Gradasi Kekejian: Tingkat pembunuhan keji menurut Michael Stone (2009)
Oleh: Margaretha
Pengajar Psikologi Forensik
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Sepanjang sejarah kita telah mendengar berbagai cerita yang begitu keji dilakukan manusia. Kain membunuh saudaranya sendiri Habil; Remus membunuh Romulus; hingga pada abad ini muncul beberapa kasus pembunuhan berantai. Manusia membunuh manusia-manusia lain dengan berbagai cara. Beberapa pelaku melakukannya karena menikmati proses penyiksaan yang dilakukan sebelum membunuh korbannya. Bahkan usaha-usaha menghilangkan korban pun terdengar sangat aneh dan menakutkan, dari cara pembakaran, mutilasi hingga kanibalisme. Mendengarnya pun kita merasakan teror dan ketakutan.
Mengapa seorang manusia bisa melakukan kekejian (evil)? Dalam memahami berbagai perilaku keji yang dilakukan oleh manusia ini, apakah ada tingkat kekejian yang membedakan satu tindakan keji dari yang lain? Tulisan ini akan menguraikan mengapa manusia melakukan kekejian, dan usaha memahami berbagai perilaku kekejian yang diuraikan oleh Michael Stone, seorang Psikiater Forensik yang telah menganalisis kasus kejahatan keji di Amerika Serikat.
Kekejian (evil)
Kita menggunakan istilah “keji” pada perilaku yang dilakukan berdasarkan niat menyakiti orang lain atau membunuh orang lain dengan cara-cara yang menyakitkan (baik secara fisik dan mental). Setiap kali mendengar suatu peristiwa yang dipersepikan keji, biasanya timbul perasaan terkejut, takut bagi siapapun yang mendengar atau melihatnya. Mendengar perilaku keji, biasanya kita terhentak betapa manusia dapat melakukan sesuatu yang di luar akal budi atau hati nurani manusia pada umumnya. Kata “evil” memiliki akar dalam bahasa Anglo Saxon yaitu “yfel”, yang artinya melampaui (over atau beyond). Untuk dapat dikategorikan sebagai keji, maka perilaku tersbeut harus melampaui atau menyimpang dari standar perilaku yang disepakati oleh masyarakat. Maka kekejian adalah perilaku kejahatan yang dipersepsikan mengerikan karena melampaui penalaran manusia dan menyimpang secara signifikan dari aturan sosial.
Berikut adalah kejahatan yang dapat dipersepikan sebagai keji oleh masyarakat: pemerkosaan, pembunuhan berantai, pembunuhan masal, pembunuhan yang disertai dengan penyiksaan, penyiksaan pada anak, penculikan anak, pembunuhan oleh orang yang dekat dengan korban atau keluarganya, dan mutilasi.
Menurut, Michael Stone (2009), perilaku keji biasanya memiliki beberapa komponen:
- Secara signifikan sangat mengerikan
- Diawali dengan niat jahat atau intensi untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun secara psikis
- Akibat penderitaan bagi korban sangat berlebihan
- Penyebab perilaku keji sangat sulit dinalar oleh akal budi masyarakat pada umumnya
Melihat pengertian keji yang telah diuraikan di atas membuat kita dapat berpikir bahwa pelaku kejahatan keji seharusnya sering melakukan kejahatan dan akan tampak berbeda dari manusia kebanyakan sehingga mudah dikenali. Akan tetapi kenyataannya, menurut Michael Stone, pelaku kejahatan keji tidak akan melakukan kejahatannya secara terus-menerus atau pandai menutupi perilaku jahatnya; akibatnya dalam kehidupan sehari-hari mereka tampak seperti orang pada umumnya. Mereka memiliki “rahasia” yang tidak diketahui masyarakat. Biasanya orang-orang di sekitar pelaku akan sangat terkejut atau tidak menyangka ketika akhirnya mengetahui bahwa tetangganya atau keluarganya adalah pelaku kejahatan keji.
Mengapa muncul kekejian?
Dari hasil wawancaranya pada puluhan pelaku kejahatan keji, Michael Stone menemukan terdapat interaksi berbagai faktor herediter dan lingkungan (nature and nurture). Faktor herediter adalah segala kondisi yang dimiliki manusia sejak lahir, yang biasanya sangat sulit untuk dirubah. Faktor lingkungan adalah berbagai faktor eksternal yang mempengaruhi manusia, misalkan: pola suh, relasi orang-tua dan anak, pengaruh teman sebaya dan lingkungan rumah. Temuan Stone (2009) yang menarik adalah pembunuh berantai menunjukkan faktor herediter dan lingkungan yang cukup menonjol, seperti:
- Beberapa pembunuh menunjukkan perilaku kecanduan alkohol yang disebabkan baik herediter maupun lingkungan, misalkan: pada masa kecil dibesarkan oleh ayah atau ibu alkoholik, dan ketika ayahnya mabuk akan menyiksa mereka sewaktu kecil.
- Perilaku keji telah terjadi sejak masa kanak atau remaja. Beberapa ahli forensik biasanya mencari triadik pengalamam masa kecil orang yang beresiko melakukan kejahatan: 1) mengompol atau bedwetting, kesulitan mengendalikan kencing saat tidur, 2) pengalaman menikmati membakar atau firesetting, dan 3) pengalaman menyiksa binatang pada masa kecil. Walaupun triadik ini masih cukup kontroversial namun pada sebagian kecil pelaku kejahatan menunjukkan ketiga gejala ini sejak masa kecil.
- Munculnya masa “latihan” atau rehearsal pada masa remaja. Misalkan, sebelum onset perilaku jahat muncul secara signifikan, pelaku dipahami pernah melakukan kekerasan pada anggota keluarga atau melakukan pelecehan pada tetangganya pada masa remajanya. Atau pernah terlibat dalam geng atau kumpulan antisosial yang melakukan pencurian, perampokan, penyalahgunaan zat atau pembakaran. Lalu mereka akan “lulus” dari masa berlatih ini menjadi pelaku kejahatan yang lebih kompeten.
- Beberapa pelaku kejahatan pada masa kecilnya menunjukkan gejala Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Gejala seperti: mudah hilang fokus, tidak bisa diam, gelisah dan mudah tersinggung. Pada beberapa penelitian ditemukan bahwa ADHD adalah prediktor gangguan kepribadian antisosial pada kriminal (Stone, 2009).
Dari uraian di atas, kita perlu secara berhati-hati memahami, bahwa perilaku keji terjadi karena berbagai faktor akan unik berbeda pada satu pelaku kejahatan dari yang lain. Tidak bisa kita memahami satu pola perilaku kejahatan untuk memahami berbagai perilaku keji.
Berikut adalah uraian beberapa faktor herediter dan lingkungan yang juga ditemukan dimiliki pelaku kejahatan keji (tabel 1).
Tabel 1. Faktor herediter dan lingkungan yang ditemukan berperan dalam munculnya perilaku kejahatan keji (Michael Stone, 2009)
Herediter | Lingkungan |
Gangguan mental
|
Faktor keluarga
|
Kondisi Psikiatrik
|
Pengaruh faktor yang memiliki akar yang kompleks
|
Gangguan kepribadian
|
Dalam melihat indikator herediter dan lingkungan, ahli forensik dapat menggali faktor-faktor apa saja yang berperan dalam pembentukan perilaku kejahatan keji seseorang. Hal ini dilakukan dengan melihat biografi atau sejarah perkembangan seseorang dari masa kanak hingga dewasanya. Setelah komponen-komponen diidentifikasi, lalu ahli perilaku atau psikolog dapat membuat uraian dinamika interaksi dari berbagai faktor herediter dan lingkungan hingga akhirnya memunculkan suatu perilaku keji. Misalkan: dari pelaku kejahatan A ditemukan bahwa memiliki gejala ADHD dan pernah memiliki pengalaman membakar serta menyiksa hewan. Lebih lanjut orang tua yang memiliki kecanduan alkohol juga turut memperburuk kondisi si anak karena tidak adanya pengawasan serta koreksi atas perilaku pelanggaran si anak. Akhirnya anak berkembang menjadi anak yang impulsif dan sulit mematuhi aturan, dan perilaku pelanggaran dilakukan tanpa rasa bersalah (karena hati nuraninya yang tidak berkembang akibat gangguan mentalnya). Pada masa remaja, si individu mengalami proses latihan menyakiti tunawisma dan berhasil tanpa diketahui orang lain. Lalu perilaku kekejiannya berkembang menjadi lebih kompleks sepanjang waktu. Uraian seperti ini bertujuan untuk menjelaskan mengapa seseorang bisa melakukan kekejian.
Gradasi kekejian
Dalam usahanya memahami kekejian, Michael Stone melakukan wawancara dan analisa perilaku keji dengan menggunakan skala kekejian (evil scale). Dari hasil analisisnya atas beberapa pelaku pembunuhan yang tergolong keji di masyarakat Amerika Serikat, ia menemukan bahwa ada berbagai macam kekejian. Ada beberapa kekejian yang dapat digolongkan dalam satu kategori karena memiliki gejala atau penyebab yang sama. Dari berbagai kekejian, ia juga melihat adanya bentuk kekejian yang lebih berat daripada yang lain. Akhirnya ia membuat pemetaan mengenai gradasi kekejian (gradation of evil) yang bertujuan untuk membuat uraian tingkat kekejian manusia yang pernah dicatat. Ia menyusun 6 gradasi yang terdiri dari 22 tingkatan dengan masing-masing kriteria penjelasan (lihat tabel 2).
Gradasi I menunjukkan tindak pembunuhan yang dinilainya sebagai tidak memiliki komponen keji, karena pembunuhan dilakukan hanya untuk membela diri. Tanpa kekejian artinya juga tidak ditemukan penyiksaan yang biasanya dilakukan oleh pelaku pembunuhan yang memiliki gangguan mental psikotisme.
Gradasi II menunjukkan pembunuhan dilakukan oleh pelaku yang kesulitan mengelola emosi dan perilakunya, atau disebut sebagai impulsif. Dasar pemicu impulsivitas dapat bermacam-macam, dari cemburu, membantu orang lain dalam melakukan pembunuhan, perilaku putus asa, atau provokasi berlebihan yang akhirnya memicu konflik dan pembunuhan terjadi untuk membela diri.
Gradasi III adalah pembunuhan yang mulai menunjukkan kekejian secara menonjol karena dilakukan oleh pelaku yang memiliki gejala psikotisme tingkat rendah. Pelaku bereaksi terhadap emosi dan penolakan dari lingkungan sekitar sehinggga akhirnya pembunuhan terjadi.
Gradasi IV dan V dilakukan oleh pelaku yang memiliki psikotisme yang menonjol dan pembunuhan telah direncanakan (atau dipikirkan) sebelumnya. Perbedaannya, pada gradasi IV, pelaku membunuh orang-orang yang dianggap mengancam atau menghambat niatnya; sedangkan pada gradasi V pelaku dapat melakukan pembunuhan secara berantai atau sporadis secara keji.
Gradasi VI adalah yang paling tinggi, yang menunjukkan tingkat gejala psikotisme pelaku tinggi dan disertai penyimpangan seksual. Pembunuhan disertai dengan penyiksaan, namun penyiksaan justru menjadi motif utama. Artinya pembunuh menikmati penyiksaaan pada korban yang berkepanjangan lebih daripada pembunuhan itu sendiri.
Tabel 2. Gradasi Kejahatan 1-22 oleh Michael Stone
Gradasi Kekejian | Tingkat | Kriteria |
I. Pembunuhan karena pembelaan diri | 01 | Membunuh karena pembelaan diri, dan tidak menunjukkan jejak gangguan psikopatik. |
II. Pembunuhan impulsif tanpa psikotisme | 02 | Pembunuhan yang disebabkan cemburu, biasanya memiliki karakter kurang matang atau egosentris (egocentric or immature), bukan psikopatik. |
03 | Yang membantu pembunuh secara sukarela, memiliki gangguan kepribadian, sering berperilaku impulsif, dengan beberapa ciri kepribadian antisosial. | |
04 | Membunuh dalam proses membela diri, namun pembunuhan kemungkinan terjadi karena provokasi yang dilakukan oleh pelaku pada korban. | |
05 | Orang dengan trauma, menderita dan putus asa sehingga membunuh, biasanya pada relasi yang dipenuhi kekerasan atau orang lain, menunjukkan perasaan bersalah setelah pembunuhan, bukan psikopat. | |
06 | Sabar atau mudah tersinggung, namun tidak menunjukkan karakter psikopatik. | |
III. Pembunuhan keji oleh pelaku tanpa atau sedikit gejala psikotisme | 07 | Memiliki karakteristik Narsisistik yang cukup tinggi, namun tidak menunjukkan psikopatik secara menonjol- jika pun menunjukkan karakter psikopatik biasanya diiringi dengan kecemburuan sebagai motif dasar. Mencari perhatian, dan agresif terhadap penolakan. |
08 | Non-psikopatik dengan kemarahan yang cukup besar, biasanya membunuh ketika kemarahannya tersulut. Impulsif. | |
IV. Pembunuhan oleh pelaku dengan gejala psikotisme yang jelas yang telah direncanakan sebelumnya | 09 | Kekasih yang cemburu yang ditandai dengan beberapa gejala psikopatik. |
10 | Membunuh orang lain yang menghalangi niat atau usahanya, misalkan saksi kejahatannya. Biasanya sangat egoistik, namun tidak menunjukkan karakteristik psikopatik secara menonjol. | |
11 | Pembunuh psikopatik yang membunuh orang-orang yang menghambat atau menghalangi niatnya, seperti: teman atau anggota keluarga. | |
12 | Psikopat yang haus akan kekuasaan dan biasanya akan membunuh ketika merasa terpojok. | |
13 | Pembunuh psikopatik yang mengalami kesulitan mengelola kemarahan; kemarahan biasanya adalah alasan mereka membunuh. Secara sosial inkompeten. | |
14 | Psikopatik yang kasar dan egoistik, membunuh dalam rangka mengambil keuntungan untuk diri sendiri. Melakukan perencanaan pembunuhan. | |
V. Pembunuhan berantai oleh pelaku dengan gejala psikotisme | 15 | Psikopatik, pembunuh berdarah dingin, membunuh secara sporadis atau pembunuh berantai. |
16 | Psikopatik yang melakukan pembunuhan dengan disertai berbagai penyiksaan, dan kekerasan secara ekstrim. | |
VI. Pembunuh berantai, sadis dan disertai penyiksaan | 17 | Pembunuh yang memiliki minat seksual menyimpang bukan psikopatik, pemerkosaan biasanya menjadi motif utamanya dan korban dibunuh untuk menghilangkan jejak bukti dan saksi. |
18 | Pembunuh psikopatik yang menyukai menyiksa korbannya, dimana pembunuhan adalah motif utama dan korban dibunuh segera setelah disiksa (tidak terlalu lama). Dapat disertai dengan usaha menghilangkan korban, misalkan dengan cara mutilasi. | |
19 | Pembunuh psikopatik yang terobsesi dengan teror, penaklukan, intimidasi dan pemerkosaan; akibatnya pembunuhan bukan motif utama perilakunya. | |
20 | Pembunuh psikopatik yang disertai penyiksaan, dimana penyiksaan adalah motif utama. Pelaku bisanya memiliki gejala psikosa yang menonjol. | |
21 | Psikopat yang tidak membunuh korbannya namun menyiksa secara berkepanjangan dan secara ekstrim. | |
22 | Pembunuh psikopatik dan menyiksa korbannya secara berkepanjangan. Penyiksaan adalah motif utama. Pada sebagian besar kasus, kejahatan ini juga disertai seksualitas sebagai faktor motifnya. Melakukan perencanaan penyiksaan dan pembunuhan. |
Yang membedakan tingkat kekejian adalah hadirnya niat jahat (malice). Kehadiran niat jahat yang dipikirkan sebelumnya, yang bertujuan untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Hal ini membedakan tingkat rendah (gradasi I dan II) dan tingkat sedang-tinggi (gradasi III-VI). Kekejian yang paling tinggi biasanya adalah pembunuhan berantai yang disertai usaha menyiksa secara berkepanjangan, juga memiliki unsur penyimpangan seksualitas. Akibatnya, nuansa pembunuhan pada tingkat 22 biasanya disertai kekerasan seksual dan penyiksaan yang cukup lama pada korban sebelum akhirnya dibunuh.
Perlu dipahami, bahwa hal-hal keji ini biasanya dilakukan oleh pelaku yang memiliki gangguan psikologis berat, seperti: psikotisme, gangguan kepribadian dan gangguan emosi berat. Gangguan psikologis tersebut sangat sulit disembuhkan, resiko mengulang kembali perilaku keji sangat tinggi. Akibatnya pelaku kejahatan keji tingkat tinggi lebih membutuhkan intervensi dan rehabilitasi psikologis bukan hanya koreksi hukum. Dan proses intervensi psikologis pada manusia dengan gangguan psikologis berat biasanya harus dilakukan secara intensif dan dalam durasi yang panjang. Maka lebih tepat mereka dimasukkan dalam penjara khusus bagi orang-orang dengan gangguan mental (prison for mentally ill).
Simpulan
Michael Stone menawarkan gradasi kekejian sebagai usaha pemetaan tingkat kejahatan keji yang dapat digunakan untuk memahami apa dan mengapa perilaku kejahatan keji dapat terjadi. Gradasi kekejiaan ini dapat digunakan untuk memahami kejahatan keji dan penyebabnya. Namun penting dipahami bahwa penggunaan klasifikasi tingkatan kekejian ini harus disertai dengan usaha menguraikan bagaimana perilaku keji dapat terbentuk pada masing-masing kasus secara unik. Sehingga kita tidak terjebak hanya dalam melabel bentuk kejahatan keji saja. Lebih lanjut, dapat pula dijadikan bahan pertimbangan dalam proses koreksi dan rehabilitasi bagi pelaku kejahatan keji.
Referensi utama:
Stone, M. (2009). The anatomy of Evil. Promotheus books; New York.
Bukan bermaksud jumping conclusion ya bu tapi berarti apakah suatu perilaku dikatakan keji karena niat jahat dari pelakunya (malice) atau karena perilaku tersebut menyimpang dr standar sosial atau baru dikatakan keji ketika memenuhi keduanya?
misalnya ada pelaku pencurian kemudian ada oknum atau massa yg menghabisi sampai mati salah satunya memukul bertubi2, niat pemukul sudah dapat dikategorikan sebagai usaha menyakiti orang lain apapun triggernya tapi masyarakat menganggap bahwa ya memang malingnya pantas di perlakukan seperti itu, pemukul tidak lantas dianggap keji. Termasuk di antaranya adalah aksi balas dendam misalnya.
kemudian dari unsur budaya. Apabila kemudian budaya tsb masih sangat primitif dan masih memiliki cara hidup kanibalisme dan membunuh secara sengaja dan bersama2, pendatang atau orang asing yang masuk daerah mereka bagaimana pendapat ibu terkait ini? Kalau dilihat dari niat maka (mungkin) dianggap biasa/habitual bukan secara tersirat ingin menyakiti, menyimpang dari aturan sosial masyarakat normal tentu tapi tidak dengan masyarakat daerah tersebut, gangguan emosi yang berat juga belum tentu terdeteksi. Apakah ada paradigma lain terkait kekejian? Terima kasih sebelumnya dan maaf panjang bgt bu..
Halo Lila, maaf baru membalas. Ya menurut saya perlu keduanya untuk menyatakan kejahatan. Adanya perilaku yang melanggar hak orang lain (actus reus) dan niat jahat (mens rea). Niat jahat yang hadir biasanya bukan hasil paksaan dari orang lain, tapi merupakan suatu hasil berpikir seseorang yang bertujuan untuk menyakiti atau merugikan orang lain demia suatu tujuan pribadi. Menurut saya hal ini berlaku baik pada kejahatan personal maupun setting kelompok. Jika keduanya hadir maka itu adalah kejahatan. Walaupun dibungkus dengan norma budaya tapi jika keduanya mens rea dan actus reus hadir, maka kita perlu mendiskusikan apakah kejahatan telah terjadi.
Halo Mbak Retha…salam kenal Saya Sonny Soeharso senang membaca artikel anda disini. Terus lanjutkan mbak ditengah-tengah makin maraknya kejahatan di negeri ini…Salam Sukses Selalu
terima kasih Mas Sonny. Salam sukses juga ya.