Psikologi Kepahlawanan: Mencari Pahlawan di Sekitar Kita (Bagian I)
Oleh: Margaretha
Pengajar Psikologi Forensik
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
So each of us may possess the capacity to do terrible things. But we also posses an inner hero; if stirred to action, that inner hero is capable of performing tremendous goodness for others (Phillip Zimbardo).
Siapa pahlawan? Ada yang menjawab, adalah mereka yang meninggal karena menyelamatkan orang lain dari kebakaran. Ada yang menjawab, adalah mereka yang cacat karena menyelamatkan orang dari kecelakaan; adalah mereka yang yang merubah dunia dengan ide dan alat yang dibuatnya, atau mereka yang mampu melawan godaan dan tekanan sosial korupsi. Ada juga yang dianggap pahlawan karena tindakan bunuh diri yang dilakukannya di tengah kerumunan demi nilai yang dibelanya. Ditengah-tengah berbagai cerita tentang tindakan kepahlawanan, maka tulisan ini disusun untuk mencoba menjawab tentang apa, siapa, dan jenis kepahlawanan (bagian 1), lalu uraian tentang bagaimana persepsi dan dampak kepahlawanan (bagian 2).
Kepahlawanan (heroism)
Apakah kepahlawanan? Secara umum diartikan sebagai tindakan membantu orang lain yang dilakukan walaupun untuk melakukannya berakibat pengorbanan dan kerugian pribadi. Menurut Phillip Zimbardo (2011) ada empat komponen dari perilaku kepahlawanan, yaitu:
- Dilakukan untuk melayani orang lain yang membutuhkan. Orang lain adalah individual maupun kelompok atau komunitas. Perilaku dilakukan untuk mempertahankan suatu nilai atau idealitas.
- Dilakukan secara sukarela. Kepahlawanan bukan dilakukan dengan keterpaksaan atau semata melakukan kewajiban, namun pilihan merdeka seseorang untuk melakukan kepahlawanan.
- Dilakukan walaupun mengetahui resiko dan beban-biaya bagi diri. Kepahlawanan dilakukan dengan kesadaran bahwa tindakan tersebut dapat membahayakan diri, reputasi/nama baik atau merugikan diri si pelaku kepahlawanan. Namun, resiko tidak menghentikannya untuk melakukan tindakan kepahlawanan.
- Dilakukan tanpa pamrih. Kepahlawanan tidak berharap untuk mendapatkan keuntungan pribadi dari perilaku kepahlawanannya.
Sebuah perilaku kepahlawanan harus menampilkan keempat komponen ini, atau dengan kata lain kepahlawanan merepresentasikan suatu idealisme atas keutamaan manusia. Kepahlawanan adalah keutamaan yang diwujudkan dalam bentuk aksi nyata di masyarakat, yang tetap dilakukan walau harus berkorban atau resiko mengalami kerugian pribadi.
Keutamaan dalam kepahlawanan
Berbagai kajian kepahlawanan tradisional menunjukkan bahwa kepahlawanan dapat terjadi karena tokoh pahlawan memiliki kualitas karakter positif atau keutamaan (virtues). Dalam hal ini, tiap orang bisa saja memiliki persepsi subyektif tentang apa saja keutamaan pahlawan. Namun dari berbagai literatur, penulis menemukan 3 keutamaan inti kepahlawanan, yaitu: keberanian (courage), kompetensi (competence) dan aksi moralitas (morality act).
Keberanian dibutuhkan untuk melakukan suatu upaya menolong walaupun akan menghadapi hambatan eksternal dan hambatan internal. Hambatan eksternal contohnya adalah: tekanan sosial, kesulitan fisik dan rumitnya persoalan yang dihadapi. Namun perlu dipahami, banyak orang tidak menjadi pahlawan karena gagal melawan hambatan internal, seperti: perasaan takut, malas, tidak peduli. Artinya, kepahlawanan lebih mungkin terjadi jika manusia mampu melampaui hambatan internal, lalu keluar dari dirinya untuk membantu orang lain.
Dalam penelitian Latane (1981), ditemukan bahwa kegagalan menolong disebabkan oleh tidakadanya keberanian moral (moral courage). Diperlukan keberanian moral untuk mampu melakukan tindakan moral. Keberanian moral adalah kekuatan untuk melakukan keyakinan atau pembelaan kebenaran moral. Namun, definisi keberanian moral akan tergantung dari konsep moral yang digunakan seseorang. Suatu tindakan dipersepsikan keberanian moral (positif) bagi seseorang tapi bisa dipandang terorisme (negatif) bagi yang lain. Keberanian moral juga mengandung paradoks, dimana suatu aksi dapat dilihat sebagai buah keberanian karena melakukan pengorbanan, atau sebagai ketololan karena kurang pertimbangan mengakibatkan kerugian bagi diri sendiri atau orang lain (Franco dkk., 2011). Walaupun dihadapkan dengan kondisi relatif ini, namun perlu digarisbawahi bahwa keberanian moral harusnya menampilkan kebajikan tertinggi untuk semua atau universal, bukan kebenaran parsial bagi segelintir orang saja, maka keberanian moral seharusnya dilihat sebagai sesuatu yang positif di berbagai konteks sosial budaya (Joh dkk., 2017).
Kompetensi kepahlawanan adalah kemampuan untuk melakukan tindakan kepahlawanan, misalkan: kecepatan gerak, ketangkasan, intelegensi dan masih banyak jenis kecakapan lain yang membuat manusia mampu melakukan tindakan kepahlawanan. Contohnya, seorang laki-laki menyelamatkan anak yang hampir ditabrak oleh truk, dia akan menggunakan kompetensi gerak cepat dan kekuatan mengangkat anak untuk pindah ke tempat yang lebih aman di sisi jalan lain. Kadang, kompetensi ini telah menonjol tampak di diri seorang pahlawan dalam hidup sehari-harinya, misalkan: ia memang tampak tangkas sehari-harinya. Namun bisa juga ditemukan ketangkasan muncul hanya pada saat kritis dan tidak bisa dijelaskan dengan kondisi hidupnya sehari-hari, misalkan: sehari-hari tidak tampil sebagai orang kuat secara fisik, namun pada saat kritis ternyata bisa berlari dengan sangat kencang dan kuat. Tampaknya, kekuatan dan kompetensi manusia menjadi lebih kuat di saat-saat kritis. Krisis menyebabkan manusia akan mengerahkan seluruh upaya dan kemampuannya.
Dalam kepahlawanan, kriteria utamanya adalah aksi nyata yang dilakukan bukan untuk diri sendiri atau kelompok kecil, tapi untuk kebaikan bagi orang lain yang lebih luas. Perilaku kepahlawanan adalah suatu perilaku moral yang mengandung kebajikan universal, membuahkan kebaikan bagi masyarakat yang lebih luas (greater goodness). Terkait dengan moralitas, perlu dibedakan antara perasaan moral, berpikir moral dan perilaku moral. Menurut Freud (1933), perasaan moral terkait dengan superego, atau perasaan tentang mana yang benar dan salah. Oleh karena itu, jika kita melanggar nilai aturan, maka akan muncul perasaan bersalah; sebaliknya akan muncul perasaan sukacita dan puas jika mampu melakukan perilaku yang sesuai dengan nilai yang kita percaya. Perasaan moral membentuk hati nurani (conscience).
Kohlberg (1969) menjelaskan bahwa pemikiran moral sebagai dasar berkembangnya moralitas manusia. Seiring dengan perkembangan intelek dan juga pengalaman hidupnya, manusia akan berkembang kemampuan berpikir moralnya. Dimulai dengan pemikiran moral yang ditentukan hanya oleh keinginan mendapatkan kesenangan dan menjauhi hukuman (pre-conventional). Hal ini terjadi karena manusia pada masa awal masa kanak belum mampu memahami nilai-nilai moral yang abstrak dan sifat kemampuan pikirnya masih egosentris. Lalu, tahap berikutnya berkembang menjadi pemikiran moral karena patuh terhadap nilai-nilai yang dianut oleh masyarakatnya atau moralitas adalah kesepakatan kelompok (conventional). Corak berpikir moral ini membuat manusia berusaha bersikap benar sesuai nilai kelompok agar diterima di kelompoknya, namun belum sungguh memahami orang lain atau nilai kelompok lain. Pada tahapan ketiga, pemikiran moral berkembang melampaui kesepakatan kelompok atau disebut paska-kesepakatan (post-conventional). Tahap ini, individu berusaha memahami sifat universal nilai moral; maka ia bukan hanya memperjuangkan nilai-nilai kelompoknya namun juga berupaya untuk berempati dengan nilai-nilai yang dipercayai oleh orang dari luar kelompok nilainya. Dalam fase ketiga inilah, Kohlberg menyatakan kepahlawanan dapat terjadi. Pahlawan adalah manusia yang melakukan berpikir mendalam mengenai moral pribadi dan kelompoknya, namun juga mempertimbangkan perspektif dan nilai yang dianut orang lain. Pahlawan tidak hanya memperjuangkan kelompok kecil, apalagi dirinya sendiri; namun pahlawan melakukan pengorbanan diri demi nilai universal yang bisa diterima oleh masyarakat luas. Inilah moralitas tertinggi. Perilaku moral adalah pengejawantahan pemikiran moral dan perasaan moral. Pahlawan adalah orang yang mampu berpikir moral dan merasa moral atas tindakan moralnya.
Perlu dipahami, tidak semua pemikiran moral akan menghasilkan tindakan moral, dan tidak semua tindakan moral adalah hasil berpikir moral. Menurut Baumeister dan koleganya (2007) perilaku moral lebih dipengaruhi oleh kemampuan pengelolaan diri (self regulation), terutama atas hambatan diri internal karena memiliki kemampuan inhibisi. Inhibisi adalah kemampuan menekan respon yang biasanya muncul (inhibition), misalnya: ketika menghadapi kesulitan maka respon yang mudah muncul adalah menyerah, maka kemampuan inhibisi adalah kemampuan menekan keinginan menyerah ketika berhadapan dengan situasi sulit. Berbagai penelitian juga menemukan, inhibisi adalah suatu prediktor kesuksesan dan juga kepahlawanan. Kemampuan melawan godaan juga adalah suatu keutamaan penting kepahlawanan. Godaan untuk menguntungkan diri sendiri atau menyelamatkan dirinya sendiri (cara pandang egoistik). Orang dilihat menjadi heroik ketika tampak berkorban kepentingan diri demi kepentingan orang lain. Kemampuan berkorban juga sangat terkait dengan inhibisi, yaitu ketika individu berjuang menekan kecenderungan egois.
Lebih lanjut, berbagai penelitian menemukan bahwa cara pandang masyarakat pada sosok pahlawan dilakukan dengan menggunakan skema kepahlawanan, dimana isi skema adalah berbagai kualitas keutamaan yang diharapkan pada tokoh pahlawan. Skema kepahlawanan dibentuk oleh konstruksi sosial dan pengalaman hidup seseorang serta masyarakatnya. Jika seseorang dilihat menunjukkan satu kualitas sifat pahlawan, maka orang lain akan mulai mencari-cari kualitas-kualitas kepahlawanan lain dalam diri orang tersebut. Jika makin banyak kualitas pahlawan yang ditampilkan oleh seseorang, maka ia akan tampak lebih meyakinkan dilihat sebagai pahlawan. Sebaliknya, jika hanya beberapa saja kualitas pahlawan yang muncul, maka orang akan mencari-cari kualitas lain; dan jika kualitas kepahlawanannya dianggap sedikit, maka persepsi atas kepahlawanannya menjadi tidak kuat. Dalam Psikologi, hal ini sejalan dengan teori Gestalt, yaitu upaya manusia memahami dunianya adalah dengan mencari dan menggabungkan bagian-bagian informasi untuk membentuk suatu pemahaman utuh. Inilah sebabnya, ketika muncul tokoh yang dianggap pahlawan, kita akan menganalisa apakah dia cocok sebagai figur pahlawan dengan menggunakan skema yang kita miliki.
Jenis kepahlawanan
Selain dilihat sebagai kualitas pribadi, kepahlawanan juga dapat ditentukan sebagai dampak situasi/konteks. Faktor situasional juga adalah faktor penting yang menentukan munculnya kepahlawanan. Zimbardo, Blau dan Franco (2011) telah mengembangkan kajian atas hubungan kualitas pribadi dan faktor situasional yang menentukan jenis kepahlawanan yang akan muncul. Hasilnya adalah taksonomi 12 jenis kepahlawanan (lihat tabel 1).
Tabel 1. Taksonomi 12 jenis kepahlawanan
No. | Tipe kepahlawanan | Definisi dan situasi | Resiko |
1 | Kepahlawanan militer dan resiko tugas fisik lainnya (Military and other duty-bound physical risk heroes) | Individu yang terlibat di militer dan dalam karir respon darurat, dimana akan berkaitan dengan situasi resiko tinggi. Tindakan heroik harus dilakukan melampui tugas/kewajibannya. | Bahaya fisik |
2 | Kepahlawanan sipil (civil heroes) | Orang sipil yang mencoba menyelamatkan orang lain walaupun resikonya adalah keselamatan dirinya sendiri | Bahaya fisik |
3 | Kepahlawanan tokoh religious (religious figures) | Individu berdedikasi, dengan pengalaman pelayanan panjang yang melakukan prinsip tertinggi dari ajaran religius yang dipercayainya, atau perilaku yang merumuskan ulang dasar kepercayaan atau spiritualitas baru. | Pengorbanan sosial |
4 | Kepahlawanan tokoh politik-religius (politico–religious figures) | Pemimpin religious yang berpindah masuk ke dunia politik untuk memperluas pengaruhnya, atau politisi yang memiliki sistem kepercayaan yang sangat kuat sehingga mempengaruhi praktek politiknya. | Pengorbanan sosial |
5 | Martir (martyrs) | tokoh religius atau politik yang diketahui telah membahayakan hidupnya sendiri dalam rangka melakukan pelayanan demi sebuah nilai keutamaan, atau dalam rangka mendapatkan perhatian atas suatu kasus ketidak-adilan. | Pengorbanan sosial |
6 | Kepahlawanan pemimpin politik atau militer (Political and military heroes) | Individu yang memimpin negara atau kelompok dalam situasi yang sulit, misalkan perang atau bencana. Ia akan melayani negara, memberikan visi dan menunjukkan kualitas yang dibutuhkan untuk keberlangsungan kelompok. | Pengorbanan sosial |
7 | Kepahlawanan petualang/
penemu/eksplorer (adventure/inventor/ explorer) |
Individu yang mengeksplorasi tempat-tempat baru dan menggunakan cara-cara (transportasi) baru untuk menjelajah tempat baru. | Pengorbanan sosial |
8 | Kepahlawanan ilmiah (Scientific heroes) | Indivisu yag mengeksplorasi bidang baru dalam riset, menggunakan metode baru, menemukan informais baru yang dibutuhkan oleh masyarakat dan kemanusiaan. | Pengorbanan sosial |
9 | Kepahlawanan orang yang baik (Good Samaritan) | Individu yang selalu awal dalam memberikan bantuan pada orang lain yang membutuhkan, dimana situasinya sebenarnya akan menghambat merugikan. | Pengorbanan sosial |
10 | Kepahlawanan yang tidak diperhitungkan sebelumnya (odds beater/underdog) | Individu yang mampu melampaui kecacatannya dan kesulitannya, dan berhasil melayani secara sosial, moral dan sebagainya. Dalam beberapa hal, individu dengan tipe ini bisa menjadi model moralitas. | Pengorbanan sosial |
11 | Kepahlawanan birokrasi (bureaucracy heroes) | Pegawai dalam suatu perusahaan besar yang kontroversial | Pengorbanan sosial |
12 | Kepahlawanan pelapor pelanggaran (whistleblowers) | Individu yang mengetahui pelanggaran hukum atau tindakan tidak etis dalam suatu organisasi, dan melaporkannya secara publik agar terjadi perubahan, tanpa mengharapkan imbalan. | Pengorbanan sosial |
Dengan berbagai jenis kepahlawanan ini, kita dapat melihat siapa pahlawan yang kita pikirkan. Serta memahami apa saja pengorbanan yang dilakukannya sebagai keutamaannya sebagai pahlawan di konteksnya.
References:
Baumeister, R.F., Vohs, K.D., & Tice, D.M. (2007). The strength pf self control. Current Direction in Psychological Science, 16, 396-403.
Coughlan, G., Igou, E.I., van Tilburg, W.A.P., Kinsella, E.L., & Ricthie, T.D. (2017). On Boredom and Perceptions of Heroes: A Meaning-Regulation Approach to Heroism. Journal of Humanistic Psychology, 1-19.
Franco, Z.E., Blau, K., & Zimbardo, P.G. (2011). Heroism: A Conceptual Analysis and Differentiation Between Heroic Action and Altruism. Review of General Psychology, 2, 99-113.
Friedman, H.L. (2017). Everyday heroism in practicing psychology. Journal of Humanistic Psychology, 1-18.
Goethals, G.R., & Allison, S.T. (2012). Making heroes: The construction of Courage, Competence and Virtues. In “Advances in Experimental Social Psychology”, edited by J.M. Olson & M.P. Zanna, p. 183-235, Vol. 46. San Diego: Elsevier.
Joh, D.J.D., Ernes, A.K., & Johannessen, J.A. (2017). Developing a methodology for the moral education of active bystanders: A systemic perspective. Kybernetes, 46, 1-26. doi.org/10.1108/K-04-2016-0089
Kinsella, E.L., Igou, E.I., & Ricthie, T.D. (2017) Heroism and the pursuit of a meaningful life. Journal of Humanistic Psychology, 1-15.
Zimbardo, P. G (2007). Understanding How Good People Turn Evil. Interview transcript. Democracy Now! March 30, 2007.
Zimbardo, P.G., Franco, Z.E., & Blau, K. (2011) Heroism: A conceptual analysis and differentiation between heroic action and altruism. Review of General Psychology, 15, 99-113.
Zimbardo, P. (2011). What makes a hero? Downloaded from http://greatergood.berkeley.edu/article/item/what_makes_a_hero
Yey, setelah lama ngga update.. akhirnya. Terimakasih tulisannya. Otw ke part II…
Maaf belum selesai.