Mutilasi Alat Kelamin pada Perempuan

MUTILASI ALAT KELAMIN PADA PEREMPUAN

Oleh: Charisma Dian Uswatun Hasanah

Mahasiswa Matakuliah Psikologi Forensik

Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia

Mutilasi alat kelamin, atau yang biasa dikenal dengan istilah sunat, yang dilakukan pada kaum perempuan mungkin masih tabu untuk diperbincangkan, bukan hanya di Indonesia melainkan di beberapa bagian dunia. Hal ini dilakukan dengan berbagai alasan, dari mulai agama dan budaya. Mutilasi alat kelamin pada perempuan ini masih terjadi di wilayah Afrika, Timur Tengah, dan Asia. Indonesia sendiri menyumbang sebanyak 60 juta pada kasus sunat perempuan ini. Laporan UNICEF menyebutkan, Indonesia berada di peringkat ketiga, setelah Mesir dan Etiopia. Sekitar 200 juta perempuan telah mengalami Female Genital Mutilation (FGM) dan sekitar 3.3 juta perempuan terancam FGM setiap tahunnya; sekitar 44 juta perempuan yang mengalami FGM berusia di bawah 14 tahun (WHO, 2012). Tahukah anda bahwa perlakuan seperti ini dapat dikatakan sebagai kejahatan? Karena tindakan sunat pada perempuan ini tidak memiliki manfaat secara medis maupun tidak diatur didalam agama melainkan memiliki dampak yang negatif, dan biasanya dilakukan ketika perempuan tersebut masih berusia dibawah umur. Hal ini jelas melanggar Hak Asasi Manusia yang dilindungi oleh Negara.

MUTILASI ALAT KELAMIN

Mutilasi alat kelamin, atau lebih dikenal dengan istilah sunat, adalah tindakan memotong dengan sengaja yang dapat merubah bentuk atau melukai sebagian maupun total dari organ genital (Prasetyo, 2018). Tindakan ini pada umumnya dilakukan pada laki-laki berdasarkan alasan kesehatan, agama, dan juga sosial budaya. Menurut Hindi (2008), sunat yang dilaksanakan pada anak laki-laki dilakukan dengan cara memotong sebagian dari organ kelamin, yaitu pemotongan ujung kulit yang menutupi penis (kulup). Namun, dalam berbagai kepercayaan tertentu, sunat tidak hanya berlaku pada anak laki-laki, tetapi juga berlaku untuk anak perempuan. WHO (2012) menyebut hal ini disebut dengan Female Genital Mutilation (FGM). FGM sudah dikenal secara internasional sebagai pelanggaran HAM pada perempuan dan wanita, karena pada dasarnya struktur organ pada genital laki-laki dan perempuan tidak bisa disamakan dan memiliki fungsi yang berbeda.

APA ITU FEMALE GENITAL MUTILATION?

Female Genital Mutilationadalah tindakan dengan menghilangkan sebagian atau seluruh bagian alat kelamin pada perempuan atau melakukan tindakan tertentu terhadap alat kelamin perempuan dengan tujuan untuk mengurangi hingga menghilangkan sensitivitas pada alat kelamin perempuan tersebut (Sumarni, ‘Aisyah & Julia, 2005). Dalam budaya yang dipercaya oleh beberapa kelompok masyarakat Afrika, tindakan FGM ini sendiri adalah menghilangkan sensitivitas alat kelamin pada perempuan dengan cara mengiris atau memotong bagian yang dianggap sebagai pusat hasrat seksual yang mengakibatkan kepuasan seksual (Saadawi, 2011). Di Indonesia sendiri, tradisi FGM ini sangat dikenal di Yogyakarta, dimana tradisi ini dinamakan ‘tetesan’, yang harus dilakukan oleh perempuan sejak lahir hingga remaja dan kebanyakan dari tindakan ini dilakukan oleh tenaga medis seperti dokter dan bidan (Pamungkas, 2014).

Faktanya, pada FGM ini tidak ditemukan manfaat secara medis yang dipercaya sebagian masyarakat. Menurut WHO (2012) Tindakan ini hanya akan merusak jaringan pada genital perempuan yang sehat dan mengganggu fungsi alami tubuh pada perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh WHO (2012) terhadap 28.000 perempuan hamil di enam negara pada benua Afrika ditemukan dari ibu yang telah mengalami FGM secara signifikan memiliki resiko lebih tinggi dari permasalahan komplkikasi saat melahirkan, seperti harus menjalani sesar dan mengalami postpartum haemorrhage dari pada ibu hamil yang belum menjalani FGM. Dengan ini, angka kematian bayi yang baru dilahirkan lebih tinggi dialami oleh ibu yang memiliki riwayat melakukan FGM.

LALU MENGAPA HAL KERAP KALI TERJADI?

Alasan dari terjadinya FGM sangat bervariasi, tergantung dari daerah asal masyarakat yang menganut kepercayaan tersebut. Kobinsky (1997 dalam Pamungkas, 2014) telah menjelaskan bahwa FGM dilakukan hanya berdasarkan asas budaya dan agama dan tidak memiliki pembenaran secara medis. Seperti masyarakat yang berasal dari Afrika, mempercayai bahwa tindakan FGM ini dilakukan untuk mengontrol kehidupan seksual pada perempuan berdasarkan asumsi bahwa daya seksual pada perempuan yang telah dimutilasi alat kelaminnya telah dibatasi dan dianggap tidak menjadi penggoda laki-laki dan perempuan tersebut dapat dipercaya oleh pasangan apabila pasangan dari perempuan tersebut sedang tidak berada di rumah (Hayati & Latifah, 2010). Biasanya, hal ini memiliki kaitan erat dengan masyarakat yang masih menganut nilai budaya patriarki, yang beranggapan bahwa perempuan seharusnya tidak memiliki hasrat seksual karena itu merupakan hal yang tidak pantas bagi perempuan, sehingga masyarakat mengesampingkan dampak dampak negatif, terutama dampak pada sistem reproduksi pada wanita.

Selain itu, menurut WHO (2012), tekanan sosial juga dapat mempengaruhi orang tua untuk melakukan FGM terhadap anaknya untuk proses penyesuaian diri dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat sekitar secara turun temurun dan juga kebutuhan untuk merasa diterima sebagai anggota masyarakat. Di Indonesia sendiri, tepatnya di Yogyakarta, FGM masih kerap dilakukan oleh sebagian masyarakat karena dipercayai FGM masih memiliiki manfaat medis yang baik bagi perempuan, seperti untuk kesehatan dan kebersihan alat kelamin serta menghindari anak tersebut dari hambatan yang dibawa sejak lahir serta sebagai identitas diri bahwa ia berasal dari suku jawa. Sehingga dapat diasumsikan bahwa masyarakat Jawa percaya akan FGM yang berfungsi sebagai proses pensucian diri manusia dan agar terbebas dari bahaya (Pamungkas, 2014).

BENTUK-BENTUK FEMALE GENITAL MUTILATION

FGM memiliki beberapa bentuk atau tipe pemotongan, diantaranya (WHO, 2012):

Tipe 1. Clitoridectomy

Tipe ini adalah pengangkatan sebagian atau seluruh klitoris (organ ereksi yang kecil dan sensitif pada genital perempuan) atau dalam kasus yang sangat jarang, kulit terlipat yang mengelilingi klitoris (prepuce) juga ikut diambil.

Tipe 2. Excision

Tipe ini adalah pengangkatan sebagian atau seluruh klitoris dan labia minora, dengan atau tanpa pengangkatan labia majora (labia adalah ‘bibir’ yang melindungi vagina.

Tipe 3. Infibulation

Tipe ini adalah penyempitan lubang vagina dengan menciptakan segel penutup. Segel penutup dibuat dengan memposisikan ulang labia mayora maupun labia minora. Bisa dengan tindakan penjahitan atau tidak, baik dengan pengangkatan klitoris atau tidak.

Tipe 4. Lainnya

Semua prosedur berbahaya lain yang dilakukan tanpa alasan medis, dapat berupa menusuk, mengikis, mengiris, dan membakar area genital.

SIAPA PELAKU DAN SIAPA KORBAN?

Pada kasus FGM ini sendiri yang masih menjadi pelaku adalah masyarakat yang masih mempercayai akan hal ini sebagai tradisi, baik itu secara agama maupun budaya. Biasanya, orang tua yang memiliki anak perempuan dan kurangnya edukasi tentang bahaya yang didapat dari FGM memiliki peluang besar sebagai pelaku dari tindakan ini. Korban dari FGM ini sendiri lebih banyak dialami oleh anak perempuan yang berusia dibawah umur (<12 tahun) (WHO, 2012). Dalam hal ini, anak perempuan dibawah umur memiliki resiko yang tinggi untuk menjadi korban dalam kasus ini karena tindakan FGM dilakukan kepada anak tersebut tanpa anak tersebut mengetahui dampak negatif secara medis dari tindakan yang diberikan kepada dirinya.

USAHA KOREKSI, REHABILITASI PERILAKU, DAN PEMULIHAN KORBAN

Peran pemerintah dan juga ahli-ahli di bidang terkait seperti medis dan tenaga profesional psikologi dapat menekan angka kejadian dari isu ini. Pada tahun 2006, Kementrian Kesehatan RI telah melarang FGM atau sunat pada perempuan melalui surat edaran, dan semenjak saat itu banyak tenaga ahli medis yang menolak untuk melakukan sunat pada perempuan. Kemudian, Wardah (2014) yang dilansir dari VOA Indonesia mengabarkan bahwa Kementrian Kesehatan pada tahun 2013 telah mencabut Peraturan Mentri Kesehatan tahun 2010 tentang praktik sunat perempuan yang masih dilegalkan dengan syarat tertentu. Akan tetapi, hal ini tidak menutup kemungkinan bagi praktiksi yang tidak bertanggung jawab untuk masih menerima tindakan FGM, selain itu alternatif lain seperti dukun bayi tidak jarang dipilih oleh masyarakat untuk memenuhi keinginannya untuk melakukan FGM pada anaknya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga sudah mengeluarkan fatwa yang menegaskan tentang batasan atau tata cara sunat perempuan sesuai dengan ketentuan syariah, yaitu FGM hanya dilakukan dengan cukup menghilangkan selaput (jaldah/kulup/praeputium) yang menutupi klitoris, dan sunat pada perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan (Tami, 2009 dalam Hayati & Latifah, 2010).

Dalam hal ini, praktisi medis, seperti dokter, bidan dan perawat, dapat memberikan sebuah edukasi terkait dampak beserta landasan hukum yang mengatur FGM ketika ada pasien yang datang ke tempat praktik mereka untuk melakukan sunat pada anak perempuannya. Pemerintah juga harus memperketat peraturan seperti menyediakan sanksi kepada praktisi yang masih menerima tindakan FGM, seperti pencabutan gelar. Selain itu, praktisi medis dan juga beberapa ahli dalam kesehatan juga dapat memberikan psikoedukasi kepada masyarakat setempat tentang FGM, baik dari definisi, jenis, dampak, dan manfaat. Psikoedukasi yang diberikan tidak harus selalu datang langsung ke tempat dimana masyarakat tersebut tinggal, namun ada baiknya bila psikoedukasi ini dibuat menjadi iklan yang ditayangkan di sosial media maupun televisi, karena pada era modern sekarang ini hampir seluruh masyarakat dapat mengakses internet dan televisi.

Pemulihan bagi korban yang sudah mengalami FGM dapat diberikan psikoedukasi lebih lanjut tentang apa sebenarnya FGM itu dan bagaimana cara untuk menanggulangi permasalahan tersebut agar kedepannya dapat mengurangi resiko korban mendapatkan penyakit komplikasi terkait dengan kesehatan reproduksinya dan juga tidak lupa untuk memberikan pengetahuan agar tidak melakukan FGM kepada keturunannya kelak. Selain itu dapat diberi tindakan surgical repair after excision of the clitoris, yaitu perbaikan struktur genital pada korban. Bentuk psikoterapi dapat diberikan juga pada korban, salah satunya adalah EMDR atau eye movement desensitization and reprocessing, dimana tujuan dari psikoterapi ini adalah untuk menghilangkan distress yang diterima korban dengan adanya pengalaman atau ingatan traumatis. Ketika menjalani terapi ini, klien memusatkan perhatian pada hal-hal yang mengganggu emosinya dalam jangka waktu yang singkat sekaligus memperhatikan stimulus eksternal, seperti gerakan jari tangan yang harus diikuti gerakan bola mata klien (Saphiro, 2005).

Referensi

DW (2016). Mutilasi genital pada perempuan, Indonesia ketiga terbanyak. Dari https://www.dw.com/id/mutilasi-genital-pada-perempuan-indonesia-ketiga-terbanyak/a-19028891

Hayati, L. I., & Latifah, L. (2010). Hubungan Tingkat Pengetahuan Kesehatan Reproduksi dengan Sikap Terhadap Sunat Perempuan pada Ibu Balita di Kecamatan Tempel Sleman Yogyakarta Tahun 2010. STIKES ‘Aisyiyah . Yogyakarta: STIKES ‘Aisyiah.

Hindi, I. (2008). Misteri Dibalik Khitan Wanita. Solo: Zamzam.

Pamungkas, R T. (2014). Tradisi Khitan pada Perempuan di Daerah Desa Brengosan Krakitan Rowo Jombor, Kabupaten Klaten.Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Prasetyo, B. (2018). Asupan Seng dan Penyembuhan Luka Sirkumsisi. Journal of Nutrition and Health. 6 (2), 93-98

Saadawi, N. K. L. (2001). Perempuan Dalam Budaya Patriarki. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Shapiro, F. (2001). Eye Movemen tDesensitization and Reprocessing: Basic Principles, Protocols and Procedures (2nd ed.). New York: Guilford Press.

Sumarni, ‘Aisyah, S., & Julia, M. (2005). Sunat Perempuan Di Bawah Bayang-Bayang Tradisi. Yogyakarta: PSKK UGM.

Wardah, F. (2014, 01 29). Peraturan Menteri Kesehatan RI Soal Sunat Perempuan Telah Dicabut. Retrieved 06 19, 2019, from VOA Indonesia: https://www.voaindonesia.com/a/peraturan-menteri-kesehatan-ri-soal-sunat-perempuan-telah-dicabut/1839905.html

World Health Organization. (2012). Understanding and addressing violence against women.Retrieved 06 09, 2019, from Female genital mutilation: https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/77428/WHO_RHR_12.41_eng.pdf?sequence=1

 

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s