Apakah Hati Nurani (conscience)?
Oleh:
Margaretha
Dosen pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Dalam perjalanan pulang ke rumah, Amir melihat seorang remaja perempuan yang sedang menawarkan pada orang-orang di jalan untuk menyumbang suatu panti asuhan yang sedang membutuhkan bantuan dana. Si remaja putri, sebagai salah satu anak yang tinggal di panti tersebut, menyampaikan bahwa dana bantuan sangat dibutuhkan untuk memperbaiki panti asuhannya yang sudah bocor dan banyak tempat tidur anak yang mulai rusak. Setiap orang yang lewat akan disapa dan diajak untuk menyumbang. Namun dari sepanjang jalan, Amir melihat tidak ada seorangpun yang mau berhenti untuk menyumbang. Hati Amir tergerak, untuk berhenti dan menyumbang remaja itu. Amir lalu berhenti, berbicara dengan si remaja dengan penuh perhatian, lalu memberikan sumbangan bagi panti asuhan tersebut.
Ibu Ani bekerja membuat nugget ayam dan memasarkannya di pasar-pasar tradisional. Selama ini, ia merasa keuntungannya sangat sedikit. Teman-temannya mengatakan bahwa dengan menggunakan daging ayam yang mulai rusak dan menggunakan ‘blek’ (borax) maka keuntungan akan berlipat-lipat karena bahan baku nugget menjadi jauh lebih murah dan blek membuat nugget tahan lama. Bu Ani tahu bahwa borax dilarang digunakan dalam makanan, namun ia tetap berpikir untuk menggunakan blek agar keuntungannya bertambah. Dalam pikirannya, uang dari menjual nugget sangat dibutuhkannya untuk menyekolahkan anaknya.
Bagaimana pandangan anda ketika membaca dua penggal cerita di atas? Sebagian orang yang membacanya mungkin merasa lega dan senang, ketika membaca Amir akhirnya memutuskan berhenti dan menyumbang, bukannya acuh dan berlalu begitu saja; dan akan kurang senang atau membenci perilaku Ibu Ani yang tidak memperhatikan kesehatan orang lain demi keuntungan pribadi. Apakah menurut anda, Amir melakukan perilaku menyumbang atas dasar hati nurani? Apakah perilaku Bu Ani terjadi karena ia tidak memiliki hati nurani?
Apakah hati nurani itu? Tulisan pendek ini akan mengulas sedikit mengenai hati nurani manusia, lalu bagaimana hati nurani berkembang, serta relevansinya dengan pendidikan anak.
Mengapa hati nurani?
Menurut anda, apakah yang menyebabkan perilaku Amir? Amir menyumbang mungkin karena ia tidak tega melihat si remaja mengiba meminta bantuan. Ia takut jika si remaja dan anak-anak di panti asuhan akan hidup menderita karena kurangnya bantuan. Jika demikian, maka perilaku Amir disebabkan emosi diri, salah satunya rasa takut.
Atau Amir mungkin selama ini telah menjadi donor di suatu gerakan sosial dan terbiasa menyumbang. Maka perilaku menyumbangnya adalah suatu kebiasaan baginya.
Atau Amir dapat berperilaku demikian karena ia berpikir apa yang akan dipersepsikan oleh rekan atau orang di sekitarnya jika ia tidak menyumbang. Amir berpikir jika ia menunjukkan sikap acuh pada anak panti asuhan yang membutuhkan bantuan, maka Amir akan dipandang buruk oleh masyarakat. Banyak orang berperilaku atas dasar pertimbangan sosial atau takut atas penolakan sosial. Orang menjadi sangat peduli tentang apa dan bagaimana penilaian orang lain atas diri mereka.
Atau, Amir menyumbang atas dasar cara pandangnya terhadap dirinya sendiri. Amir mungkin melihat dirinya sebagai orang yang berbudi, ia tidak melihat dirinya sebagai orang yang acuh pada kesulitan orang lain. Oleh karena itu, perilaku menyumbang Amir dilakukan untuk menjaga harga dirinya (self esteem) sebagai manusia yang berbudi.
Yang menarik di sini adalah, banyak perilaku manusia yang tampaknya digerakkan oleh hati nurani namun sebenarnya didasari oleh berbagai faktor seperti: rasa takut, tekanan sosial, penolakan sosial, harga diri, bahkan juga kebiasaan.
Perilaku baik, yang sesuai dengan harapan sosial, serta terlihat adaptif dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat tidak selalu berarti perilaku yang didasari hati nurani. Bisa saja dalam satu waktu, seorang psikopat tampak baik dan melakukan perilaku sesuai dengan tuntutan sosial namun dasar perilakunya sebenarnya manipulatif. Ia sebenarnya hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengambil keuntungan dari orang lain di sekitarnya. Atau perilaku yang tampak baik, namun sebenarnya tidak didasari oleh nilai yang dianut individu, namun hanya mengekor pada tuntutan sosial dan dilakukan karena takut akan penilaian negatif atau penolakan sosial.
Sebagian dari perilaku-perilaku di atas bukan hati nurani, karena hati nurani manusia berasal dari perasaan, bukan perilaku atau cara berpikir.
Lalu apakah sebenarnya yang dimaksud dengan hati nurani? Martha Stout (2000) menjelaskan bahwa hati nurani adalah kelekatan emosional seorang manusia pada mahluk hidup lainnya, biasanya pada manusia namun tidak selalu, bisa pula pada kelompok manusia bahkan pada kemanusiaan secara menyeluruh. Hati nurani berakar pada afeksi, bukan berdasarkan hanya pada kognisi dan perilaku.
Hati nurani berbicara mengenai keterkaitan perasaan antara manusia satu terhadap manusia lain (connectedness with other living beings); maka diskusi mengenai hati nurani sangat erat hubungannya dengan perasaan yaitu kasih (love as one of emotion spectrum). Dengan adanya hubungan erat antara hati nurani dan perasaan kasih itulah, manusia dapat tergerak melakukan banyak hal. Dari pengorbanan kecil seperti menyumbang, hingga rela mati demi Negara. Manusia dapat melakukan hal-hal yang hebat, melampaui akal sehat, bahkan membuat frustasi, karena hati nurani dan perasaan kasih adalah motor perilaku manusia yang sangat kuat. Tanpa perasaan tidak akan ada hati nurani. Yang menggerakkan hati nurani bukan pemahaman nilai moral melainkan perasaan kelekatan manusiawi.
Perlu dipahami, bahwa tidak semua orang akan mengalami kecemasan ketika menyakiti, mengecewakan, menyiksa bahkan membunuh orang lain. Psikopat bisa saja tampil meyakinkan, bicara banyak mengenai norma dan nilai, namun dibalik itu sering menyakiti manusia lain. Psikopat tidak memiliki hati nurani karena ia tidak merasa lekat secara emosional pada orang yang disakitinya.
Dalam kasus di atas, Amir akan memberikan sumbangan karena ia melihat si remaja sebagai manusia lain sama seperti dirinya dan ia tidak tega melihat manusia lain menderita. Ketika Amir dapat merasakan kasih bagi sesamanya, maka hati nuraninya akan berkembang dan menggerakkan perilakunya untuk menolong sesamanya.
Darimana hati nurani berkembang?
Sepanjang sejarah peradaban manusia, pendekatan teologis dan metafisik sering mengkaitkan fenomena ketiadaan hati nurani ini dengan kejahatan (evil) karena kehadiran roh jahat.
Pada Abad Pertengahan, Thomas Aguinas menjelaskan bahwa pada dasarnya Tuhan menciptakan manusia dengan kemampuan membedakan mana yang baik dan yang salah karena memiliki synderesis (conscience). Namun manusia membutuhkan akal budi (reason) dalam mengambil keputusan dalam berperilaku, apakah akan melakukan hal yang salah atau yang benar. Untuk menguatkan hati nurani, manusia harus menggunakan dan memperkuat akal budinya. Kelemahan akal budi dapat membuat manusia mengambil keputusan yang salah dan akhinya melakukan kesalahan atau dosa. Atau dengan kata lain, kejahatan bukanlah karena tidak adanya synderesis atau hati nurani (karena semua manusia secara alami memilikinya), namun karena kurang berkembangnya akal budi.
Dalam kasus Ibu Ani, keputusannya menggunakan borax untuk mengambil untung besar demi keluarganya adalah suatu kesalahan yang didasari kurang berkembangnya akal budi, bukan karena ketiadaan hati nurani. Ibu Ani sebenarnya memahami bahwa menggunakan borax merugikan orang lain, namun akal budinya tidak kuat dalam mempertimbangkan dan mengambil keputusan tentang perilakunya yang benar.
Namun penjelasan lain muncul pada awal abad 20 dari Sigmund Freud. Ia menyatakan bahwa pada umumnya, anak manusia akan mengembangkan hati nuraninya melalui perkembangan superego melalui figur otoritasnya. Figur otoritas anak biasanya orang tua, akan mengajarkan nilai, menunjukkan mana yang diterima dan tidak diterima, membedakan mana yang benar dan yang salah. Nilai-nilai dan pengalaman bersama figur otoritas akan diinternalisasi anak hingga menjadi panduan pribadinya dan terkristalisasi menjadi superego. Akhirnya, si anak tidak lagi perlu berhadapan dengan figur otoritas untuk mengatur perilaku, namun kata-kata dan nilai telah masuk serta mengatur perilakunya secara internal. Superego akhirnya menjadi bagian dari kerangka berpikir manusia. Lama-kelamaan superego akan menjadi seperti kata-kata batin yang memberikan penilaian dan mengarahkan perilaku manusia.
Internalisasi nilai dari figur otoritatif cukup dapat diamati pada perkembangan anak. Contohnya, seorang anak usia 4 tahun yang bercanda dengan temannya di mobil, mendengar Ibunya berkata, “diam jangan berisik”; lalu beberapa saat kemudia ketika temannya berteriak lagi, ia mengatakan sama seperti ibunya “diam jangan berisik”.
Beranjak dewasa, kita akan sering berhadapkan dengan kata-kata muncul kepala yang menilai dan mengarahkan perilaku, seperti: “jika saya kurang kooperatif maka ia tidak mau berteman dengan saya” atau “makan seperti ini akan membuat saya gemuk”. Kata-kata batin ini sering bersifat sangat kritikal dan keras dalam menilai dan mengarahkan diri sendir; bahkan bisa membawa masuk ke dalam persoalan psikologis seperti depresi dan stress. Superego yang terlalu kuat dapat membuat seseorang cenderung kaku.
Lebih lanjut menurut Freud, penguatan sueprego terjadi jika manusia mampu meresolusi konflik Oedipus pada masa Phallic. Pada konflik oedipus complex (anak laki-laki) atau oedipus electra (anak perempuan), anak pada akhirnya harus menyadari bahwa ia tidak dapat menguasai kasih orangtua yang berlwanan jenis kelamin dengan cara menyingkirkan orangtua yang sama jenis kelaminnya. Orangtua yang sesama jenis kelaminnya terlalu kuat dan tidak bisa dikalahkan. Maka si anak harus belajar untuk mengendalikan impulsnya tersebut supaya ia mampu menghasilkan perilaku yang diterima oleh lingkungan keluarganya. Kemampuan resolusi konflik oedipus membuat anak mampu mengendalikan dirinya, sebuah proses pembentukan utama dari hati nurani.
Superego berperan sebagai panduan kode nilai dan harapan sosial.
Bersama dengan superego, berkembang pula id dan ego. Id melambangkan kebutuhan-kebutuhan dasar alamiah manusia, seperti makan, minum, dan seks. Kebutuhan dasar yang dikelola id, selalu mencari pemenuhan demi kepuasan untuk meredakan tegangan yang timbul ketika kekurangan suatu kebutuhan, misalkan orang akan makan ketika lapar. Id menuntut dipenuhi dengan cepat untuk mencapai kesenangan dan berusaha menjauhi kesulitan (pleasure principle).
Ego berkembang sebagai jembatan antara id dan superego. Berpijak pada prinsip realistis (realistic principle), ego akan berusaha memberikan proses pemenuhan kebutuan dasar yang dikelola id, namun juga selaras dengan nilai-nilai yang telah diinternalisasi individu dalam superego. Keseimbangan menjadi penting dijaga oleh ego, karena jika id terlalu kuat maka pemenuhan kebutuhan menjadi terlalu berlebihan sehingga kurang mempertimbangkan orang lain (nilai sosial – atau deprivasi superego). Namun sebaliknya, jika superego terlalu kuat maka manusia hanya akan berperilaku sesuai dengan norma dan menekan id; akibatnya manusia akan merasa tertekan.
Namun penjelasan Freud tentang superego belum menjelaskan aspek emosi. Belum menjelaskan bagaimana dinamika kelekatan emosi dalam memunculkan perilaku yang berdasarkan internalisasi nilai oleh superego. Oleh karena itu, kita perlu mengkritisi apakah segala perilaku yang muncul karena superego sudah cukup digolongkan sebagai hati nurani.
Kembali pada kasus Bu Ani, dengan pendekatan Psikoanalisa kemungkinan egonya kurang kuat sehingga ia lebih kurang bisa mempertimbangkan kerugian kesehatan konsumennya (nilai yang seharusnya diinternalisasi di superego) namun lebih terfokus berperilaku untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri (id).
Relevansinya dengan pendidikan
Memahami bahwa hati nurani membutuhkan akal budi dan juga kelekatan emosional manusiawi, maka perlu dipertimbangkan mengasah keduanya dalam pendidikan sejak masa kanak. Anak diperkenalkan dengan dilema moral dan sosial untuk mengolah kemampuan pikirnya untuk mempertimbangkan nilai-nilai yang perlu diterapkan dalam menghadapi suatu persoalan. Namun juga pendidik perlu mengembangkan kelekatan anak dengan manusia lain dan kemanusiaan dalam dirinya, membuat mereka menjadi manusia yang peka atas keadaan dan kebutuhan orang-orang di sekelilingnya. Pengalaman pikir dan rasa ini perlu dipupuk terus-menerus hingga anak berkembang dewasa. Hati nurani tidak utuh tanpa keduanya.
Referensi
Stout, M. (2005). The sociopath next door; Tha ruthless versus the rest of us. Brodway books: New York.