Menilik Problem Perilaku Seksual (PPS) Anak: Sebagai Dasar Pengembangan Rehabilitasi Psikologis bagi Anak dengan PPS dan Anak terdampak PPS
Oleh:
Margaretha
Pengajar Psikologi Forensik
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya
Berhadapan dengan anak laki-laki usia 12 tahun itu, membuat muncul perasaan bercampur aduk. Tubuhnya tinggi kurus, mata sayu yang sering memandang ke lantai, serta sedikit sekali berbicara. Secara umum, gaya tubuhnya menunjukkan rasa kurang percaya diri berhadapan dengan orang baru seperti saya di hadapannya saat ini. Namun datanya, terakhir ini ia tertangkap-tangan melecehkan secara seksual anak laki-laki usia 4 tahun. Kasusnya tengah dilaporkan di Kepolisian; ia bisa dilihat sebagai seorang pelaku kejahatan seksual anak pada anak lainnya (child on child sexual assault). Selain itu, ia juga pernah beberapa kali ketahuan mengintip perempuan dewasa yang sedang mandi. Keluarganya juga telah mengetahui kebiasaannya mengakses pornografi di internet melalui hand-phone dan mini-tab yang sudah bisa digunakannya sejak Sekolah Dasar (SD). Ia mengakui, sejak kelas 1 SD telah tertarik melihat gambar perempuan telanjang dari games yang dimilikinya. Dan sejak itu, ada saat dimana ia berfantasi dan ingin melihat perempuan telanjang. Ia juga sering sendiri di rumah tanpa pengawasan dan tidak melakukan kegiatan apapun. Hal-hal inilah yang mendorongnya melakukan akses pornografi, lalu diikuti dengan mengintip orang dewasa di sekitarnya, hingga akhirnya ditemukan telah melakukan pelecehan seksual anak yang lebih kecil darinya. Walau berkali-kali dimarahi dan dipukuli oleh orang tuanya setiapkali ketahuan, namun ia tidak bisa menghentikan perilakunya.
Sayangnya, dia tidak sendiri; ada banyak kasus kejahatan seksual anak oleh pelaku anak di bawah umur seperti ini terjadi. Mengapa hal ini bisa terjadi? Apa yang perlu dilakukan? Sebagai keluarga atau komunitas, apa yang bisa dilakukan untuk mencegah hal ini berulang atau menjadi lebih parah? Artikel pendek ini bertujuan memberikan definisi dan upaya memahami problem perilaku seksual anak. Harapannya tulisan ini dapat digunakan oleh profesional kesehatan mental dan masyarakat untuk mengembangkan upaya-upaya rehabilitatif untuk mendukung keberhasilan intervensi problem seksual anak saat ini.
Problem Perilaku Seksual Anak
Pertama, penting untuk memberikan definisi atas fenomena ini. Secara hukum kejadian ini disebut sebagai kejahatan seksual anak pada anak (child on child sexual assault); terminologi ini diambil dari istilah yang digunakan dalam kasus kejahatan seksual yang melibatkan orang dewasa. Dari perspektif hukum, dikenal juga istilah: pelaku dan korban dari kejahatan seksual. Namun, penggunaan istilah-istilah ini dianggap dapat memberikan stigma negatif pada perkembangan anak yang mengalami kejadian ini. Misalkan, dengan label pelaku kejahatan seksual, maka anak bisa mengembangkan identitas diri negatif berkepanjangan dan mengurangi motivasinya untuk berubah.
Blomfield (2016) mengajukan bahwa sebaiknya istilah yang dipakai lebih fokus dalam menjelaskan perilaku bukan si anak yang melakukan, oleh karena itu, ia menganjurkan tenaga profesional kesehatan mental untuk menggunakan istilah “problem perilaku seksual”. Lebih lanjut Blomfield (2016) membagi 3 definisi problem perilaku seksual anak:
- Problem perilaku seksual (PPS; atau problem sexual behavior, PSB), yaitu perilaku seksual bermasalah yang dilakukan oleh anak di bawah usia 10 tahun. Definisi ini menyatakan bahwa anak di bawah usia 10 tahun adalah doli incapax, atau belum mampu melakukan kejahatan yang diatur dalam undang-undang; terutama pada azas mens rea – atau perencanaan dan niat melakukan kejahatan; karena anak usia ini dianggap belum selesainya perkembangan moral dan pemahamannya untuk membedakan benar dan salah. Maka anak usia di bawah 10 tahun belum bisa dituntut pertanggungjawabannya ketika melakukan kejahatan.
- Perilaku kekerasan seksual (PKS; atau sexually abusive behavior, SAB), yaitu: perilaku kekerasan yang dilakukan oleh anak berusia 10-18 tahun. Pada usia ini, anak sudah dianggap mampu bertanggungjawab atas perilakunya sendiri, oleh karenanya dapat dikenakan hukum kriminal. Namun karena masih di bawah umur maka proses hukum yang dikenakan padanya adalah Hukum Pidana Anak, yang dilakukan secara berbeda dari kriminal umum atau kriminal orang dewasa. Tata cara dan koreksinya pun dilakukan secara khusus dan mempertimbangkan faktor-faktor perkembangan anak. Di Indonesia, anak usia 12 tahun (di bawah 18 tahun) telah dianggap secara relatif memiliki kecerdasan emosional, mental dan intelektual yang lebih stabil; maka anak usia 12-18 tahun sudah bisa dimintai pertanggungjawaban pidana jika melakukan pelanggaran (Undang-undang no. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak). Namun subtansi dari hukum ini adalah keadilan restoratif dan diversi, yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilam dan stigmatisasi terhadap anak.
- Anak yang menjadi target PPS/PKS (children who are targets of PSBs or SABs), yaitu anak yang mengalami problem perilaku seksual atau perilaku kekerasan seksual; istilah ini digunakan untuk mengganti istilah korban.
Dari konsep Blomfield (2016) dijelaskan bahwa perlunya sikap berhati-hati dalam memahami dan melabel kejadian problem seksual anak, karena ini akan terkait dengan upaya rehabilitatif serta relevansinya dengan penanganan hukum yang menjunjung nilai kemanusiaan.
Selain dari itu, perlu juga dipahami perbedaan perilaku seksual anak yang masuk kategori normal (tipikal) dan kategori bermasalah atau atipikal (lihat tabel 1).
Tabel 1. Perilaku seksual anak tipikal dan atipikal
Perilaku seksual tipikal | Perilaku seksual atipikal |
– Tanpa kekerasan
– Spontan – Interaksi anak dengan anak seusianya (jika lebih mudah antara 2-5 tahun) – Keingintahuan akan bagian tubuh orang dewasa, terutama dengan jenis kelamin yang berbeda dengan dirinya – Perilaku seks muncul karena rasa ingin tahu dan perilaku bereksperimentasi – Sering muncul dalam konteks bermain – Mudah diarahkan kembali menjadi perilaku yang lebih adaptif sehingga tidak membutuhkan intervensi profesional |
– Jika dilakukan pada anak yang lebih rentan/lemah/jauh lebih muda (>5 tahun)
– Direncanakan, berulang/persisten – Tidak bisa dikoreksi oleh orang tua – Tidak bisa diberikan batasan karena lemahnya kemampuan kontrol diri dan kontrol dari lingkungan – Rasa ingin tahu dan minat serta keinginan untuk mengalami perilaku seksual yang berlebih-lebih (melampaui apa yang ditunjukkan anak seusianya). |
Sumber: Blomfield (2016)
Penelitian oleh Lussier dan kolega (2017) menemukan bahwa PPS lebih banyak terjadi pada usia sebelum sekolah (mulai usia 3 tahun dan puncaknya pada usia 5-6 tahun). Hal ini dijelaskan karena anak sebelum usia sekolah belum memahami norma sosial tentang berperilaku secara optimal, karena belum terbiasa belajar norma sosial di konteks sosial seperti sekolah. Apa yang anak pahami lebih banyak dari rumahnya. Dan setelah usia sekolah, ditemukan PPS rata-rata menurun dan tidak dilakukan lagi. Sepertinya, seiring dengan bertambahnya pemahaman norma sosial anak, perilaku menyimpang pun menurun dan tidak lagi dilakukan.
Lebih lanjut Lussier dan kolega (2017) menemukan bahwa sepanjang masa kanak (usia 3-9 tahun), perkembangan problem perilaku seksual anak dapat dikelompokkan menjadi 4 jenis, yaitu:
- Perkembangan problem perilaku seksual yang konsisten sangat rendah,
- Perkembangan problem perilaku seksual yang semakin lama semakin menurun,
- Perkembangan problem perilaku seksual yang secara konsisten menetap, dan
- Perkembangan problem perilaku seksual yang meningkat dengan cepat.
Artinya, perkembangan problem perilaku seksual anak tidak tunggal, namun bentuknya bisa bermacam-macam. Problem perilaku seksual jenis 1 dan 2 hanya dilakukan pada awal masa kanak, dan seiring perkembangan dan belajar normal sosial akan menghilang. Namun, yang berbahaya adalah jenis 3 dan 4, yang menetap atau bahkan meningkat walaupun anak telah bertambah pemahaman sosialnya. Jenis 3 dan 4 inilah yang beresiko menjadi perilaku kekerasan seksual karena sifatnya yang sulit berubah dan sangat berpotensi terus dilakukan hingga akhirnya terkategorikan sebagai perilaku pelanggaran hukum berat.
Temuan Lussier dan kolega (2017) sangat penting untuk menjelaskan bahwa problem perilaku seksual anak berkembang dengan cara yang unik. Namun masih diperlukan lebih banyak penelitian untuk bisa menjelaskan apa faktor penting yang membedakan jenis perkembangan problem perilaku seksual antara satu dan yang lainnya. Hal-hal itulah yang akan penting menjadi faktor intervensi ke depannya.
Mengapa anak melakukan problem perilaku seksual?
Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan problem perilaku seksual (PPS) anak. Secara umum, dikelompokkan 4 faktor penyebab. Pertama, problem psikologis masa perkembangan. Berbagai laporan kasus klinis menemukan bahwa anak yang melakukan PPS mengalami berbagai problem emosional dan psikologis. Beberapa anak juga ditemukan mengalami gangguan klinis seperti: depresi, problem perilaku (conduct disorder), attention deficit disorder (ADD), Attention Deficit and Hyperactivity Disorder (ADHD), gangguan perilaku menentang (oppositional defiance disorder), spektrum autisme, persoalan regulasi emosi, hendaya kelekatan (impaired attachment), serta hambatan perkembangan dan belajar (developmental or learning delay) (Kellog, 2009; Steiger & Tucci, 2005).
Kedua, paparan seks pertama kali yang salah. Anak dengan PPS ditemukan telah terpapar informasi, gambar dan peristiwa seksual yang tidak sesuai dengan usia perkembangannya. Hal ini menyebabkan anak mulai memiliki rasa ingin tahu dan bereksperimen seksual lebih dini atau melampaui dari yang seharusnya. Faktor-faktor resiko lain yang juga turut memperburuk paparan seksual dini, beberapa di antaranya adalah: menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga, adanya kekerasan seksual di keluarga, melihat video atau gambar porno, adanya anggota keluarga dengan masalah penyalahgunaan zat, pola pengasuhan yang tidak stabil/berpindah-pindah, kurangnya pengawasan orang tua, anak hidup di lingkungan yang terseksualisasi, serta mengalami isolasi sosial (lihat review di Blomfield, 2016).
Ketiga, pelaku pernah mengalami trauma kekerasan dan pelecehan seksual sebelumnya. Sekitar lebih dari 50% anak dengan PPS melaporkan telah mengalami kekerasan/pelecehan seksual dan juga kekerasan emosional (Steiger & Tucci, 2005). Trauma yang tidak terselesaikan menimbulkan munculnya perilaku menyimpang dan yang dapat terjadi adalah anak mencari anak lain untuk menjadi obyek pelampiasan traumanya. Pada beberapa kasus ditemukan, anak dengan PPS akan mencari anak lain yang lebih muda dalam kisaran usia yang sama ketika dia dulu mengalami kekerasan/pelecehan seksual dari orang lain sebelumnya.
Teori seksualisasi traumatis (Finkelhor & Browne, 1985) menjelaskan bahwa ada 2 mekanisme trauma kekerasan seksual bisa menjadi penyebab munculnya perilaku kekerasan seksual pada anak yang dulunya adalah korban, yaitu: 1) trauma kekerasan seksual menyediakan pengalaman belajar sosial dimana anak mengembangkan cara pandang yang salah tentang perilaku seksual, misalkan: seks adalah alat untuk mendapatkan tujuan, perhatian, atau benda/sesuatu yang diinginkan dari orang lain; 2) trauma kekerasan memicu munculnya stress pasca-trauma, dimana anak akan mengalami munculnya pikiran negatif berulang (intrusive thoughts) dan peningkatan aktivitas tubuh yang menunjukkan kondisi tubuh stress, seperti: keringat, tegang otot, dan denyut jantung lebih cepat (hyper-arousal). Namun, Allen (2016) menemukan bahwa tidak semua pelaku PPS mengalami trauma kekerasan seksual. Artinya ada juga faktor lain yang juga kuat mempengaruhi kemunculan PPS. Hendaya perkembangan, seperti: kemampuan sosial yang rendah dan ketidakmampuan pengelolaan impuls dianggap berperan atas PPS, dan artinya penting juga untuk diintervensi dalam rangka menghentikan dan mencegah PPS (Allen, 2016).
Keempat, belajar sosial perilaku seks yang salah. Sering ditemukan anak awalnya melakukan problem perilaku seksual karena meniru perilaku seksual orang dewasa di sekitarnya, baik secara langsung maupun lewat video atau gambar porno. Namun berikutnya, PPS dilakukannya ketika anak merasa tidak berdaya, kosong, atau takut, muncul kebutuhan untuk menenangkan diri (self soothing behavior), bahkan perilaku ini dimunculkan dalam rangka mencari perhatian, atau mereka-ulang pengalaman kekerasan seksual yang pernah mereka alami (re-enactment of sexual abuse).
Dampak ada anak yang mengalami PPS
Perlu dipahami, dampak PPS anak pada anak juga menimbulkan penderitaan bagi anak yang terdampak, sama seperti halnya kejahatan seksual oleh pelaku dewasa pada korban anak (Allen, 2016). Namun, sangat sulit menguraikan cara identifikasi anak yang melakukan PPS atau korban PPS, karena gejala yang muncul bisa tidak sama antara satu kasus dengan yang lainnya. Gejala juga tidak mudah diprediksi, dan dampak buruk tidak selalu mudah dikenali. Menurut, Broomberg dan Johnson (2001) beberapa di antaranya adalah:
- Munculnya perilaku seksual pada anak
Anak yang telah mengalami pengalaman seksual ditemukan lebih mudah terangsang dan mencapai orgasme, terlibat dalam perilaku seks beresiko, seperti berganti-ganti pasangan, dan beperilaku seks menyimpang.
- Gangguan akademis
Anak yang mengalami PPS juga dapat menunjukkan gangguan belajar dan problem di sekolah, misalkan: kesulitan fokus, nilai yang turun, dan butuh waktu yang lama untuk menyelesaikan tugas sekolah.
- Problem psikologis lainnya
Anak yang mengalami PPS sering ditemukan menunjukkan gejala klinis seperti: depresi, stress atau post-traumatic stress, serta gangguan kesehatan mental lainnya. Selain itu, bisa juga muncul gejala gangguan penyesuaian seperti: mimpi buruk, takut ditinggal sendirian, rendahnya harga diri, gangguan tingkah laku, menentang dan perilaku seks yang menyimpang.
- Persoalan kesehatan umum
Dampak PPS juga dapat terjadi pada kondisi kesehatan secara umum. Anak korban PPS ditemukan lebih sering mengakses layanan kesehatan karena mengalami gangguan kesehatan fisik, misalkan: gangguan pernapasan, gangguan sistem pencernaan, dan problem dengan kesehatan reproduksi. Anak-anak ini dapat berkembang menjadi orang dewasa yang sering mengakses layanan kesehatan karena merasa mengalami gangguan fisik yang disebabkan problem psikis, seperti: psikosomatis dan hipokondriasis. Hal ini dapat dijelaskan, depresi dan stress yang dialami anak dapat mengakibatkan munculnya beberapa gejala gangguan kesehatan fisik secara umum. Kuncinya, jika akar stress dapat ditangani, maka gejala gangguan fisik pun akan menurun dengan sendirinya.
- Resiko menjadi anak yang melakukan PPS atau dewasa yang melakukan kejahatan seksual
Berbagai bukti ilmiah menemukan bahwa anak yang menjadi korban kekerasan seksual beresiko lebih tinggi menjadi anak dengan PPS atau berkembang menjadi orang dewasa dengan penyimpangan seksual atau yang mampu melakukan kejahatan seksual. Lebih dari separuh pelaku kejahatan seksual mengakui bahwa mereka pernah menjadi korban sebelumnya. Penelitian Bagley, Wood dan Young (1994) menemukan bahwa kombinasi pengalaman trauma kekerasan seksual berulang dan kekerasan psikologis pada masa kecil meningkatkan resiko berkembangnya korban menjadi pelaku kekerasan seksual pada anak di masa dewasanya. Kedua faktor resiko ini perlu diidentifikasi dan dikelola secara intensif pada korban dan pelaku PPS. Hubungan rantai berulang ini perlu diputus agar tidak terus terjadi dari generasi ke generasi.
Reaksi yang salah menghadapi problem perilaku seksual anak
Anak yang dijadikan obyek PPS tidak mudah melaporkan apa yang terjadi pada dirinya, terlebih jika PPS dilakukan oleh saudara kandung/tiri dalam keluarga. Dan anak yang memiliki PPS juga sering melakukan penyangkalan atas apa yang mereka telah lakukan pada anak lain atau saudaranya sendiri (Elkovitch, 2009). Orang tua dan keluarga juga dapat mengalami rasa tidak percaya, shock, malu, duka, tidak berdaya dan menyalahkan diri sendiri (Fergusson, Horwood, & Woodward, 2000; Welfare, 2010). Pada beberapa kasus, ditemukan anak obyek PPS menarik aduannya karena melihat dampak laporannya karena takut membuat keluarganya berkonflik.
Ada pula orang tua dan keluarga yang memilih diam dan menutupi masalah PPS. Hal ini dilakukan karena kurangnya pemahaman tentang perilaku seksual yang normal dan tidak normal, perasaan ragu, malu, takut dihakimi orang lain sebagai orang tua buruk, kewalahan atas krisis pribadi sehingga abai pada masalah PPS anak, dan takut terlibat dengan kasus ini (Fergusson,Horwood, & Woodward, 2000; Welfare, 2010). Hal ini dapat terjadi karena keluarga juga sedang mengalami berbagai masalah, sehingga masalah PPS menjadi terabaikan. Terlebih lagi jika tidak ada orang yang merasa mampu menghadapi persoalan sebesar ini, maka keluarga akhirnya mengabaikan PPS.
Ada pula orang tua yang bereaksi secara emosional dan memberikan hukuman keras pada anak dengan PPS, bahkan tidak jarang menunjukkan penolakan pada anak. Survei menemukan, orang tua anak terdampak PPS akan lebih mau melaporkan kejadian PPS jika anak dengan PPS bukanlah anggota keluarganya sendiri, berbeda jika yang melakukan PPS adalah anggota keluarganya, maka orang tua lebih memilih diam (Martin, 2014). Lebih lanjut, keluarga akan mengalami goncangan dan krisis ketika menghadapi persoalan PPS di dalam keluarganya. Pada beberapa kasus, bahkan keluarga bisa mengalami perpecahan. Namun, perlu dipahami biasanya keluarga memang telah berpersoalan sehingga anaknya bisa melakukan PPS, sehingga kasus PPS yang terjadi sebenarnya hanya katalisator perpecahan keluarga.
Oleh karena itu, intervensi kasus PPS artinya juga membantu keluarga yang menghadapi PPS. Terapis perlu membangun relasi yang baik dengan orang tua dan keluarga, agar tidak melakukan penolakan dan penyangkalan masalah; namun bersama orang tua dan keluarga membangun harapan dan melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan terapi untuk si anak berhasil optimal (Blomfield, 2016). Untuk meningkatkan keberhasilan terapi, maka terapis perlu memberikan layanan professional yang peka, hangat, empatik, dan berpengharapan, berusaha untuk tetap tenang, jelas berkomunikasi, serta jujur (Flanagan, 2010). Terapis juga perlu mengapresiasi usaha klien orang tua dan keluarga ketika mereka menunjukkan perubahan, misalkan menyusun suatu sistem reward, sehingga ketika berhasil mengerjakan tugas dapat diberikan hadiah/penguat perilaku adaptif.
Metode intervensi klinis: Rehabilitasi pada anak dengan PPS
Pemberian intervensi pada kasus PPS akan melibatkan anak dan juga keluarganya. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang menemukan pengaruh trauma kekerasan pada masa kecil yang bisa terjadi di lingkungan hidup anak, seperti keluarga (misalkan kekerasan yang dilakukan oleh orang tua atau anggota keluarga), maka intervensi kasus PPS akan merubah struktur dan sistem relasi anak dengan keluarganya sebagai usaha pencegahan terulangnya PPS.
Berikut adalah beberapa faktor pengasuhan orang tua yang ditemukan berkaitan dengan munculnya problem perilaku pada anak, termasuk di dalamnya PPS:
- Konflik antara orang tua dan anak
- Kurangnya pengawasan orang tua pada anak
- Kurangnya keterlibatan orang tua dalam aktivitas anak
- Kurangnya dukungan sosio-emosional bagi anak di rumah
Orang tua yang memiliki anak dengan problem perilaku juga ditemukan lebih sering menggunakan hukuman keras pada anak, misalkan: memukul, memarahi, menolak, dan bersikap membenci anak.
Hal-hal ini justru membuat orang tua semakin jauh dan tidak mengenal anaknya serta siapa saja teman-teman anaknya. Sebagai akibatnya, orang tua tidak peka atas kebutuhan dan kesulitan anak, orang tua juga tidak paham bagaimana mengembangkan kemampuan dan potensi anaknya, dan kurangnya dukungan dalam perkembangan anak secara umum. Akhirnya, yang dapat terjadi, orang tua yang memiliki anak dengan problem perilaku justru tidak bisa membantu anaknya keluar dari masalah; namun dengan cara pengasuhan yang tidak tepat ini, persoalan akan terus terjadi bahkan bisa menjadi lebih parah.
Beberapa orang tua juga secara tidak sadar mengajari anaknya melakukan kekerasan. Ketika orang tua memukul, menampar dan mendorong anaknya atau anggota keluarga lainnya saat marah, anak yang melihat hal itu dapat meniru perilaku kekerasan, sehingga lebih tinggi kemungkinannya si anak akan berkembang menjadi seorang dewasa yang dapat melakukan kekerasan (Margaretha, Nuringtyas, & Rachim, 2012).
Atas dasar inilah, anak dengan PPS, perlu mendapatkan intervensi terintegrasi, bukan hanya menarget perilaku seksualnya, namun juga dengan memperkuat kesehatan mental keluarganya. Intervensi dapat dilakukan secara berdampingan, sesi terapi untuk anak dan perilaku seksualnya, serta sesi terapi keluarga dengan orang tua atau pengasuh dan keluarga lingkungan hidup si anak (Gray, 1997; 1999).
Terapi untuk anak difokuskan untuk mengelola faktor-faktor resiko PPS di lingkungan hidup anak. Orang tua dan anak akan belajar cara-cara menjauhi atau mengendalikan faktor resiko tersebut agar PPS tidak terpicu terulang kembali. Misalkan, adanya media pornografi di rumah menjadi salah satu faktor yang dapat memicu terjadinya eksplorasi seksual yang salah oleh anak, maka orang tua perlu melakukan pembersihan pornografi dan pengawasan secara konsisten. Anak juga diajarkan untuk mampu mengendalikan diri tidak mengakses stimulus-stimulus yang dapat membuatnya melakukan PPS. Anak juga diajarkan perilaku baru yang lebih konstruktif dan adaptif, yang dapat mengalihkan dirinya dari keinginan melakukan PPS. Intinya, anak akan diajarkan untuk lebih mampu mengelola dirinya untuk melawan keinginan melakukan PPS; dan orang tua diminta berkontribusi untuk merekayasa lingkungan agar lebih kondusif bagi perubahan anaknya.
Sesi terapi anak juga difokuskan untuk memberikan pendampingan pendidikan bagi anak untuk berlatih cara-cara mencegah dan menghentikan perilaku menyimpangnya, serta mengelola perilaku seksualnya. Anak juga dapat diberikan pendampingan khusus di sekolah, untuk membantunya fokus dan mampu menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Jika anak diketahui mengalami kesulitan belajar, maka Guru dapat bekerjasama dengan terapis untuk menyusun program belajar khusus untuk menarget problem belajar anak. Anak dengan problem perilaku juga bisa memiliki kesulitan berteman dengan teman sebayanya, maka terapi juga dapat diberikan untuk membuat anak memiliki kemampuan sosial untuk berteman secara sehat. Dengan memperkuat kemampuan akademik dan relasi sosialnya di sekolah, maka kita memperkuat resiliensi anak untuk mengelola perilaku menyimpangnya. Anak akan menjadi lebih fokus pada belajar dan relasi sosial sesuai dengan usia perkembangannya; hal inilah yang akan menghentikannya melakukan perilaku seks menyimpang.
Sesi terapi keluarga juga dapat membuka dan memberikan intervensi atas luka-luka yang telah atau tengah berlangsung dalam keluarga tersebut. Terapis perlu mempersiapkan dukungan untuk penyelesaian masalah yang dihadapi keluarga tersebut; karena dengan penyelesaian masalah inilah, keluarga dipersiapkan untuk dapat membantu anak kelak. Terapis dapat memberikan latihan dan tugas untuk masing-masing anggota keluarga untuk menyelesaikan persoalan secara adaptif, memiliki kemampuan untuk mencegah kekerasan terulang kembali di keluarga mereka, dan mengembangkan pola hidup dan relasi yang lebih sehat dan adaptif di dalam keluarga.
Simpulan
Perkembangan seksual anak dapat terjadi secara normal atau tipikal, sama seperti anak seusianya; dimana perilaku seksual sifatnya spontan, muncul karena rasa ingin tahu, dan tidak menimbulkan penderitaan bagi anak dan anak terdampak, dilakukan dengan anak seusianya, serta bisa diarahkan oleh orang dewasa untuk menghentikannya. Namun, juga dapat terjadi perilaku seksual anak yang menyimpang atau atipikal, tidak sama dengan anak seusianya, misal: perilaku seksual menimbulkan problem, sulit dirubah dan membutuhkan bantuan professional.
PPS yang terjadi bisa menjadi alarm bahwa anak telah mengalami suatu kejadian traumatic atau mengalami gangguan karena kekerasan dalam keluarga, penyalahgunaan zat, penelantaran, atau terpapar dengan materi/perilaku pornografi/seksual di keluarganya. PPS juga menunjukkan bahwa anak mengalami gangguan psikologis, seperti: kecemasan, stress, atau membutuhkan perhatian atau mengalami pelecehan/kekerasan seksual dari orang di sekitarnya. Lebih lanjut, anak yang menjadi korban kekerasan seksual beresiko lebih tinggi menjadi anak dengan PPS atau berkembang menjadi orang dewasa dengan penyimpangan seksual atau yang mampu melakukan kejahatan seksual. Oleh karena itu, orang dewasa di sekitar masyarakat perlu lebih peka melihat problem ini dan segera mencari bantuan untuk segera menghentikan masalah ini sebelum bertambah parah atau berulang dalam rantai kekerasan antar generasi.
Membuka masalah ini, artinya siap untuk menghadapi proses terapi baik untuk anak dan juga keluarga. Karena sering yang akan dijumpai adalah keluarga yang telah hidup dan kewalahan dengan masalah, menyangkal masalah, bingung dan marah, serta hancur karena masalah; maka penting agar terapis (psikolog, ahli anak dan psikoterapis professional) menguasai persoalan trauma kekerasan. Terapis perlu memunculkan sikap menenangkan, jujur, dapat dipercaya, hangat dan memberikan harapan perubahan. Dan yang perlu digarisbawahi adalah terapis bekerja dengan kerangka pikir PPS ketika bekerja dengan anak dengan perilaku seksual bermasalah yang berusia di bawah 12 tahun; bukan menggunakan kerangka hukum sebagai pelaku kejahatan seksual.
Referensi
Bagley, C., Wood., M., & Young, L. (1994). Victim to abuser: Mental health and behavioral sequels of child sexual abuse in a community survey of young adult males. Child Abuse & Neglect, 18, 683–697.
Blomfield, J.C. (2016). Understanding and responding to problem sexual behaviours in children. The Royal Australian College of General Practitioners, 47, 365-369.
Bromberg, D.S. & Johnson, B.T. (2001). Sexual interest in children, child sexual abuse, and psychological sequalae for children. Psychology in the Schools, 38
Elkovitch, N., Latzman, R.D., Hanson, D.J., & Flood, M.F. (2009). Understanding child sexual behaviour problems: A developmental psychology framework. Clinical Psychological Review, 29, 586–98.
Fergusson, D.M., Horwood, L.J., & Woodward, L.J. (2000). The stability of child abuse reports: A longitudinal study of the reporting behaviour of young adults. Psychological Medicine, 30, 529–44.
Finkelhor. D., & Browne, A. (1985). The traumatic impact of sexual abuse: A conceptualization. American Journal Orthopsychiatry, 55, 530–541.
Flanagan, P. (2010). Making molehills into mountains: Adult responses to child sexuality and behaviour. Explorations: An E-Journal of Narrative Practice, 1, 57–69.
Freund, K., & Kuban, M. (1994). The basis of the abused abuser theory of pedophilia: A further elaboration of an earlier study. Archives of Sexual Behavior, 23, 553–563.
Gray, A., Busconi, A., Houchens, P., & Pithers, W.D. (1997). Children with sexual behavior problems and their caregivers: Demographics, functioning, and clinical patterns. Sexual Abuse: A Journal of research and treatment, 9, 267-290.
Gray, A. (1999). Developmental and etiological characteristics of children with sexual behavor problems: Treatment Implications. Child Abuse & Neglect, 23, 601–621.
Kellogg, N. (2009). Committee on Child Abuse and Neglect, American Academy of Pediatrics. Clinical report – The evaluation of sexual behaviours in children. Pediatrics, 124, 992–98. Doi: 10.1542/peds.2009-1692.
Lussier, P., McCuish, E., Mathesius, J., Corrado, R., & Nadeau, D. (2017). Developmental Trajectories of Child Sexual Behaviors on the Path of Sexual Behavioral Problems: Evidence from a Prospective Longitudinal Study. Sexual Abuse: A Journal of Research and Treatment, 1, 1–37.
Martin, K.A. (2014). Making sense of children’s sexual behaviour in child care: An analysis of adult responses in special investigation reports. Child Abuse and Neglect, 38, 1636–1346.
Staiger, P. &Tucci, J. (2005). Introduction. In: Staiger P, editor. Children who engage in problem sexual behaviours: Context, characteristics and treatment; A review of the literature. Melbourne: Australian Childhood Foundation and Deakin University, p. 1–3.
Taylor, E. (2018) “Pornography as a Public Health Issue: Promoting Violence and Exploitation of Children, Youth, and Adults,” Dignity: A Journal on Sexual Exploitation and Violence, 3. Doi: 10.23860/dignity.2018.03.02.08
Welfare, A.L. (2010). Sibling sexual abuse: Understanding all family members’ experiences in the aftermath of disclosure [PhD thesis]. Bundoora, Vic: The Bouverie Centre, La Trobe University.
Saya belum lama mengetahui eksistensi http://www.psikologiforensik.com ini, yang sangat membantu dan menurut saya bahkan melebihi situs APSIFOR sendiri yang tidak bisa diakses.
Sedikit bercerita ibu,
Saya seringkali menghadapi kasus-kasus seperti ini khususnya untuk pendampingan Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH). Namun pada kenyataannya, dalam penanganan kasus-kasus seperti ini baik dalam ranah hukum ataupun tidak, sangatlah jauh dari metode keilmuan ataupun UU SPPA No.11 Tahun 2012. Umumnya pihak2 terkait maupun APH tidak peduli dengan hal-hal seperti ini dan hanya ingin kasus cepat selesai. Bahkan ada beberapa kasus yang sudah jelas memenuhi syarat diversi baik dari aspek hukum maupun psikologi tidak digubris sama sekali tanpa (bukan hanya kasus pelecehan ataupun pencabulan anak). Belum lagi untuk penanganan korban yang terkesan asal-asalan.
Saya secara pribadi tidak bermaksud menyalahkan sistem hukum dan APH yang ada di Indonesia. Berdasarkan pengalaman saya tadi, saya merasa bahwa saya kurang memiliki kemampuan untuk “memahamkan” pihak-pihak terkait untuk hal-hal seperti ini.
Gaya bahasa dari tulisan-tulisan Ibu Margaretha yang mudah dipahami dan sangat membuka wawasan sangat menginspirasi saya. Beberapakali saya menjadikan tulisan-tulisan dan sumber-sumber referensi di tulisan ibu untuk penjelasan penanganan kasus anak, dan ternyata mampu memberikan hasil yang baik.
Izin bertanya ibu, apakah ibu mengadakan kegiatan-kegiatan pelatihan untuk hal-hal seperti ini? Saya sangat berminat apabila ada.
Jika berkenan bisakah saya minta email dan contact Ibu Margaretha?
Terima Kasih
Terima kasih. Sebenarnya saya melakukan seminar setiap kali saya mendampingi kuliah psikologi forensik di Fak Psikologi Unair. Tapi saat ini saya sedang studi, jadi agak break sebentar. Ayo bersama-sama mengembangkan psikologi forensik di Indonesia.