Apa yang Gereja dapat lakukan untuk menghentikan KDRT?
Oleh: Margaretha
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Dalam website United States Conference of Catholic Bishops (USCCB), mereka menyatakan bahwa gereja katolik menolak tegas kekerasan pada perempuan baik di dalam rumah atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), serta di luar rumah. Segala bentuk kekerasan – fisik, seksual, psikologis, verbal- adalah Dosa, serta kejahatan hukum. Gereja memahami bahwa kekerasan dapat juga terjadi pada laki-laki, namun sebagian besar korban kekerasan adalah perempuan dan anak-anak. Sebagian besar kekerasan pada perempuan dilakukan oleh pasangan atau suaminya.
Gereja katolik mengajarkan bahwa hukum yang utama adalah Kasih, maka kekerasan pada manusia lain adalah pelanggaran hukum utama gereja. Ketika mengalami kekerasan keluarga yang telah diberkati dengan sakramen suci pernikahan, maka korban dapat bertanya, “Bagaimana mungkin kekerasan yang saya alami ini bisa membuat saya mempertahankan janji saya dulu untuk bersama dalam suka dan duka?” Seharusnya, adalah tugas gereja membantu korban memahami bahwa menghentikan kekerasan bukanlah membatalkan janji pernikahan.
Pada tahun 1992, USCCB mengajak agar komunitas Katolik di Amerika Serikat menghentikan kekerasan. Sejak itu, banyak Keuskupan, Lingkungan dan Organisasi Katolik yang bergerak untuk memberikan pelayanan terutama pada kekerasan perempuan. Menurut survey, sekitar 50% suami yang memukul isterinya juga memukul anak-anaknya; dan anak yang besar dalam keluarga yang penuh kekerasan akan berkembang menjadi manusia yang memiliki berbagai problem perilaku, seperti: kecanduan, depresi, serta berpotensi terlibat dalam kekerasan kelak. Anak laki-laki yang menyaksikan dan mengalami kekerasan beresiko tinggi menjadi pelaku kekerasan, dan anak perempuan beresiko mengalami kekerasan di relasi intim masa dewasanya kelak. Gereja berharap agar dapat memberikan kasih pada korban dan pelaku untuk mendapatkan penguatan dan penyembuhan dalam rangka memutuskan rantai kekerasan di masa depan.
Gereja mampu memutus rantai kekerasan
Banyak perempuan Kristen yang mengalami kekerasan akan datang pertama kali ke Pastur, Pendeta, Suster, atau ke Pelayanan Gereja, karena dianggap sebagai tempat yang aman. Bahkan sering, pelaku kekerasan yang biasa mengisolasi korban di rumah akan memperbolehkan korban untuk pergi ke Gereja.
Karena Gereja memegang peranan penting, maka Gereja haruslah mampu bertindak dalam kasus kekerasan. Gereja dapat berperan:
- Pada perempuan korban kekerasan, dan siapapun yang membutuhkan bantuan gereja untuk keluar dari penderitaan dan isolasi;
- Pada Pastur, Pendeta, Suster, Pendidik, Pekerja di Gereja, memberikan pemahaman, keahlian dan mengembangkan kepekaan mengenai kekerasan pada perempuan; karena merekalah yang menjadi pintu awal laporan kekerasan dan tempat dimana korban pertama kali mengadu;
- Pada pelaku kekerasan yang mungkin tidak tahu cara berhenti dan keluar dari rantai kekerasan
- Pada masyarakat, yang mungkin belum memahami apa dan bagaimana menghadapi kekerasan yang terjadi di lingkungan kita
Hal-hal ini perlu dilakukan di setiap Gereja. Gereja perlu memperlengkapi dirinya dengan orang-orang yang memahami dan memiliki kepekaan mengenai kekerasan. Gereja juga perlu bekerjasama dengan sistem hukum, ahli dan profesional yang dapat tuntas membantu penyelesaian kekerasan serta dampaknya pada manusia.
Dibutuhkan karya nyata, dimulai dari dalam Gereja
Seorang Pastur, Charles W. Dahm di Gereja St. Pius di Chicago, telah memulai karya nyata atas kepeduliannya pada persoalan kekerasan. Butuh 8 tahun baginya untuk menyadari bahwa kekerasan pada perempuan banyak terjadi di lingkungan Gerejanya. Ia menyampaikan, hanya dengan menjalankan pelayanan konseling pastoral-lah, dia bisa menyadari betapa besar persoalan kekerasan yang selama ini terjadi di dalam gerejanya. Lalu, ia pun berusaha untuk membentuk kelompok pelayanan untuk meningkatkan pemahaman komunitas gereja mengenai KDRT dan bagaimana cara-cara yang dapat dilakukan untuk membantu korban KDRT.
Ia mulai menyampaikan kotbah mengenai kekerasan dalam pelayanannya. Mulai terbuka pembicaraan mengenai KDRT dan berdatangan perempuan-perempuan yang meminta bantuannya. Dengan semakin banyaknya korban yang datang meminta bantuan, maka Pastur Charles berinisiatif mencari dana untuk membuka layanan konseling bagi korban dan keluarga yang mengalami kekerasan.
Hingga saat ini, setiap tahunnya, layanan kekerasan perempuan dalam gerejanya menerima 200 klien perempuan dan 225 klien anak. Dibantu dengan 6 Konselor yang bekerja penuh-waktu, sukarelawan gereja, baik laki-laki dan perempuan, bahu-membahu melayani korban kekerasan, juga anak yang mengalami trauma karena menyaksikan kekerasan di dalam keluarganya. Laki-laki juga menjadi sukarelawan, terutama untuk bekerja mendampingi laki-laki pelaku kekerasan pada perempuan. Layanan bagi pelaku diberikan hanya jika mereka tidak lagi melakukan kekerasan dan ketika mereka datang dengan kesadaran pribadinya. Hingga saat ini, Gereja St. Pius di Chicago memiliki pusat layanan kekerasan perempuan yang terbesar di Amerika Serikat.
Hal besar dimulai dari langkah kecil. Pastur Charles memulainya dengan menyatakan keprihatinannya tentang KDRT dalam kotbahnya. Sesuatu yang belum banyak dilakukan di Indonesia. Mungkin juga karena belum banyak Pastur yang memahami mengenai KDRT. Selanjutnya, dengan komitmen pelayanan, seorang Pastur mengembangkan komunitasnya untuk membuka kelompok pelayanan untuk korban kekerasan.
Jangan lagi terjadi
Berikut adalah suatu ilustrasi cerita:
Di awal, dia tampak sebagai laki-laki pintar dan kata-katanya sangat baik, sehingga saya terbuai dan mau menikah segera dengannya. Setelah bertunangan, semua kata-kata kasar mulai muncul. Dia merasa saya adalah miliknya dan saya harus menurut padanya. Saya berusaha memahaminya dan mencari bantuan, menjelang pernikahan saya pergi ke seorang Romo Konselor Keluarga yang memberikan nasehat, “Kamu perlu memahami calon suamimu. Kata-katanya memang kasar tapi hatinya mencintaimu. Berikan kasih dan maaf padanya.” Dan saya diam mencoba menerima calon suami saya dan perilakunya.
Akhirnya kami menikah. Tapi kata-kata kasar makin parah tak tertahankan. Saya dibuat merasa jelek, bodoh, tidak berharga dan tidak layak dicintai. Ketika ia marah barang-barang dirusak, dan mulai melakukan kekerasan fisik dan penelantaran pada saya. Ia bilang bahwa saya layak diperlakukan demikian. Saya kesakitan tapi malu mengungkapkan pengalaman ini apalagi meminta bantuan. Dia suami saya yang saya pilih sendiri. Saya dulu memilih diam. Namun, saya jadi kesepian dan bertanya-tanya, apakah Tuhan tidak mendengar jeritan tangis saya setiap malam?
Suatu malam, dia marah besar dan meninggalkan saya. Berbulan-bulan saya mencari kabarnya, hingga suatu hari ia membalas, “Saya sudah punya hidup baru yang jauh lebih memuaskan dibandingkan kamu.” Dengan kasar ia membandingkan saya dengan kekasih barunya, dan menyampaikan bahwa saya layak diselingkuhi karena tidak berharga. Saya meminta cerai. Dia malah marah lalu menyumpah akan membunuh dan menghancurkan hidup saya. Dia tidak ingin menjadi suami saya tapi tidak mau bercerai karena akan merusak reputasi sosialnya. Hampir tidak percaya dengan apa yang saya dengar, saya pergi meminta bantuan ke beberapa Romo di Gereja. Mereka menyarankan agar saya menerima salib ini karena saya sudah berjanji di depan Tuhan dan berdamai dengan luka batin. Saya harus memberikan waktu pada suami untuk menenangkan dirinya, sambil saya berdoa agar suami berubah. Namun, tidak terjadi perubahan, malah cerita simpang-siur mengenai perilaku bebas suami saya beredar. KDRT membuat penderitaan besar bagi saya dan keluarga. Penderitaan ini telah merusak kesehatan dan kesejahteraan hidup saya. Pastur-pastur pun angkat tangan, apalagi ketika suami mengancam untuk jangan ikut campur urusan pribadinya. Pastur pun malah menjauh ketika tahu saya berniat menggugat cerai. Menurut mereka, perceraian sudah di luar pelayanan mereka.
Akhirnya, saya memutuskan bahwa saya adalah manusia berharga untuk dicintai dan diperlakukan baik. Saya memiliki harapan untuk memulai hidup baru dan akan terus bergerak untuk menuju hidup yang lebih baik. Saya berjanji, tidak akan lagi diam, tidak akan lagi naif tidak memahami kekerasan yang terjadi dan tidak akan mentolerir kekerasan, tidak akan lagi menderita karena kekerasan dalam rumah tangga. Saya mencari cara menghentikan kekerasan ini dengan bantuan di luar Gereja.
– Kisah seorang perempuan survivor KDRT
Dari ilustrasi ini kita memahami bahwa diperlukan kesiapan dan keahlian dalam menangani kekerasan pada perempuan. Tidak semua terapis/konselor/tenaga kesehatan mental (professional mental health) atau pemuka agama/konselor pastoral memahami apa dan bagaimana menghadapi kekerasan.
Sering, korban tidak menyadari bahwa ia mengalami kekerasan. Jika konselor keluarga di Gereja memahami kekerasan, maka ia akan menjelaskan dan memberikan intervensi sejak awal. Dan ketika problem telah diketahui, adalah hal yang salah jika konselor meminimalisir kekerasan atau tidak melakukan apapun untuk menghentikan kekerasan pelaku. Akhirnya pelaku malah merasa didukung karena tidak ada orang yang akan turut campur dalam masalah keluarganya.
Psikoterapi atau Konseling KDRT hanya dapat dilakukan oleh terapis yang memahami pola kekerasan dalam relasi intim. Jika terapis tidak memahami apa dan bagaimana kekerasan terjadi, maka ia tidak akan menyadari bahwa kekerasan terjadi di ruang terapi. Akibatnya, ia bisa membiarkan, tidak menghentikannya atau malah memberikan persetujuan ketika kekerasan berlangsung. Hal ini justru akan memperburuk kondisi korban.
Referensi:
Dahm, C.W. (2015). Parishes: Let’s stop ignoring domestic violence. Diunduh pada Januari 2016 dari http://www.uscatholic.org/church/2011/08/lets-stop-ignoring-domestic-violence#sthash.ZyZm1qt2.dpuf
USCCB (2015). When I call for help: A pastoral response to domestic violence against women. Diunduh pada Januari 2016 pada http://www.usccb.org/issues-and-action/marriage-and-family/marriage/domestic-violence/when-i-call-for-help.cfm
Selamat sore,
Perkenalkan, saya seorang mahasiswa Psikologi di sebuah universitas di Malang. Tahun ini saya mulai memasuki semester 6. Saya sangat tertarik dengan topik yang membahas seputar perkawinan dan KDRT seperti ini karena topik ini ada di sekitar kita, entah di tetangga atau orang terdekat kita. Begitu banyak mereka yang bermasalah dengan Perkawinannya, dan saya selalu membatin, salah siapa kah ini sebenarnya? Apa pada saat penyelidikan perkawinan mereka tidak serius dan cenderung merekayasa atau ada hal lain kah? Saya sangat mendukung apabila psikolog begitu dilibatkan dalam penyelidikan perkawinan, sebab seperti kata ungkapan yang sudah kita semua familiar, “mencegah jauh lebih baik daripada mengobati”, apalagi dalam Gereja Katolik tidak mengenal kata perceraian, dan anulasi adalah mimpi buruk bagi siapa saja yang terlibat di dalamnya karena prosesnya yang rumit luar biasa.
Sebagai mahasiswa Psikologi, jujur saya punya beban moral buat menggunakan ilmu saya untuk membantu mereka, namun saya tidak tahu dan tidak mengerti ilmu apa saja yang harus saya pakai, saya seolah-olah menjadi “blank”. Menurut Ibu, apa yang harus saya lakukan untuk saat ini? Terima kasih banyak bu, senang rasanya dapat bertemu seseorang yang bisa diajak bicara soal Psikologi dan Katolisitas. Berkah Dalem.
Halo Coemi,
bahwa kamu sudah bertanya dan berniat untuk membantu itu adalah suatu usaha baik untuk penanganan kekerasan.
Berikutnya, perlengkapi dirimu dengan wawasan dan keahlian untuk mengidentifikasi dan memberikan respon yang tepat dalam kekerasan. Jika belum bisa melakukannya, maka pahami mana rujukan profesional dan advokasi yang bisa diakses oleh korban dan pelaku kekerasan.
Sebagian besar pelaku kekerasan dulunya korban. Artinya, mereka juga perlu dibantu. Kita harus putuskan rantai kekerasan dengan pendekatan kemanusiaan. Tegas dan memberikan konsekuensi pada pelaku namun juga mendampingi mereka untuk mampu memperbaiki diri. Juga membantu korban untuk memulihkan harga dirinya dan menyelesaikan masalah yang muncul.
selamat belajar.