mengembangkan persepsi yang salah tentang kekerasan dan pada akhirnya mempengaruhi ketidakmampuan coping atas masalah-masalah pribadi mereka kelak.

Pengalaman menyaksikan dan mengalami KDRT adalah suatu peristiwa traumatis karena kekerasan dilakukan oleh orang-orang yang terdekat bagi anak, keluarga yang semestinya memberikan rasa aman, justru menampilkan dan memberikan kekerasan yang menciptakan rasa takut serta kemarahan (Margaretha dkk., 2013). Pengalaman traumatis anak menyaksikan dan mengalami KDRT sering ditemukan sebagai prediktor munculnya problem psikologis di masa depan, seperti: penelantaran dan pelecehan secara fisik dan psikologis pada anak; problem perilaku eksternalinternal, serta berbagai perilaku beresiko seperti merokok, penyalahgunaan zat dan perilaku seks beresiko (Holt, Buckley, & Whelan, 2008). Pada jangka panjang, problem-problem ini juga akan menunjukkan pengaruhnya pada masa dewasa, yaitu ketidakmampuan mengembangkan kemampuan coping yang efektif. Kebanyakan anak-anak ini akan menjadi orang-orang dewasa yang rentan terhadap depresi dan menunjukkan gejala-gejala traumatis, hingga akhirnya beresiko tinggi menjadi pelaku KDRT atau korban dalam relasi intim yang mereka jalin ketika dewasa (Margaretha dkk., 2013).

Pengalaman menyaksikan, mendengar, mengalami kekerasan dalam lingkup keluarga menimbulkan pengaruh-pengaruh negatif pada keamanan, stabilitas hidup dan kesejahteraan anak. Pengalaman traumatik KDRT dapat menghasilkan korban langsung (yang langsung mengalami kekerasan) dan korban tidak langsung (yang menyaksikan kekerasan). Keduanya dapat mengalami pengaruh negatif pengalaman kekerasan. Beberapa penelitian sebelumnya menemukan bahwa anak korban langsung kekerasan (pelecehan dan pengabaian) dan korban tidak langsung KDRT sama-sama memiliki kerentanan mengalami trauma; hingga pada akhirnya juga memiliki kemungkinan dapat terlibat dalam relasi intim yang diliputi kekerasan di masa dewasanya (Dauvergne & Johnson, 2001).

Dalam konteks Indonesia, Soeroso (2010) juga menjelaskan bahwa penyebab terjadinya kekerasan dan penelantaran dalam keluarga dapat digolongkan menjadi dua faktor, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal adalah faktor-faktor di luar diri si pelaku kekerasan. Individu yang tidak memiliki perilaku agresif dapat melakukan tindak kekerasan bila berhadapat dengan situasi yang menimbulkan frustasi, misalnya kesulitan ekonomi yang berkepanjangan atau perselingkuhan yang dilakukan suami atau istri. Faktor internal menyangkut kepribadian dari pelaku kekerasan yang menyebabkan ia mudah sekali melakukan tindak kekerasan bila menghadapi situasi yang menimbulkan kemarahan dan frustasi. Kepribadian yang agresif biasanya dibentuk melalui interaksi dalam keluarga atau dengan lingkungan sosial dimasa lalu.

Trauma masa kanak dan Kesehatan

Berbagai penelitian telah menemukan bahwa pengalaman selama kehidupan awal membentuk perkembangan otak, terutama selama periode kritis usia 0-5 tahun di awal masa kehidupan manusia. Trauma mempengaruhi kondisi kesehatan manusia (Center for Desease Control and Prevention; CDC, 2014). Bahkan penelitian menemukan bahwa semakin banyak trauma yang disebabkan oleh kekerasan dan penelantaran masa kanak yang dialami anak maka semakin besar resiko kesehatan yang dapat terjadi di masa berikutnya (CDC, 2014).

Pengalaman buruk dan trauma bisa memprogram perkembangan daerah otak tertentu yang terlibat dalam regulasi dan integrasi hormonal, respon otonom dan kebal terhadap tantangan dan problem fisik serta psikis di kemudian hari. Tantangan dan problem tersebut dapat mencakup infeksi, stres fisik atau masalah emosional.

Sekitar 14% dari anak-anak di AS mengalami beberapa bentuk penganiayaan, dan pada tahun 2007, lebih dari 3 juta anak mengalami kekerasan dan penelantaran sepanjang masa kanak (CDC, 2014). Trauma masa kanak didefinisikan sebagai penyalahgunaan, penelantaran, atau penganiayaan baik fisik, psikis, seksual dan ekonomi selama masa kanak. Trauma masa kanak adalah stressor yang mempengaruhi kesejahteraan fisik dan mental manusia dari masa bayi hingga sepanjang kehidupan manusia. Dalam berbagai studi pada hewan dan manusia, ditemukan bahwa trauma masa kecil berpengaruh pada tingkat kortisol yang tinggi dalam tubuh, kesulitan pengelolaan dan penyelesaian stres, peningkatan inflamasi, dan gangguan kognitif.

Anak yang mengalami trauma masa kanak ditemukan mengalami kerusakan dalam Nuclei Accumbens (NA) di otaknya, dimana NA adalah pusat pengendali kenikmatan dan kepuasan. Kerusakan ada NA akan mempengaruhi hambatan perkembangan pada Pre-Frontal Cortex (PFA), yang bertanggung-jawab untuk proses berpikir, belajar dan pengambilan keputusan; sehingga akibatnya hambatan fungsi di otak ini akan membuat anak berkembang menjadi individu yang sulit mengelola dan menahan impulsnya untuk mencapai kepuasan atau menghindari kesakitan. Lebih lanjut, anak dengan trauma diketahui memiliki kelainan dalam perkembangan bagian otak Amygdala, yang bertanggungjawab dalam pengelolaan emosi dan ekspresi emosi. Akibatnya, anak dengan trauma dapat berkembang menjadi manusia dewasa yang tidak mampu mengelola emosi dirinya ketika mengalami persoalan hidup dan lebih mungkin terlibat dalam perilaku beresiko, seperti: seks beresiko, penyalahgunaan zat dan kekerasan.

Trauma pada masa kanak akibat kekerasan dan penelantaran juga ditemukan berkaitan dengan munculnya berbagai gangguan psikologis, seperti: depresi, gangguan kecemasan, dan penyalahgunaan zat; namun bukan hanya persoalan psikis, penyakit medis yang lebih klasik seperti penyakit kardiovaskular juga ditemukan berhubungan signifikan dengan trauma masa kanak.

Dalam kasus trauma masa kanak, ditemukan bahwa korban akan menunjukkan peningkatan rasa sakit/nyeri dan juga kelelahan (fatigue). Sindrom kelelahan kronis atau Chronic Fatigue Syndrome (CFS) adalah penyakit melemahkan kesehatan manusia, baik fisik dan mental, yang terjadi sebagai respon terhadap stressor. Stress mengaktivasi kerja Sistem Hypothalamus-Pituary-Adrenal-Axis (HPA-Axis), dan efek trauma adalah membuat orang terus-menerus mengalami stress dan tekanan sehingga terjadi perubahan dan penyimpangan. Misalnya, seorang anak yang mengalami trauma luar biasa karena menjadi korban kekerasan oleh Ibu dan penelantaran Ayahnya, akan selalu menghasilkan hormone adrenalin dan kortisol yang menyebabkan tubuhnya selalu dalam keadaan waspada atau keadaan stress. Jika dihadapi terus menerus, maka kondisi stress akan menyebabkan kelelahan. Kelelahan ini akan memunculkan pada berbagai persoalan psikologis, seperti: kecemasan, depresi, gangguan emosional yang dapat mengarah pada problem perilaku dan gangguan kesehatan mental manusia.

Setelah paparan stress, sistem saraf pusat kita akan mengaktifkan respon hormon dan kekebalan tubuh yang membantu tubuh untuk menjaga keseimbangan selama stress. Penelitian terbaru menemukan bahwa penganiayaan pada masa kanak dapat mengubah cara bagaimana sistem regulasi tubuh merespon stres. Trauma masa awal sehingga dapat meningkatkan risiko seseorang untuk mengembangkan CFS pada masa dewasa, terutama dalam menanggapi masalah dan stress. Namun selain itu, CFS juga ditemukan terkait dengan kemunculan berbagai problem medis kronis, seperti: penyakit terkait dengan imunitas, sakit kepala, gangguan paru kronis, gangguan jantung dan kardiovaskuler, gangguan hormonal, gangguan lever, dan kanker (CDC, 2014a).

Penyebab CFS masih belum diketahui, namun trauma masa kecil mungkin menjadi faktor yang memberikan kontribusi resiko menculnya CFS masa dewasa. Tidak semua anak yang mengalami trauma masa kanak akan memiliki CFS. Namun, pemahaman ini tetap penting dan berpotensi untuk membantu banyak orang; terutama untuk mencegah berbagai problem kesehatan fisik dan psikis. Namun dengan penelitian neurosains terbaru saat ini, kondisi stress yang berkepanjangan ditemukan dapat mempengaruhi imunitas, kemunculkan penyakit, perubahan struktur dan fungsi otak bahkan pada akhirnya mempengaruhi proses copy DNA sehingga dapat mempengaruhi sifat pewarisan genetis pada generasi yang akan datang.

Dari Perawatan menuju Gerakan sadar trauma dan kesehatan

Trauma masa kanak dapat menjadi faktor risiko penting munculnya problem CFS masa dewasa. Penelitian telah menunjukkan bahwa orang dewasa dengan CFS ditemukan memiliki trauma penganiayaan dan penelantaran pada masa kanak. Secara khusus, bagi perempuan, pelecehan emosional dan seksual selama masa kanak dikaitkan dengan risiko lebih besar terkena CFS di masa dewasa. Oleh karena itu, penting dikembangkan gerakan kesadaran; kesadaran masyarakat bahwa persoalan kesehatan dan problem trauma masa kanak memiliki hubungan yang tidak bisa diabaikan.

Dengan pemahaman ini, maka tenaga kesehatan penting membantu anak dan orang dewasa dengan riwayat trauma masa kanak untuk mencegah persoalan menjadi lebih buruk. Tenaga kesehatan juga perlu mengembangkan kepekaan dalam mengidentifikasi dan memberikan intervensi persoalan trauma masa kanak dan pengaruhnya pada kesehatan fisik dan mental manusia. Setiap orang juga perlu didorong untuk berbicara tentang sejarah kesehatan fisik dan mentalnya kepada tenaga kesehatan agar dapat dipahami akar persoalan kesehatan secara optimal.

Dengan memahami akar persoalan kesehatan maka intervensi yang efektif dapat dilakukan. Pada sebagian orang yang memiliki trauma masa kanak dan CFS, psikoterapi bisa sangat bermanfaat untuk menghindari persoalan menjadi tambah parah atau bahkan diperlukan untuk menghentikan pewarisan rantai trauma dan persoalan fisik-psikis ke generasi berikutnya.

Namun gerakan ini hanya dapat efektif, jika masyarakat mau mengembangkan kesadaran memahami persoalan trauma dan kesehatan. Kerjasama antara masyarakat dan tenaga kesehatan adalah dasar dari intervensi menyeluruh dalam persoalan trauma dan kesehatan manusia.

Dalam menumbuhkan gerakan kesadaran ini, dapat muncul tantangan. Tantangan dari masyarakat yang enggan membicarakan persoalan trauma masa kanak yang terkait dengan kekerasan dan penelantaran di keluarga. Isu ini dianggap aib dan terlalu memalukan untuk dibicarakan. Bahkan yang cukup sering terjadi, bukannya fokus pada upaya mencari solusi, malah masyarakat sibuk mencari kesalahan pada korban dan masyarakat, lalu akhirnya tidak peduli dan memutuskan tidak melakukan apapun.

Mengingat betapa persoalan trauma masa kanak yang disebabkan kekerasan dan penelantaran berpengaruh besar bagi kesehatan manusia secara umum, maka sudah seharusnya masyarakat mulai membuka diri dan bekerjasama untuk menjawab pertanyaan: “apa yang saya bisa lakukan untuk merubah dan mencegah persoalan kekerasan dan penelantaran agar tidak menghambat kesehatan manusia di masyarakat?”

Referensi:

Berstein, L. (2015). Nearly half of all pre-schoolers with ADHD are on medication. Sumber: http://www.washingtonpost.com/news/to-your-health/wp/2015/04/01/nearly-half-of-all-pre-schoolers-with-adhd-are-on-medication/, akses April 2015.

Center for Desease Control and Prevention (2014). Early life stress and adult CFS. Sumber: http://www.cdc.gov/cfs/news/features/childhood_adversity.html, akses April 2015.

Center for Desease Control and Prevention (2014a). Injury prevention and control: Division of violence prevention. http://www.cdc.gov/violenceprevention/acestudy/, akses April 2015.

Dauvergne, M., & Johnson, H. (2001). Children witnessing family violence . Juristat. Canadian Centre for Justice Statistics. Statistics Canada Catalogue. No.85-002-XPE, 6 , 1-12.

Holt, S., Buckley, H., & Whelan, S. (2008). The impact of exposure to domestic violence on children and young people: A review of the literature. Child Abuse & Neglect, 32, 797-810.

Kementerian Kesehatan Nasional Indonesia (2015). 25 Januari: Hari Gizi Nasional. Sumber: http://www.depkes.go.id/article/view/15012300021/25-januari-hari-gizi-nasional.html, akses April 2015.

Keteng, A.M., (2014) Komnas PA prediksi pelaku kekerasan anak meningkat 18% tahun 2015. Sumber: http://news.liputan6.com/read/2154228/komnas-pa-prediksi-pelaku-kekerasan-anak-meningkat-18-tahun-2015, akses April 2015.

Maharani, D. (2015). Remaja SMP Berisiko Lakukan Seks Pranikah. Sumber: http://health.kompas.com/read/2015/02/10/171500923/Remaja.SMP.Berisiko.Lakukan.Seks.Pranikah, akses April 2015.

Margaretha, Nuringtyas, R., Rachim, R. (2013). Trauma Kekerasan Masa Kanak dan Kekerasan dalam Relasi Intim. Makara Seri Sosial Humaniora, , 17, 33-42. DOI: 10.7454/mssh.v17i1.1800

Ridho, R. (2015). Indonesia darurat kasus Bunuh Diri anak. Sumber: http://nasional.sindonews.com/read/953234/15/indonesia-darurat-kasus-bunuh-diri-anak-1421747164, akses April 2015.

Robinson, G.E. (2007) Current concepts in domestic violence gail erlick. Sumber: http://www.primarypscychiatry.com/aspx/article_pf.aspx?articleid=1164, akses: Agustus 2007.

Setyawan, D. (2014). KPAI: Kasus Bullying dan Pendidikan Karakter: http://www.kpai.go.id/berita/kpai-kasus-bullying-dan-pendidikan-karakter/, akses April 2015.

Soeroso, M.H. (2010). Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis. Jakarta: Sinar Grafika.

Windratie (2014). Hari Pencegahan Bunuh Diri: Bunuh Diri Penyebab Utama Kematian Remaja. Sumber: http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20140910124240-255-2933/bunuh-diri-penyebab-utama-kematian-remaja/, akses April 2015.

2 komentar di “Trauma Masa Kanak dan Masalah Kesehatan Manusia

  1. Jawabannya adalah Jangan melakukan kekerasan dan penelantaran pada anak, agar kesehatan masyarakat menjadi baik, maknanya perlu kebijakan yg aplikatif oleh seluruh stakeholder.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s