Kekerasan dalam Relasi Intim
Oleh: Margaretha
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya
Anda mungkin pernah mendengar kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau domestic violence baik di pemberitaan media atau pembicaraan di masyarakat; bahkan mungkin juga ada yang pernah melihat atau mengalami sendiri. Namun terkadang kita bisa merasa gamang untuk menjelaskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan KDRT jika dihadapkan dengan beberapa pertanyaan dasar seperti: Apakah KDRT hanya dapat terjadi pada orang yang memiliki hubungan darah? Atau apa perbedaannya dengan bentuk kekerasan yang lain, seperti kekerasan dalam hubungan pacaran? Untuk berusaha menjawab pertanyaan-pertanyan tersebut, tulisan ini akan menguraikan beberapa definisi kekerasan dalam relasi intim dan relasi keluarga. Juga akan diulas tentang bagaimana definisi KDRT selama ini selain didasari oleh konvensi hukum juga oleh penghayatan personal individu.
Kekerasan dalam rumah tangga
KDRT secara umum diartikan sebagai pola perilaku kekerasan yang dilakukan seseorang atas orang lain di dalam lingkup keluarga; baik antara orang-tua dan anak, antar pasangan atau antar anggota keluarga. Di Indonesia hingga saat ini definisi KDRT yang banyak digunakan biasanya mengacu pada konvensi hukum yaitu Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga nomor 23 tahun 2004 (UU PKDRT no.23/2004). Definisi KDRT dalam Pasal 1 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Secara khusus, jika korban KDRT adalah anak, maka tindak kekerasan tersebut juga dianggap sebagai pelanggaran Hak Anak (UU no. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).
Secara umum tindak KDRT dikelompokkan menjadi 4 macam: fisik, psikis, seksual dan ekonomi. Kekerasan fisik seperti penganiayaan baik yang mengakibatkan cedera ringan maupun cedera berat seperti cacat tubuh dan terganggunya daya mental ataupun kematian. Kekerasan psikis biasanya berupa pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, pemaksaan dan isolasi sosial seperti melarang interaksi sosial korban dengan teman, kerabat maupun keluarganya. Kekerasan ekonomi dapat berupa eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat sarana ekonomi seperti: memaksa korban bekerja secara eksploitatif termasuk pelacuran, melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya, mengambil tanpa sepengetahuan atau persetujuan korban, merampas dan atau memanipulasi harta benda korban. Sedangkan kekerasan seksual adalah hubungan seksual tanpa persetujuan korban, dengan cara tidak disukai, yang menimbulkan rasa muak atau jijik, direndahkan, terteror, terhina, dan atau menyakitkan. Sering juga terjadi, bentuk kekerasan yang muncul dan dialami korban adalah jamak, kekerasan fisik juga menimbulkan efek psikologis, atau kekerasan ekonomi membuat korban tertekan secara mental. Dalam hal ini beban psikologis pengalaman kekerasan jamak juga akan semakin berat bagi korban.
Definisi lingkup rumah tangga terkesan membatasi bahwa KDRT hanya terjadi di lingkungan privat rumah tangga. Lalu apakah kekerasan yang dilakukan anggota keluarga yang terjadi di luar rumah (misalkan di tempat umum) dapat dimasukkan sebagai KDRT? Atau ketika terjadi kekerasan di dalam rumah yang dilakukan oleh orang asing, apakah ini juga termasuk KDRT? Untuk menjawab kedua pertanyaan ini maka perlu digaris-bawahi bahwa definisi KDRT secara khas ditentukan oleh bagaimana hubungan antara pelaku dan korbannya. KDRT dapat diidentifikasi jika kekerasan dilakukan oleh seseorang yang memiliki ikatan keluarga atau relasi dekat dengan korbannya, contohnya: anggota keluarga, mantan pasangan, dan teman/relasi akrab keluarga. KDRT ditentukan oleh siapa pelaku dan keterlibatan dalam relasi keluarga, bukan pada lokasi terjadinya kekerasan. Pertanyaan selanjutnya, apakah kekerasan pada pembantu rumah tangga oleh majikan dapat dikategorikan sebagai KDRT? Karena pembantu rumah tangga adalah individu yang tinggal dan hidup secara dekat dengan anggota keluarga, maka segala bentuk kekerasan terhadap pembantu rumah tangga juga tergolong sebagai KDRT; dan tindak kekerasan ini juga akan dikenai pemidanaan UU PKDRT no.23/2004.
Kekerasan dalam relasi intim
Namun kita juga tahu bahwa perilaku kekerasan juga sering muncul di relasi non-marital seperti pacaran; dalam hal ini disebut sebagai kekerasan dalam pacaran (KDP) atau dating violence. Namun karena istilah KDP memiliki arti lebih sempit pada bentuk intim pacaran, maka perlu juga dibedakan dengan penggunaan istilah kekerasan dalam relasi intim (KDRI) yang mencakup berbagai tindak kekerasan oleh pelaku atas korban yang tidak memiliki hubungan sedarah yang berada dalam suatu relasi intim. Relasi intim yang dimaksud bisa berupa pacaran, tunangan, relasi de facto, dan juga pernikahan.
Sama seperti KDRT, bentuk KDRI yang sering terjadi: serangan fisik, mental, ekonomi dan seksual. Kekerasan fisik seperti: memukul, menendang, ataupun mencubit; sedangkan kekerasan psikis biasanya berupa: pengontrolan atas perilaku pasangan yang disertai ancaman, rasa yang cemburu yang berlebihan, menghina dan merendahkan pribadi secara terus-menerus baik di dalam kehidupan pribadi atau hingga munculnya perlakuan kasar di depan umum. Kekerasan ekonomi yang biasanya terjadi adalah dalam bentuk perilaku pasangan yang sering meminjam uang atau barang tanpa pernah mengembalikan; sedangkan kekerasan seksual yang banyak terjadi adalah pasangan yang memaksa pasangannya untuk melakukan hubungan seksual dan atau melakukan tindakan yang menyakiti pasangan dalam hubungan seksual. Mirip dengan KDRT, perilaku kekerasan dalam KDRI memiliki akar perilaku yang mendalam dan pola yang berulang. Segala bentuk kekerasan tidak hanya terjadi sekali, artinya korban juga telah mengalami peristiwa ini.
Jika hubungan antara pelaku dan korbannya tidak atau belum memiliki hubungan keluarga secara formal, atau belum menikah secara hukum, maka hal ini dapat dikenai pidana umum (misalkan penganiayaan). Sayangnya, KDP atau KDRI juga banyak terjadi pada remaja, terutama korbannya remaja puteri (Prospero, 2006). Dan sering korban akan berusaha menutupi kekerasan yang dialaminya baik dari orang tua, guru apalagi masyarakat dan pihak yang berwenang. Terkadang peristiwa dapat terungkap, sayangnya hal ini terjadi jika keadaan sudah lebih parah, misalkan sudah terjadi luka fisik atau pertikaian besar yang tidak bisa ditutup-tutupi lagi; baru mereka akan meminta bantuan medis dan perlindungan hukum.
Kekerasan dan gender
Jumlah kasus KDRT semakin meningkat, dalam satu tahun terakhir saja sejumlah 22.000 kasus KDRT telah tercatat di Komisi Nasional Perempuan dimana sebagian besar korbannya adalah perempuan (Suara Karya, 2007). KDRT paling banyak dialami oleh isteri; dimana pelakunya kebanyakan adalah pasangannya sendiri (tabel 1). Sejumlah informasi dan studi sudah juga turut menunjukkan fakta, bahwa perempuan menjadi korban kekerasan dalam relasi pasangan perkawinan atau keluarga atau pasangan intim. Walaupun data statistik tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak memang belum secara akurat dicatat, namun berbagai kasus dan peristiwa kekerasan yang dilaporkan pada lembaga sosial dan hukum dapat kita gunakan sebagai data dalam memahami permasalahan KDRI ini (lihat tabel 2).
Tabel 1. Jenis-jenis KDRT tahun 2004 yang dkumpulkan KOMNAS perempuan dari 43 organisasi perempuan di Indonesia)
Jenis kekerasan | Jumlah kasus |
Kekerasan terhadap isteri | 1782 |
Kekerasan dalam pacaran | 321 |
Kekerasan anak perempuan | 251 |
Kekerasan terhadap pekerja rumah tangga | 71 |
Kekerasan ekonomi | 28 |
Total | 2453 |
(sumber: BKKBN, 2007)
Tabel 2. Daftar berbagai studi dan pengumpulan data mengenai KDRT di Indonesia
Lembaga | Tahun | Lokasi pengumpulan data | Jumlah kasus KDRT | Jumlah KDRT terhadap perempuan | Keterangan |
Women’s Crisis Centre Mitra Perempuan (Jakarta) | 1997-2002 | Jabodetabek | 879 |
|
|
Women’s Crisis Centre Rifka Annisa (Yogyakarta) | 1994-2000 | Jogakarta | 994 |
|
|
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan | 2005 | Indonesia | 24 juta perempuan Indonesia |
|
|
Komisi Nasional Perempuan | 2006-2007 | Indonesia | 22.000 |
|
|
Badan Pemberdayaan Masyarakat Surabaya | 2005-2006 | Surabaya | 223 |
|
|
Ruang Pelayanan Khusus Polisi Republik Indonesia (RPK POLRI) | 2002 | Indonesia | 1.143 |
|
|
2003 | 1.724 |
(sumber: Margaretha, 2007 dari data kompilasi kajian Mitra Perempuan Jakarta, Rifka Annisa Jogjakarta, Badan Pemberdayaan Masyarakat Kota Surabaya, Komnas Perempuan POLRI)
Perlu tetap kita sadari bahwa data-data di atas belum dapat benar-benar merepresentasikan kasus KDRI yang terjadi pada perempuan. Sebenarnya masih banyak peristiwa kekerasan dalam lingkup keluarga di masyarakat yang belum terkuak dari tirai keluarga.
Data statistik menunjukkan korban kebanyakan adalah perempuan, namun perlu juga dipahami bahwa terdapat juga laki-laki yang mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya, namun jumlahnya sangat sedikit. Karena itulah, sering fenomena KDRI dianggap sebagai indikator ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang terjadi di masyarakat. Ketidakadilan gender yang menempatkan seorang perempuan sebagai makhluk yang lebih lemah, penurut, pasif, daripada laki-laki, sehingga perempuan harus berupaya untuk menerima perlakuan apapun dari seorang laki-laki, termasuk perlakuan tidak wajar atau semena-mena.
Definisi hukum dan definisi personal
Namun perlu dipahami bahwa kesadaran, pemahaman, persepsi, definisi dan dokumentasi kasus KDRT sangat beragam dipengaruhi oleh faktor kultur, kedaulatan hukum negara serta sosio-historis. Yang banyak terjadi di Indonesia, KDRT dilihat sebagai cara mendisiplinkan anggota keluarga atas dasar budaya atau agama. Contohnya: seorang ayah menganggap wajar untuk mendisiplinkan anaknya yang dianggap tidak patuh dengan cara memukul dan memarahi dengan keras; atau seorang istri menerima pemukulan dan penghinaan dari suami sebagai bentuk ungkapan kepatuhan terhadap suami sebagai kepala keluarga. Definisi seperti ini bisa dikatagorikan sebagai definisi personal, yang didasari karena latar belakang hidup seseorang. Sayangnya definisi hukum positif dan definisi personal dapat menjadi tidak sejalan, bahkan yang sering terjadi adalah penghayatan definisi personal menghambat penjaminan hak asasi individu di mata hukum. Misalkan, korban KDRT anak semakin terluka dan tidak berdaya menghadapi kekerasan dari orang tua; hal ini malah semakin jauh melanggar haknya untuk hidup sejahtera sebagai anak. Jika ini terjadi dampak kerusakan, terutama pada korban, akan semakin berat dan pada akhirnya bisa berakibat fatal. Dalam hal ini, maka penting untuk selain memperhatikan definisi KDRT secara konvensional namun perlu dipertimbangkan juga definisi kontekstual-personal yang dapat mempengaruhi cara pandang seseorang dalam mengidentifikasikan KDRT maupun KDRI.
Diketahui bahwa di Indonesia, kasus KDRT seperti masalah gunung es. Data-kasus KDRT yang kita ketahui hanyalah sebagian dari jumlah data-kasus yang sebenarnya. Masih banyak peristiwa kekerasan dalam lingkup keluarga di masyarakat yang belum terkuak dari tirai keluarga. Walaupun masyarakat pada umumnya mengetahui bahwa berbagai perilaku KDRT adalah perilaku yang melanggar norma hukum dan norma masyarakat yang patut mendapatkan ganjaran hukum positif, namun pada umumnya KDRT masih dianggap sebagai urusan internal keluarga saja. Bahkan tidak jarang keluarga, atau bahkan si korban sendiri bersikap menutup-nutupi karena menilai KDRT adalah hal yang memalukan jika diketahui oleh orang lain. Hal ini dapat juga terjadi oleh karena pemahaman persepsional definisi kekerasan yang berbeda antara apa yang dimiliki oleh masyarakat dan korban dengan apa yang telah ditentukan secara hukum. Contohnya: kebanyakan korban adalah perempuan, dan beberapa perempuan menganggap kekerasan yang dilakukan pasangannya adalah suatu bentuk kontrol dan pernyataan kekuasaan suami yang masih perlu dihormati. Dengan definisi tersebut, maka bentuk-bentuk kekerasan dalam relasi keluarga menjadi lebih ditolerir. Akibatnya identifikasi persoalan KDRT menjadi kabur, definisi KDRT secara hukum tidak dapat diberlakukan secara positif karena batas perilaku KDRT dan definisi kekerasan di masing-masing keluarga atau individu bisa berbeda-beda.
Salah satu kajian yang dapat dikembangkan adalah studi atas persoalan persepsional dan definisi KDRT di konteks masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, adalah penting untuk penelitian selanjutnya melakukan mengeksplorasi secara mendalam bagaimana pengalaman KDRT bagi si korban sendiri. Walaupun korban mengalami pengalaman negatif karena kekerasan menurut definisi hukum, sosial dan kesehata mental, namun tetap perlu digali pula bagaimana cara pandangnya terhadap pengalamannya tersebut. Penggalian ini tidak dapat dilakukan dengan pertanyaan-pertanyaan obyektif, namun perlu dilakukan wawancara fenomenologis untuk memahami dunia seorang korban KDRT, tentang apa dan bagaimana KDRT dalam dunia hidup mereka, serta menurut mereka mengapa KDRT dapat terjadi pada diri mereka.
Definisi berdasarkan dinamika kekerasan dalam relasi intim
Perlu dipahami, bahwa baik dalam KDRT maupun KDP, kemunculan perilaku kekerasan dalam definisi ini bukan sekedar sebagai peristiwa unik dan singular, tapi peristiwa kekerasan yang berulang secara khas terjadi dalam suatu konteks relasi intim. Dalam KDRT juga dapat terjadi dinamika perilaku kekerasan, dalam arti perilaku kekerasan dapat semakin meningkat atau menurun baik secara intensitas (kuat-lemah), frekuensi (sering-jarang) dan ekstensitasnya (macam jenisnya). Oleh karena itu identifikasi kasus KDRT akan selalu perlu menggali riwayat pola dan dinamika pola perilaku kekerasan dalam relasi pelaku dan korbannya.
Pada umumnya, kekerasan terjadi jika terjadi ketimpangan kekuasaan antara pelaku dan korban, dimana secara tidak sehat pelaku biasanya lebih memiliki kuasa dan dominan daripada korban. Pelaku adalah adalah orang yang melukai dan korban yang mengalami akibat negatif. Kekerasan digunakan oleh pelaku untuk menunjukkan dan mempertahankan kuasanya atas korban. Korban dikontrol menggunakan berbagai cara, penghinaan (kekerasan psikologis), penganiayaan (kekerasan fisik), manipulasi ekonomi dan perusakan barang (kekerasan ekonomi), atau pelecehan dan pemaksaan seksual (kekerasan seksual). Akibatnya jelas, korban akan menjadi pihak yang mengalami kerugian dan kehancuran.
Namun pada beberapa kasus, siklus kekerasan dalam relasi intim bisa menghasilkan dinamika peran antara pelaku dan korban. Pelaku berinteraksi dengan korban dan dapat terjadi pergantian peran. Pelaku yang memulai kekerasan dalam interaksinya di suatu siklus kekerasan dalam relasi intim bisa juga akhirnya menjadi korban, dan sebaliknya korban dapat berubah peran menjadi pelaku. Pergantian peran ini terjadi karena dalam interaksi kekerasan, dapat terjadi saling menyerang untuk mempertahankan diri, sehingga dapat terjadi pelaku dan korban menjadi sulit dibedakan. Kedua pihak sama-sama menyerang dan mengalami luka, sehingga sulit menentukan siapa korban dan siapa pelaku. Hal ini dapat pula disebut sebagai pola relasi intim yang mengandung kekerasan. Oleh karena itu, dalam rangka mengidentifikasi siapa pelaku dan siapa korbannya, penting bagi penyidik atau profesional untuk melihat bagaimana proses kekerasan ini berkembang dari awalnya. Bukan hanya pada peristiwa terakhir namun dari awal munculnya kekerasan dalam relasi intim tersebut. Karena mungkin saja, pelaku menyatakan dialah yang mengalami kerugian, namun sebenarnya hal itu terjadi karena korban berusaha mempertahankan diri dari perilaku buruk pelaku yang telah terjadi dari awal relasi intim.
Simpulan
Fenomena kekerasan dalam relasi intim memiliki berbagai dimensi yang perlu dipahami. Dimensi hukum yang obyektif dapat menjadi panduan dasar identifikasi peristiwa kekerasan, definisi psikologis juga penting karena menjadi kunci untuk mencapai pemahaman mengapa dan bagaimana peristiwa kekerasan dalam relasi intim bisa terjadi. Walau telah ditemukan kekerasan yang lebih banyak terjadi pada perempuan, tapi adalah tidak cukup memahami siapa pelaku dan korban hanya berdasarkan pola jenis kelamin. Belum lagi definisi hukum yang obyektif dapat berbeda dengan definisi personal dalam memaknai kekerasan dalam relasi intim. Akan lebih bijak untuk mempertimbangkan berbagai dimensi definisi kekerasan dalam relasi intim agar mendapatkan pemahaman yang menyeluruh.
Sumber bacaan
Margaretha (2007). Hak anak dalam kekerasan dalam rumah tangga: Menilik penjaminan hak anak dan penyelesaian konflik pada anak yang berada dalam keluarga yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Disampaikan dalam Temu Ilmiah Nasional Universitas Airlangga, 2007.
Prospero, M. (2006). The role of perceptions in dating violence among young adolescents. Journal of Interpersonal Violence, 21, 470-484.
Suara Karya (2007) Artikel: Pemberdayaan Perempuan: KDRT hambat jiwa anak. Edisi Senin, 2 Juli 2007.
I’d like to thank you for the efforts you have put in writing this blog. I am hoping to view the same high-grade content by you later on as well. In truth, your creative writing abilities has motivated me to get my own site now 😉
Hi,
Thanks, I hope I and my students can continue learning and writing in this site. I wish you success with yours too 🙂
constantly i used to read smaller articles which as well clear their motive, and that
is also happening with this post which I am
reading here.