Gambar

Kenakalan remaja Geng “Brasmada”: Mengupas faktor eksternal yang mungkin menjadi penyebabnya

Oleh: Latifa Zahra
Mahasiswa peserta Mata Kuliah Psikologi Forensik
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Beberapa waktu yang lalu fenomena geng remaja yang meresahkan sempat menjadi sorotan di beberapa surat kabar Indonesia. Fenomena kenakalan remaja yang dilakukan geng remaja Brasmada di Balikpapan pada tahun 2013 masih meresahkan warga serta aparat kepolisian akibat aktivitasnya yang menyimpang dari norma-bahkan beberapa diantaranya harus ditindak dengan serius karena adanya korban yang tewas-. Lalu apakah faktor individu semata mata yang menyebabkan kenakalan remaja tersebut? Bagaimana dengan kemungkinan faktor eksternal yang berasal dari keluarga serta lingkungan yang menyebabkan munculnya kenakalan remaja tersebut? Tulisan ini akan membahas faktor-faktor eksternal yang meliputi masalah primer dalam keluarga, putus sekolah, konformitas dan tekanan lingkungan yang mungkin terlibat serta memberikan kontribusi bagi peran psikologi forensik dalam fungsi aktuarial dan advesorial nantinya.

Brasmada di Balikpapan

Di Balikpapan pada tahun 2013 dikenal geng motor yang menamai kelompok mereka dengan julukan “Berani Senggol Mandi Darah” atau disingkat “Brasmada”. Geng motor ini kerap melakukan pemalakan yang kadang diwarnai dengan penganiayaan atau pemukulan di daerah tersebut. Geng Brasmada yang terdiri dari remaja berusia 14-17 tahun ini juga aktif mencari anggota baru dengan memaksa korban untuk bergabung dalam geng mereka. Selain itu, ketua geng Brasmada juga terlibat dalam kasus pencurian motor.

Pada awal Februari 2013, geng Brasmada terlibat kasus penikaman yang menewaskan seorang remaja bernama Alan (18 tahun). Alan dan temannya Dedi (20 tahun) kembali dimintai uang dengan paksa oleh geng Brasmada setelah sebelumnya menjadi sasaran pemalakan geng tersebut. Geng Brasmada kemudian melakukan kekerasan fisik pada kedua korban ketika tidak puas dengan jumlah uang yang diserahkan kedua korban pada pemalakan sebelumnya. Korban yang mengaku tidak memiliki uang lagi dikeroyok dan dipukuli oleh 20 orang anggota geng Brasmada hingga berujung pada peristiwa penikaman terhadap Alan. Alan terluka parah akibat tiga tikaman pada bagian perut, punggung dan pinggang hingga akhirnya meninggal dunia, sedangkan Dedi berhasil lolos dengan luka serta lebam di tubuhnya (Rideng, 2013).

Geng Remaja yang Meresahkan

Beberapa waktu yang lalu fenomena geng remaja yang meresahkan sempat menjadi sorotan di beberapa surat kabar Indonesia seperti Kompas dan Tempo. Munculnya geng motor yang berkendara dengan ugal-ugalan dan melanggar rambu lalu lintas membahayakan pengguna jalan lainnya. Geng remaja tersebut meresahkan warga serta aparat kepolisian karena aktivitasnya yang menyimpang dari norma bahkan beberapa diantaranya harus ditindak dengan serius karena melakukan tindak kriminal (Boy, 2014).

Tidak hanya melanggar aturan lalu lintas dalam berkendara, beberapa geng remaja diberitakan melakukan pemalakan bahkan pemukulan. Perilaku geng remaja yang melanggar aturan ini dikabarkan terjadi di beberapa daerah di Indonesia, salah satunya di Balikpapan (Julius, 2014).

Geng remaja dan kenakalan remaja

Remaja adalah masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa yang melibatkan proses perubahan yang kompleks. Perubahan tersebut mencangkup perubahan biologis, kognitif serta sosioemosional (Santrock, 1995). Pada masa ini, terjadi kecenderungan remaja untuk membentuk sebuah kelompok, salah satunya berbentuk geng remaja.

Geng remaja sendiri sering dikaitkan dengan kenakalan remaja. White dan Mason (2006, dalam Wong, 2013) menyebutkan keterkaitan antara perilaku kenakalan remaja dengan geng. Hal ini bukan merupakan hal yang baru, Esbensen dan Huizinga (1993, dalam Wong, 2013) memaparkan data dari Denver Youth Survey bahwa sekitar 83-85% anak laki-laki yang tergabung dalam geng remaja terlibat dalam kenakalan remaja atau tindak kriminal yang dilakukan remaja. Jumlah tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan persentase anak laki-laki pelaku tindak kriminal yang tidak tergabung dalam geng sebesar 18-32%.

Lalu, pada kasus Brasmada, mengapa geng Brasmada tersebut dikaitkan dengan kenakalan remaja? Sebelumnya mari kita telaah apa yang dimaksud dengan kenakalan remaja. Berger (2000) mendefinisikan kenakalan remaja atau juvenile delinquency sebagai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh individu yang berusia dibawah 18 tahun.

Kenakalan remaja meliputi berbagai perilaku remaja yang tidak dapat diterima secara sosial (seperti tindakan berlebihan di sekolah), pelanggaran (seperti melarikan diri dari rumah) hingga tindakan-tindakan kriminal (Santrock, 1995).

Tindakan pemalakan serta kekerasan yang dilakukan oleh geng Brasmada di Balikpapan merupakan suatu bentuk pelanggaran norma sosial dan hukum. Anggota geng Brasmada dikenakan pasal 170 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) tentang kekerasan yang dilakukan secara bersama karena bersama-sama melakukan kekerasan di depan umum, pasal 351 tentang penganiayaan atau pasal 368 tentang pemerasan. Penikaman dilakukan 2 orang anggota Brasmada dengan menggunakan senjata tajam berupa parang dan badik, sehingga kedua tersangka tersebut dikenai pasal tambahan, yaitu Pasal 338 tentang pembunuhan yang dilakukan secara sengaja. Maka, dapat kita golongkan tindakan geng tersebut sebagai kenakalan remaja berjenis tindakan kriminal.

Brasmada dan Pemalakan

Lalu, mengapa pemalakan? Balikpapan terkenal akan biaya hidupnya yang tinggi. Berdasarkan Survei Biaya Hidup oleh Mercer pada Juli 2008, Balikpapan menempati posisi teratas kota termahal dari 26 Kota yang disurvei di Indonesia, dengan indeks 107 (Daud, 2011). Hal ini dapat terkait dengan kebutuhan dasar individu yang belum terpenuhi secara optimal. Brasmada, dengan aktivitas pemalakannya dapat memperoleh uang meski hanya sebagai tambahan saja.
Pemalakan lebih menunjukkan kekuasaan kelompok dibandingkan dengan pencurian yang dilakukan secara diam-diam, ide ini menggambarkan bahwa tujuan mereka bukan semata-mata untuk mendapat uang. Adakah sebab lain dibalik aktivitas kenakalan remaja yang dilakukan geng Brasmada?

Konformitas dalam geng remaja

Konformitas adalah kecenderungan individu untuk merubah persepsi, opini dan perilaku mereka sehingga sesuai atau konsisten dengan norma-norma kelompok (Brehm dan Kassin dalam Suryanto, dkk., 2012). Konformitas seringkali terjadi dalam interaksi sosial individu dalam kelompok, tanpa terkecuali pada geng remaja.

Terdapat dua kajian yang menyebabkan terjadinya konformitas, yaitu karena alasan informasional dan normatif. Alasan informasional menyebabkan individu melakukan konformitas karena ia ingin pendapatnya benar dan membuat pendapat orang lain sebagai standar. Sedangkan alasan normatif mendasari konformitas yang dilakukan individu dalam kelompok dengan ketakutan individu bila opini atau perilakunya tidak sesuai dengan norma yang ada sehingga dirinya terkena sangsi sosial tertentu.
Dalam geng remaja, konformitas sangat mungkin terjadi terkait dengan atribut atribut yang dimiliki kelompok. Atribut ini meliputi nilai yang dipegang kelompok dan bagaimana kelompok ingin ditampilkan. Konformitas dapat dilakukan anggota geng remaja berdasarkan pengaruh mayoritas kelompok maupun pengaruh minoritas yang kuat.

Sebab terjadinya kenakalan remaja

Mengapa fenomena kenakalan remaja tersebut dapat terjadi? Pengaruh konformitas dapat menjadi salah satu penyebabnya. Dalam sebuah geng remaja, persepsi, opini serta perilaku mayoritas anggota kelompok menjadi berpengaruh terhadap individu dalam kelompok tersebut.

Pada masa remaja, individu cenderung membentuk kelompok dengan teman sebaya. Menurut Hurlock (1994), salah satu tugas perkembangan remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan kuatnya pengaruh teman sebaya atau peer group. Dalam kelompok tersebut, akan ada atribut-atribut khas kelompok yang dibentuk dan diinternalisasikan oleh setiap anggota kelompok sebagai identitas kelompok mereka.
Misalnya, dalam kelompok Brasmada, mereka menamai kelompok mereka dengan “berani senggol mandi darah” yang disingkat menjadi “Brasmada”. Kelompok brasmada membangun kesan garang pada nama geng mereka. Dari nama tersebut, nampak kesan yang khas bahwa kelompok mereka ingin menunjukkan kekuasaan agar lebih disegani masyarakat. Terlebih lagi di lingkungan Brasmada terdapat geng remaja serupa yang muncul. Maka, mereka memiliki pesaing sebagai geng yang disegani masyarakat.
Atribut ini diperkuat dengan aktivitas pemalakan yang mereka jalankan di Balikpapan. Brasmada juga aktif mencari anggota baru dan memperkuat kelompoknya dengan menambah jumlah anggota. Korban pemalakan akan dipaksa bergabung ke dalam kelompok.

Alasan normatif konformitas dapat menjelaskan bagaimana individu mengubah persepsi diri dan melakukan tindakan pemalakan serta pengeroyokan yang dilakukan Geng Brasmada. Di dalam kelompok, anggota terpaksa melakukan konformitas akan atribut kelompok terkait aktivitas yang dilakukan kelompok. Anggota yang awalnya belum pernah memalak orang kemudian ikut melakukan pemalakan. Anggota geng juga bisa ikut melakukan pengeroyokan ketika sasaran pemalakan tidak memberikan uang dengan jumlah yang menurut anggota Brasmada cukup. Apabila anggota tidak melakukan hal-hal yang dianggap sebagai atribut kelompok, ia mungkin akan dikenakan sangsi atau dikucilkan dalam kelompok. Pola ini memperkuat perilaku kenakalan remaja yang akan terus dilakukan kelompok remaja ini.

Selain konformitas, banyak faktor yang berkontribusi melatarbelakangi terjadinya kenakalan remaja dari sudut pandang pelaku. Secara umum, faktor tersebut dapat bersifat internal atau berasal dari dalam diri individu, atau bersifat eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar diri individu.

Faktor-faktor internal pelaku dapat meliputi kepribadian individu yang memiliki kecenderungan agresivitas atau kecenderungan yang mengarah pada gangguan kepribadian. Sedangkan faktor eksternal berasal dari lingkungan individu. Faktor eksternal bermula dari faktor-faktor dalam keluarga, faktor yang berasal dari teman-teman hingga faktor lingkungan sekitar individu termasuk lingkungan rumah, sekolah juga media massa (Hawkins, 2000).

Analisis faktor-faktor eksternal

Kali ini saya hanya akan membahas faktor penyebab eksternal pelaku kenakalan remaja. Faktor eksternal tersebut bermula dari lingkungan keluarga individu. Salah satunya adalah rendahnya pengawasan serta interaksi orang tua atau keluarga inti terhadap individu. Interaksi dalam keluarga merupakan pembelajaran primer anak, dimana terjadi internalisasi nilai-nilai dan terjalin ikatan antar anggota keluarga. Apabila ada gangguan dalam proses interaksi primer remaja dengan orang tuanya, hal ini dapat meningkatkan resiko remaja untuk melakukan tindak kenakalan remaja. Kurangnya perhatian maupun minimnya pengawasan orang tua terhadap remaja juga memiliki peran yang sama dalam meningkatkan resiko individu untuk memunculkan kenakalan remaja.
Faktor lain yang signifikan dan memungkinkan seorang remaja melakukan kenakalan remaja berbentuk tindak kriminal adalah ia memiliki orang tua yang melakukan tindak kriminal. Baker and Mednick (1984, dalam Hawkins, 2000) menemukan bahwa pemuda berusia 18 sampai dengan 23 tahun yang ayahnya merupakan seorang kriminal 3,8 kali lebih potensial untuk melakukan tindak kriminal dibandingkan dengan pemuda yang tidak memiliki ayah kriminal.

Dalam hal ini, sangat mungkin terjadi penguatan perilaku melalui proses belajar yang dilakukan anak terhadap orang tuanya. Menurut Bandura (1986, dalam Hergenhahn, 2009), perilaku dapat dipelajari melalui proses modelling, dimana terjadi peniruan perilaku melalui tahapan atensi, retensi, peniruan perilaku dan motivasi untuk mempertahankan perilaku.
Dalam kasus brasmada memang belum ada data mengenai latar belakang orang tua dan kita belum mengetahui apakah orang tua para remaja tersebut pernah melakukan tindak kriminal. Namun, jika kita berasumsi bahwa hal tersebut terjadi, maka proses modelling dapat dimulai pada saat para remaja anggota Brasmada menginternalisasi perilaku orang tua mereka hingga kemudian melakukan hal serupa.

Dalam kasus brasmada, anggota geng tersebut melakukan kekerasan fisik berupa pemukulan dan penikaman terhadap korban. Hal ini mungkin merupakan hal yang dipelajari mereka sebelumnya, entah pernah melihat ataupun mengalaminya sendiri. Bila pelaku melihat pemalakan, pemukulan atau penikaman sebelumnya, kemudian mempelajari dan meniru, maka kita asumsikan pelaku melakukan proses belajar dari sana.
Namun, masih ada kemungkinan remaja tersebut pernah menjadi korban penganiayaan di masa lalu. Ketika individu pernah menjadi korban penganiayaan atau kekerasan fisik, besar kemungkinan ia akan menjadi pelaku penganiayaan atau kekerasan di masa mendatang (Currie, 2012).
Selain itu, hubungan antara kekerasan dan perilaku kenakalan remaja ini dapat pula dijelaskan melalui kaitannya dengan stress atau kemarahan yang dialami karena penganiayaan atau kekerasan di masa lalu. Penganiayaan maupun kekerasan berpotensi tinggi dalam menghadirkan stress pada individu sebagai seorang anak, sedangkan menurut Widom (1994, dalam Currie, 2012), stress yang dialami dalam periode kritis perkembangan merupakan cikal bakal perilaku agresif ketika dewasa. Perilaku agresif inilah yang kemudian muncul dalam bentuk perilaku kenakalan remaja.
Selain hubungan remaja dengan orang tua, hubungan dengan saudara yang tidak sehat juga bisa berkontribusi dalam kemunculan kenakalan remaja. Ejekan dan bullying bisa saja terjadi rumah dan dilakukan oleh saudara kandung. Atau, kecemburuan yang muncul antara saudara akibat pembandingan yang dilakukan orang tua. Hal-hal seperti ini sangat mungkin direpresi dan menemukan penyaluran dalam bentuk kenakalan remaja (Bridges, 1927).

Faktor eksternal berikutnya adalah faktor putus sekolah. Sekolah merupakan elemen penting yang memberikan internalisasi nilai pada remaja setelah lingkungan primernya dalam keluarga. Sekolah memberikan fungsi pendidikan serta menanamkan nilai moral pada anak didiknya melalui mata pelajaran pendidikan budi pekerti, pendidikan agama atau pendidikan dasar kewarganegaraan.

Beberapa dari anggota brasmada berhenti sekolah, hal ini menyebabkan kurangnya pendidikan termasuk pendidikan moral. Menurut Santrock (1995), individu yang tidak bersekolah atau menganggur berpotensi lebih besar untuk terlibat dalam perilaku-perilaku yang bermsalah seperti penggunaan dan penjualan obat-obatan, menjadi anggota gang, lari dari rumah, terlibat pencurian, dan lain-lain. Bagaimana hal ini dapat dijelaskan?

Remaja yang mengalami banyak perubahan perlu diarahkan dalam menghadapi perubahan-perubahan yang ia alami. Sedangkan, berhentinya beberapa anggota geng Brasmada dari sekolah meniadakan fungsi sekolah dalam hal pendidikan serta kontrol sosial atas individu, termasuk di dalamnya peran guru dalam memperhatikan perkembangan remaja.

Menurut Hirschi (1969), pada dasarnya setiap individu memiliki dorongan atau id destruktif yang berasal dari insting naluriah manusia. Namun, kontrol sosial mencegah penyaluran dorongan tersebut menjadi tindakan, dalam hal ini kenakalan remaja. Remaja mungkin ingin berkumpul dengan kelompoknya, remaja laki-laki mungkin menyukai balap liar dan kebut-kebutan, membuktikan bahwa kelompoknya hebat dan sebagainya, namun kontrol sosial dari orang tua, guru dan lingkungan akan membuat mereka berpikir dua kali untuk melakukan pelanggaran norma.
Tidak adanya kontrol sosial dari lingkungan sekolah akan mendukung remaja menyalurkan dorongan destruktif mereka dalam bentuk negatif seperti pemalakan atau kekerasan yang dilakukan Brasmada. Ditambah lagi jika pengawasan dari anggota keluarga di rumah minim, seperti yang telah dibahas sebelumnya.

Faktor-faktor dalam keluarga yang bermasalah ketika bertemu dengan faktor lingkungan dan tekanan dalam kelompok seolah dipupuk untuk memperkuat terbentuknya perilaku kenakalan remaja. Terlebih lagi ketika individu memiliki kecenderungan kepribadian yang mungkin mengarah pada gangguan. Interaksi faktor-faktor tersebut dapat menciptakan dinamika yang sedemikian rupa sehingga perilaku kenakalan remaja muncul dalam bentuk pemalakan, pengeroyokan, pelanggaran norma dan sebagainya. Penjelasan tersebut mungkin dapat menggambarkan bagaimana kenakalan remaja yang dilakukan geng Brasmada dapat terjadi.

Simpulan

Uraian tersebut memberikan gambaran mengenai salah satu fenomena kenakalan remaja yang dilakukan Geng Brasmada di Balikpapan. Aktivitas pemalakan, pengeroyokan yang berujung pada tewasnya korban bernama Alan merupakan sebuah fenomena kenakalan remaja yang meresahkan masyarakat karena telah memasuki ranah kriminalitas.

Menggali faktor-faktor penyebab terjadinya suatu tindak kriminal merupakan peran psikologi forensik dalam fungsi actuarial. Disinilah psikolog forensik mencari fakta-fakta serta menyelidiki proses terjadinya suatu tindak kriminal. Penyebab terjadinya kasus kenakalan remaja Brasmada tidak hanya dilihat dari faktor individu, namun interaksinya dalam kelompok serta faktor-faktor lingkungan yang lebih luas. Mengupas fakta-fakta tersebut juga dapat memberikan kontribusi dalam proses persidangan yang akan dihadapi anggota Brasmada yang terkena pasal KUHP berlapis. Maka, penelaahan terhadap suatu fenomena tindak kriminal yang terjadi baiknya dilakukan dengan menyeluruh dan mempertimbangkan keunikan setiap kasus maupun perbedaan antar individu.

Dengan menggali faktor penyebab dengan seksama, dapat dipersiapkan sistem koreksi dan rehabilitasi yang tepat bagi pelaku tindak kriminal. Memang sayangnya menurut Probowati (2008), peran rehabilitasi di Indonesia masih minim. Hal tersebut dapat ditingkatkan, salah satunya dengan mempersiapkan sistem rehabilitasi bagi Brasmada untuk mempersiapkan kembalinya mereka ke masyarakat.

Referensi

Berger, KS. (2000). The Developing Person Through Childhood and Adolescence. New York: Worth Publishers.
Boy. (2014, December 28). Geng Motor Makin Brutal, Polri Perlu Bentuk Tim Pemburu. Diakses pada 3 Januari 2015 di http://www.jpnn.com
Bridges, K. M. B. (1927). Factors Contributing to Juvenile Delinquency. Journal of Criminal Law and Criminology, 17, 530-580.
Brown, J.M. & Campbell, E.A. (2010) The Cambridge handbook of Forensic Psychology. Cambridge: London.
Currie, J. & Erdal, T. (2012). Understanding the Cycle of Childhood Maltreatment and Future Crime.
Daud, B. (2011, June 10). Balikpapan Kota Termahal Biaya Hidup se-Indonesia. Diakses pada tanggal 7 Januari 2014 di web http://www.tribunnews.com
Hariz, S.A. (n.d.). Hubungan Antara Persepsi Keharmonisan Keluarga
dan Konformitas Teman Sebaya dengan Kenakalan Remaja. E-Jurnal Dinas Pendidikan Kota Surabaya, 2, 1-7.
Hawkins, J. D., dkk. (2000). Predictors of Youth Violence. Juvenile Justice Bulletin.
Hidir, A. & Supandi. (n.d.). Motivasi Remaja atau Pelajar menjadi Anggota Geng Motor. Diakses pada tanggal 18 Desember 2014 di web lib.unri.ac.id
Hirschi, T. 1969. Causes of Delinquency. Berkley, California: University of California
Press.
Hergenhahn, B. R., & Olson, M. H. (2009). Theories of Learning (terjemahan). Edisi ke-7. Jakarta: Kencana.
Hurlock, E. B. (1994). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan Edisi ke-5. Alih bahasa: Wasana. Jakarta : Erlangga.
Julius, P. (2014, January 3). Dari Tragedi Alan, Polisi Waspadai Geng-Geng ABG. Kompas Cyber Media. Retrieved November 4, 2014, from http://www.kompas.co.id
Manasse, M. E., & Morgan, N. G. (2009). Victimization as a cause of delinquency: The role of depression and gender. Journal of Criminal Justice, 37, 371–378
Novita, N. P. (2012). Hubungan antara Kekerasan Emosional pada Anak terhadap Kecenderungan Kenakalan Remaja. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 1-9.
Ono. (2013, February 8). Brasmada Sering Cari Mangsa. Laman Polsek Balikpapan Barat. Diakses pada 4 november 2014 di web http://www.polsekbalikpapanbarat.com/2013/02/brasmada-sering-cari-mangsa.html
Probowati, Y. (2008). Psikologi Forensik:Tantangan Psikolog Forensik sebagai Ilmuwan dan Profesional. Indonesian Psychological Journal vol. 23, 4, 338-353.
Rideng, P. (2013, February 8). Siswa SMA Airlangga Tewas Dikeroyok. Laman Polsek Balikpapan Barat. Diakses pada 4 november 2014 di web http://www.polsekbalikpapanbarat.com
Santrock, J. W. (1995). Life-Span Development Perkembangan Masa Hidup jilid Jakarta:Erlangga.
Santrock, J.W. (2003). Adolescence: Perkembangan Remaja (terjemahan). Edisi ke-6. Jakarta: Erlangga.
Suryanto, dkk. (2012). Pengantar Psikologi Sosial. Surabaya:Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP).
Wong, I., Toh, T., Leng Hung, P., & Ang, A.P. (2013). Delinquency in gangs — Selection or socialization?. Aggression and Violent Behavior,18, 784–791.

2015/01/img_0312.jpg

2015/01/img_0312-0.jpg

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s